middle ad
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Khawarij (ilustrasi) 

Pahamilah.com - Sepanjang sejarah Islam muncul satu kelompok tertu yang tampil dengan pemikiran berbeda tentang Islam. Kelompok ini muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Mereka dikenal sebagai Karijis, satu kelompok yang membuat kacau balau pemerintahan Ali. Memang, mereka tidak pernah menjadi kekuatan politik di dunia Islam. Namun, mengutip komentar khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khawarij adalah kelompok yang merindukan kebahagiaan di akhirat namun menempuh jalan yang salah.

latar Belakang

Pada bulan Juni tahun 656 , khalifah Utsman bin' Affan dibunuh. Para pembunuhnya adalah anggota kelompok Khawarij yang tidak puas dengan kebijakan sahabat Utsman terhadap provinsi Mesir. Berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar, yang menunjuk siapa penggantinya secara tidak langsung, Usman tidak sempat mempersiapkan siapa penggantinya.

Para pembunuh, yang kini memegang kendali efektif di ibukota, Madinah, ingin Ali menjadi khalifah baru. Ali secara alami menolak penunjukan tersebut. Namun, atas bujukan para sahabat lainnya, Ali menerima itu.
Di masa Ali, hampir terjadi perang saudara yang melibatkan dua pihak yang bertikai. Menurut Esposito, masa ‘’fitnah besar’’, yakni antara 656 dan 661 M, adalah waktu kemunculan kelompok ini.

Semua berawal dari Perang Shiffin antara  kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketika perang saudara pertama dalam Islam itu berakhir di meja arbitrase, kelompok pendukung Ali yang sebagian besar berasal dari suku Tamim, mulai melakukan pembangkangan.

Kelompok Khawarij menuding Khalifah Ali telah mengingkarti surah Al-Hujurat [49] ayat 9, ‘’Jika dua golongan orang beriman berperang satu sama lain, damaikanlah mereka. Jika salah satu dari mereka berbuat aniaya kepada yang lain, perangilah yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT.’’

Keputusan Ali yang menyetujui arbitrase dinilai kelompok Khawarij sebagai sebuah dosa besar, karena telah mengingkari ayat-ayat Allah SWT. Dalam pandangan kelompok Khawarij, Khalifah Utsman layak mati karena kesalahan-kesalahannya. Ali-lah Khalifah yang sah, dan Muawiyah adalah pembangkang dan agresor yang tak layak di-tahkim.

Prinsip Khawarij

Ketika Ali dinilai melakukan kesalahan, muncul ideologi yang menyatakan individu yang melakukan dosa tidak layak memerintah. Ini ide yang ekstrim waktu itu, dan itu bukan yang terakhir.

Akhirnya, Kharijis berpendapat bahwa dosa-dosa adalah bentuk kekufuran. Orang yang kufur dapat diperangi meski ia seorang sahabat Nabi atau Khalifah. Selain itu, jika Anda tidak setuju dengan keyakinan mereka adalah dosa besar, Anda disebut kafir dan bisa diperangi.

Keyakinan Khariji tidak memiliki banyak dasar dalam teologi Islam. Imam al-Tahawi, mengatakan satu-satunya hal yang disebut kafir terhadap seorang Muslim adalah ketika ia tidak lagi percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagian besar Kharijis tidak berpendidikan namun fasih membaca Alqur'an dan hadist. Mayoritas dari mereka adalah perampok gurun Badui yang lahir karena kurangnya pemahaman Islam. Mereka gagal dalam upaya mereka untuk membunuh Muawiyah dan 'Amr ibn al-'As, yang mendukung Muawiyah.

Namun pada tahun 661 mereka berhasil membunuh khalifah, Ali, di Kufah. Ini menjadi akhir kekhalifahan Rasyidin dan awal kekhalifahan Umayyah, yang dipimpin oleh Muawiyah.

Khawarij terus menjadi gangguan bagi Umayyah dan Abbasiyah kekhalifahan selama berabad-abad. Mereka tidak pernah datang untuk mengadakan pemberontakan di kota besar, tetapi berkeliaran di seluruh dunia Muslim, melecehkan dan meneror penduduk yang tidak menerima keyakinan mereka.

Di Afrika Utara, mereka berhasil mendapatkan dukungan dari kelompok berber. Tak kurang ada 20 sekte Khawarij dan setiap kelompoknya memilih imam dengan caranya sendiri-sendiri. Masing-masing menyatakan diri sebagai komunitas Muslim yang paling benar.

