middle ad
Tampilkan postingan dengan label Bahtsul Masail. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahtsul Masail. Tampilkan semua postingan

Assalamu'alaikum ustadz. Duh ribet nih mau darimana nyampeinya. Saya memang muslim tapi sering ninggalin shalat 5 waktu dan saat Ramadhan saya juga banyakan bolongnya. Pertanyaan saya gmn cara mengganti sholat fardu yang tertinggal ataupun puasa Ramadhan terhitung dari baligh sedang sekarang usia saya sudah seperempat abad lebih dikit. Apa ada kafaratnya juga. Mohon banget jawabanya ustadz.

Dido (Nama disamarkan)
---

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu mendapatkan rahmat dan hidayah Allah swt. Kami yakin bahwa pertanyaan yang Anda ajukan lahir dari kesadaran keimanan yang mendalam. Ada dua pertanyaan yang Anda ajukan di sini, dan kami akan memulai dengan menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang pertama.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban bagi setiap orang muslim yang sudah mukallaf. Dan termasuk salah satu rukun Islam seperti halnya puasa.

Meninggalkan shalat sama halnya dengan merusak agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “Bahwa shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkannya sungguh ia telah menengakkan agama, dan barang siapa yang merusaknya sungguh ia telah merusak agama”. Karenanya kelak di akhirat amal pertama seorang hamba yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt adalah shalat.

Shalat lima waktu sebagai kewajiban seorang muslim yang mukallaf jika karena udzur seperti lupa atau ketiduran ditinggalkan maka harus diqadla. Namun bagaimana jika dengan sengaja meninggalkan shalat tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan secara syara` (‘udzur syar’i) dan itu dilakukan selama bertahun-tahun? Apakah wajib meng-qadla?

Dalam kasus seperti ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa jika seseorang yang shalatnya banyak yang bolong dan tidak tahu secara pasti berapa jumlah shalat yang ditinggalkan maka ia tetap wajib meng-qadla`-nya sampai ia yakin bahwa bahwa ia telah terbebas dari tanggungjawabnya. Lantas ia wajib menentukan waktu yang pernah ditinggalkannya. Dan dimulai dengan men-qadla` shalat dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir kali ditinggalkan. Hal ini untuk memberikan kemudahan.

 قَالَ الحَنَفِيَّةُ: مَنْ عَلَيْهِ فَوَائِتُ كَثِيرَةٌ لَا يَدْرِي عَدَدَهَا، يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَيِّنَ الزَّمَنَ، فَيَنْوِي أَوَّلَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، أَوْ يَنْوِي آخِرَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، وَذَلِكَ تَسْهِيلاً عَلَيْهِ. (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143)

“Para ulama dari kalangan madzhab hanafi berpendapat bahwa seseorang yang shalatnya banyak ditinggalkan hingga dia sendiri tidak tahu berapa jumlah yang ditinggalkannya wajib meng-qadla-nya sampai ia yakin terbebas dari kewajiban itu. Dan ia wajib menentukan waktunya (waktu yang selama itu tidak menjalankan shalat). Lantas ia berniat (meng-qadla`) shalat dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir ia tinggalkan untuk memberi kemudahan baginya”.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedang menurut kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali orang yang meninggalkan shalat dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga ia tidak ingat lagi berapa jumlah yang ditinggalkan maka ia wajib meng-qadla` sampai ia yakin ia terlepas dari kewajibannya dan tidak harus menentukan waktunya. Tetapi cukup baginya untuk menentukan shalat yang pernah ditinggalkan, seperti dhuhur atau ashar.

وَقَالَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ مِنِ الْفُرُوضِ، وَلَا يَلْزَمُ تَعْيِينُ الزَّمَنِ، بَلْ يَكْفِي تَعْيِينُ الْمَنْوِيِّ كَالظُّهْرِ أَوِ الْعَصْرِ مَثَلًا (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143)

“Ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat, wajib baginya untuk meng-qadla shalat yang pernah ditinggalkan sampai ia yakin bebas dari kewajibannya berupa shalat-shalat fardlu (yang pernah ditinggalkan), dan tidak harus menentukan waktunya, tetapi cukup dengan menentukan yang diniati (shalat yang pernah ditinggalkan) seperti dhuhur atau ashar”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, peng-qadla`-an terhadap shalat yang pernah ditinggalkan dilakukan sesuai kemampuan pelakunya dan jangan sampai menimbulkan masaqqah atau memberatkan terhadap badan atau hartanya. Misalnya jangan sampai membuat ia sakit, atau menyebabkan kehilangan mata pencariannya.

إِذَا كَثُرَتِ الْفَوَائِتُ عَلَيْهِ يَتَشَاغَلُ بِالْقَضَاءِ مَا لَمْ يَلْحَقْهُ مَشَقَّةٌ فِي بَدَنِهِ أَوْ مَالِهِ، أَمَّا بَدَنُهُ فَأَنْ يَضْعُفَ أَوْ يَخَافُ الْمَرَضَ وَأَمَّا فِي الْمَالِ فَأَنْ يَنْقَطِعَ عَنِ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ بِحَيْثُ يَنْقَطِعُ عَنْ مَعَاشِهِ (ابن قدامة المقدسي، المغني، بيروت-دار الفكر، الطبعة الأولى، 1405هـ، ج، 1، 681)

“Apabila banyak sekali shalat yang ditinggalkan maka ia (orang yang meninggalkan shalat) wajib menyibukkan dirinya dengan qadla` sepanjang hal itu tidak menimbulkan masyaqqah pada badan atau hartanya. Adapun masyaqqah badannya adalah menjadi lemah fisik atau khawatir sakit. Sedang masyaqqah harta adalah ia terhenti dari men-tasharruf-kan hartanya sekiranya ia terputus mata pencariannya”. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 1, h. 681)

Dari kedua pendapat yang telah kami paparkan, maka dalam pandangan kami pendapat yang kedua terasa lebih mudah untuk dilakukan. Sebab untuk menentukankan waktu bukanlah perkara yang mudah karena biasanya orang lupa kapan waktu awal atau akhir meninggalkan shalat.

