middle ad
Tampilkan postingan dengan label Inspiratif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspiratif. Tampilkan semua postingan
 Seorang guru sedang mengajar di kelas. (ilustrasi)

Pahamilah.com - Guru-guru di SDN 3 Tajursindang, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat patut berbangga hati. Salah seorang dari mereka menjadi guru inspiratif se-wilayah Kota Simping. Guru tersebut adalah Nana Herdiana (47), warga Kampung Pasirsereuh, Desa Tajursindang, Kecamatan Sukatani.

Apa yang inspiratif dari Guru Nana? Selama 26 tahun, Guru Nana selalu berjalan kaki pulang pergi dari rumah ke sekolahnya yang berjarak tempuh 20 kilometer. Bukan jalan beraspal, tapi melewati belantara dan sungai. "Sejak jadi guru honor 1989 lalu, saya selalu berjalan kaki ke sekolah," ujar Nana ditemui Republika, Rabu (20/5).

Menurut Nana, kebiasaannya berjalan kaki ke sekolah bukan tanpa alasan. Tapi dia ingin hidup sehat. Dengan berjalan kaki, Nana yakin badannya sehat oleh keringat yang bercucuran.

Karena itu, meskipun di rumahnya ada sepeda dan motor, Nana tetap istikomah untuk berjalan kaki. Diajak murid atau tetangga untuk membonceng motor saja, pria ini tetap menolaknya.

Nana tetap berjalan kaki dari rumahnya yang ada di seberang Waduk Jatiluhur. Sebelum berjalan, pria yang punya enam adik ini harus mendayung perahu ke pesisir waduk. Setelah menyebarang, dia harus menempuh 10 kilometer untuk mencapai sekolah.

Setiap hari, Nana selalu membawa golok dan kayu panjang untuk perisai pelindungnya. Sebab, jalan yang dilalui Nana itu merupakan hutan dengan semak belukar. Dia lebih menakutkan dipatuk ular daripada ancaman manusia jahat. "Golok ini juga, bermanfaat untuk membabat rumput ilalang yang menghalangi jalan," ujar pria yang diangkat jadi guru PNS sejak 1991 ini.

Selama menjadi guru, Nana tak pernah punya hutang ke bank. Bahkan, Surat Keputusan (SK) pengangkatannya juga tak pernah digadaikan ke bank, seperti yang kerap dilakukan pejabat. Padahal, saat itu Nana harus membiayai enam adiknya yang sekolah dan kuliah. "Tapi sekarang tinggal ngurus anak-anak," katanya sumringah.

Pemerintah Kabupaten Purwakarta menganggap Nana telah memberikan inspirasi bagi banyak pihak. Karena itu, pemerintah akan memberikan reward pada Guru Nana Herdiana.

"Karena perjuangannya untuk dunia pendidikan, Guru Nana berhak mendapat reward," kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.

Dedi mengatakan, bantuan yang akan diterima Nana sebesar Rp 15 juta. Bantuan tersebut diharapkan bisa jadi modal peternakan. Misalkan, Guru Nana membeli kambing ataupun sapi. Supaya, bantuan itu lebih bermanfaat lagi. "Salut, saya apresiasi dengan pola pikir Guru Nana," ujar Dedi. (republika/pahamilah)

26 Tahun, Guru Nana Berjalan 20 Kilometer Membelah Hutan

 Seorang guru sedang mengajar di kelas. (ilustrasi)

Pahamilah.com - Guru-guru di SDN 3 Tajursindang, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat patut berbangga hati. Salah seorang dari mereka menjadi guru inspiratif se-wilayah Kota Simping. Guru tersebut adalah Nana Herdiana (47), warga Kampung Pasirsereuh, Desa Tajursindang, Kecamatan Sukatani.

Apa yang inspiratif dari Guru Nana? Selama 26 tahun, Guru Nana selalu berjalan kaki pulang pergi dari rumah ke sekolahnya yang berjarak tempuh 20 kilometer. Bukan jalan beraspal, tapi melewati belantara dan sungai. "Sejak jadi guru honor 1989 lalu, saya selalu berjalan kaki ke sekolah," ujar Nana ditemui Republika, Rabu (20/5).