Kaum Khawarij juga dikenal dengan beberapa sebutan.  Mereka juga kerap disebut sebagai Al-Haruriyah. Nama itu adalah nisbat pada tempat kumpulnya para pendahulu mereka ketika berpisah dan memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, yakni Harura. (republika/pahamilah)


Khawarij Perindu Kehidupan Akhirat di Jalan yang Salah

Khawarij (ilustrasi) 

Pahamilah.com - Sepanjang sejarah Islam muncul satu kelompok tertu yang tampil dengan pemikiran berbeda tentang Islam. Kelompok ini muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Mereka dikenal sebagai Karijis, satu kelompok yang membuat kacau balau pemerintahan Ali. Memang, mereka tidak pernah menjadi kekuatan politik di dunia Islam. Namun, mengutip komentar khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khawarij adalah kelompok yang merindukan kebahagiaan di akhirat namun menempuh jalan yang salah.

latar Belakang

Pada bulan Juni tahun 656 , khalifah Utsman bin' Affan dibunuh. Para pembunuhnya adalah anggota kelompok Khawarij yang tidak puas dengan kebijakan sahabat Utsman terhadap provinsi Mesir. Berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar, yang menunjuk siapa penggantinya secara tidak langsung, Usman tidak sempat mempersiapkan siapa penggantinya.

Para pembunuh, yang kini memegang kendali efektif di ibukota, Madinah, ingin Ali menjadi khalifah baru. Ali secara alami menolak penunjukan tersebut. Namun, atas bujukan para sahabat lainnya, Ali menerima itu.
Di masa Ali, hampir terjadi perang saudara yang melibatkan dua pihak yang bertikai. Menurut Esposito, masa ‘’fitnah besar’’, yakni antara 656 dan 661 M, adalah waktu kemunculan kelompok ini.

Semua berawal dari Perang Shiffin antara  kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketika perang saudara pertama dalam Islam itu berakhir di meja arbitrase, kelompok pendukung Ali yang sebagian besar berasal dari suku Tamim, mulai melakukan pembangkangan.

Kelompok Khawarij menuding Khalifah Ali telah mengingkarti surah Al-Hujurat [49] ayat 9, ‘’Jika dua golongan orang beriman berperang satu sama lain, damaikanlah mereka. Jika salah satu dari mereka berbuat aniaya kepada yang lain, perangilah yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT.’’

Keputusan Ali yang menyetujui arbitrase dinilai kelompok Khawarij sebagai sebuah dosa besar, karena telah mengingkari ayat-ayat Allah SWT. Dalam pandangan kelompok Khawarij, Khalifah Utsman layak mati karena kesalahan-kesalahannya. Ali-lah Khalifah yang sah, dan Muawiyah adalah pembangkang dan agresor yang tak layak di-tahkim.

Prinsip Khawarij

Ketika Ali dinilai melakukan kesalahan, muncul ideologi yang menyatakan individu yang melakukan dosa tidak layak memerintah. Ini ide yang ekstrim waktu itu, dan itu bukan yang terakhir.

Akhirnya, Kharijis berpendapat bahwa dosa-dosa adalah bentuk kekufuran. Orang yang kufur dapat diperangi meski ia seorang sahabat Nabi atau Khalifah. Selain itu, jika Anda tidak setuju dengan keyakinan mereka adalah dosa besar, Anda disebut kafir dan bisa diperangi.

Keyakinan Khariji tidak memiliki banyak dasar dalam teologi Islam. Imam al-Tahawi, mengatakan satu-satunya hal yang disebut kafir terhadap seorang Muslim adalah ketika ia tidak lagi percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagian besar Kharijis tidak berpendidikan namun fasih membaca Alqur'an dan hadist. Mayoritas dari mereka adalah perampok gurun Badui yang lahir karena kurangnya pemahaman Islam. Mereka gagal dalam upaya mereka untuk membunuh Muawiyah dan 'Amr ibn al-'As, yang mendukung Muawiyah.

Namun pada tahun 661 mereka berhasil membunuh khalifah, Ali, di Kufah. Ini menjadi akhir kekhalifahan Rasyidin dan awal kekhalifahan Umayyah, yang dipimpin oleh Muawiyah.

Khawarij terus menjadi gangguan bagi Umayyah dan Abbasiyah kekhalifahan selama berabad-abad. Mereka tidak pernah datang untuk mengadakan pemberontakan di kota besar, tetapi berkeliaran di seluruh dunia Muslim, melecehkan dan meneror penduduk yang tidak menerima keyakinan mereka.

Di Afrika Utara, mereka berhasil mendapatkan dukungan dari kelompok berber. Tak kurang ada 20 sekte Khawarij dan setiap kelompoknya memilih imam dengan caranya sendiri-sendiri. Masing-masing menyatakan diri sebagai komunitas Muslim yang paling benar.

Kaum Khawarij juga dikenal dengan beberapa sebutan.  Mereka juga kerap disebut sebagai Al-Haruriyah. Nama itu adalah nisbat pada tempat kumpulnya para pendahulu mereka ketika berpisah dan memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, yakni Harura. (republika/pahamilah)


Ilustrasi Muslim Afrika saat pertama kali menjejakkan kaki di Benua Amerika. 