Namun dalam kasus ini juga sebenarnya ada pilihan pendapat yang ketiga yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan untuk meng-qadla’ shalat yang pernah ditinggalkan karenanya qadla-nya tidak sah. Tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat dan puasa sunnah.

وَتَارِكُ الصَّلَاةِ عَمْداً لَا يُشْرَعُ لَهُ قَضَاؤُهَا وَلَا تَصِحُّ مِنْهُ بَلْ يُكَثِّرُ مِنَ التَّطَوُّعِ وَكَذَا الصَّومُ وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنَ السَّلَفِ كَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ صَاحِبِ الشَّافِعِي وَدَاوُدَ وَأَتْبَاعِهِ وَلَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ مَا يُخَالِفُ هَذَا (إبن تيمية، الفتاوى الكبرى، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الاولى، 1408هـ/1987 م، ص. ج، 5، ص. 320)

“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan untuk meng-qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula qadla`-nya, tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga memperbanyak puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para ulama salaf seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii dan Imam Dawud azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil yang bertentangan dengan pandangan ini”. (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h. 320)  

Pandangan Ibnu Taimiyyah ini pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru sebagaimana pengakuannya sendiri. Tetapi sudah dikemukakan oleh para ulama terdahulu seperti Imam Dawud azh-Zhahiri yang pandangannya fiqh didokumentasikan oleh muridnya yaitu Ibnu Hazm. Dalam kasus ini Ibnu Hazm lebih lanjut menyatakan bahwa orang tersebut sebaiknya memperbanyak perbuatan baik, shalat sunnah untuk memperberat timbangan amal kebajikannya kelak pada hari kiamat, taubat, dan istighfar.

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا فَلْيُكَثِّرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيْزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ (السيد السابق، فقه السنة، القاهرة، الفتح للإعلام العربي، ج، 1، ص. 196)

“Adapun orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka ia selamanya ia tidak akan mampu meng-qadla`-nya selamanya. Karenanya, sebaiknya ia memperbanyak perbuatan baik dan shalat sunnah agar timbangan kebaikannya kelak pada hari kiamat menjadi berat, taubat, dan meminta ampun kepada Allah ‘azza wajalla”. (lihat as-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, juz, 1, h. 196) 

Dari penjelasan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja selama bertahun-tahun sampai ia tidak ingat berapa jumlah shalat yang pernah ditinggalkan maka ia harus meng-qadla` shalat menurut pendapat mayoritas ulama dan tidak ada kafarat baginya. Namun dengan mengacu kepada pandangan Ibnu Qudamah, maka qadla’ tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu juga orang tersebut agar memperbanyak kebajikan, shalat sunnah, bertaubat, dan memperbanyak istighfar. Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. (nu/pahamilah)

Bagaimana Mengganti Shalat dan Puasa yang Bolong?


Assalamu'alaikum ustadz. Duh ribet nih mau darimana nyampeinya. Saya memang muslim tapi sering ninggalin shalat 5 waktu dan saat Ramadhan saya juga banyakan bolongnya. Pertanyaan saya gmn cara mengganti sholat fardu yang tertinggal ataupun puasa Ramadhan terhitung dari baligh sedang sekarang usia saya sudah seperempat abad lebih dikit. Apa ada kafaratnya juga. Mohon banget jawabanya ustadz.

Dido (Nama disamarkan)
---

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu mendapatkan rahmat dan hidayah Allah swt. Kami yakin bahwa pertanyaan yang Anda ajukan lahir dari kesadaran keimanan yang mendalam. Ada dua pertanyaan yang Anda ajukan di sini, dan kami akan memulai dengan menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang pertama.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban bagi setiap orang muslim yang sudah mukallaf. Dan termasuk salah satu rukun Islam seperti halnya puasa.

Meninggalkan shalat sama halnya dengan merusak agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “Bahwa shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkannya sungguh ia telah menengakkan agama, dan barang siapa yang merusaknya sungguh ia telah merusak agama”. Karenanya kelak di akhirat amal pertama seorang hamba yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt adalah shalat.

Shalat lima waktu sebagai kewajiban seorang muslim yang mukallaf jika karena udzur seperti lupa atau ketiduran ditinggalkan maka harus diqadla. Namun bagaimana jika dengan sengaja meninggalkan shalat tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan secara syara` (‘udzur syar’i) dan itu dilakukan selama bertahun-tahun? Apakah wajib meng-qadla?

Dalam kasus seperti ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa jika seseorang yang shalatnya banyak yang bolong dan tidak tahu secara pasti berapa jumlah shalat yang ditinggalkan maka ia tetap wajib meng-qadla`-nya sampai ia yakin bahwa bahwa ia telah terbebas dari tanggungjawabnya. Lantas ia wajib menentukan waktu yang pernah ditinggalkannya. Dan dimulai dengan men-qadla` shalat dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir kali ditinggalkan. Hal ini untuk memberikan kemudahan.

 قَالَ الحَنَفِيَّةُ: مَنْ عَلَيْهِ فَوَائِتُ كَثِيرَةٌ لَا يَدْرِي عَدَدَهَا، يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَيِّنَ الزَّمَنَ، فَيَنْوِي أَوَّلَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، أَوْ يَنْوِي آخِرَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، وَذَلِكَ تَسْهِيلاً عَلَيْهِ. (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143)

“Para ulama dari kalangan madzhab hanafi berpendapat bahwa seseorang yang shalatnya banyak ditinggalkan hingga dia sendiri tidak tahu berapa jumlah yang ditinggalkannya wajib meng-qadla-nya sampai ia yakin terbebas dari kewajiban itu. Dan ia wajib menentukan waktunya (waktu yang selama itu tidak menjalankan shalat). Lantas ia berniat (meng-qadla`) shalat dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir ia tinggalkan untuk memberi kemudahan baginya”.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedang menurut kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali orang yang meninggalkan shalat dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga ia tidak ingat lagi berapa jumlah yang ditinggalkan maka ia wajib meng-qadla` sampai ia yakin ia terlepas dari kewajibannya dan tidak harus menentukan waktunya. Tetapi cukup baginya untuk menentukan shalat yang pernah ditinggalkan, seperti dhuhur atau ashar.

وَقَالَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ مِنِ الْفُرُوضِ، وَلَا يَلْزَمُ تَعْيِينُ الزَّمَنِ، بَلْ يَكْفِي تَعْيِينُ الْمَنْوِيِّ كَالظُّهْرِ أَوِ الْعَصْرِ مَثَلًا (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143)

“Ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat, wajib baginya untuk meng-qadla shalat yang pernah ditinggalkan sampai ia yakin bebas dari kewajibannya berupa shalat-shalat fardlu (yang pernah ditinggalkan), dan tidak harus menentukan waktunya, tetapi cukup dengan menentukan yang diniati (shalat yang pernah ditinggalkan) seperti dhuhur atau ashar”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, peng-qadla`-an terhadap shalat yang pernah ditinggalkan dilakukan sesuai kemampuan pelakunya dan jangan sampai menimbulkan masaqqah atau memberatkan terhadap badan atau hartanya. Misalnya jangan sampai membuat ia sakit, atau menyebabkan kehilangan mata pencariannya.

إِذَا كَثُرَتِ الْفَوَائِتُ عَلَيْهِ يَتَشَاغَلُ بِالْقَضَاءِ مَا لَمْ يَلْحَقْهُ مَشَقَّةٌ فِي بَدَنِهِ أَوْ مَالِهِ، أَمَّا بَدَنُهُ فَأَنْ يَضْعُفَ أَوْ يَخَافُ الْمَرَضَ وَأَمَّا فِي الْمَالِ فَأَنْ يَنْقَطِعَ عَنِ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ بِحَيْثُ يَنْقَطِعُ عَنْ مَعَاشِهِ (ابن قدامة المقدسي، المغني، بيروت-دار الفكر، الطبعة الأولى، 1405هـ، ج، 1، 681)

“Apabila banyak sekali shalat yang ditinggalkan maka ia (orang yang meninggalkan shalat) wajib menyibukkan dirinya dengan qadla` sepanjang hal itu tidak menimbulkan masyaqqah pada badan atau hartanya. Adapun masyaqqah badannya adalah menjadi lemah fisik atau khawatir sakit. Sedang masyaqqah harta adalah ia terhenti dari men-tasharruf-kan hartanya sekiranya ia terputus mata pencariannya”. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 1, h. 681)

Dari kedua pendapat yang telah kami paparkan, maka dalam pandangan kami pendapat yang kedua terasa lebih mudah untuk dilakukan. Sebab untuk menentukankan waktu bukanlah perkara yang mudah karena biasanya orang lupa kapan waktu awal atau akhir meninggalkan shalat.

Namun dalam kasus ini juga sebenarnya ada pilihan pendapat yang ketiga yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan untuk meng-qadla’ shalat yang pernah ditinggalkan karenanya qadla-nya tidak sah. Tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat dan puasa sunnah.

وَتَارِكُ الصَّلَاةِ عَمْداً لَا يُشْرَعُ لَهُ قَضَاؤُهَا وَلَا تَصِحُّ مِنْهُ بَلْ يُكَثِّرُ مِنَ التَّطَوُّعِ وَكَذَا الصَّومُ وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنَ السَّلَفِ كَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ صَاحِبِ الشَّافِعِي وَدَاوُدَ وَأَتْبَاعِهِ وَلَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ مَا يُخَالِفُ هَذَا (إبن تيمية، الفتاوى الكبرى، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الاولى، 1408هـ/1987 م، ص. ج، 5، ص. 320)

“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan untuk meng-qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula qadla`-nya, tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga memperbanyak puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para ulama salaf seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii dan Imam Dawud azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil yang bertentangan dengan pandangan ini”. (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h. 320)  

Pandangan Ibnu Taimiyyah ini pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru sebagaimana pengakuannya sendiri. Tetapi sudah dikemukakan oleh para ulama terdahulu seperti Imam Dawud azh-Zhahiri yang pandangannya fiqh didokumentasikan oleh muridnya yaitu Ibnu Hazm. Dalam kasus ini Ibnu Hazm lebih lanjut menyatakan bahwa orang tersebut sebaiknya memperbanyak perbuatan baik, shalat sunnah untuk memperberat timbangan amal kebajikannya kelak pada hari kiamat, taubat, dan istighfar.

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا فَلْيُكَثِّرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيْزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ (السيد السابق، فقه السنة، القاهرة، الفتح للإعلام العربي، ج، 1، ص. 196)

“Adapun orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka ia selamanya ia tidak akan mampu meng-qadla`-nya selamanya. Karenanya, sebaiknya ia memperbanyak perbuatan baik dan shalat sunnah agar timbangan kebaikannya kelak pada hari kiamat menjadi berat, taubat, dan meminta ampun kepada Allah ‘azza wajalla”. (lihat as-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, juz, 1, h. 196) 

Dari penjelasan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja selama bertahun-tahun sampai ia tidak ingat berapa jumlah shalat yang pernah ditinggalkan maka ia harus meng-qadla` shalat menurut pendapat mayoritas ulama dan tidak ada kafarat baginya. Namun dengan mengacu kepada pandangan Ibnu Qudamah, maka qadla’ tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu juga orang tersebut agar memperbanyak kebajikan, shalat sunnah, bertaubat, dan memperbanyak istighfar. Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. (nu/pahamilah)

Foto Muslimah

Pahamilah.com - Melanjutkan pertanyaan kedua saudara Dido dari Surabaya. Pada edisi yang lalu, kami telah menjelaskan tentang bagaimana qadla-nya shalat yang ditinggalkan selama bertahun-tahun. Dan pada kesempatan ini kami akan mencoba menjelaskan mengenai qadla-nya puasa yang juga ditinggalkan selama bertahun-tahun.

Dalam kasus pembatalan puasa secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` (‘udzr syar’i) para fuqaha` berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang tersebut wajib meng-qadla` dan membayar kaffarat atau denda sebagaimana orang yang sengaja melakukan jima’ pada siang hari di bulan Ramadhan. (‘Alauddin al-Kasani dalam Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i dan Malik bin Anas dalam al-Mudawwah al-Kubra)

Sedangkan menurut madzhab Syafii bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara selain jima’ tidak memiliki kewajiban kaffarat. Sebab kaffarat menurut mereka hanya dalam kasus jima’ saja. (Ibrahim asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 183). Kami cenderung memilih pendapat madzab Syafi’i.

Pandangan madzhab Syafi’i di atas juga diamini oleh madzhab Hanbali sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah al-Mughni, Riyadl-Dar al-‘Alam al-Kutub, cet ke-3, 1417 H/1997 M, juz, 4, h. 349)

Mengenai penundaan pelaksanaan qadla` sampai Ramadhan berikutnya. Dalam kasus ini menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` seperti sakit, bepergian jauh, haid dan nifas menunda pelaksanaan qadla` sampai masuknya Ramadhan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah.

وَتَجِبُ اْلفِدْيَةُ أَيْضاً مَعَ الْقَضَاءِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ (غَيْرِ الْحَنَفِيَّةِ) عَلَى مَنْ فَرَّطَ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ، فَأَخَّرَهُ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ مِثْلُهُ بِقَدْرِ مَا فَاتَهُ مِنَ الْأَيَّامِ، قِيَاساً عَلَى مَنْ أَفْطَرَ مُتَعَمِّداً؛ لأن كِلَيْهِمَا مُسْتَهِينٌ بِحُرْمَةِ الصَّوْمِ

“Begitu juga wajib membayar fidyah beserta qadla` menurut mayoritas ulama (selain madzhab hanafi) atas orang yang melalaikan qadla` puasa Ramadhan kemudian ia menunda qadla` tersebut sampai datangnya puasa berikutnya, sejumlah puasa yang ditinggalkan karena diqiyaskan dengan orang yang membatalkan puasa puasa dengan sengaja. Sebab keduanya sama-sama dianggap orang yang tidak menghormati kemulian puasa.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M, juz, 2, h. 688-689)

Besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7 ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan, yang diberikan kepada orang miskin. Bahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab syafi’i, fidyah-nya bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun pendundaanya.

Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima hari dan baru di-qadla` pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut madzhab maliki dan hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda.

Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Tentu semua ketentuan dan konsekuensi di atas dilakukan menurut kadar kemampuan yang bersangkutan. Selain qadla puasa dan membayar fidyah, jangan lupa untuk memperbanyak istighfar, shalat sunnah, dan kebajikan kepada sesama. Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita untuk menjadi hamba yang lebih baik dan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. (nu/pahamilah)


Pahamilah Cara Mengganti Puasa yang Bolong

Foto Muslimah

Pahamilah.com - Melanjutkan pertanyaan kedua saudara Dido dari Surabaya. Pada edisi yang lalu, kami telah menjelaskan tentang bagaimana qadla-nya shalat yang ditinggalkan selama bertahun-tahun. Dan pada kesempatan ini kami akan mencoba menjelaskan mengenai qadla-nya puasa yang juga ditinggalkan selama bertahun-tahun.

Dalam kasus pembatalan puasa secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` (‘udzr syar’i) para fuqaha` berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang tersebut wajib meng-qadla` dan membayar kaffarat atau denda sebagaimana orang yang sengaja melakukan jima’ pada siang hari di bulan Ramadhan. (‘Alauddin al-Kasani dalam Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i dan Malik bin Anas dalam al-Mudawwah al-Kubra)

Sedangkan menurut madzhab Syafii bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara selain jima’ tidak memiliki kewajiban kaffarat. Sebab kaffarat menurut mereka hanya dalam kasus jima’ saja. (Ibrahim asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 183). Kami cenderung memilih pendapat madzab Syafi’i.

Pandangan madzhab Syafi’i di atas juga diamini oleh madzhab Hanbali sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah al-Mughni, Riyadl-Dar al-‘Alam al-Kutub, cet ke-3, 1417 H/1997 M, juz, 4, h. 349)

Mengenai penundaan pelaksanaan qadla` sampai Ramadhan berikutnya. Dalam kasus ini menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` seperti sakit, bepergian jauh, haid dan nifas menunda pelaksanaan qadla` sampai masuknya Ramadhan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah.

