middle ad
Rebusan yang terbuat dari daun sirih cina, bila dikonsumsi dengan dosis yang tepat dapat membantu menurunkan kadar kolesterol secara efektif. Manfaat ini sagat berguna untuk mengurangi kemungkinan risiko terkena serangan jantung, stroke dan penyakit terkait sistem kardiovaskular lainnya. #herbal​ #segalapenyakit

Keajaiban Sirih Cina - mengatasi arthritis, asam urat, anti kanker

Rebusan yang terbuat dari daun sirih cina, bila dikonsumsi dengan dosis yang tepat dapat membantu menurunkan kadar kolesterol secara efektif. Manfaat ini sagat berguna untuk mengurangi kemungkinan risiko terkena serangan jantung, stroke dan penyakit terkait sistem kardiovaskular lainnya. #herbal​ #segalapenyakit
Sambiloto - Senyawa Andrografolid tersebut bermanfaat dalam mengatasi berbagai penyakit antara lain terhadap sel kanker dan antitumor, antihepatoprotektif, antiinflamasi, antioksidan, antidiabetes (menurunkan gula darah), antimalaria, dan antimikrob (antibakteri, antifungi, dan antiviral).

Keajaiban Sambiloto : Antikanker, Antidiabetes, Antitumor, Antiinflamasi, Antioksidan

Sambiloto - Senyawa Andrografolid tersebut bermanfaat dalam mengatasi berbagai penyakit antara lain terhadap sel kanker dan antitumor, antihepatoprotektif, antiinflamasi, antioksidan, antidiabetes (menurunkan gula darah), antimalaria, dan antimikrob (antibakteri, antifungi, dan antiviral).

Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.

Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).

Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin

[Ayat ke-1]
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).

[Ayat ke-2]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).

Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia  berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).

Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.

[Ayat ke-3]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)

Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara

[Ayat ke-4]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).

Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir

[Ayat ke-5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)

Berikut ini isi surat Hathib:
أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ

Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).

As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).

[Ayat ke-6]
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)

As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).

Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
  1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik

[Ayat ke-7]
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An Nisa: 139)

Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)

Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya

[Ayat ke-8]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya

[Ayat ke-9]
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ


Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah: 81)

Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Imam Mujahid  menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).





 https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html

Hukum Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin


Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.

Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).

Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin

[Ayat ke-1]
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).

[Ayat ke-2]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).

Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia  berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).

Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.

[Ayat ke-3]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)

Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara

[Ayat ke-4]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).

Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir

[Ayat ke-5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)

Berikut ini isi surat Hathib:
أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ

Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).

As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).

[Ayat ke-6]
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)

As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).

Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
  1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik

[Ayat ke-7]
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An Nisa: 139)

Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)

Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya

[Ayat ke-8]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).

Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya

[Ayat ke-9]
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ


Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah: 81)

Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Imam Mujahid  menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).





 https://muslim.or.id/15094-menjadikan-orang-kafir-sebagai-auliya.html


HANYA MUNAFIQ YANG MENGANGKAT KAFIR JADI PEMIMPINNYA
(Kajian tafsir an-Nisa:144-147)
A. Teks Ayat dan Tarjamahnya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا * إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا* إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا * مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآَمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui…. (Qs.4:144-147)

B. Kaitan Ayat
1. Ayat sebelumnya mengungkap kebusukan orang munafiq, baik hati, ucap maupun budiperangainya. Ayat 144 melarang kaum muslimin untuk mengangkat kafir sebagai pemimpinnya. Keterkaitan antara keduanya mengisyaratkan bahwa orang munafiq itu sebenarnya termasuk kaum kafirin yang tidak pantas dijadikan pemimpin.

2. Ayat 142-143 mengungkap keburukan sifat munafiq sebagai penipu, pemalas ibadah, pengecut, dan pendiriannya tidak ajeg. Ayat 145 mengungkapkan nasib orang munafiq di akhirat yang bakal dijerumuskan ke neraka paling menghinakan serta tidak akan mendapat pertolongan.

3. Ayat 145 menegaskan tentang nasib munafiq yang bakal tersiksa di akhirat dan terhina. Ayat 146 mengecualikan yang bertaubat. Dengan demikian orang munafiq juga diberi kesempatan untuk bertaubat. Jika mereka bertaubat dan memperbaiki diri, maka akan selamat dari siksa neraka.