Pahamilah.com - Buku sejarah dunia, termasuk di Indonesia menyebut pelaut Christopher Colombus-lah yang tiba pertama kali di benua antah berantah yang kemudian diberinama benua Amerika pada tahun 1492. Colombus berlayar melintasi Atlantik dengan menggunakan kapal kerajaan Spanyol tiba di Karibia, Amerika Tengah.

Selama ratusan tahun, teori ini diterima seluruh dunia. Namun, ada teori lain yang justru menarik minat peneliti mengkaji ulang capaian Colombus. Ini sekaligus menghargai bahwa yang pertama kali tiba di Amerika adalah jiwa-jiwa  pemberani yang menyeberangi Samudera Atlantik dengan perahu yang tidak diakui Columbus.

Faktanya, apa yang diketahui Columbus saat itu adalah dunia itu datar. Padahal filsuf Yunani seperti Aristoteles dan Pythagoras menyatakan bumi itu bulat. Columbus baru mengakui bumi itu bulat ketika peradaban Islam mencapai era keemasannya.

Pada tahun 800-an awal, Khalifah Abbasiyah  al-Ma'mun mengumpulkan para ilmuwan termasuk al-Khawarizmi di Baghdad guna menghitung lingkar bumi.  Mengetahui bahwa bumi itu bulat, dan mengetahui ukurannya ke tingkat yang sangat baik dari akurasi, para pelaut Muslim mengarungi samudera, jauh sebelum Columbus dengan congkak mengklaim dirinya pelaut ulung.

Muslim Spanyol


Sejarawan Muslim dan pakar geografi Abu al-Hasan al-Masudi menulis pada tahun 956, pada tahun 889 pelaut Muslim mulai mengarungi samudera dari al-Andalus menuju barat. Mereka akhirnya menemukan sebuah daratan besar di laut, di mana mereka berdagang dengan penduduk asli, dan kembali ke Eropa.

Al-Masudi mencatat tanah dan menyebutnya "tanah yang tak dikenal". Dua pelayaran lebih dari Muslim Spanyol ke Amerika dicatat dalam sejarah. Satu berada pada tahun 999 dan dipimpin oleh Ibn Farrukh, dari Granada. Yang lainnya, pelayaran ahli geografi al-Idrisi.

Mereka ditawan oleh penduduk asli Amerika di pulau itu selama beberapa hari. Akhirnya, mereka dibebaskan ketika penerjemah yang tinggal di antara penduduk asli yang berbicara bahasa Arab. Merekapun kembali ke al-Andalus dan menceritakan kisah mereka. Bagian penting dari perjalanan ini adalah adanya pembicara bahasa Arab diantara warga pribumi. Ini menunjukkan bahwa pasti ada kontak antara dunia Arab dan Amerika

Peta Penjelajahan Pelaut Muslim 

Di Afrika, pada tahun 1300-an, penguasa kerajaan Mali, Abu Bakar mengirimkan armada kapal sebanyak 400 unit guna mengarungi samudera Atlantik. Namun, hanya ada satu kapal yang kembali. Mereka melaporkan telah menemukan tanah di seberang lautan.

Mansa Abu Bakar kemudian mengirimkan kembali ekpedisi Atlantik dengan membawa 2000 armada. Kali ini, tidak ada kapal yang kembali. Meski tidak ada catatan di Mali soal perjalanan itu, ada bukti kedatangan mereka di Amerika, seperti prasasti berbahasa Mandika (Bahasa tradisional Mali).


Prasasti itu juga ditemukan di dekat sungai Misssippi dan Arizona, AS.Prasasti itu bergambar gajah sakit. Gajah itu bukanlah hewan asli Amerika, melainkan sengaja dibawa sebagai alat transportasi.

Era Ustmaniyah

Pada tahun 1929, penemuan yang menakjubkan terjadi di Istanbul, Turki. Sebuah peta yang dibuat pada tahun 1513 oleh kartografer Ustmani, Piri Reis ditemukan. Reis menuliskan peta itu dibuat berdasarkan peta Yunani dan Arab. Ini yang menjadikan sandaran para peneliti mengkaji ulang teori Colombus.

Peta ini jelas menunjukkan pantai timur Amerika Selatan, yang berada di posisi yang benar berkaitan dengan Afrika. Pantai Brasil ditampilkan dalam detail yang luar biasa, dengan banyak sungai akurat ditempatkan pada peta.