وَتَجِبُ اْلفِدْيَةُ أَيْضاً مَعَ الْقَضَاءِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ (غَيْرِ الْحَنَفِيَّةِ) عَلَى مَنْ فَرَّطَ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ، فَأَخَّرَهُ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ مِثْلُهُ بِقَدْرِ مَا فَاتَهُ مِنَ الْأَيَّامِ، قِيَاساً عَلَى مَنْ أَفْطَرَ مُتَعَمِّداً؛ لأن كِلَيْهِمَا مُسْتَهِينٌ بِحُرْمَةِ الصَّوْمِ

“Begitu juga wajib membayar fidyah beserta qadla` menurut mayoritas ulama (selain madzhab hanafi) atas orang yang melalaikan qadla` puasa Ramadhan kemudian ia menunda qadla` tersebut sampai datangnya puasa berikutnya, sejumlah puasa yang ditinggalkan karena diqiyaskan dengan orang yang membatalkan puasa puasa dengan sengaja. Sebab keduanya sama-sama dianggap orang yang tidak menghormati kemulian puasa.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M, juz, 2, h. 688-689)

Besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7 ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan, yang diberikan kepada orang miskin. Bahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab syafi’i, fidyah-nya bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun pendundaanya.

Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima hari dan baru di-qadla` pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut madzhab maliki dan hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda.

Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Tentu semua ketentuan dan konsekuensi di atas dilakukan menurut kadar kemampuan yang bersangkutan. Selain qadla puasa dan membayar fidyah, jangan lupa untuk memperbanyak istighfar, shalat sunnah, dan kebajikan kepada sesama. Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita untuk menjadi hamba yang lebih baik dan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. (nu/pahamilah)


Telinga berdenging

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pak ustad, saya mau menanyakan tentang suara “nging” di telinga. Banyak orang yang sering menafsirkan suara nging di telinga sebagai petanda buruk. Yang ingin saya ketahui, apakah betul seperti itu, atau bagaimana. Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh. (Ayu/Jambi)

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Di antara kita memang kadang mengalami dan merasakan suara “nging” di telinga. Kadang ada yang berlangung sebentar, tetapi ada yang tidak.  Fenomena suara “nging” di telinga juga sering kali ditafsirkan ke hal-hal negatif. Bahkan kadang acapkali membuat gelisah orang yang merasakannya.

Sepanjang yang kami ketahui bahwa suara “nging” di telinga tidak ada kaitannya dengan petanda buruk. Tetapi merupakan peringatan kepada orang yang mengalaminya untuk ingat kepada Rasulullah saw dan membaca shalawat kepadanya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw sebagai berikut:

 إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي وَلْيُصَلِّي عَلَيَّ وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ - رواه الحكيم وابن السني، الطبراني وابن عدي وابن عساكر

“Jika telinga salah seorang di antara kalian berdengung, maka hendaknya ia mengingatku (Rasulullah saw), membaca shalawat kepadaku, dan mengucapakan: dzakarallahu man dzakarani bi khairin (Semoga Allah swt mengingat orang yang mengingatku dengan kebaikan)”. (H.R. al-Hakim, Ibn as-Sinni, at-Thabarani)

Dalam mengomentari sabda di atas, az-Zaila’i menyatakan bahwa dalam hadits tersebut mengandung bahwa tidak hanya sekedar mengingat Rasulullah saw tetapi juga bershalawat kepadanya dan mengucapkan: dzakarallahu man dzakarani bi khairin.

قَالَ الزَّيْلَعِيُّ فِيهِ عَدَمُ الْاِكْتِفَاءِ بِالذِّكْرِ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ (وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ

“Az-Zaila’i berkata, dalam hadits ini tidak cukup (bagi orang yang telinganya berdengung, pent)  hanya dengan mengingat Rasulullah saw saja sehingga ia bershalawat kepadanya (dan hendaknya membaca: dzakarallahu man dzakarani bi khairin)”. (Abdurrauf al-Munawi, Faidlul-Qadir, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1415 H/1994 M, juz, 1, h. 511)

Masalah ini juga telah dibahas dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-11 di Banjarmasin pada tanggal 19 Rabiul Awwal 1355 H/9 Juni 1936. Dalam Muktamar tersebut dijelaskan bahwa suaran “nging” dalam telinga menunjukkan bahwa Rasulullah saw sedang menyebut orang tersebut dalam perkumpulan yang tertinggi (al-mala` al-a’la) agar ia ingat kepada beliau dan bershalawat kepadanya.

Pandangan Muktamirin tersebut didasarkan kepada pendapat Abdurrauf al-Munawi yang dikemukakan oleh ‘Ali al-‘Azizi dalam kitab as-Siraj al-Munir:

قَالَ الْمُنَاوِيُّ فَإِنَّ اْلأُذُنَ إِنَّمَا تَطُنُّ لَمَّا وَرَدَ عَلَى الرُّوْحِ مِنَ الْخَبَرِ الْخَيْرِ وَهُوَ أَنَّ الْمُصْطَفَى قَدْ ذَكَرَ ذَلِكَ اْلإِنْسَانَ بِخَيْرٍ فِي الْمَلاَءِ اْلأَعْلَى فِيْ عَالَمِ اْلأَرْوَاحِ

“Imam al-Munawi berkata,  sesungguhnya telinga itu berdengung hanya ketika datang berita baik ke ruh, bahwa Rasasulullah Saw. telah menyebutkan orang (pemilik telinga yang berdengung) tersebut dengan kebaikan di al-Mala’ al-A’la (majlis tertinggi) di alam ruh. (Lihat Akamul Fuqaha)

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Dan jika telinga anda berdengung atau bersuara “nging” maka segeralah ingat Rasulullah saw, bershalawat, dan mengucapkan, dzakarallahu man dzakarni bi khairin. (nu/pahamilah)


Mengenai Suara Nging di Telinga

Telinga berdenging

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pak ustad, saya mau menanyakan tentang suara “nging” di telinga. Banyak orang yang sering menafsirkan suara nging di telinga sebagai petanda buruk. Yang ingin saya ketahui, apakah betul seperti itu, atau bagaimana. Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh. (Ayu/Jambi)

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Di antara kita memang kadang mengalami dan merasakan suara “nging” di telinga. Kadang ada yang berlangung sebentar, tetapi ada yang tidak.  Fenomena suara “nging” di telinga juga sering kali ditafsirkan ke hal-hal negatif. Bahkan kadang acapkali membuat gelisah orang yang merasakannya.

