middle ad
Tampilkan postingan dengan label Nikah Beda Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nikah Beda Agama. Tampilkan semua postingan
Jimly Assiddiqie 

Pahamilah.com - Pakar hukum tata negara, Jimly Asshidiqqie menilai, pasal pernikahan pasangan beda agama di UU Perkawinan sudah jelas.

Secara implisit, katanya, UU Perkwainan mendidik warga negara sebaiknya menikah dengan pasangan yang keyakinannya sama. Tujuannya, untuk menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis.

"Karena yang mulia dari satu keluarga itu jika satu agama. Kalau mau pindah agama boleh, tapi intinya satu keluarga dijalankan satu agama untuk menjamin keharmonisan," ujar Jimly di Jakarta, Selasa (9/9).

Menurutnya, pernikahan antara pasangan beda agama sah saja. Selama tidak dilangsungkan di Indonesia.

Karenanya, kata dia, jika ada kelompok yang tidak setuju dengan larangan pernikahan beda agama, maka sebaiknya keluar ke negara lain. Lantaran pernikahan merupakan pilihan hidup.

Jika tetap ingin menjalin kehidupan keluarga dengan pasangan beda agama, kata dia, maka orang yang mengambil keputusan tersebut harus mengupayakan di tempat yang melegalkan.

"Pernikahan beda agama kan legal. Tapi bukan di sini. Daripada ribet, gak masalah ke Singapura saja," ungkapnya.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, tidak elok jika memaksakan orang lain untuk mengikuti pola pikir tentang suatu hal. Jika memandang pernikahan antara pasangan beda agama bisa dilegalkan, maka harus mencari jalan keluar sendiri.

"Tidak usah memaksa orang yang tidak sepaham untuk mengikuti cara berpikiran yang sama. Nah, kalau ada yang tidak setuju (nikah beda agama), dia cari jalan keluar di tempat lain," kata Jimly.. (republika/pahamilah)

Jimly: Pernikahan Beda Agama kan Legal, Tapi...

Jimly Assiddiqie 

Pahamilah.com - Pakar hukum tata negara, Jimly Asshidiqqie menilai, pasal pernikahan pasangan beda agama di UU Perkawinan sudah jelas.

Secara implisit, katanya, UU Perkwainan mendidik warga negara sebaiknya menikah dengan pasangan yang keyakinannya sama. Tujuannya, untuk menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis.

"Karena yang mulia dari satu keluarga itu jika satu agama. Kalau mau pindah agama boleh, tapi intinya satu keluarga dijalankan satu agama untuk menjamin keharmonisan," ujar Jimly di Jakarta, Selasa (9/9).

Menurutnya, pernikahan antara pasangan beda agama sah saja. Selama tidak dilangsungkan di Indonesia.

Karenanya, kata dia, jika ada kelompok yang tidak setuju dengan larangan pernikahan beda agama, maka sebaiknya keluar ke negara lain. Lantaran pernikahan merupakan pilihan hidup.

Jika tetap ingin menjalin kehidupan keluarga dengan pasangan beda agama, kata dia, maka orang yang mengambil keputusan tersebut harus mengupayakan di tempat yang melegalkan.

"Pernikahan beda agama kan legal. Tapi bukan di sini. Daripada ribet, gak masalah ke Singapura saja," ungkapnya.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, tidak elok jika memaksakan orang lain untuk mengikuti pola pikir tentang suatu hal. Jika memandang pernikahan antara pasangan beda agama bisa dilegalkan, maka harus mencari jalan keluar sendiri.

"Tidak usah memaksa orang yang tidak sepaham untuk mengikuti cara berpikiran yang sama. Nah, kalau ada yang tidak setuju (nikah beda agama), dia cari jalan keluar di tempat lain," kata Jimly.. (republika/pahamilah)

Slamet Effendy Yusuf 

Pahamilah.com - Majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) sepakat memberikan kewenangan penuh kepada masing-masing agama untuk membuat ketentuan perkawinan sesuai ajara agamanya, termasuk ketentuan perkawinan beda agama.

"Kami sepakat untuk menyerahkan sepenuhnya pemberian izin atau larangan terkait perkawinan beda agama kepada masing-masing agama sesuai ajarannya," kata Slamet Effendy Yusuf, perwakilan MUI dalam pengumuman Kesepakatan Bersama di kantor MUI, Jumat.

Ia mengatakan bahwa kesepakatan tersebut didasarkan kepada kesadaran bahwa perkawinan adalah peristiwa yang sakral, karenanya harus dilakukan sesuai ajaran agama masing-masing individu yang bersangkutan.

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kewajiban negara muncul setelah agama memberikan status sah kepada sebuah perkawinan.

"Negara wajib mencatat perkawinan yang disahkan oleh agama sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974," katanya.

Ia juga mengatakan MATP tidak secara langsung menyatakan sikap menolak atau menerima sebuah pernikahan beda agama, karena sikap tersebut menjadi hak setiap agama untuk menentukan.

MATP yang terdiri dari MUI (majelis Islam), PGI (majelis Kristen Protestan), KWI (majelis Katolik), PHDI (majelis Hindu), WALUBI (majelis Buddha) dan MATAKIN (majelisjk Kong Hu Cu) mengadakan pertemuan di kantor MUI untuk membahas mengenai pernikahan beda agama pada Jumat. (republika/pahamilah)

Agama Dijadikan Penentu Pernikahan Beda Iman

Slamet Effendy Yusuf 

Pahamilah.com - Majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) sepakat memberikan kewenangan penuh kepada masing-masing agama untuk membuat ketentuan perkawinan sesuai ajara agamanya, termasuk ketentuan perkawinan beda agama.

"Kami sepakat untuk menyerahkan sepenuhnya pemberian izin atau larangan terkait perkawinan beda agama kepada masing-masing agama sesuai ajarannya," kata Slamet Effendy Yusuf, perwakilan MUI dalam pengumuman Kesepakatan Bersama di kantor MUI, Jumat.

Ia mengatakan bahwa kesepakatan tersebut didasarkan kepada kesadaran bahwa perkawinan adalah peristiwa yang sakral, karenanya harus dilakukan sesuai ajaran agama masing-masing individu yang bersangkutan.

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kewajiban negara muncul setelah agama memberikan status sah kepada sebuah perkawinan.

"Negara wajib mencatat perkawinan yang disahkan oleh agama sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974," katanya.

Ia juga mengatakan MATP tidak secara langsung menyatakan sikap menolak atau menerima sebuah pernikahan beda agama, karena sikap tersebut menjadi hak setiap agama untuk menentukan.

MATP yang terdiri dari MUI (majelis Islam), PGI (majelis Kristen Protestan), KWI (majelis Katolik), PHDI (majelis Hindu), WALUBI (majelis Buddha) dan MATAKIN (majelisjk Kong Hu Cu) mengadakan pertemuan di kantor MUI untuk membahas mengenai pernikahan beda agama pada Jumat. (republika/pahamilah)

Slamet Effendy Yusuf 

Pahamilah.com - Majelis-majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) menyatakan pernikahan beda agama harus disesuaikan menurut keyakinan dan ajaran agama masing-masing.

"Kami telah membuat kesepakatan di dalam MATP terkait perkawinan beda agama, jadi tidak usah dipermasalahan lagi," ucap Perwakilan MUI Slamet Effendy Yusuf di Jakarta, Jumat (12/9)

Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan rapat pada Jumat (12/9) dengan para majelis agama diantaranya MUI, PGI, PHDI, WALUBI dan MATAKIN.

Untuk diketahui rapat MATP itu dihadiri oleh para pengurus majelis-majelis agama yang ada di Indonesia dan dihadiri13 orang yang guna mengikuti rapat itu.

Rapat MATP berlangsung di Kantor Majelis Ulama Indonesia dimana ada enam orang dari MUI, satu orang dari PGI KWI dan MATAKIN serta dua orang dari WALUBI dan PHDI.

Usai rapat tersebut pihak MATP langsung menggelar konfrensi Pers di Aula Kantor MUI yang berada di Jakarta untuk mengumumkan hasil kesepakatan terhadap kawin beda agama.

Hasil rapat tersebut para majelis membuat tiga kesepakatan yaitu perkawinan adalah peristiwa yang sakral oleh sebab itu pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Bukan itu saja, negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU No 1 Tahun 1974 dan kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicatatkan dicatatan sipil sesuai UU No 23 Tahun 2006 jo UU No 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.

"Semuanya sudah jelas dan pada dasarnya disesuaikan menurut agama masing-masing," ucap pria yang suka menggunakan kaca mata itu. (republika/pahamilah)

Jalan Tengah Pernikahan Agama, Pemimpin Agama Tegaskan Sesuai Keyakinan

Slamet Effendy Yusuf 

Pahamilah.com - Majelis-majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) menyatakan pernikahan beda agama harus disesuaikan menurut keyakinan dan ajaran agama masing-masing.

"Kami telah membuat kesepakatan di dalam MATP terkait perkawinan beda agama, jadi tidak usah dipermasalahan lagi," ucap Perwakilan MUI Slamet Effendy Yusuf di Jakarta, Jumat (12/9)

Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan rapat pada Jumat (12/9) dengan para majelis agama diantaranya MUI, PGI, PHDI, WALUBI dan MATAKIN.