Meski Reis menggunakan peta Columbus sebagai sumber, Columbus tidak pernah pergi ke Amerika Selatan, jadi Reis harus mendapatkan bahwa dari peta Muslim sebelumnya bahwa ia digunakan sebagai sumber. Selain itu, peta Reis meliputi Pegunungan Andes, yang bahkan tidak dijelajahi oleh orang Eropa sampai tahun 1520-an, satu dekade penuh setelah gambar peta Reis!

Piri Reis merujuk pembuatan petanya pada sumber-sumber sebelumnya, yang jelas memiliki pemahaman yang sangat baik dari Amerika dan sudah menjelajahi daerah itu sebelum bangsa Eropa. Peta ini mungkin adalah bukti fisik terkuat dari eksplorasi Muslim di Amerika sebelum Columbus

Temuan Colombus

Dari bukti yang sudah ada, sulit mengatakan Colombus pelaut pertama yang tiba di Amerika. Namun, Colombus diuntungkan dengan pengetahuan yang diperoleh umat Islam di Iberia. Terlebih, saat itu juga, imperium Islam pun berakhir.

Tiba di Amerika, Colombus menemukan peninggalan Islam di sana. Seperti pembuatan emas yang prosesnya mirip dengan apa yang dilakukan Muslim di Afrika. Selain itu, Columbus mencatat bahwa kata asli di daerah itu untuk emas adalah isguanin, yang sangat mirip dengan kata Mandinka untuk emas, ghanin, yang mungkin berasal dari kata Arab untuk kekayaan, Ghina '.

Pada 1498, Columbus mencatat melihat sebuah kapal sarat dengan barang-barang, menuju Amerika, untuk berdagang dengan warga pribumi. Columbus juga mencatat dalam buku hariannya bahwa penduduk asli Amerika mengatakan kepadanya banyak pedagang asal Afrika bercirikan kulit hitam datang secara teratur untuk berdagang dengan mereka.

Bahkan Columbus tahu bahwa dia bukan orang pertama yang menyeberangi Samudera Atlantik. (republika/pahamilah)


Pahamilah Kisah Pelaut Muslim Temukan Benua Amerika

Ilustrasi Muslim Afrika saat pertama kali menjejakkan kaki di Benua Amerika. 

Pahamilah.com - Buku sejarah dunia, termasuk di Indonesia menyebut pelaut Christopher Colombus-lah yang tiba pertama kali di benua antah berantah yang kemudian diberinama benua Amerika pada tahun 1492. Colombus berlayar melintasi Atlantik dengan menggunakan kapal kerajaan Spanyol tiba di Karibia, Amerika Tengah.

Selama ratusan tahun, teori ini diterima seluruh dunia. Namun, ada teori lain yang justru menarik minat peneliti mengkaji ulang capaian Colombus. Ini sekaligus menghargai bahwa yang pertama kali tiba di Amerika adalah jiwa-jiwa  pemberani yang menyeberangi Samudera Atlantik dengan perahu yang tidak diakui Columbus.

Faktanya, apa yang diketahui Columbus saat itu adalah dunia itu datar. Padahal filsuf Yunani seperti Aristoteles dan Pythagoras menyatakan bumi itu bulat. Columbus baru mengakui bumi itu bulat ketika peradaban Islam mencapai era keemasannya.

Pada tahun 800-an awal, Khalifah Abbasiyah  al-Ma'mun mengumpulkan para ilmuwan termasuk al-Khawarizmi di Baghdad guna menghitung lingkar bumi.  Mengetahui bahwa bumi itu bulat, dan mengetahui ukurannya ke tingkat yang sangat baik dari akurasi, para pelaut Muslim mengarungi samudera, jauh sebelum Columbus dengan congkak mengklaim dirinya pelaut ulung.

Muslim Spanyol


Sejarawan Muslim dan pakar geografi Abu al-Hasan al-Masudi menulis pada tahun 956, pada tahun 889 pelaut Muslim mulai mengarungi samudera dari al-Andalus menuju barat. Mereka akhirnya menemukan sebuah daratan besar di laut, di mana mereka berdagang dengan penduduk asli, dan kembali ke Eropa.

Al-Masudi mencatat tanah dan menyebutnya "tanah yang tak dikenal". Dua pelayaran lebih dari Muslim Spanyol ke Amerika dicatat dalam sejarah. Satu berada pada tahun 999 dan dipimpin oleh Ibn Farrukh, dari Granada. Yang lainnya, pelayaran ahli geografi al-Idrisi.

Mereka ditawan oleh penduduk asli Amerika di pulau itu selama beberapa hari. Akhirnya, mereka dibebaskan ketika penerjemah yang tinggal di antara penduduk asli yang berbicara bahasa Arab. Merekapun kembali ke al-Andalus dan menceritakan kisah mereka. Bagian penting dari perjalanan ini adalah adanya pembicara bahasa Arab diantara warga pribumi. Ini menunjukkan bahwa pasti ada kontak antara dunia Arab dan Amerika

Peta Penjelajahan Pelaut Muslim 

Di Afrika, pada tahun 1300-an, penguasa kerajaan Mali, Abu Bakar mengirimkan armada kapal sebanyak 400 unit guna mengarungi samudera Atlantik. Namun, hanya ada satu kapal yang kembali. Mereka melaporkan telah menemukan tanah di seberang lautan.