Sepanjang yang kami ketahui bahwa suara “nging” di telinga tidak ada kaitannya dengan petanda buruk. Tetapi merupakan peringatan kepada orang yang mengalaminya untuk ingat kepada Rasulullah saw dan membaca shalawat kepadanya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw sebagai berikut:

 إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي وَلْيُصَلِّي عَلَيَّ وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ - رواه الحكيم وابن السني، الطبراني وابن عدي وابن عساكر

“Jika telinga salah seorang di antara kalian berdengung, maka hendaknya ia mengingatku (Rasulullah saw), membaca shalawat kepadaku, dan mengucapakan: dzakarallahu man dzakarani bi khairin (Semoga Allah swt mengingat orang yang mengingatku dengan kebaikan)”. (H.R. al-Hakim, Ibn as-Sinni, at-Thabarani)

Dalam mengomentari sabda di atas, az-Zaila’i menyatakan bahwa dalam hadits tersebut mengandung bahwa tidak hanya sekedar mengingat Rasulullah saw tetapi juga bershalawat kepadanya dan mengucapkan: dzakarallahu man dzakarani bi khairin.

قَالَ الزَّيْلَعِيُّ فِيهِ عَدَمُ الْاِكْتِفَاءِ بِالذِّكْرِ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ (وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ

“Az-Zaila’i berkata, dalam hadits ini tidak cukup (bagi orang yang telinganya berdengung, pent)  hanya dengan mengingat Rasulullah saw saja sehingga ia bershalawat kepadanya (dan hendaknya membaca: dzakarallahu man dzakarani bi khairin)”. (Abdurrauf al-Munawi, Faidlul-Qadir, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1415 H/1994 M, juz, 1, h. 511)

Masalah ini juga telah dibahas dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-11 di Banjarmasin pada tanggal 19 Rabiul Awwal 1355 H/9 Juni 1936. Dalam Muktamar tersebut dijelaskan bahwa suaran “nging” dalam telinga menunjukkan bahwa Rasulullah saw sedang menyebut orang tersebut dalam perkumpulan yang tertinggi (al-mala` al-a’la) agar ia ingat kepada beliau dan bershalawat kepadanya.

Pandangan Muktamirin tersebut didasarkan kepada pendapat Abdurrauf al-Munawi yang dikemukakan oleh ‘Ali al-‘Azizi dalam kitab as-Siraj al-Munir:

قَالَ الْمُنَاوِيُّ فَإِنَّ اْلأُذُنَ إِنَّمَا تَطُنُّ لَمَّا وَرَدَ عَلَى الرُّوْحِ مِنَ الْخَبَرِ الْخَيْرِ وَهُوَ أَنَّ الْمُصْطَفَى قَدْ ذَكَرَ ذَلِكَ اْلإِنْسَانَ بِخَيْرٍ فِي الْمَلاَءِ اْلأَعْلَى فِيْ عَالَمِ اْلأَرْوَاحِ

“Imam al-Munawi berkata,  sesungguhnya telinga itu berdengung hanya ketika datang berita baik ke ruh, bahwa Rasasulullah Saw. telah menyebutkan orang (pemilik telinga yang berdengung) tersebut dengan kebaikan di al-Mala’ al-A’la (majlis tertinggi) di alam ruh. (Lihat Akamul Fuqaha)

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Dan jika telinga anda berdengung atau bersuara “nging” maka segeralah ingat Rasulullah saw, bershalawat, dan mengucapkan, dzakarallahu man dzakarni bi khairin. (nu/pahamilah)


Suami istri

Pahamilah.com - Assalamu’alaikum wr. wb. Mohon maaf sebelumnya Kiai. Saya ingin menanyakan, apakah diperbolehkan kami (suami-istri) menonton film biru (porno) untuk menambah keintiman atau gairah hubungan suami-istri. Atau ada solusi lain terkait hal ini. Terimakasih atas penjelasannya, dan sekali lagi kami mohon maaf.

Wassalam. Imron dari Kalsel (nama disamarkan)).

Jawaban

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt.  Bahwa berhubungan badan dengan istri termasuk bagian dari memberi nafkah batin. Bahkan berhubungan badan dengan istri dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah dalam konteks tertentu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw yang dikemukakan oleh Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali:
رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ --أبو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، بيروت-دار المعرفة، ج، 2، ص. 52

“Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa sesungguhnya seorang suami yang menggauli istrinya maka akan dicatat baginya pahala menggaulinya sebagaimana pahala anak laki-laki yang memerangi (musuh) di jalan Allah kemudian terbunuh.” (lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya` Ulum ad-Din,  Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 2, h. 52)

Dari sini saja kita bisa mengetahui bahwa hubungan badan suami-istri memiliki pahala yang sangat besar seperti pahalanya anak laki-laki yang berjihad di jalan Allah. Namun persoalannya tidak hanya sampai disini saja. Sebab, ternyata ada juga pasangan suami-istri yang dalam berhubungan badan terlebih dulu menonton film porno untuk menambah gairah dan keintimannya.  Lantas bagaimana sebenarnya pandangan para fuqaha` dalam menanggapi kasus ini.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa melihat film porno bagi pasangan suami-istri diperbolehkan.  Pandangan ini dirujukkan kepada apa yang dikemukakan oleh Syihabuddin al-Qalyubi. Beliau berpendapat bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah, meskipun itu sudah terpisah darinya, seperti kuku atau rambut kemaluannya. Keharaman melihat ini juga meliputi melihatnya dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau dalam air yang jernih. Namun jika melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin tidaklah diharamkan walaupun disertai dengan syahwat.
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَحْرُمُ رُؤْيَةُ شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهَا ، وَإِنْ أُبِينَ كَظُفُرٍ وَشَعْرِ عَانَةٍ وَإِبْطٍ وَدَمِ حَجْمٍ وَفَصْدٍ لَا نَحْوُ بَوْلٍ كَلَبَنٍ ، وَالْعِبْرَةُ فِي الْمُبَانِ بِوَقْتِ الْإِبَانَةِ فَيَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ أَجْنَبِيَّةٍ ، وَإِنْ نَكَحَهَا وَلَا يَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ زَوْجَةٍ وَإِنْ أَبَانَهَا ، وَشَمِلَ النَّظَرُ مَا لَوْ كَانَ مِنْ وَرَاءِ زُجَاجٍ أَوْ مُهَلْهَلِ النَّسْجِ أَوْ فِي مَاءٍ صَافٍ ، وَخَرَجَ بِهِ رُؤْيَةُ الصُّورَةِ فِي الْمَاءِ أَوْ فِي الْمِرْآةِ فَلَا يَحْرُمُ وَلَوْ مَعَ شَهْوَةٍ. (شهاب الدين القليوبي، حاشية القليوبي، بيروت-دار الفكر، 1419هـ/1998م، ج, 3، ص. 209)
“Kesimpulannya, bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah meskipun dipisahkan, seperti kuku, rambut kemaluan, bulu ketiak, darah bekam, darah yang keluar dengan cara membelah pembulu darah vena (fashd), bukan semisalnya air kencingnya seperti air susu. Dan yang menjadi pegangan itu pada apa yang dipisahkan pada saat waktu pemisahan. Karenanya, haram apa yang terpisah dari perempuan ajnabiyyah meskipun sudah pernah dinikahi, dan tidak haram apa yang dipisahkan dari istrinya sekalipun suaminya memisahkannya. Melihat dalam konteks ini termasuk melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau air yang jernih. Dan terkecualikan dari melihat aurat perempuan ajnabiyyah adalah melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin”. (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi, Bairut-Dar al-Fikr, 1419 H/1998 M, juz, 3, h. 2019).

Jadi, menurut kalangan yang memperbolehkan melihat film porno bagi pasangan suami-istri pada dasarnya mereka meng-ilhaq-kan dengan melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin. Dimana menurut Syihabuddin al-Qalyubi hal ini tidak diharamkan kendatipun menimbulkan syahwat.

Namun pandangan ini tidak sertamerta bisa diterima begitu saja. Sebab ada pendapat lain yang menyatakan bahwa melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram atau selainnya, selain istri, jika menimbulkan syahwat adalah haram. Bahkan keharaman ini menurut Ali asy-Syibramalisi mencakup juga keharaman melihat benda-benda mati (al-jamadat).
أَمَّا النَّظَرُ بِشَهْوَةٍ فَحَرَامٌ قَطْعًا لِكُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرِ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ شَرْحُ م ر قَالَ ع ش عُمُومُهُ يَشْمَلُ الْجَمَادَاتِ فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إلَيْهَا بِشَهْوَةٍ  --أنظر سليمان البجيرمي، التجريد لنفع العبيد، المكتبة الإسلامية-تركيا، ج، 3، ص. 326
“Adapun melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram dan selainnya, selain istri dan budaknya, secara pasti adalah haram (Syarh Muhammad ar-Ramli). (Dalam hal ini) Ali asy-Syibramalisi menyatakan bahwa keumuman keharaman ini meliputi benda-benda mati. Karenanya, haram melihat benda-benda mati dengan disertai syahwat” (Lihat, Sulaiman al-Bujairimi, at-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, al-Maktabah al-Islamiyyah-Turkey, tt, juz, 3, h. 326).

Dengan mengacu kepada pandangan yang kedua, maka menonton film porno bagi suami-istri adalah haram. Sebab, melihat benda mati saja jika disertai dengan syahwat itu hukumnya haram, apalagi melihat film porno.

Sebenarnya, masih banyak cara-cara lain yang diajarkan Islam untuk menambah gairah seksual pasangan suami-istri. Seperti melakukan cumbu-rayu dan ciuman sebelum melakukan hubungan badan, dan lain-lain. Karenanya, kami lebih cenderung kepada pendapat yang kedua.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Dan bagi pasangan suami-istri yang mengalami masalah seksual maka sebaiknya bersikaplah saling terbuka. Bicarakan baik-baik dengan pasangan. Dan kalau memang perlu berkonsultasilah kepada ahlinya. (nu/pahamilah)



Bolehkah Suami-Istri Menonton Film Porno?

Suami istri

Pahamilah.com - Assalamu’alaikum wr. wb. Mohon maaf sebelumnya Kiai. Saya ingin menanyakan, apakah diperbolehkan kami (suami-istri) menonton film biru (porno) untuk menambah keintiman atau gairah hubungan suami-istri. Atau ada solusi lain terkait hal ini. Terimakasih atas penjelasannya, dan sekali lagi kami mohon maaf.

Wassalam. Imron dari Kalsel (nama disamarkan)).