Untuk diketahui rapat MATP itu dihadiri oleh para pengurus majelis-majelis agama yang ada di Indonesia dan dihadiri13 orang yang guna mengikuti rapat itu.

Rapat MATP berlangsung di Kantor Majelis Ulama Indonesia dimana ada enam orang dari MUI, satu orang dari PGI KWI dan MATAKIN serta dua orang dari WALUBI dan PHDI.

Usai rapat tersebut pihak MATP langsung menggelar konfrensi Pers di Aula Kantor MUI yang berada di Jakarta untuk mengumumkan hasil kesepakatan terhadap kawin beda agama.

Hasil rapat tersebut para majelis membuat tiga kesepakatan yaitu perkawinan adalah peristiwa yang sakral oleh sebab itu pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Bukan itu saja, negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU No 1 Tahun 1974 dan kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicatatkan dicatatan sipil sesuai UU No 23 Tahun 2006 jo UU No 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.

"Semuanya sudah jelas dan pada dasarnya disesuaikan menurut agama masing-masing," ucap pria yang suka menggunakan kaca mata itu. (republika/pahamilah)

Pernikahan

Oleh Ustad Abu Zaid

Pahamilah.com - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Anbar Jayadi bersama empat orang temannya menggugat UU Pernikahan ke MK. Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.”

"Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya; akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas," kata Anbar di Gedung MK, lebih dari sepekan lalu.

Sementara itu, peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, menyatakan sangat mendukung upaya itu. Ia menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini, menurut dia, sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.

Ketua Moderate Muslim Society, Zuhairi Misrawi, mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan dari negara. Komnas HAM, sebagaimana bisa kita baca via media massa, juga mendukung upaya uji materi itu untuk melegalkan pernikahan beda agama.

Semua itu menjadi isyarat yang jelas bahwa ada banyak kalangan yang terus menyasar Islam dan syariahnya. Tentu kita masih ingat kasus counter legal draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satunya adalah tuntutan pelegalan nikah beda agama ini. Apa yang terjadi ini makin menegaskan, bahwa sekularisme dan isu HAM tak lebih dari alat untuk menyerang Islam.

Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinaan lain akan diminta dilegalkan.

Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya: Pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan dan sebagainya. Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu lebar dan legal bagi upaya permurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya pemurtadan itu justru akan makin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara. Tentu semua itu amat berbahaya bagi umat.

Cinta Buta

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan
sesungguhnya adalah “cinta buta”. Cinta, yang merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya. Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut agar menikahi siapa saja dibolehkan.

Itu artinya, cinta atau naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri seksual itu.

Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa cinta itu mereka biarkan tanpa kendali. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta. Karena mereka tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai Muslim, mereka pun menabrak rambu-rambu yang dilarang. Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.
Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim seharusnya menjadikan halal-haram sebagai standar.

Agama Mengharamkan

Berkaitan dengan nikah beda agama, Allah SWT berfirman:
... Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya... (QS al-Baqarah [2]: 221).

Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysr f Ushl at-Tafsr (hlm. 293-297) menjelaskan, bahwa larangan ayat ini dikaitkan dengan qarinah yang menunjukkan larangan itu bersifat tegas (jazim) yaitu: ulika yad’na ila an-nr (mereka mengajak ke neraka). Jadi, ayat ini mengharamkan perkawinan pria Mukmin dengan wanita kafir dan perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir. Hanya saja, keumuman itu di-takhshish oleh firman Allah SWT:


Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kalian dan makanan kalian pun halal bagi mereka. (Halal pula menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di kalangan para wanita yang beriman dan para wanita yang menjaga kehormatan di kalangan orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).

Dengan demikian, perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria Mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) baik Budha, Hindu, Konghucu, aliran kepercayaan dan lainnya juga haram.

Adapun perkawinan pria Mukmin dengan wanita Ahlul Kitab (Nasrani atau Yahudi) adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshant yaitu ‘afft (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).

Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afft itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.

Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk menikahi wanita Mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanuta Ahlul Kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia, “Ceraikan dia!”
Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?” Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita Mukmin.”

Konsekuensi Nikah Beda Agama

Nikah beda agama dan pernikahan yang dilakukan dengan akad yang menyalahi syariah Islam seperti di catatan sipil, secara syar’i, adalah batil. Meski mungkin sah secara administratif dan dilegalkan negara, dalam pandangan Islam pernikahan itu tetap batil, tidak sah.

