middle ad
Tampilkan postingan dengan label Nusantara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nusantara. Tampilkan semua postingan
Indonesia pernah mencapai kemajuan dalam hal teknologi roket. Bahkan era tahun 1960-an, Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang berhasil meluncurkan roket buatan sendiri yang bernama Kartika 1.

Meski saat ini jika berbicara mengenai teknologi pengembangan rudal dan roket, Indonesia terkesan jauh tertinggal, namun Indonesia pernah menjadi negara yang sukses mengembangkan roket. Pengembangan teknologi roket di Indonesia mulai maju di awal tahun 1960-an dengan dibantu oleh Uni Soviet.

Hingga pada tanggal 14 Agustus 1964, Indonesia akhirnya berhasil meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat 220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Peluncuran ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang.

Setelah itu juga perkembangan roket dan rudal semakin semarak di Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika dua dengan berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Kemudian Indonesia juga membeli berbagai rudal Surfance to Air Missile (SAM) dari Uni Soviet.

Namun sayang, setelah orde lama jatuh, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era orde baru, dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bukan hanya di Asia namun di dunia.

Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km (inilah/pahamilah)

Pahamilah Rudal Kartika 1, Kebanggaan Indonesia Era Sukarno

Indonesia pernah mencapai kemajuan dalam hal teknologi roket. Bahkan era tahun 1960-an, Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang berhasil meluncurkan roket buatan sendiri yang bernama Kartika 1.

Meski saat ini jika berbicara mengenai teknologi pengembangan rudal dan roket, Indonesia terkesan jauh tertinggal, namun Indonesia pernah menjadi negara yang sukses mengembangkan roket. Pengembangan teknologi roket di Indonesia mulai maju di awal tahun 1960-an dengan dibantu oleh Uni Soviet.

Hingga pada tanggal 14 Agustus 1964, Indonesia akhirnya berhasil meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat 220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Peluncuran ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang.

Setelah itu juga perkembangan roket dan rudal semakin semarak di Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika dua dengan berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Kemudian Indonesia juga membeli berbagai rudal Surfance to Air Missile (SAM) dari Uni Soviet.

Namun sayang, setelah orde lama jatuh, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era orde baru, dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bukan hanya di Asia namun di dunia.

Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km (inilah/pahamilah)
Siti Aisyah, bocah berusia delapan tahun, sangat tegar dan semangat merawat ayahnya, Muhammad Nawawi Pulungan (54), yang tidak berdaya untuk menjalani hidupnya sehari-hari.

Setiap harinya, bocah perempuan yang biasa disapa Aisyah ini mendorong becak tanpa arah bersama sang ayah.

Sejak mengalami komplikasi, Nawawi Pulungan tidak berdaya dan membutuhkan perawatan yang ia dapatkan dari sang anak.

"Kami sudah tiga tahun belakangan ini tinggal di masjid raya, tapi karena takut diusir, jadi kami sering jalan tidak tentu arah, dan anak saya, Aisyah, yang merawat saya. Bangga saya punya anak sepertinya," ujarnya ketika ditemui Tribun, Kamis (20/3/2014).

Nawawi dan Aisyah sehari-hari bertahan hidup dengan belas kasihan dari masyarakat yang tak sengaja melihat mereka.

"Kami tidak mengemis. Kami hanya bertahan hidup sekuat tenaga kami. Mungkin banyak yang kasihan dengan kondisi kami dan mereka membantu dengan memberikan kami uang atau makanan," ujarnya.

Ia menuturkan, sejak Aisyah berusia 1 tahun, ibunya sudah meninggalkannya. Ia memiliki keluarga di Pematang Siantar. Namun, sejak ia tidak berdaya karena sakit, keluarganya tidak peduli dengan nasibnya dan Aisyah.

"Yang terpenting bagi saya saat ini adalah anak saya Aisyah dan kesembuhan saya. Saya semangat untuk sembuh agar bisa bekerja dan membahagiakan anak saya," katanya.

Rabu (19/3/2014) malam kemarin, Aisyah dan ayahnya dibawa oleh Plt Wali Kota Medan Dzulmi Eldin ke Rumah Sakit Pirngadi Medan untuk mendapatkan perawatan. Saat ini, ayah Aisyah sudah dirawat di rumah sakit tersebut.