Mansa Abu Bakar kemudian mengirimkan kembali ekpedisi Atlantik dengan membawa 2000 armada. Kali ini, tidak ada kapal yang kembali. Meski tidak ada catatan di Mali soal perjalanan itu, ada bukti kedatangan mereka di Amerika, seperti prasasti berbahasa Mandika (Bahasa tradisional Mali).


Prasasti itu juga ditemukan di dekat sungai Misssippi dan Arizona, AS.Prasasti itu bergambar gajah sakit. Gajah itu bukanlah hewan asli Amerika, melainkan sengaja dibawa sebagai alat transportasi.

Era Ustmaniyah

Pada tahun 1929, penemuan yang menakjubkan terjadi di Istanbul, Turki. Sebuah peta yang dibuat pada tahun 1513 oleh kartografer Ustmani, Piri Reis ditemukan. Reis menuliskan peta itu dibuat berdasarkan peta Yunani dan Arab. Ini yang menjadikan sandaran para peneliti mengkaji ulang teori Colombus.

Peta ini jelas menunjukkan pantai timur Amerika Selatan, yang berada di posisi yang benar berkaitan dengan Afrika. Pantai Brasil ditampilkan dalam detail yang luar biasa, dengan banyak sungai akurat ditempatkan pada peta.

Meski Reis menggunakan peta Columbus sebagai sumber, Columbus tidak pernah pergi ke Amerika Selatan, jadi Reis harus mendapatkan bahwa dari peta Muslim sebelumnya bahwa ia digunakan sebagai sumber. Selain itu, peta Reis meliputi Pegunungan Andes, yang bahkan tidak dijelajahi oleh orang Eropa sampai tahun 1520-an, satu dekade penuh setelah gambar peta Reis!

Piri Reis merujuk pembuatan petanya pada sumber-sumber sebelumnya, yang jelas memiliki pemahaman yang sangat baik dari Amerika dan sudah menjelajahi daerah itu sebelum bangsa Eropa. Peta ini mungkin adalah bukti fisik terkuat dari eksplorasi Muslim di Amerika sebelum Columbus

Temuan Colombus

Dari bukti yang sudah ada, sulit mengatakan Colombus pelaut pertama yang tiba di Amerika. Namun, Colombus diuntungkan dengan pengetahuan yang diperoleh umat Islam di Iberia. Terlebih, saat itu juga, imperium Islam pun berakhir.

Tiba di Amerika, Colombus menemukan peninggalan Islam di sana. Seperti pembuatan emas yang prosesnya mirip dengan apa yang dilakukan Muslim di Afrika. Selain itu, Columbus mencatat bahwa kata asli di daerah itu untuk emas adalah isguanin, yang sangat mirip dengan kata Mandinka untuk emas, ghanin, yang mungkin berasal dari kata Arab untuk kekayaan, Ghina '.

Pada 1498, Columbus mencatat melihat sebuah kapal sarat dengan barang-barang, menuju Amerika, untuk berdagang dengan warga pribumi. Columbus juga mencatat dalam buku hariannya bahwa penduduk asli Amerika mengatakan kepadanya banyak pedagang asal Afrika bercirikan kulit hitam datang secara teratur untuk berdagang dengan mereka.

Bahkan Columbus tahu bahwa dia bukan orang pertama yang menyeberangi Samudera Atlantik. (republika/pahamilah)



Menurut sejarawan Muslim Ahmad Mansur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.

Seperti diketahui, selama ini, dalam buku-buku sejarah, Kapitan Pattimura selalu disebut sebagai seorang Kristen. Inilah salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan Indonesia pada umumnya.

Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Sapura seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

Mansyur Suryanegara berpendapat, bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.

Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku.

Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku “Menemukan Sejarah” (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”

Buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.

Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).

Perjuangan Pattimura

Pattimura bangkit memimpin rakyat Maluku menghadapi ambisi penjajah yang membawa misi Gold (emas/kekayaan), Gospel (penyebaran Injil), and Glory (kebanggaan). Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah Belanda seperti yang dilakukan masa pemerintahan VOC. Selain itu, Belanda menjalankan praktik-praktik monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi, yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Alasan lainnya, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.

Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan. (detikislam/pahamilah)

Pattimura Muslim Yang Taat, Bukan Kristen


Menurut sejarawan Muslim Ahmad Mansur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.