C. Tinjauan Historis
Menurut Ibn Adil, secara historis ayat ini berkaitan dengan orang Anshar yang masih tetap bersahabat erat degan kaum yahudi bani quraidlah. Yahudi bani quraidlah itu banyak yang menjadi munafiq. Ayat ini melarang mu`min mengangkat munafiq jadi pemimpinnya atau shahabat dekat. Di antara mereka ada yang bertanya kepada Rasul SAW tentang siapa yang pantas diangkat jadi pemimpin atau shahabat dekat kaum Anshar, maka Rasul menjawab “al-Muhajirin”.[1]

D. Tafsir Kalimat
1). يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ   

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. 

Perkataan أَوْلِيَاءَ merupakan bentuk jama dari ولِي mencakup wali wilayah atau wali walayah. Pangkal ayat ini menyeru agar mu`min jangan sampai mengangkat orang kafir menjadi wali dan meninggalkan sesama mu`min. Larangan dalam ayat ini mencakup wali wilayah yaitu pemimpin struktural seperti kepala Negara atau kepala daerah atau pun wali walayah pemimpin non struktural seperti dalam berorganisasi kemasyarakatan. Dalam ayat lain tegaskan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang yang beriman janganlah kamu mengangkat yahudi dan nasrani sebagai pemimpin. Mereka satu sama lain saling memimpin. Barang siapa di antaramu mengangkat mereka jadi pemimpin, maka sesungguhnya menjadi bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk bagi orang yang zhalim. Qs.5:51

Ayat melarang keras orang mu`min mengangkat yahudi atau nashrani jadi pemimpinnya. Biarkanlah mereka saling memimpin satu sama lain. Jangan dibiarkan orang kafir memimpin mu`min. Konsekwensi memilih pemimpin dari kalangan kafir berdasar ayat ini antara lain (1) dikelompokkan pada orang kafir, (2) jauh dari petunjuk Allah, dan (3) divonis sebagai orang yang zhalim. Zhalim adalah menempatkan sesuatu tidak sesuai proporsinya. Orang mu`min seharusnya jadi pemimpin, bukan dipimpin orang lain, namun menurut al-Maraghi yang dimaksud أَوْلِيَاءَ pada ayat ini utamanya adalah penolong atau pelindung. Tegasnya orang mu`min tidak boleh minta pertolongan atau perlindungan dari kalangan orang kafir ataupun munafiq.

Perkataan مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ merupakan penjelasan larangan pengangkatan kafir jadi pemimpin, penolong, atau pelindung. Jadi yang dilarang keras itu mengangkat kafir jadi wali dengan mengabaikan orang mu`min. tegasnya bila seorang mu`min mengangkat petugas atau karyawan dari kafir zhimmi (menjadi bawahannya) maka tidak termasuk yang dilarang oleh ayat ini.

2). أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا  
Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?

Dengan nada bertanya ayat ini, apakah dengan mengangkat orang kafir jadi pemimpin ingin memudahkan lasan bagi Allah untuk mendatangkan siksa. Berarti orang yang mengkakat kafir jadi pemimpinnya sama dengan manantang siksaan Allah SWT. Perkataan سُلْطَانًا مُبِينًا pada ayat ini mengandung arti alasan yang nyata atau yang nampak. Apakah orang mu`min pantas menantang siksaan Allah dengan mengangkat orang kafir jadi pemimpinnya? Bila mereka mengangkatnya utamanya beralasan mencari kekuatan, maka berarti muncul alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksanya.

3). إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا  
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.

Dikaitkan dengan ayat sebelumnya, ayat ini mengandung iyarat hukum bahwa orang yang mengangkat kafir jadi pempinnya termasuk golongan munafiq. Hanya orang munafiq yang mencari alasan mengangkat kafir jadi pemimpinnya. Orang mu`min tidak akan mengangkat pemimpin selain dari mu`min sendiri. Sedangkan derajat munafiq akan ditempatkan di tingkan paling rendah. Perkataan الدَّرْكِ atau الدَّرَك mengandung arti tingkatan rendah merupakan lawan kata dari الدَّرجَة derajat. Jadi orang munafiq berada pada derajat terendah di neraka sebagai makhluk terhina. Ayat ini mengisyaratkan bahwa neraka itu terdiri berbagai tingkatan, yang ditempati oleh penghuninya sesuai dengan tingkatan kesalahan yang mereka lakukan di dunia.