Ada beberapa konsekuensi dari pernikahan batil semacam ini. Pertama: hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina. Kedua: pertalian nasab bapak biologis dengan anaknya terputus. Bapak biologisnya tidak diakui sebagai walinya karena nasabnya terputus. Ketiga: hukum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada. Keempat: antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris.

Kelima: jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya yang merupakan hasil nikah beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah. Dampaknya, akad pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami-istrinya pun tidak sah.

Karena semua itu, jika gugatan ini sampai dikabulkan MK, dan bahkan nikah beda agama yang diharamkan oleh Islam itu dilegalkan, maka hanya ada satu kata, tunggulah kehancuran. (inilah/pahamilah)


Nikah Beda Agama: Banyak Konsekuensi Negatif

Pernikahan

Oleh Ustad Abu Zaid

Pahamilah.com - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Anbar Jayadi bersama empat orang temannya menggugat UU Pernikahan ke MK. Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.”

"Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya; akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas," kata Anbar di Gedung MK, lebih dari sepekan lalu.

Sementara itu, peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, menyatakan sangat mendukung upaya itu. Ia menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini, menurut dia, sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.

Ketua Moderate Muslim Society, Zuhairi Misrawi, mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan dari negara. Komnas HAM, sebagaimana bisa kita baca via media massa, juga mendukung upaya uji materi itu untuk melegalkan pernikahan beda agama.

Semua itu menjadi isyarat yang jelas bahwa ada banyak kalangan yang terus menyasar Islam dan syariahnya. Tentu kita masih ingat kasus counter legal draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satunya adalah tuntutan pelegalan nikah beda agama ini. Apa yang terjadi ini makin menegaskan, bahwa sekularisme dan isu HAM tak lebih dari alat untuk menyerang Islam.

Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinaan lain akan diminta dilegalkan.

Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya: Pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan dan sebagainya. Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu lebar dan legal bagi upaya permurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya pemurtadan itu justru akan makin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara. Tentu semua itu amat berbahaya bagi umat.

Cinta Buta

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan
sesungguhnya adalah “cinta buta”. Cinta, yang merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya. Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut agar menikahi siapa saja dibolehkan.

Itu artinya, cinta atau naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri seksual itu.

Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa cinta itu mereka biarkan tanpa kendali. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta. Karena mereka tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai Muslim, mereka pun menabrak rambu-rambu yang dilarang. Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.
Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim seharusnya menjadikan halal-haram sebagai standar.

Agama Mengharamkan

Berkaitan dengan nikah beda agama, Allah SWT berfirman:
... Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya... (QS al-Baqarah [2]: 221).

Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysr f Ushl at-Tafsr (hlm. 293-297) menjelaskan, bahwa larangan ayat ini dikaitkan dengan qarinah yang menunjukkan larangan itu bersifat tegas (jazim) yaitu: ulika yad’na ila an-nr (mereka mengajak ke neraka). Jadi, ayat ini mengharamkan perkawinan pria Mukmin dengan wanita kafir dan perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir. Hanya saja, keumuman itu di-takhshish oleh firman Allah SWT:


Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kalian dan makanan kalian pun halal bagi mereka. (Halal pula menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di kalangan para wanita yang beriman dan para wanita yang menjaga kehormatan di kalangan orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).

Dengan demikian, perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria Mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) baik Budha, Hindu, Konghucu, aliran kepercayaan dan lainnya juga haram.

Adapun perkawinan pria Mukmin dengan wanita Ahlul Kitab (Nasrani atau Yahudi) adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshant yaitu ‘afft (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).

Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afft itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.

Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk menikahi wanita Mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanuta Ahlul Kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia, “Ceraikan dia!”
Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?” Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita Mukmin.”

Konsekuensi Nikah Beda Agama

Nikah beda agama dan pernikahan yang dilakukan dengan akad yang menyalahi syariah Islam seperti di catatan sipil, secara syar’i, adalah batil. Meski mungkin sah secara administratif dan dilegalkan negara, dalam pandangan Islam pernikahan itu tetap batil, tidak sah.

Ada beberapa konsekuensi dari pernikahan batil semacam ini. Pertama: hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina. Kedua: pertalian nasab bapak biologis dengan anaknya terputus. Bapak biologisnya tidak diakui sebagai walinya karena nasabnya terputus. Ketiga: hukum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada. Keempat: antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris.

Kelima: jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya yang merupakan hasil nikah beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah. Dampaknya, akad pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami-istrinya pun tidak sah.

Karena semua itu, jika gugatan ini sampai dikabulkan MK, dan bahkan nikah beda agama yang diharamkan oleh Islam itu dilegalkan, maka hanya ada satu kata, tunggulah kehancuran. (inilah/pahamilah)