Sementara itu, Aisyah telah dirawat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Rencananya, Jumat (21/3/2014), Aisyah akan disekolahkan di sebuah SD negeri di Jalan Purwo Medan. (Kompas/pahamilah)



Kisah Bocah Umur 8 Tahun Yang Merawat Ayahnya Di Becak

Siti Aisyah, bocah berusia delapan tahun, sangat tegar dan semangat merawat ayahnya, Muhammad Nawawi Pulungan (54), yang tidak berdaya untuk menjalani hidupnya sehari-hari.

Setiap harinya, bocah perempuan yang biasa disapa Aisyah ini mendorong becak tanpa arah bersama sang ayah.

Sejak mengalami komplikasi, Nawawi Pulungan tidak berdaya dan membutuhkan perawatan yang ia dapatkan dari sang anak.

"Kami sudah tiga tahun belakangan ini tinggal di masjid raya, tapi karena takut diusir, jadi kami sering jalan tidak tentu arah, dan anak saya, Aisyah, yang merawat saya. Bangga saya punya anak sepertinya," ujarnya ketika ditemui Tribun, Kamis (20/3/2014).

Nawawi dan Aisyah sehari-hari bertahan hidup dengan belas kasihan dari masyarakat yang tak sengaja melihat mereka.

"Kami tidak mengemis. Kami hanya bertahan hidup sekuat tenaga kami. Mungkin banyak yang kasihan dengan kondisi kami dan mereka membantu dengan memberikan kami uang atau makanan," ujarnya.

Ia menuturkan, sejak Aisyah berusia 1 tahun, ibunya sudah meninggalkannya. Ia memiliki keluarga di Pematang Siantar. Namun, sejak ia tidak berdaya karena sakit, keluarganya tidak peduli dengan nasibnya dan Aisyah.

"Yang terpenting bagi saya saat ini adalah anak saya Aisyah dan kesembuhan saya. Saya semangat untuk sembuh agar bisa bekerja dan membahagiakan anak saya," katanya.

Rabu (19/3/2014) malam kemarin, Aisyah dan ayahnya dibawa oleh Plt Wali Kota Medan Dzulmi Eldin ke Rumah Sakit Pirngadi Medan untuk mendapatkan perawatan. Saat ini, ayah Aisyah sudah dirawat di rumah sakit tersebut.

Sementara itu, Aisyah telah dirawat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Rencananya, Jumat (21/3/2014), Aisyah akan disekolahkan di sebuah SD negeri di Jalan Purwo Medan. (Kompas/pahamilah)



Oleh: Sigit Kamseno


Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah berbincang dengan da’i terkenal asal Papua, Ustadz Fadhlan Garamatan mengenai antropologi masyarakat Papua.  Bersama tiga tokoh Papua lainnya, da’i yang dikenal dengan sebutan “ustadz Sabun” itu bercerita mengenai sejarah kerajaan Islam di tanah Papua yang diketahui merupakan daerah minoritas Muslim, bahkan tidak jarang diasosiasikan dengan sebutan daerah Nasrani.

Sebetulnya, hampir semua peneliti bersepakat bahwa masuknya Islam di Papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk ke Bumi Cendrawasih itu, namun demikian hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan hal tersebut terjadi. Di antara para pemerhati, peneliti, maupun keturunan  raja-raja di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari masih terdapat silang pendapat mengenai kapan Islam masuk ke daerah Papua. Masih sedikitnya penelitian tentang hal tersebut  amat mungkin disebabkan karena secara sosio-geografis tanah Papua terletak pada daerah peripheral Islam di Nusantara, sehingga studi mengenai Islam di Papua luput dari kajian para sejarawan lokal maupun asing.

Adalah Toni Victor M. Wanggai, menulis sebuah penelitian serius mengenai kedatangan Islam di Tanah Papua. Dalam penelitian yang merujuk kepada data-data historis Portugis, Spanyol, dan Belanda serta wawancara dengan keturunan raja-raja di Bumi Papua itu, disebutkan bahwa kedatangan Islam di Papua memang lebih belakangan dari pada islamisasi di daerah  lain di Nusantara.

Dalam penelitiannya, Wanggai menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh kesultanan Bacan di Maluku Utara melalui kontak perdagangan, budaya dan politik. Selanjutnya pada abad XVI di bawah Kesultanan Tidore, agama Islam mulai terlembaga ke dalam struktur kerajaan di Kepulauan Raja Ampat, yakni kerajaan Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Pada saat yang sama berdiri juga kerajaan atau ‘pertuanan’ lain di  daerah Fakfak dan Kaimana, antara lain Namatota, Rumbati, dan Patipi. Kerajaan Islam ini merupakan kerajaan-kerajaan mini yang diberikan semacam otonomi  dan merupakan subordinat dari kesultanan di Maluku.

Sejarah Awal Islamisasi di Papua

Hingga saat ini, diskursus mengenai kapan Islam masuk ke Papua masih belum usai. Keturunan raja-raja Islam di Papua sendiri saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung bukti tertulis maupun arkeologis.

Ali Athwa (2004) menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Papua tidak terlepas dari pengaruh kerajaan Majapahit dan kerajaan lain di Nusantara, ia juga meyakini bahwa jalur masuknya Islam ke Papua adalah melalui Maluku. Athwa berpendapat bahwa pemuka-pemuka pesisir di Papua memeluk agama  Islam karena pengaruh dari Kesultanan Islam Bacan di Maluku pada tahun 1520 yang saat itu gencar melebarkan pengaruh ke luar Maluku, terutama ke Papua.

Sedangkan Frederick Jusuf Onim (2006) memilki pendapat tak serupa. Menurutnya, agama Islam baru masuk ke daerah Papua pada abad ke XVII, dan belum memiliki pengaruh apa-apa. Onim juga mengatakan sebuah fakta bahwa karena pengaruh Islam yang  tidak signifikan di Papua itulah, pulau terbesar kedua di dunia itu acapkali luput dari peta penyebaran Islam dunia, sekalipun pada abad-abad silam beberapa titik di wilayah Papua telah bersentuhan dengan Islam.

Wanggai (2009) membuat pemetaan lebih detail. Menurut Wanggai, ada tujuh versi mengenai kedatangan Islam di Papua: versi Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta Ternate dan Tidore dengan karakteristik yang berbeda. Menariknya, sekalipun meyakini bahwa Islam baru masuk ke Papua pada abad ke XVI, versi Aceh yang digambarkan oleh Wanggai menyebutkan bahwa Islam datang ke Papua sekitar abad XIII, tepatnya pada tahun 1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari Ulama Sufi terkenal, Abdul Qadir al-Jilani.

Mengutip wawancara dengan keturunan Raja Patipi, Wanggai mengatakan bahwa Iskandar Syah datang ke Papua  dengan membawa Mushaf al-Quran tulisan tangan, kitab hadits, kitab-kitab ilmu tauhid dan do’a-do’a. Sedangkan tiga kitab lainnya dimasukan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang mulai punah. Adapula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara.

Jika penuturan ini benar, maka penyebaran Islam di Papua sebetulnya satu zaman dengan penyebaran Islam secara massif di tanah Jawa, terutama pada masa awal-awal dakwah Walisongo pada abad ke XV, hanya saja penyebaran Islam di Papua memang cenderung lebih lambat dan tidak semassif seperti di pulau-pulau lain di Nusantara.

Dalam rentang waktu yang jauh, populasi Umat Islam di Papua baru meningkat secara signifikan setelah provinsi tersebut bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 disusul dengan masuknya sejumlah transmigran asal Sulawesi, Jawa dan Maluku yang ditempatkan di Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Merauke. Seiring dengan itu bermunculanlah lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Hidayatullah, dan seterusnya.

Peninggalan Islam di Papua

Selajur dengan perkembangan dakwah Islam pada masa awal di Papua yang berjalan lambat, peninggalan Islam di Papua tidak sebanyak di daerah lain. Namun demikian bukan berarti hal tersebut menjadikan Papua sepi dari peninggalan Islam.

Ada beberapa peninggalan sejarah Islam di Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung Patimburak  yang sudah berusia ratusan tahun.

Di Desa Darembang Kampung Lama juga terdapat peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat. Melihat dari ukiran dan bentuknya, tiang-tiang kayu ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid yang sudah keropos.

Demikian juga di daerah Fakfak, dalam catatan Wanggai, terdapat lima buah manuskrip yang diduga berumur 800tahun berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada raja Patipi XVI. Manuskrip tersebut adalah sebuah mushaf tua berukuran 50 cm x 40 cm, bertullis tangan di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi kitab. Empat lainnya adalah kitab hadits, tauhid, dan kumpulan do’a. Dalam kitab tersebut terdapat sebuah tapak tangan berupa jari yang terbuka. Penginggalan inilah yang diyakini sebagai peninggalan Syaikh Iskandar Syah.