Orang munafiq menempati tingkat terendah di neraka yang siksaanya sudah barang tentu yang terberat. Orang munafiq sepantasnya ditempatkan di neraka paling berat siksaannya, karena selama di dunia mereka sudah melakukan kejahatan yang nyata mencampur adukan antara yang benar dan yang salah. Mereka juga sudah melakukan penipuan baik pada Rasul maupun pada orang mu`min. Betapa banyak kerugian yang dialami orang mu`min akibat ulah orang-orang munafiq.

Apabila orang kafir biasanya jelas dan terang-terangan menampakkan kekufuran, sehingga dapat dipantau oleh orang mu`min. Sedangkan munafiq menyembunyikan kekufuran, sehingga sulit dideteksi kekufurannya, yang mengakibatkan jebakan-jebakan. Tidak sedikit persahabatan orang mu`min menjadi pecah akibat ulah munafiqin. Ayat ini juga merupakan bimbingan bagi orang mu`min agar tidak terjebak oleh munafiqin. Kemudian ayat ini dikunci dengan kalimat وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا yang berarti orang yang telah terjerumus pada neraka yang paling rendah seperti munafiq, maka tidak akan mendaptkan pertolongan, atau pembebasan dari siksaan.

4). إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ  
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman 

Namun demikian siksaan yang berat yang diancamkan itu, tidak berlaku bagi orang yang sudah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat. Orang yang sudah terlanjur berbuat salah asalkan segera  bertaubat, dengan benar dan memenuhi syarat, akan ditempatkan bersama orang mu`min.

Syarat taubat yang diterima Allah berdasar ayat ini adalah: (1) تَابُوا kembali ke jalan yang benar disertai penyesalan atas perbuatan yang dilakukan, (2) وَأَصْلَحُواyaitu ishlah yang mengandung arti memperbaiki diri dan beramal shalih.

Kesalihan mengandung arti perbaikan diri dari perbuatan yang buruk serta melakukan berbagai amal yang mendatangkan kemaslahatan bagi sesama makhluq. (3) وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ berpegang teguh pada tali Allah. Mengikatkan dirinya atau komitmen menjalankan ajaran Allah SWT yang tersirat serta tersurat dalam al-qur`an dan sunnah Nabi SAW. Kalau ishlah lebih cenderung pada kemaslahatan soaial, maka i’tisham lebih ditekankan pada kemaslahatan ritual.

Syarat taubat yang benar mesti seimbang antar kemaslahatan ritual hubungannya dengan Allah dan kemasalahatan sosial yang hubungannya sesama manusia. (4) وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِmengikhlashkan keagamaannya hanya untuk Allah.

 Taubat yang benar bukan karena dilatar belakangi oleh kepentingan manusia, tapi benar-benar mesti didasari yang murni karena Allah SWT. Orang yang bertaubat seperti itu, maka فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ akan ditempatkan bersama orang mu`min. Tegasnya yang taubat dari kemunafiqan akan dibebaskan dari ancaman, maka derajatnya pun tidak terhina lagi.

5). وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا 
dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.

Apabila sudah masuk pada kelompok mu`min maka pahalanya pun sama dengan orang mu`min lainnya. Allah akan menganugerahkan pahala sempurna bagi orang mu`min dengan kebahagiaan yang paripurna yaitu surga yang ni’matnya tiada terhingga. Rasul SAW dalam hadits Qudsi mengutip firman Allah SWT sebagai berikut: قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ allah SWT berfiman”Aku sediakan untuk hamba-hambaku yang shalih keni’matan yang tiada terhinga yang tidak pernah terbayang oleh mata melihat, belum pernah terdengan telinga sebe;umnya dan tidak pernah terbetik di hati manusia merasakannya, bacalah kalau anda mau { فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ } seorang pun tidak pernah tahu apa yang disembunyikanuntuk mereka yaitu bermacam-macam ni’mat yang menyedapkan mata memandang sebagai balasan atas apa yang mereka telah kerjakan (Qs.32:17).[2]

6). مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآَمَنْتُمْ  
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? 

