Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Tuan dan Puan masih ingat nama besar
ini? Berawal sebagai wartawan, kemudian tampil sebagai salah seorang
pemikir Muslim besar abad ke-20 dan ahli tafsir Alquran kenamaan dengan "the Message of the Qur’an"
(1980) sebagai magnum opus (karya agung)-nya. Setelah menempuh
perjalanan spiritual yang panjang dan berliku di beberapa negeri Arab,
akhirnya pada 1926 Asad melepaskan jangkar agama aslinya untuk kemudian
menjadi Muslim.
Dialah Muhammad Asad (2 Juli 1900-23 Februari
1992) atau nama aslinya Leopold Weiss, lahir sebagai anak dari keluarga
Yahudi di Lemberg, Galicia, yang pada saat itu menjadi bagian dari
Imperium Austria-Hungaria, sekarang menjadi Kota Lviv, Ukraina. Sebagai
keturunan ulama Yahudi, Asad dalam usia 13 tahun telah fasih berbahasa
Hebrew dan Aramia, di samping bahasa Jerman, bahasa ibunya.
Di
usia 20-an, Asad telah mampu membaca dan menulis dalam bahasa Inggris,
Prancis, Persia, dan Arab. Pergaulannya dengan masyarakat Badui selama
bertahun-tahun telah membuat Asad yang batinnya memang sangat peka lebih
mengenal akar bahasa Arab dalam nuansa aslinya. Kehidupan Arab desa
yang lugu dan autentik telah meluluhkan batin Asad untuk mencintai yang
serba Arab, kemudian mencintai Islam, sebuah agama yang dipelajarinya
dengan tekun selama sekian dasawarsa.
Sampai wafat pada 23
Februari 1992 dan dimakamkan di pekuburan Islam Granada, Spanyol, Asad
selama 66 tahun telah mengabdikan energi spiritual dan intelektualnya
untuk kepentingan Islam di lingkungan sebuah abad yang curiga, bahkan
memusuhi, agama Langit pungkasan ini. Granada dulunya adalah sebuah
provinsi di bawah kekuasaan bangsa Moor (Muslim) di Andalusia.
Pernah
menjadi duta besar Pakistan di PBB, tetapi jauh sebelumnya Asad telah
diminta Muhammad Iqbal (1877-1938) untuk turut merancang bangunan sebuah
negara baru di lingkungan anak benua India yang kemudian dinamakan
Pakistan itu. Asad dengan penuh semangat telah memenuhi harapan
penyair-filosuf yang memang tidak sempat menyaksinya realitas mimpinya
itu.
Pakistan memang telah lahir sebagai negara baru pada Mei
1947 sebagai pecahan dari India, sekalipun kemudian harus berperang
dengan negara induk sampai tiga kali. Asad mengamati semua kejadian ini
dengan seksama dan penuh keprihatinan, sementara Iqbal mungkin tidak
pernah membayangkan bahwa kelahiran Pakistan ternyata kemudian amat jauh
dari harapannya.
Sebuah gagasan demokrasi spiritual Iqbal yang
adil, aman, dan damai ternyata amat sulit diwujudkan di Pakistan sampai
hari ini. Asad pun tidak betah lebih lama tinggal di negara baru yang
dengan susah payah turut dirancangnya itu.
Selama karier hidupnya
yang produktif, Asad telah menghasilkan beberapa karya tulis penting
yang telah banyak mengubah pandangan Barat terhadap Islam dalam makna
yang positif. Di antara karya itu adalah: Islam at the Crossroads (1934), The Road to Mecca (1954), The Principles of State and Government in Islam (1961), The Message of the Qur’an
(1980), This Law of Ours and Other Essays (1987). Kita tidak punya
catatan berapa banyak tulisan Asad saat dia pada usia 22 tahun telah
menjadi koresponden untuk koran ternama Jerman Frankfurter Zeitung.
Dalam
posisinya sebagai koresponden inilah kemudian yang mengantarkan Asad
“bertualang” di Palestina, Mesir, Suriah, Irak, Iran, Yordania, Arab
Saudi, dan Afghanistan, kemudian ke India. Petualangan ini pulalah yang
membawanya menjadi pemeluk Islam yang kemudian diikuti oleh kajian yang
luas dan mendalam.
Asad pernah berdebat dengan Chaim Weizmann,
tokoh Zionis, atas klaimnya untuk merampok tanah Palestina. Menurut
Asad, orang Yahudi terusir ribuan tahun yang lalu dari tanah itu adalah
karena pengkhianatan mereka terhadap ajaran Musa.
Teramat panjang jika kita mau menelusuri karier hidup Asad yang fenomenal ini. Autobiografinya the Road to Mecca
(Jalan Menuju Makkah) telah dibuat film oleh Georg Misch pada 2008 dan
mendapat apresiasi luas di belahan dunia Barat. Tampaknya secara
berangsur, pemikiran Asad tentang Islam akan memengaruhi citra positif
agama ini pada tahun-tahun yang akan datang di mata non-Muslim. Tetapi,
mengapa menjelang akhir ayatnya Asad menjadi kecewa dengan dunia Islam?
Inilah kesaksian Murad W Hofmann, mantan diplomat Jerman, yang juga kemudian menjadi Muslim. Dalam karyanya the Journey to Makkah,
Hofmann menulis: “Every born Muslim must be reconverted to Islam
sometime during his life; Islam cannot be inherited. I view of this, it
was alarming when a levelheaded and realistic man like Muhammad Asad,
towards the end of his long life, revealed to me serious doubts as to
whether as in 1926, he would again find his way to Islam, if he were
again a young man in today’s Muslim world.”
(Setiap orang yang
lahir sebagai Muslim wajib ditobatkan kembali kepada Islam suatu saat
selama hidupnya; Islam tidak bisa diwarisi. Dalam pandangan ini, cukup
merisaukan ketika seorang yang berkepala dingin dan realistik semisal
Muhammad Asad, menjelang ujung hayatnya yang panjang, menyatakan kepada
saya keraguan yang serius tentang apakah kejadian tahun 1926, ia akan
menemukan jalannya menuju Islam, seandainya ia masih muda dalam situasi
dunia Islam sekarang ini).
Batin Asad merintih dan kecewa berat
mengamati dunia Islam yang kacau-balau dan kehilangan arah. Pemikiran
Asad tentang Islam perlu dikaji ulang, siapa tahu di sana ada titik
terang dalam suasana pengap seperti sekarang ini! (republika.pahamilah)
Similar Videos
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments: