middle ad
Tampilkan postingan dengan label Nikah Beda Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nikah Beda Agama. Tampilkan semua postingan
Jimly Assiddiqie 

Pahamilah.com - Pakar hukum tata negara, Jimly Asshidiqqie menilai, pasal pernikahan pasangan beda agama di UU Perkawinan sudah jelas.

Secara implisit, katanya, UU Perkwainan mendidik warga negara sebaiknya menikah dengan pasangan yang keyakinannya sama. Tujuannya, untuk menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis.

"Karena yang mulia dari satu keluarga itu jika satu agama. Kalau mau pindah agama boleh, tapi intinya satu keluarga dijalankan satu agama untuk menjamin keharmonisan," ujar Jimly di Jakarta, Selasa (9/9).

Menurutnya, pernikahan antara pasangan beda agama sah saja. Selama tidak dilangsungkan di Indonesia.

Karenanya, kata dia, jika ada kelompok yang tidak setuju dengan larangan pernikahan beda agama, maka sebaiknya keluar ke negara lain. Lantaran pernikahan merupakan pilihan hidup.

Jika tetap ingin menjalin kehidupan keluarga dengan pasangan beda agama, kata dia, maka orang yang mengambil keputusan tersebut harus mengupayakan di tempat yang melegalkan.

"Pernikahan beda agama kan legal. Tapi bukan di sini. Daripada ribet, gak masalah ke Singapura saja," ungkapnya.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, tidak elok jika memaksakan orang lain untuk mengikuti pola pikir tentang suatu hal. Jika memandang pernikahan antara pasangan beda agama bisa dilegalkan, maka harus mencari jalan keluar sendiri.

"Tidak usah memaksa orang yang tidak sepaham untuk mengikuti cara berpikiran yang sama. Nah, kalau ada yang tidak setuju (nikah beda agama), dia cari jalan keluar di tempat lain," kata Jimly.. (republika/pahamilah)

Jimly: Pernikahan Beda Agama kan Legal, Tapi...

Jimly Assiddiqie 

Pahamilah.com - Pakar hukum tata negara, Jimly Asshidiqqie menilai, pasal pernikahan pasangan beda agama di UU Perkawinan sudah jelas.

Secara implisit, katanya, UU Perkwainan mendidik warga negara sebaiknya menikah dengan pasangan yang keyakinannya sama. Tujuannya, untuk menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis.

"Karena yang mulia dari satu keluarga itu jika satu agama. Kalau mau pindah agama boleh, tapi intinya satu keluarga dijalankan satu agama untuk menjamin keharmonisan," ujar Jimly di Jakarta, Selasa (9/9).

Menurutnya, pernikahan antara pasangan beda agama sah saja. Selama tidak dilangsungkan di Indonesia.

Karenanya, kata dia, jika ada kelompok yang tidak setuju dengan larangan pernikahan beda agama, maka sebaiknya keluar ke negara lain. Lantaran pernikahan merupakan pilihan hidup.

Jika tetap ingin menjalin kehidupan keluarga dengan pasangan beda agama, kata dia, maka orang yang mengambil keputusan tersebut harus mengupayakan di tempat yang melegalkan.

"Pernikahan beda agama kan legal. Tapi bukan di sini. Daripada ribet, gak masalah ke Singapura saja," ungkapnya.

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, tidak elok jika memaksakan orang lain untuk mengikuti pola pikir tentang suatu hal. Jika memandang pernikahan antara pasangan beda agama bisa dilegalkan, maka harus mencari jalan keluar sendiri.

"Tidak usah memaksa orang yang tidak sepaham untuk mengikuti cara berpikiran yang sama. Nah, kalau ada yang tidak setuju (nikah beda agama), dia cari jalan keluar di tempat lain," kata Jimly.. (republika/pahamilah)

Slamet Effendy Yusuf 

Pahamilah.com - Majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) sepakat memberikan kewenangan penuh kepada masing-masing agama untuk membuat ketentuan perkawinan sesuai ajara agamanya, termasuk ketentuan perkawinan beda agama.

"Kami sepakat untuk menyerahkan sepenuhnya pemberian izin atau larangan terkait perkawinan beda agama kepada masing-masing agama sesuai ajarannya," kata Slamet Effendy Yusuf, perwakilan MUI dalam pengumuman Kesepakatan Bersama di kantor MUI, Jumat.

Ia mengatakan bahwa kesepakatan tersebut didasarkan kepada kesadaran bahwa perkawinan adalah peristiwa yang sakral, karenanya harus dilakukan sesuai ajaran agama masing-masing individu yang bersangkutan.