Menurut Nana, kebiasaannya berjalan kaki ke sekolah bukan tanpa alasan. Tapi dia ingin hidup sehat. Dengan berjalan kaki, Nana yakin badannya sehat oleh keringat yang bercucuran.

Karena itu, meskipun di rumahnya ada sepeda dan motor, Nana tetap istikomah untuk berjalan kaki. Diajak murid atau tetangga untuk membonceng motor saja, pria ini tetap menolaknya.

Nana tetap berjalan kaki dari rumahnya yang ada di seberang Waduk Jatiluhur. Sebelum berjalan, pria yang punya enam adik ini harus mendayung perahu ke pesisir waduk. Setelah menyebarang, dia harus menempuh 10 kilometer untuk mencapai sekolah.

Setiap hari, Nana selalu membawa golok dan kayu panjang untuk perisai pelindungnya. Sebab, jalan yang dilalui Nana itu merupakan hutan dengan semak belukar. Dia lebih menakutkan dipatuk ular daripada ancaman manusia jahat. "Golok ini juga, bermanfaat untuk membabat rumput ilalang yang menghalangi jalan," ujar pria yang diangkat jadi guru PNS sejak 1991 ini.

Selama menjadi guru, Nana tak pernah punya hutang ke bank. Bahkan, Surat Keputusan (SK) pengangkatannya juga tak pernah digadaikan ke bank, seperti yang kerap dilakukan pejabat. Padahal, saat itu Nana harus membiayai enam adiknya yang sekolah dan kuliah. "Tapi sekarang tinggal ngurus anak-anak," katanya sumringah.

Pemerintah Kabupaten Purwakarta menganggap Nana telah memberikan inspirasi bagi banyak pihak. Karena itu, pemerintah akan memberikan reward pada Guru Nana Herdiana.

"Karena perjuangannya untuk dunia pendidikan, Guru Nana berhak mendapat reward," kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.

Dedi mengatakan, bantuan yang akan diterima Nana sebesar Rp 15 juta. Bantuan tersebut diharapkan bisa jadi modal peternakan. Misalkan, Guru Nana membeli kambing ataupun sapi. Supaya, bantuan itu lebih bermanfaat lagi. "Salut, saya apresiasi dengan pola pikir Guru Nana," ujar Dedi. (republika/pahamilah)
Abdul Syukur, 65, yang rela menambal jalan berlubang seorang diri setiap malam. FOTO: JAWA POS

Pahamilah.com - Sosok Pak Dul sedang booming. Pria bernama lengkap Abdul Syukur, 65, itu mendapat apresiasi dari sebagian warga Surabaya atas tindakannya menambal jalan berlubang secara mandiri. Itu bermula dari tulisan di Facebook yang menyebar secara viral di berbagai media sosial.

Pria yang juga kerap dipanggil Pak Tuwek (Pak Tua) itu rela menambal jalan berlubang yang setiap hari dilaluinya sebagai tukang becak. Biasanya dia mangkal di depan ITC Surabaya.

Usia, tampaknya, tidak membuat dia rapuh. Setelah menarik becak, pukul 21.00 biasanya dia mulai melakukan aktivitas mulia itu. Jalan berlubang yang ditambalnya adalah yang menurut dia bisa mencelakakan orang. Kadang juga atas permintaan warga sekitar. "Jalan terakhir yang saya tambal Jalan Tembaan, Gembong, Gembong Tebasan, dan Tambak Rejo," ungkap pria asli Surabaya tersebut.

Sebuah lubang biasanya dia kerjakan beberapa hari. Berbekal palu berukuran sedang, Pak Dul memukuli batu-batu besar yang diangkutnya menjadi pecahan yang lebih kecil. Selain batu, lubang itu ditutup dengan bongkahan aspal sisa jalan. Dia menambal jalan mulai pukul 21.00 hingga menjelang subuh. Untuk sekali angkut, dia bisa membawa 2-3 kuintal batu dan aspal di atas becaknya.

Pak Dul yang bekerja sebagai tukang becak sejak 1968 itu mengatakan, dirinya sering mendapat ucapan terima kasih dari warga. Tapi, tidak jarang ada yang menganggapnya sebagai orang gila. "Kon iku wong gendeng. Lapo ngono iku? Oleh duit ta?" kata Pak Dul, menirukan beberapa orang yang mengejeknya karena menambal lubang di jalan tanpa diberi upah oleh siapa pun.