Ustadz Fadlan Garamatan sendiri sebagai da’i asli Papua hingga kini masih aktif menyebarkan dakwah Islam di provinsi paling timur Indonesia itu. Keturunan Raja Patipi itu membangun sebuah Pesantren di daerah Bekasi untuk anak-anak Papua dengan pertimbangan bahwa proses pendidikan akan terasa sulit jika pesantren tersebut dibangun di tanah kelahirannya. Menurutnya, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa secara tradisi, para orang tua di Papua akan selalu memanggil anaknya pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkan anaknya menginap di pesantren, tentu saja hal ini mengakibatkan proses belajar santri yang diharapkan menjadi du’at di tanah papua itu akan terhambat.

Fakta ini sekaligus menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para da’i di daerah lain bahwa dakwah Islam di berbagai tempat memang memiliki corak dan karakter yang khas sesuai dengan kultur lokal setempat. Wallahu a’lam.



Fote note ____________________ 


Sigit Kamseno adalah Redaktur bimasislam.kemenag.go.id dan kontributor di beberapa Media Islam Online

Mengintip Jejak Islam di Papua

Oleh: Sigit Kamseno


Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah berbincang dengan da’i terkenal asal Papua, Ustadz Fadhlan Garamatan mengenai antropologi masyarakat Papua.  Bersama tiga tokoh Papua lainnya, da’i yang dikenal dengan sebutan “ustadz Sabun” itu bercerita mengenai sejarah kerajaan Islam di tanah Papua yang diketahui merupakan daerah minoritas Muslim, bahkan tidak jarang diasosiasikan dengan sebutan daerah Nasrani.

Sebetulnya, hampir semua peneliti bersepakat bahwa masuknya Islam di Papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk ke Bumi Cendrawasih itu, namun demikian hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan hal tersebut terjadi. Di antara para pemerhati, peneliti, maupun keturunan  raja-raja di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari masih terdapat silang pendapat mengenai kapan Islam masuk ke daerah Papua. Masih sedikitnya penelitian tentang hal tersebut  amat mungkin disebabkan karena secara sosio-geografis tanah Papua terletak pada daerah peripheral Islam di Nusantara, sehingga studi mengenai Islam di Papua luput dari kajian para sejarawan lokal maupun asing.

Adalah Toni Victor M. Wanggai, menulis sebuah penelitian serius mengenai kedatangan Islam di Tanah Papua. Dalam penelitian yang merujuk kepada data-data historis Portugis, Spanyol, dan Belanda serta wawancara dengan keturunan raja-raja di Bumi Papua itu, disebutkan bahwa kedatangan Islam di Papua memang lebih belakangan dari pada islamisasi di daerah  lain di Nusantara.

Dalam penelitiannya, Wanggai menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh kesultanan Bacan di Maluku Utara melalui kontak perdagangan, budaya dan politik. Selanjutnya pada abad XVI di bawah Kesultanan Tidore, agama Islam mulai terlembaga ke dalam struktur kerajaan di Kepulauan Raja Ampat, yakni kerajaan Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Pada saat yang sama berdiri juga kerajaan atau ‘pertuanan’ lain di  daerah Fakfak dan Kaimana, antara lain Namatota, Rumbati, dan Patipi. Kerajaan Islam ini merupakan kerajaan-kerajaan mini yang diberikan semacam otonomi  dan merupakan subordinat dari kesultanan di Maluku.

Sejarah Awal Islamisasi di Papua

Hingga saat ini, diskursus mengenai kapan Islam masuk ke Papua masih belum usai. Keturunan raja-raja Islam di Papua sendiri saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung bukti tertulis maupun arkeologis.

Ali Athwa (2004) menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Papua tidak terlepas dari pengaruh kerajaan Majapahit dan kerajaan lain di Nusantara, ia juga meyakini bahwa jalur masuknya Islam ke Papua adalah melalui Maluku. Athwa berpendapat bahwa pemuka-pemuka pesisir di Papua memeluk agama  Islam karena pengaruh dari Kesultanan Islam Bacan di Maluku pada tahun 1520 yang saat itu gencar melebarkan pengaruh ke luar Maluku, terutama ke Papua.