Jawaban

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt.  Bahwa berhubungan badan dengan istri termasuk bagian dari memberi nafkah batin. Bahkan berhubungan badan dengan istri dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah dalam konteks tertentu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw yang dikemukakan oleh Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali:
رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ --أبو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، بيروت-دار المعرفة، ج، 2، ص. 52

“Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa sesungguhnya seorang suami yang menggauli istrinya maka akan dicatat baginya pahala menggaulinya sebagaimana pahala anak laki-laki yang memerangi (musuh) di jalan Allah kemudian terbunuh.” (lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya` Ulum ad-Din,  Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 2, h. 52)

Dari sini saja kita bisa mengetahui bahwa hubungan badan suami-istri memiliki pahala yang sangat besar seperti pahalanya anak laki-laki yang berjihad di jalan Allah. Namun persoalannya tidak hanya sampai disini saja. Sebab, ternyata ada juga pasangan suami-istri yang dalam berhubungan badan terlebih dulu menonton film porno untuk menambah gairah dan keintimannya.  Lantas bagaimana sebenarnya pandangan para fuqaha` dalam menanggapi kasus ini.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa melihat film porno bagi pasangan suami-istri diperbolehkan.  Pandangan ini dirujukkan kepada apa yang dikemukakan oleh Syihabuddin al-Qalyubi. Beliau berpendapat bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah, meskipun itu sudah terpisah darinya, seperti kuku atau rambut kemaluannya. Keharaman melihat ini juga meliputi melihatnya dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau dalam air yang jernih. Namun jika melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin tidaklah diharamkan walaupun disertai dengan syahwat.
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَحْرُمُ رُؤْيَةُ شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهَا ، وَإِنْ أُبِينَ كَظُفُرٍ وَشَعْرِ عَانَةٍ وَإِبْطٍ وَدَمِ حَجْمٍ وَفَصْدٍ لَا نَحْوُ بَوْلٍ كَلَبَنٍ ، وَالْعِبْرَةُ فِي الْمُبَانِ بِوَقْتِ الْإِبَانَةِ فَيَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ أَجْنَبِيَّةٍ ، وَإِنْ نَكَحَهَا وَلَا يَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ زَوْجَةٍ وَإِنْ أَبَانَهَا ، وَشَمِلَ النَّظَرُ مَا لَوْ كَانَ مِنْ وَرَاءِ زُجَاجٍ أَوْ مُهَلْهَلِ النَّسْجِ أَوْ فِي مَاءٍ صَافٍ ، وَخَرَجَ بِهِ رُؤْيَةُ الصُّورَةِ فِي الْمَاءِ أَوْ فِي الْمِرْآةِ فَلَا يَحْرُمُ وَلَوْ مَعَ شَهْوَةٍ. (شهاب الدين القليوبي، حاشية القليوبي، بيروت-دار الفكر، 1419هـ/1998م، ج, 3، ص. 209)
“Kesimpulannya, bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah meskipun dipisahkan, seperti kuku, rambut kemaluan, bulu ketiak, darah bekam, darah yang keluar dengan cara membelah pembulu darah vena (fashd), bukan semisalnya air kencingnya seperti air susu. Dan yang menjadi pegangan itu pada apa yang dipisahkan pada saat waktu pemisahan. Karenanya, haram apa yang terpisah dari perempuan ajnabiyyah meskipun sudah pernah dinikahi, dan tidak haram apa yang dipisahkan dari istrinya sekalipun suaminya memisahkannya. Melihat dalam konteks ini termasuk melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau air yang jernih. Dan terkecualikan dari melihat aurat perempuan ajnabiyyah adalah melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin”. (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi, Bairut-Dar al-Fikr, 1419 H/1998 M, juz, 3, h. 2019).

Jadi, menurut kalangan yang memperbolehkan melihat film porno bagi pasangan suami-istri pada dasarnya mereka meng-ilhaq-kan dengan melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin. Dimana menurut Syihabuddin al-Qalyubi hal ini tidak diharamkan kendatipun menimbulkan syahwat.

Namun pandangan ini tidak sertamerta bisa diterima begitu saja. Sebab ada pendapat lain yang menyatakan bahwa melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram atau selainnya, selain istri, jika menimbulkan syahwat adalah haram. Bahkan keharaman ini menurut Ali asy-Syibramalisi mencakup juga keharaman melihat benda-benda mati (al-jamadat).
أَمَّا النَّظَرُ بِشَهْوَةٍ فَحَرَامٌ قَطْعًا لِكُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرِ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ شَرْحُ م ر قَالَ ع ش عُمُومُهُ يَشْمَلُ الْجَمَادَاتِ فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إلَيْهَا بِشَهْوَةٍ  --أنظر سليمان البجيرمي، التجريد لنفع العبيد، المكتبة الإسلامية-تركيا، ج، 3، ص. 326
“Adapun melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram dan selainnya, selain istri dan budaknya, secara pasti adalah haram (Syarh Muhammad ar-Ramli). (Dalam hal ini) Ali asy-Syibramalisi menyatakan bahwa keumuman keharaman ini meliputi benda-benda mati. Karenanya, haram melihat benda-benda mati dengan disertai syahwat” (Lihat, Sulaiman al-Bujairimi, at-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, al-Maktabah al-Islamiyyah-Turkey, tt, juz, 3, h. 326).

Dengan mengacu kepada pandangan yang kedua, maka menonton film porno bagi suami-istri adalah haram. Sebab, melihat benda mati saja jika disertai dengan syahwat itu hukumnya haram, apalagi melihat film porno.

Sebenarnya, masih banyak cara-cara lain yang diajarkan Islam untuk menambah gairah seksual pasangan suami-istri. Seperti melakukan cumbu-rayu dan ciuman sebelum melakukan hubungan badan, dan lain-lain. Karenanya, kami lebih cenderung kepada pendapat yang kedua.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Dan bagi pasangan suami-istri yang mengalami masalah seksual maka sebaiknya bersikaplah saling terbuka. Bicarakan baik-baik dengan pasangan. Dan kalau memang perlu berkonsultasilah kepada ahlinya. (nu/pahamilah)