Dengan nada bertanya ayat ini menolak anggapan bahwa Allah menyiksa hambanya karena kejam atau dendam. Allah SWT tidak akan menyiksa hamba yang mau bersyukur atas ni’amat yang telah Ia anugerahkan. Pada dasarnya Allah SWT telah menurahkan berbagai keni’matan, baik berupa inderawi, aqli, ataupun hati bahkan segala fasilitas kehidupan di dunia. Namun sayangnya manusia banyak yang tidak mau bersyukur dan tidak mau beriman.

Jika mereka itu beriman dan bersyukur atas ni’mat, maka akan bebas dari skisaan. Jadi jelas siksaan itu akan menimpa orang yang berbuat jahat. Orang yang tidak jahat tidak akan tertimpa siksaan. Manusia tidak dibebani tugas macam-macam selain untuk mensyukuri ni’mat yang telah diberikan, dan menjauhi pelanggaran. Allah SWT pada dasarnya memberikan ni’mat kapad siapapun, menyediakan surga bagi siapapun yang mau mengikuti aturan. Hanya orang yang melanggar aturan dan tidak mau berterima kasih yang bakal menerima siksaan.

7). وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا 
Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.

Sifat Allah itu selalu berterima kasih pada orang yang mau beramal, walau apa yang mereka kerjakan itu pada dasarnya bernilai sedikit di banding jasa yang dianugerahkan. Jadi mensyukuri ni’mat itu sebenarnya bukan balas jasa, karena tidak sebanding dengan yang telah Allah anugerahkan pada hamba-Nya. Syukur ni’mat diperintahkan Allah, hanya untuk menambahkan keni’matan yang telah diberikan.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Ingatlah tatkala Tuhan kalian mengumumkan jika kalioan bersyukur, maka AKU tambah keni’matan. Jika kalian kufur, maka ingat siksaanKu amat pedih. Qs.14:7

Jadi jelas fungsi syukur itu sebenarnya untuk meningkatkan keni’matan. Allah SWT tidak menuntut balas jasa, karena keni’matan yang dianugerahkan tidak akan terbalas. Allah menuntut hamba-Nya untuk bersyukur agar mereka meraih keni’amatan yang lebih banyak lagi. Namun jika mereka tidak mau bersyukur, maka pantas mendapatkan siksa akibat kejahatan mereka. Pada dasarnya Allah SWT adalah pemberi ni’mat. Tidak ada yang disiksa tanpa dosa dan kejahatan. Oleh karena itu kalau mau tetap mendapat ni’mat tetaplah taat. Kalau tidak mau tersiksa, jangan berbuat jahat.

E. Beberapa Ibrah
1). Orang mu`min dilarang mengangkat orang kafir jadi pempimpin, penolong atau walinya dengan mengabaikan sesama mu`min.

2). Orang yang mengangkat kafir jadi pemimpinnya, maka termasuk golongan munafiq, yang terjerumus pada derajat terendah.

3). Munafiq merupakan penjahat yang amat merugikan baik pada dirinya mapun orang lain. Oleh karena itu siksaannya pun setimpal dengan kejahatannya yang akan dimasukkan ke neraka paling menghinakan.

4). Dosa apa pun termasuk kemunafikan, bakal diampuni kalau ditaubati, asalkan taubatnya dilakukan secara benar dan tepat.

5). Taubat yang bakal menghapus dosa syaratnya antara lain (1) kembali ke jalan yang benar dengan penuh pnyesalan atas apa yang telah diperbuat, (2) memperbaiki diri dengan meningkatkan amal shalih, (3) kemitmen berpegang pada aturan Allah dan Rasul-Nya, (4) mengikhaskan diri pada Ilahi dalam keagamaannya,

6). Orang yang bertaubat secara benar, dosanya akan diampuni, amalnya mendatangkan pahala yang berlipat ganda keni’matan yang tiada terhingga.

7). Allah SWT tidak pernah menyiksa hamba-Nya kecuali yang berbuat dosa, karena Dia pengasih dan penyayang.