Sedangkan Frederick Jusuf Onim (2006) memilki pendapat tak serupa. Menurutnya, agama Islam baru masuk ke daerah Papua pada abad ke XVII, dan belum memiliki pengaruh apa-apa. Onim juga mengatakan sebuah fakta bahwa karena pengaruh Islam yang  tidak signifikan di Papua itulah, pulau terbesar kedua di dunia itu acapkali luput dari peta penyebaran Islam dunia, sekalipun pada abad-abad silam beberapa titik di wilayah Papua telah bersentuhan dengan Islam.

Wanggai (2009) membuat pemetaan lebih detail. Menurut Wanggai, ada tujuh versi mengenai kedatangan Islam di Papua: versi Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta Ternate dan Tidore dengan karakteristik yang berbeda. Menariknya, sekalipun meyakini bahwa Islam baru masuk ke Papua pada abad ke XVI, versi Aceh yang digambarkan oleh Wanggai menyebutkan bahwa Islam datang ke Papua sekitar abad XIII, tepatnya pada tahun 1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari Ulama Sufi terkenal, Abdul Qadir al-Jilani.

Mengutip wawancara dengan keturunan Raja Patipi, Wanggai mengatakan bahwa Iskandar Syah datang ke Papua  dengan membawa Mushaf al-Quran tulisan tangan, kitab hadits, kitab-kitab ilmu tauhid dan do’a-do’a. Sedangkan tiga kitab lainnya dimasukan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang mulai punah. Adapula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara.

Jika penuturan ini benar, maka penyebaran Islam di Papua sebetulnya satu zaman dengan penyebaran Islam secara massif di tanah Jawa, terutama pada masa awal-awal dakwah Walisongo pada abad ke XV, hanya saja penyebaran Islam di Papua memang cenderung lebih lambat dan tidak semassif seperti di pulau-pulau lain di Nusantara.

Dalam rentang waktu yang jauh, populasi Umat Islam di Papua baru meningkat secara signifikan setelah provinsi tersebut bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 disusul dengan masuknya sejumlah transmigran asal Sulawesi, Jawa dan Maluku yang ditempatkan di Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Merauke. Seiring dengan itu bermunculanlah lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Hidayatullah, dan seterusnya.

Peninggalan Islam di Papua

Selajur dengan perkembangan dakwah Islam pada masa awal di Papua yang berjalan lambat, peninggalan Islam di Papua tidak sebanyak di daerah lain. Namun demikian bukan berarti hal tersebut menjadikan Papua sepi dari peninggalan Islam.

Ada beberapa peninggalan sejarah Islam di Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung Patimburak  yang sudah berusia ratusan tahun.

Di Desa Darembang Kampung Lama juga terdapat peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat. Melihat dari ukiran dan bentuknya, tiang-tiang kayu ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid yang sudah keropos.

Demikian juga di daerah Fakfak, dalam catatan Wanggai, terdapat lima buah manuskrip yang diduga berumur 800tahun berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada raja Patipi XVI. Manuskrip tersebut adalah sebuah mushaf tua berukuran 50 cm x 40 cm, bertullis tangan di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi kitab. Empat lainnya adalah kitab hadits, tauhid, dan kumpulan do’a. Dalam kitab tersebut terdapat sebuah tapak tangan berupa jari yang terbuka. Penginggalan inilah yang diyakini sebagai peninggalan Syaikh Iskandar Syah.

Ustadz Fadlan Garamatan sendiri sebagai da’i asli Papua hingga kini masih aktif menyebarkan dakwah Islam di provinsi paling timur Indonesia itu. Keturunan Raja Patipi itu membangun sebuah Pesantren di daerah Bekasi untuk anak-anak Papua dengan pertimbangan bahwa proses pendidikan akan terasa sulit jika pesantren tersebut dibangun di tanah kelahirannya. Menurutnya, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa secara tradisi, para orang tua di Papua akan selalu memanggil anaknya pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkan anaknya menginap di pesantren, tentu saja hal ini mengakibatkan proses belajar santri yang diharapkan menjadi du’at di tanah papua itu akan terhambat.

Fakta ini sekaligus menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para da’i di daerah lain bahwa dakwah Islam di berbagai tempat memang memiliki corak dan karakter yang khas sesuai dengan kultur lokal setempat. Wallahu a’lam.



Fote note ____________________ 


Sigit Kamseno adalah Redaktur bimasislam.kemenag.go.id dan kontributor di beberapa Media Islam Online