Seperti diketahui, selama ini, dalam buku-buku sejarah, Kapitan Pattimura selalu disebut sebagai seorang Kristen. Inilah salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan Indonesia pada umumnya.

Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Sapura seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

Mansyur Suryanegara berpendapat, bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.

Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku.

Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku “Menemukan Sejarah” (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”

Buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.

Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).

Perjuangan Pattimura

Pattimura bangkit memimpin rakyat Maluku menghadapi ambisi penjajah yang membawa misi Gold (emas/kekayaan), Gospel (penyebaran Injil), and Glory (kebanggaan). Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah Belanda seperti yang dilakukan masa pemerintahan VOC. Selain itu, Belanda menjalankan praktik-praktik monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi, yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Alasan lainnya, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.

Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan. (detikislam/pahamilah)

Membicarakan mengenai bahasa Arab secara historis tidak dapat dilepaskan dari penyebaran agama Islam. Begitu juga sebaliknya, mempelajari Islam harus pula mempelajari bahasa Arab. Walfajri dalam Sejarah Perkembangan Pengajaran Bahasa Arab mengatakan sebagai simbol ekspresi linguistik ajaran Islam, pembelajaran bahasa Arab yang pertama di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah ritual, khususnya ibadah shalat.

Seiring berkembangnya waktu, metode dan pola pembelajaran pertama di atas mulai mengalami pergeseran dan perkembangan ke arah yang lebih bermakna. Pembelajaran bahasa Arab secara verbal tidak cukup, karena Alquran tidak hanya dibaca sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Maka, muncullah pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan mendalami ajaran agama Islam.

Bapak leksikografi Inggris, Penyusun Dictionary of the English Language (1755) Samuel Johnson mengatakan fungsi kamus adalah memelihara kemurnian bahasa. Sedangkan Mukhtar Umar menyebutkan fungsi kamus untuk menerangkan cara menulis kata, terlebih bila huruf alfabet yang ditulis tidak mewakili sepenuhnya suara yang dilafalkan. Selain itu, untuk menentukan fungsi morfologis sebuah kata dan penentuan tekanan saat pelafalan.

A Thoha Husein Almujahid dalam pengantar Kamus Akbar Bahasa Arab (Indonesia-Arab) mengatakan kamus pada dasarnya merupakan sekumpulan kosakata yang dilengkapi makna tertentu sebagai bentuk informasi. Kosakata-kosakata tersebut disusun berdasarkan prinsip-prinsip tertentu sesuai dengan tujuan penyusunannya.

Ditinjau dari sejarahnya, perkembangan karya leksikografi Arab, baik karya leksikografi Arab-Indonesia maupun Indonesia-Arab di Indonesia mengalami beberapa fase. Secara garis besar ada dua fase,, yakni fase awal dan dan fase perkembangan.

Fase awal kamus Arab-Indonesia adalah sebuah fase yang merupakan cikal bakal lahirnya kamus Arab-Indonesia. Dilihat dari karya-karya leksikografi yang tersebar di nusantara, fase ini ternyata lebih banyak didominasi kamus Arab-Melayu. Di antara kamus Arab-Melayu yang sangat populer di Indonesia sebelum munculnya kamus Arab-Indonesia adalah Kamoes ‘Arab-Melajoe yang dinamai dengan Kitab al-Inârah at-Tahzîbiyyah (fi al-Lugatain al-‘Arabiyyah wa al-Malâyawiyyah).

Kamus Arab-Melayu terkenal lainnya yang muncul setelah itu, yakni pada tahun 1927 adalah kamus Idris al-Marbawi. Nama kamus ini diambil dari nama sang penyusunnya, yakni Syekh Mohammad Idris bin Abdur Rauf al-Marbawi. Ia menyusun kamus tersebut saat sedang menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Mesir. Kamus setebal 785 halaman dengan memuat 18 ribu lema ini disusun dengan sistem akar kata.

Sejarah perkamusan di Indonesia terus berkembang dari masa ke masa. Saat ini terdapat banyak ragam karya leksikografi yang berkembang, termasuk kamus eka bahasa, dwibahasa, bahkan multi bahasa. Salah satu kamus yang banyak digunakan para pelajar bahasa Arab di Indonesia adalah Kamus Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Kamus Mahmud Yunus. Mahmud Yunus dilahirkan di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, pada 10 Februari 1899. Beliau merupakan salah seorang pembaharu pengajaran bahasa Arab di Indonesia.

Sebelum menyusun kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus sempat menyusun kamus yang dinamai Kamus al-Zahabi. Kamus itu disusun saat tengah menempuh studi di Al-Azhar Kairo pada 1930. Kamus ini merupakan kamus Arab-Melayu dan bisa dibilang kamus pertama yang dihasilkan putra Indonesia.