8). Allah SWT Maha bersyukur atas amal baik hamba-Nya. Iman dan syukur hamba bukan sebagai balas jasa pada Allah, karena keni’matan yang dianugerahkan pada mereka tidak sebanding dengan amal manusia. Fungsi syukur adalah untuk menambah keni’matan.

9). Bahagialah orang yang beriman dan bersyukur, karena bukan hanya tetap dalam ni’mat tapi juga meraih keni’matan yang terus bertambah, baik di dunia kini maupun di akhirat kelak.

Berikut Video guna melengkapi kajian diatas;
Buya Yahya | Haram Mengangkat Kafir Jadi Pemimpin
Haram Mengangkat Kafir Jadi Pemimpin
Buya Yahya | Jangan Memilih Pemimpin Dari Orang Yang Tidak Beriman, Sebuah ke-MUNAFIK-an jika ternyata begitu leganya (seorang muslim) memilih pemimpin yang bukan ahli iman (kafir).# Iman Islam itu tiada ternilai harganya, jangan terpeleset dari keimananmu hanya demi kepentingan dunia.
Dikirim oleh Pahamilah.com pada 16 Maret 2016


[1] Tafsir al-Lubab, V h.406
[2] shahih al-Bukhari, no.3005

http://saifuddinasm.com/2013/10/01/al-nisa144-147-hanya-munfaiq-yang-mengangkat-kafir-jadi-pemimpinnya/

Hanya Munafiq Yang Mengangkat kafir Jadi Pemimpinnya


HANYA MUNAFIQ YANG MENGANGKAT KAFIR JADI PEMIMPINNYA
(Kajian tafsir an-Nisa:144-147)
A. Teks Ayat dan Tarjamahnya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا * إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا* إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا * مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآَمَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui…. (Qs.4:144-147)

B. Kaitan Ayat
1. Ayat sebelumnya mengungkap kebusukan orang munafiq, baik hati, ucap maupun budiperangainya. Ayat 144 melarang kaum muslimin untuk mengangkat kafir sebagai pemimpinnya. Keterkaitan antara keduanya mengisyaratkan bahwa orang munafiq itu sebenarnya termasuk kaum kafirin yang tidak pantas dijadikan pemimpin.

2. Ayat 142-143 mengungkap keburukan sifat munafiq sebagai penipu, pemalas ibadah, pengecut, dan pendiriannya tidak ajeg. Ayat 145 mengungkapkan nasib orang munafiq di akhirat yang bakal dijerumuskan ke neraka paling menghinakan serta tidak akan mendapat pertolongan.

3. Ayat 145 menegaskan tentang nasib munafiq yang bakal tersiksa di akhirat dan terhina. Ayat 146 mengecualikan yang bertaubat. Dengan demikian orang munafiq juga diberi kesempatan untuk bertaubat. Jika mereka bertaubat dan memperbaiki diri, maka akan selamat dari siksa neraka.

C. Tinjauan Historis
Menurut Ibn Adil, secara historis ayat ini berkaitan dengan orang Anshar yang masih tetap bersahabat erat degan kaum yahudi bani quraidlah. Yahudi bani quraidlah itu banyak yang menjadi munafiq. Ayat ini melarang mu`min mengangkat munafiq jadi pemimpinnya atau shahabat dekat. Di antara mereka ada yang bertanya kepada Rasul SAW tentang siapa yang pantas diangkat jadi pemimpin atau shahabat dekat kaum Anshar, maka Rasul menjawab “al-Muhajirin”.[1]

D. Tafsir Kalimat
1). يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ   

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. 

Perkataan أَوْلِيَاءَ merupakan bentuk jama dari ولِي mencakup wali wilayah atau wali walayah. Pangkal ayat ini menyeru agar mu`min jangan sampai mengangkat orang kafir menjadi wali dan meninggalkan sesama mu`min. Larangan dalam ayat ini mencakup wali wilayah yaitu pemimpin struktural seperti kepala Negara atau kepala daerah atau pun wali walayah pemimpin non struktural seperti dalam berorganisasi kemasyarakatan. Dalam ayat lain tegaskan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang yang beriman janganlah kamu mengangkat yahudi dan nasrani sebagai pemimpin. Mereka satu sama lain saling memimpin. Barang siapa di antaramu mengangkat mereka jadi pemimpin, maka sesungguhnya menjadi bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk bagi orang yang zhalim. Qs.5:51