Tapi, Pak Dul tidak peduli. Dia tetap menambal lubang jalan yang membahayakan. "Pokoknya, kalau naik becak mak yut-yut dan bikin oleng atau mau jatuh, embong itu harus ditambal," ujar pria yang hampir seluruh rambutnya beruban tersebut. 

Selain memikirkan becaknya, pak tua itu juga memikirkan keselamatan pengendara yang lain. Menurutnnya, jalan rusak biasanya akan membuat motor itu terjatuh. “Nah kalau jatuh dan disambar mobil di belakang bagaimana?" ujar pria warga Tambak Sigaran Barat Gang II No 27 itu. (jpnn/pahamilah)

Pak Tua Ini Tiap Malam Hingga Subuh Menambal Jalan Sendirian

Abdul Syukur, 65, yang rela menambal jalan berlubang seorang diri setiap malam. FOTO: JAWA POS

Pahamilah.com - Sosok Pak Dul sedang booming. Pria bernama lengkap Abdul Syukur, 65, itu mendapat apresiasi dari sebagian warga Surabaya atas tindakannya menambal jalan berlubang secara mandiri. Itu bermula dari tulisan di Facebook yang menyebar secara viral di berbagai media sosial.

Pria yang juga kerap dipanggil Pak Tuwek (Pak Tua) itu rela menambal jalan berlubang yang setiap hari dilaluinya sebagai tukang becak. Biasanya dia mangkal di depan ITC Surabaya.

Usia, tampaknya, tidak membuat dia rapuh. Setelah menarik becak, pukul 21.00 biasanya dia mulai melakukan aktivitas mulia itu. Jalan berlubang yang ditambalnya adalah yang menurut dia bisa mencelakakan orang. Kadang juga atas permintaan warga sekitar. "Jalan terakhir yang saya tambal Jalan Tembaan, Gembong, Gembong Tebasan, dan Tambak Rejo," ungkap pria asli Surabaya tersebut.

Sebuah lubang biasanya dia kerjakan beberapa hari. Berbekal palu berukuran sedang, Pak Dul memukuli batu-batu besar yang diangkutnya menjadi pecahan yang lebih kecil. Selain batu, lubang itu ditutup dengan bongkahan aspal sisa jalan. Dia menambal jalan mulai pukul 21.00 hingga menjelang subuh. Untuk sekali angkut, dia bisa membawa 2-3 kuintal batu dan aspal di atas becaknya.

Pak Dul yang bekerja sebagai tukang becak sejak 1968 itu mengatakan, dirinya sering mendapat ucapan terima kasih dari warga. Tapi, tidak jarang ada yang menganggapnya sebagai orang gila. "Kon iku wong gendeng. Lapo ngono iku? Oleh duit ta?" kata Pak Dul, menirukan beberapa orang yang mengejeknya karena menambal lubang di jalan tanpa diberi upah oleh siapa pun.

Tapi, Pak Dul tidak peduli. Dia tetap menambal lubang jalan yang membahayakan. "Pokoknya, kalau naik becak mak yut-yut dan bikin oleng atau mau jatuh, embong itu harus ditambal," ujar pria yang hampir seluruh rambutnya beruban tersebut. 

Selain memikirkan becaknya, pak tua itu juga memikirkan keselamatan pengendara yang lain. Menurutnnya, jalan rusak biasanya akan membuat motor itu terjatuh. “Nah kalau jatuh dan disambar mobil di belakang bagaimana?" ujar pria warga Tambak Sigaran Barat Gang II No 27 itu. (jpnn/pahamilah)
Ilustrasi: Polisi

Pahamilah.com - Menjadi aparat negara tak menjamin kehidupan serba cukup. Brigadir Wawan Mulyana sudah satu tahun menjalani dua profesi ; Anggota Sabhara Polsek Tarogong, Garut dan tukang bakso. Profesi tukang bakso digeluti lantaran penghasilan sebagai polisi tak cukup menutupi biaya berobat anaknya Rema Akelia.

Putri semata wayangnya itu divonis kelenjar tiroid yang tak berfungsi baik sejak usianya masih tiga tahun. Rema terpaksa harus bolak-balik berobat dengan biaya tak sedikit.