Sedangkan kamus Arab-Indonesia baru disusun pada 1972. Penyusunan kamus tersebut sebenarnya dilatarbelakangi tuntutan masyarakat, guru-guru dan para pelajar agar mencetak ulang kamus Zahabi untuk membantu mereka belajar bahasa Arab. Namun, Mahmud keberatan mencetak ulang karena menurutnya banyak kekurangannya.
Maka, dibuatlah kamus Arab-Indonesia yang tidak lagi menggunakan bahasa Melayu. Hampir seluruh pelajar di seluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Ukurannya yang tidak terlalu besar dan ringan memudahkannya dibawa ke mana-mana.
Setelah kamus Mahmud Yunus, muncul Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Kamus tersebut dikarang dan disusun Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor pada 1996. Kamus yang kerap disebut kamus Al Ashri ini dikeluarkan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kamus dibuat untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman yang memasuki era globalisasi.

Isinya menggunakan bahasa modern atau masa kini. Kosa kata kamus ini menghindari penggunaan kosa kata klasik. Kamus ini disusun secara alfabetis dengan huruf latin dan Arab karena bahasa entri yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan Arab. Kata musytaraknya dalam bahasa Indonesia dan Arab dibubuhi tanda koma.

Pembaca tidak perlu mencari akar kata dari lafadz yang dicari. Huruf awal yang akan kita cari menjadi petunjuk langsung dimana lafadz itu berada. Tidak ada tanda hubung (as syarthah al mumhaniyah) untuk kata yang diulang, tetapi menuliskan kata itu secara utuh. Hal ini untuk memudahkan pembaca dan menghindari kebingungan.

Untuk istilah-istilah tertentu disertakan juga bahasa ‘ajamnya secara utuh dalam kurung. Misalnya, musik pembuka dalam kurung ditulis (prelude). Kamus Al-Ashri juga menyertakan gambar untuk kata-kata yang sulit dijelaskan.

Alif maqshurah, alif mamduhah dan hamzah dipersamakan dengan alif biasa sehingga tidak mempengaruhi urutan penulisan. Penggunaan tanda kurung difungsikan untuk memperjelas penggunaan kata, menunjukkan bahasa asli, menunjukkan disiplin ilmu tertentu dan menunjukkan macam (jenis).

Pada 2013, Gema Insani Press menerbitkan Kamus Akbar Bahasa Arab (Indonesia-Arab) karangan Ahmad Thoha Husein Almujahid dan Achmad Atho'illah Fathoni Alkhalil. Saat masih di Tanah Suci, selain menuntut ilmu, Thoha juga sempat mengamati fenomena pelajar Indonesia yang kesulitan menggunakan bahasa Arab secara lisan dan tulisan. Padahal, mereka memiliki latar belakang pendidikan pesantren. (republika|pahamilah)

Pahamilah Sejarah Perkembangan Kamus Bahasa Arab di Indonesia

Membicarakan mengenai bahasa Arab secara historis tidak dapat dilepaskan dari penyebaran agama Islam. Begitu juga sebaliknya, mempelajari Islam harus pula mempelajari bahasa Arab. Walfajri dalam Sejarah Perkembangan Pengajaran Bahasa Arab mengatakan sebagai simbol ekspresi linguistik ajaran Islam, pembelajaran bahasa Arab yang pertama di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah ritual, khususnya ibadah shalat.

Seiring berkembangnya waktu, metode dan pola pembelajaran pertama di atas mulai mengalami pergeseran dan perkembangan ke arah yang lebih bermakna. Pembelajaran bahasa Arab secara verbal tidak cukup, karena Alquran tidak hanya dibaca sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Maka, muncullah pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan mendalami ajaran agama Islam.

Bapak leksikografi Inggris, Penyusun Dictionary of the English Language (1755) Samuel Johnson mengatakan fungsi kamus adalah memelihara kemurnian bahasa. Sedangkan Mukhtar Umar menyebutkan fungsi kamus untuk menerangkan cara menulis kata, terlebih bila huruf alfabet yang ditulis tidak mewakili sepenuhnya suara yang dilafalkan. Selain itu, untuk menentukan fungsi morfologis sebuah kata dan penentuan tekanan saat pelafalan.

A Thoha Husein Almujahid dalam pengantar Kamus Akbar Bahasa Arab (Indonesia-Arab) mengatakan kamus pada dasarnya merupakan sekumpulan kosakata yang dilengkapi makna tertentu sebagai bentuk informasi. Kosakata-kosakata tersebut disusun berdasarkan prinsip-prinsip tertentu sesuai dengan tujuan penyusunannya.

Ditinjau dari sejarahnya, perkembangan karya leksikografi Arab, baik karya leksikografi Arab-Indonesia maupun Indonesia-Arab di Indonesia mengalami beberapa fase. Secara garis besar ada dua fase,, yakni fase awal dan dan fase perkembangan.