Ayat melarang keras orang mu`min mengangkat yahudi atau nashrani jadi pemimpinnya. Biarkanlah mereka saling memimpin satu sama lain. Jangan dibiarkan orang kafir memimpin mu`min. Konsekwensi memilih pemimpin dari kalangan kafir berdasar ayat ini antara lain (1) dikelompokkan pada orang kafir, (2) jauh dari petunjuk Allah, dan (3) divonis sebagai orang yang zhalim. Zhalim adalah menempatkan sesuatu tidak sesuai proporsinya. Orang mu`min seharusnya jadi pemimpin, bukan dipimpin orang lain, namun menurut al-Maraghi yang dimaksud أَوْلِيَاءَ pada ayat ini utamanya adalah penolong atau pelindung. Tegasnya orang mu`min tidak boleh minta pertolongan atau perlindungan dari kalangan orang kafir ataupun munafiq.

Perkataan مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ merupakan penjelasan larangan pengangkatan kafir jadi pemimpin, penolong, atau pelindung. Jadi yang dilarang keras itu mengangkat kafir jadi wali dengan mengabaikan orang mu`min. tegasnya bila seorang mu`min mengangkat petugas atau karyawan dari kafir zhimmi (menjadi bawahannya) maka tidak termasuk yang dilarang oleh ayat ini.

2). أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا  
Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?

Dengan nada bertanya ayat ini, apakah dengan mengangkat orang kafir jadi pemimpin ingin memudahkan lasan bagi Allah untuk mendatangkan siksa. Berarti orang yang mengkakat kafir jadi pemimpinnya sama dengan manantang siksaan Allah SWT. Perkataan سُلْطَانًا مُبِينًا pada ayat ini mengandung arti alasan yang nyata atau yang nampak. Apakah orang mu`min pantas menantang siksaan Allah dengan mengangkat orang kafir jadi pemimpinnya? Bila mereka mengangkatnya utamanya beralasan mencari kekuatan, maka berarti muncul alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksanya.

3). إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا  
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.

Dikaitkan dengan ayat sebelumnya, ayat ini mengandung iyarat hukum bahwa orang yang mengangkat kafir jadi pempinnya termasuk golongan munafiq. Hanya orang munafiq yang mencari alasan mengangkat kafir jadi pemimpinnya. Orang mu`min tidak akan mengangkat pemimpin selain dari mu`min sendiri. Sedangkan derajat munafiq akan ditempatkan di tingkan paling rendah. Perkataan الدَّرْكِ atau الدَّرَك mengandung arti tingkatan rendah merupakan lawan kata dari الدَّرجَة derajat. Jadi orang munafiq berada pada derajat terendah di neraka sebagai makhluk terhina. Ayat ini mengisyaratkan bahwa neraka itu terdiri berbagai tingkatan, yang ditempati oleh penghuninya sesuai dengan tingkatan kesalahan yang mereka lakukan di dunia.

Orang munafiq menempati tingkat terendah di neraka yang siksaanya sudah barang tentu yang terberat. Orang munafiq sepantasnya ditempatkan di neraka paling berat siksaannya, karena selama di dunia mereka sudah melakukan kejahatan yang nyata mencampur adukan antara yang benar dan yang salah. Mereka juga sudah melakukan penipuan baik pada Rasul maupun pada orang mu`min. Betapa banyak kerugian yang dialami orang mu`min akibat ulah orang-orang munafiq.

Apabila orang kafir biasanya jelas dan terang-terangan menampakkan kekufuran, sehingga dapat dipantau oleh orang mu`min. Sedangkan munafiq menyembunyikan kekufuran, sehingga sulit dideteksi kekufurannya, yang mengakibatkan jebakan-jebakan. Tidak sedikit persahabatan orang mu`min menjadi pecah akibat ulah munafiqin. Ayat ini juga merupakan bimbingan bagi orang mu`min agar tidak terjebak oleh munafiqin. Kemudian ayat ini dikunci dengan kalimat وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا yang berarti orang yang telah terjerumus pada neraka yang paling rendah seperti munafiq, maka tidak akan mendaptkan pertolongan, atau pembebasan dari siksaan.

4). إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ  
Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman 

Namun demikian siksaan yang berat yang diancamkan itu, tidak berlaku bagi orang yang sudah bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat. Orang yang sudah terlanjur berbuat salah asalkan segera  bertaubat, dengan benar dan memenuhi syarat, akan ditempatkan bersama orang mu`min.

Syarat taubat yang diterima Allah berdasar ayat ini adalah: (1) تَابُوا kembali ke jalan yang benar disertai penyesalan atas perbuatan yang dilakukan, (2) وَأَصْلَحُواyaitu ishlah yang mengandung arti memperbaiki diri dan beramal shalih.

Kesalihan mengandung arti perbaikan diri dari perbuatan yang buruk serta melakukan berbagai amal yang mendatangkan kemaslahatan bagi sesama makhluq. (3) وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ berpegang teguh pada tali Allah. Mengikatkan dirinya atau komitmen menjalankan ajaran Allah SWT yang tersirat serta tersurat dalam al-qur`an dan sunnah Nabi SAW. Kalau ishlah lebih cenderung pada kemaslahatan soaial, maka i’tisham lebih ditekankan pada kemaslahatan ritual.

Syarat taubat yang benar mesti seimbang antar kemaslahatan ritual hubungannya dengan Allah dan kemasalahatan sosial yang hubungannya sesama manusia. (4) وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِmengikhlashkan keagamaannya hanya untuk Allah.

 Taubat yang benar bukan karena dilatar belakangi oleh kepentingan manusia, tapi benar-benar mesti didasari yang murni karena Allah SWT. Orang yang bertaubat seperti itu, maka فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ akan ditempatkan bersama orang mu`min. Tegasnya yang taubat dari kemunafiqan akan dibebaskan dari ancaman, maka derajatnya pun tidak terhina lagi.

5). وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا 
dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.

Apabila sudah masuk pada kelompok mu`min maka pahalanya pun sama dengan orang mu`min lainnya. Allah akan menganugerahkan pahala sempurna bagi orang mu`min dengan kebahagiaan yang paripurna yaitu surga yang ni’matnya tiada terhingga. Rasul SAW dalam hadits Qudsi mengutip firman Allah SWT sebagai berikut: قَالَ اللَّهُ أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ allah SWT berfiman”Aku sediakan untuk hamba-hambaku yang shalih keni’matan yang tiada terhinga yang tidak pernah terbayang oleh mata melihat, belum pernah terdengan telinga sebe;umnya dan tidak pernah terbetik di hati manusia merasakannya, bacalah kalau anda mau { فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ } seorang pun tidak pernah tahu apa yang disembunyikanuntuk mereka yaitu bermacam-macam ni’mat yang menyedapkan mata memandang sebagai balasan atas apa yang mereka telah kerjakan (Qs.32:17).[2]

6). مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآَمَنْتُمْ  
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? 

Dengan nada bertanya ayat ini menolak anggapan bahwa Allah menyiksa hambanya karena kejam atau dendam. Allah SWT tidak akan menyiksa hamba yang mau bersyukur atas ni’amat yang telah Ia anugerahkan. Pada dasarnya Allah SWT telah menurahkan berbagai keni’matan, baik berupa inderawi, aqli, ataupun hati bahkan segala fasilitas kehidupan di dunia. Namun sayangnya manusia banyak yang tidak mau bersyukur dan tidak mau beriman.

Jika mereka itu beriman dan bersyukur atas ni’mat, maka akan bebas dari skisaan. Jadi jelas siksaan itu akan menimpa orang yang berbuat jahat. Orang yang tidak jahat tidak akan tertimpa siksaan. Manusia tidak dibebani tugas macam-macam selain untuk mensyukuri ni’mat yang telah diberikan, dan menjauhi pelanggaran. Allah SWT pada dasarnya memberikan ni’mat kapad siapapun, menyediakan surga bagi siapapun yang mau mengikuti aturan. Hanya orang yang melanggar aturan dan tidak mau berterima kasih yang bakal menerima siksaan.

7). وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا 
Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.