"Untuk biaya satu bulan berobat saja bisa menghabiskan Rp 3 juta, maka habis uang saya," kata Wawan kepada merdeka.com, Rabu (4/6).

Rema jika tidak diobati akan mengganggu pertumbuhan syaraf. Sehingga ketergantungan obat masih harus terus dilakukan. "Kita bingung berobat ke sana-sini semuanya mahal, belum lagi untuk biaya hidup," jelasnya.
 


Brigadir Wawan (teguhjuwarno.com)

Wawan sudah satu tahun membantu istrinya jualan bakso. "Mau gimana lagi saya jualan untuk memenuhi kebutuhan hidup," imbuhnya.

"Dulu sempat dibawa ke Rumah Sakit Polri tapi karena alatnya belum canggih jadi memang harus diobati juga yang obatnya memang mahal," jelasnya.

Jaminan kesehatan dari pemerintah yang digulirkan lewat BPJS menurut dia, tidaklah seperti yang diharapkan. "BPJS itu buat yang ringan saja, batuk dan flu, kalau seperti anak saya katanya enggak bisa di-back up," terangnya.

Di rumahnya Wawan mengaku membuka ragam makanan seperti bakso, sate hingga nasi goreng. Jika dinas tidak memakan waktu sampai larut malam ia berjualan bakso di sekitar pemancingan dekat rumahnya.

"Saya jualan di sekitar pemancingan. Karena pemancingan itu memang punya adik saya, di situ suka ramai," jelasnya.

Harapan dia tak muluk-muluk. Melalui usaha dan doa yang ada semoga anaknya bisa sembuh. "Mohon doanya saja agar usaha saya lancar dan anak saya bisa sehat lagi," ungkapnya.. (merdeka/pahamilah)


Kisah Brigadir Wawan, Jual Bakso Demi Kesembuhan Anak

Ilustrasi: Polisi

Pahamilah.com - Menjadi aparat negara tak menjamin kehidupan serba cukup. Brigadir Wawan Mulyana sudah satu tahun menjalani dua profesi ; Anggota Sabhara Polsek Tarogong, Garut dan tukang bakso. Profesi tukang bakso digeluti lantaran penghasilan sebagai polisi tak cukup menutupi biaya berobat anaknya Rema Akelia.

Putri semata wayangnya itu divonis kelenjar tiroid yang tak berfungsi baik sejak usianya masih tiga tahun. Rema terpaksa harus bolak-balik berobat dengan biaya tak sedikit.

"Untuk biaya satu bulan berobat saja bisa menghabiskan Rp 3 juta, maka habis uang saya," kata Wawan kepada merdeka.com, Rabu (4/6).

Rema jika tidak diobati akan mengganggu pertumbuhan syaraf. Sehingga ketergantungan obat masih harus terus dilakukan. "Kita bingung berobat ke sana-sini semuanya mahal, belum lagi untuk biaya hidup," jelasnya.
 


Brigadir Wawan (teguhjuwarno.com)

Wawan sudah satu tahun membantu istrinya jualan bakso. "Mau gimana lagi saya jualan untuk memenuhi kebutuhan hidup," imbuhnya.

"Dulu sempat dibawa ke Rumah Sakit Polri tapi karena alatnya belum canggih jadi memang harus diobati juga yang obatnya memang mahal," jelasnya.

Jaminan kesehatan dari pemerintah yang digulirkan lewat BPJS menurut dia, tidaklah seperti yang diharapkan. "BPJS itu buat yang ringan saja, batuk dan flu, kalau seperti anak saya katanya enggak bisa di-back up," terangnya.

Di rumahnya Wawan mengaku membuka ragam makanan seperti bakso, sate hingga nasi goreng. Jika dinas tidak memakan waktu sampai larut malam ia berjualan bakso di sekitar pemancingan dekat rumahnya.

"Saya jualan di sekitar pemancingan. Karena pemancingan itu memang punya adik saya, di situ suka ramai," jelasnya.