Fase awal kamus Arab-Indonesia adalah sebuah fase yang merupakan cikal bakal lahirnya kamus Arab-Indonesia. Dilihat dari karya-karya leksikografi yang tersebar di nusantara, fase ini ternyata lebih banyak didominasi kamus Arab-Melayu. Di antara kamus Arab-Melayu yang sangat populer di Indonesia sebelum munculnya kamus Arab-Indonesia adalah Kamoes ‘Arab-Melajoe yang dinamai dengan Kitab al-Inârah at-Tahzîbiyyah (fi al-Lugatain al-‘Arabiyyah wa al-Malâyawiyyah).

Kamus Arab-Melayu terkenal lainnya yang muncul setelah itu, yakni pada tahun 1927 adalah kamus Idris al-Marbawi. Nama kamus ini diambil dari nama sang penyusunnya, yakni Syekh Mohammad Idris bin Abdur Rauf al-Marbawi. Ia menyusun kamus tersebut saat sedang menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Mesir. Kamus setebal 785 halaman dengan memuat 18 ribu lema ini disusun dengan sistem akar kata.

Sejarah perkamusan di Indonesia terus berkembang dari masa ke masa. Saat ini terdapat banyak ragam karya leksikografi yang berkembang, termasuk kamus eka bahasa, dwibahasa, bahkan multi bahasa. Salah satu kamus yang banyak digunakan para pelajar bahasa Arab di Indonesia adalah Kamus Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Kamus Mahmud Yunus. Mahmud Yunus dilahirkan di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, pada 10 Februari 1899. Beliau merupakan salah seorang pembaharu pengajaran bahasa Arab di Indonesia.

Sebelum menyusun kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus sempat menyusun kamus yang dinamai Kamus al-Zahabi. Kamus itu disusun saat tengah menempuh studi di Al-Azhar Kairo pada 1930. Kamus ini merupakan kamus Arab-Melayu dan bisa dibilang kamus pertama yang dihasilkan putra Indonesia.

Sedangkan kamus Arab-Indonesia baru disusun pada 1972. Penyusunan kamus tersebut sebenarnya dilatarbelakangi tuntutan masyarakat, guru-guru dan para pelajar agar mencetak ulang kamus Zahabi untuk membantu mereka belajar bahasa Arab. Namun, Mahmud keberatan mencetak ulang karena menurutnya banyak kekurangannya.
Maka, dibuatlah kamus Arab-Indonesia yang tidak lagi menggunakan bahasa Melayu. Hampir seluruh pelajar di seluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Ukurannya yang tidak terlalu besar dan ringan memudahkannya dibawa ke mana-mana.
Setelah kamus Mahmud Yunus, muncul Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Kamus tersebut dikarang dan disusun Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor pada 1996. Kamus yang kerap disebut kamus Al Ashri ini dikeluarkan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kamus dibuat untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman yang memasuki era globalisasi.

Isinya menggunakan bahasa modern atau masa kini. Kosa kata kamus ini menghindari penggunaan kosa kata klasik. Kamus ini disusun secara alfabetis dengan huruf latin dan Arab karena bahasa entri yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan Arab. Kata musytaraknya dalam bahasa Indonesia dan Arab dibubuhi tanda koma.

Pembaca tidak perlu mencari akar kata dari lafadz yang dicari. Huruf awal yang akan kita cari menjadi petunjuk langsung dimana lafadz itu berada. Tidak ada tanda hubung (as syarthah al mumhaniyah) untuk kata yang diulang, tetapi menuliskan kata itu secara utuh. Hal ini untuk memudahkan pembaca dan menghindari kebingungan.

Untuk istilah-istilah tertentu disertakan juga bahasa ‘ajamnya secara utuh dalam kurung. Misalnya, musik pembuka dalam kurung ditulis (prelude). Kamus Al-Ashri juga menyertakan gambar untuk kata-kata yang sulit dijelaskan.

Alif maqshurah, alif mamduhah dan hamzah dipersamakan dengan alif biasa sehingga tidak mempengaruhi urutan penulisan. Penggunaan tanda kurung difungsikan untuk memperjelas penggunaan kata, menunjukkan bahasa asli, menunjukkan disiplin ilmu tertentu dan menunjukkan macam (jenis).

Pada 2013, Gema Insani Press menerbitkan Kamus Akbar Bahasa Arab (Indonesia-Arab) karangan Ahmad Thoha Husein Almujahid dan Achmad Atho'illah Fathoni Alkhalil. Saat masih di Tanah Suci, selain menuntut ilmu, Thoha juga sempat mengamati fenomena pelajar Indonesia yang kesulitan menggunakan bahasa Arab secara lisan dan tulisan. Padahal, mereka memiliki latar belakang pendidikan pesantren. (republika|pahamilah)