Sifat Allah itu selalu berterima kasih pada orang yang mau beramal, walau apa yang mereka kerjakan itu pada dasarnya bernilai sedikit di banding jasa yang dianugerahkan. Jadi mensyukuri ni’mat itu sebenarnya bukan balas jasa, karena tidak sebanding dengan yang telah Allah anugerahkan pada hamba-Nya. Syukur ni’mat diperintahkan Allah, hanya untuk menambahkan keni’matan yang telah diberikan.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Ingatlah tatkala Tuhan kalian mengumumkan jika kalioan bersyukur, maka AKU tambah keni’matan. Jika kalian kufur, maka ingat siksaanKu amat pedih. Qs.14:7

Jadi jelas fungsi syukur itu sebenarnya untuk meningkatkan keni’matan. Allah SWT tidak menuntut balas jasa, karena keni’matan yang dianugerahkan tidak akan terbalas. Allah menuntut hamba-Nya untuk bersyukur agar mereka meraih keni’amatan yang lebih banyak lagi. Namun jika mereka tidak mau bersyukur, maka pantas mendapatkan siksa akibat kejahatan mereka. Pada dasarnya Allah SWT adalah pemberi ni’mat. Tidak ada yang disiksa tanpa dosa dan kejahatan. Oleh karena itu kalau mau tetap mendapat ni’mat tetaplah taat. Kalau tidak mau tersiksa, jangan berbuat jahat.

E. Beberapa Ibrah
1). Orang mu`min dilarang mengangkat orang kafir jadi pempimpin, penolong atau walinya dengan mengabaikan sesama mu`min.

2). Orang yang mengangkat kafir jadi pemimpinnya, maka termasuk golongan munafiq, yang terjerumus pada derajat terendah.

3). Munafiq merupakan penjahat yang amat merugikan baik pada dirinya mapun orang lain. Oleh karena itu siksaannya pun setimpal dengan kejahatannya yang akan dimasukkan ke neraka paling menghinakan.

4). Dosa apa pun termasuk kemunafikan, bakal diampuni kalau ditaubati, asalkan taubatnya dilakukan secara benar dan tepat.

5). Taubat yang bakal menghapus dosa syaratnya antara lain (1) kembali ke jalan yang benar dengan penuh pnyesalan atas apa yang telah diperbuat, (2) memperbaiki diri dengan meningkatkan amal shalih, (3) kemitmen berpegang pada aturan Allah dan Rasul-Nya, (4) mengikhaskan diri pada Ilahi dalam keagamaannya,

6). Orang yang bertaubat secara benar, dosanya akan diampuni, amalnya mendatangkan pahala yang berlipat ganda keni’matan yang tiada terhingga.

7). Allah SWT tidak pernah menyiksa hamba-Nya kecuali yang berbuat dosa, karena Dia pengasih dan penyayang.

8). Allah SWT Maha bersyukur atas amal baik hamba-Nya. Iman dan syukur hamba bukan sebagai balas jasa pada Allah, karena keni’matan yang dianugerahkan pada mereka tidak sebanding dengan amal manusia. Fungsi syukur adalah untuk menambah keni’matan.

9). Bahagialah orang yang beriman dan bersyukur, karena bukan hanya tetap dalam ni’mat tapi juga meraih keni’matan yang terus bertambah, baik di dunia kini maupun di akhirat kelak.

Berikut Video guna melengkapi kajian diatas;
Buya Yahya | Haram Mengangkat Kafir Jadi Pemimpin
Haram Mengangkat Kafir Jadi Pemimpin
Buya Yahya | Jangan Memilih Pemimpin Dari Orang Yang Tidak Beriman, Sebuah ke-MUNAFIK-an jika ternyata begitu leganya (seorang muslim) memilih pemimpin yang bukan ahli iman (kafir).# Iman Islam itu tiada ternilai harganya, jangan terpeleset dari keimananmu hanya demi kepentingan dunia.
Dikirim oleh Pahamilah.com pada 16 Maret 2016


[1] Tafsir al-Lubab, V h.406
[2] shahih al-Bukhari, no.3005

http://saifuddinasm.com/2013/10/01/al-nisa144-147-hanya-munfaiq-yang-mengangkat-kafir-jadi-pemimpinnya/