Harapan dia tak muluk-muluk. Melalui usaha dan doa yang ada semoga anaknya bisa sembuh. "Mohon doanya saja agar usaha saya lancar dan anak saya bisa sehat lagi," ungkapnya.. (merdeka/pahamilah)



Pahamilah.com - Kejujuran sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten tidaklah sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah kejujuran yang sangat menyentuh hati, dua orang anak kecil menjajakan tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti belajar banyak tentang arti sebuah kejujuran.

Dua manusia super

Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, “Terima kasih Oom!” Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.

Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta.

“Terima kasih ya mbak … semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

“Maaf, nggak ada kembaliannya … ada uang pas nggak mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja!”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”

Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”

“Eeh … nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om, biar ditukar dulu … sebentar.”

“Nggak apa apa, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan … jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah … saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !”, saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.

Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..”. Ia memberi saya delapan pack tissue. “Buat apa?”, saya terbengong “Habis teman saya lama sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu”. Walau dikembalikan ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. “Terima kasih Om!”..mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana ..?” suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin …….”.

Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang tissue.

Dua anak kecil yang bahkan belum balig, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil. (kisahinspiratifislam.wordpress/pahamilah)


Pahamilah Kisah Kejujuran Bocah Penjual Tisu


Pahamilah.com - Kejujuran sebuah kata yang sangat sederhana tapi sekarang menjadi barang langka dan sangat mahal harganya. Memang ketika kita merasa senang dan segalanya berjalan lancar, mengamalkan kejujuran secara konsisten tidaklah sulit, tetapi pada saat sebuah nilai kejujuran yang kita pegang berbenturan dengan perasaan, kita mulai tergoncang apakah tetap memegangnya, atau kita biarkan tergilas oleh keadaan. Sebuah kisah kejujuran yang sangat menyentuh hati, dua orang anak kecil menjajakan tisu di pinggir jalan. Membuat kita mesti belajar banyak tentang arti sebuah kejujuran.

Dua manusia super

Siang ini, tanpa sengaja, saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira-kira delapan tahun menjajakan tissue dengan wadah kantong plastik hitam. Saat menyeberang untuk makan siang mereka menawari saya tissue di ujung jembatan, dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan, “Terima kasih Oom!” Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.

Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain di atas jembatan, menyapa seorang laki laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang penuh keceriaan, laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tempat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan kearah dalam kantong itu, dua pertiga terisi tissue putih berbalut plastik transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli seorang wanita, senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang menggayuti langit Jakarta.

“Terima kasih ya mbak … semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka, tak lama si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

“Maaf, nggak ada kembaliannya … ada uang pas nggak mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng, lalu dengan sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

“Oom boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!”, tukas saya. Lalu tak lama si wanita berkata “Ambil saja kembaliannya, dik!” sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.

Anak ini terkesiap, ia menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya kegenggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi. Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang “Sudah buat kamu saja, nggak apa..apa ambil saja!”, namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan !”

Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka. Uang sepuluh ribu digenggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar “Om, bisa tunggu ya, saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”

“Eeh … nggak usah … nggak usah … biar aja … nih!” saya kasih uang itu ke si kecil, ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek. Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om, biar ditukar dulu … sebentar.”

“Nggak apa apa, itu buat kalian” lanjut saya. “Jangan … jangan oom, itu uang oom sama mbak yang tadi juga” anak itu bersikeras. “Sudah … saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas !”, saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat.

Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari ke arah saya. “Ini deh om, kalau kelamaan, maaf ..”. Ia memberi saya delapan pack tissue. “Buat apa?”, saya terbengong “Habis teman saya lama sih oom, maaf, tukar pakai tissue aja dulu”. Walau dikembalikan ia tetap menolak.

Saya tatap wajahnya, perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya. Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah. “Terima kasih Om!”..mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana ..?” suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin …….”.

Percakapan itu sayup sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan. Tuhan, hari ini saya belajar dari dua manusia super, kekuatan kepribadian mereka menaklukan Jakarta membuat saya trenyuh, mereka berbalut baju lusuh tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra, mereka tahu hak mereka dan hak orang lain, mereka berusaha tak meminta minta dengan berdagang tissue.

Dua anak kecil yang bahkan belum balig, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana. Apa yang bukan milik kita, pantang untuk kita ambil. (kisahinspiratifislam.wordpress/pahamilah)