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kewajiban negara muncul setelah agama memberikan status sah kepada sebuah perkawinan.

"Negara wajib mencatat perkawinan yang disahkan oleh agama sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974," katanya.

Ia juga mengatakan MATP tidak secara langsung menyatakan sikap menolak atau menerima sebuah pernikahan beda agama, karena sikap tersebut menjadi hak setiap agama untuk menentukan.

MATP yang terdiri dari MUI (majelis Islam), PGI (majelis Kristen Protestan), KWI (majelis Katolik), PHDI (majelis Hindu), WALUBI (majelis Buddha) dan MATAKIN (majelisjk Kong Hu Cu) mengadakan pertemuan di kantor MUI untuk membahas mengenai pernikahan beda agama pada Jumat. (republika/pahamilah)

Agama Dijadikan Penentu Pernikahan Beda Iman

Slamet Effendy Yusuf 

Pahamilah.com - Majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) sepakat memberikan kewenangan penuh kepada masing-masing agama untuk membuat ketentuan perkawinan sesuai ajara agamanya, termasuk ketentuan perkawinan beda agama.

"Kami sepakat untuk menyerahkan sepenuhnya pemberian izin atau larangan terkait perkawinan beda agama kepada masing-masing agama sesuai ajarannya," kata Slamet Effendy Yusuf, perwakilan MUI dalam pengumuman Kesepakatan Bersama di kantor MUI, Jumat.

Ia mengatakan bahwa kesepakatan tersebut didasarkan kepada kesadaran bahwa perkawinan adalah peristiwa yang sakral, karenanya harus dilakukan sesuai ajaran agama masing-masing individu yang bersangkutan.

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kewajiban negara muncul setelah agama memberikan status sah kepada sebuah perkawinan.

"Negara wajib mencatat perkawinan yang disahkan oleh agama sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974," katanya.

Ia juga mengatakan MATP tidak secara langsung menyatakan sikap menolak atau menerima sebuah pernikahan beda agama, karena sikap tersebut menjadi hak setiap agama untuk menentukan.

MATP yang terdiri dari MUI (majelis Islam), PGI (majelis Kristen Protestan), KWI (majelis Katolik), PHDI (majelis Hindu), WALUBI (majelis Buddha) dan MATAKIN (majelisjk Kong Hu Cu) mengadakan pertemuan di kantor MUI untuk membahas mengenai pernikahan beda agama pada Jumat. (republika/pahamilah)

Slamet Effendy Yusuf 

Pahamilah.com - Majelis-majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) menyatakan pernikahan beda agama harus disesuaikan menurut keyakinan dan ajaran agama masing-masing.

"Kami telah membuat kesepakatan di dalam MATP terkait perkawinan beda agama, jadi tidak usah dipermasalahan lagi," ucap Perwakilan MUI Slamet Effendy Yusuf di Jakarta, Jumat (12/9)

Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan rapat pada Jumat (12/9) dengan para majelis agama diantaranya MUI, PGI, PHDI, WALUBI dan MATAKIN.

Untuk diketahui rapat MATP itu dihadiri oleh para pengurus majelis-majelis agama yang ada di Indonesia dan dihadiri13 orang yang guna mengikuti rapat itu.

Rapat MATP berlangsung di Kantor Majelis Ulama Indonesia dimana ada enam orang dari MUI, satu orang dari PGI KWI dan MATAKIN serta dua orang dari WALUBI dan PHDI.

Usai rapat tersebut pihak MATP langsung menggelar konfrensi Pers di Aula Kantor MUI yang berada di Jakarta untuk mengumumkan hasil kesepakatan terhadap kawin beda agama.

Hasil rapat tersebut para majelis membuat tiga kesepakatan yaitu perkawinan adalah peristiwa yang sakral oleh sebab itu pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Bukan itu saja, negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU No 1 Tahun 1974 dan kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicatatkan dicatatan sipil sesuai UU No 23 Tahun 2006 jo UU No 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.

"Semuanya sudah jelas dan pada dasarnya disesuaikan menurut agama masing-masing," ucap pria yang suka menggunakan kaca mata itu. (republika/pahamilah)

Jalan Tengah Pernikahan Agama, Pemimpin Agama Tegaskan Sesuai Keyakinan

Slamet Effendy Yusuf 

Pahamilah.com - Majelis-majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) menyatakan pernikahan beda agama harus disesuaikan menurut keyakinan dan ajaran agama masing-masing.

"Kami telah membuat kesepakatan di dalam MATP terkait perkawinan beda agama, jadi tidak usah dipermasalahan lagi," ucap Perwakilan MUI Slamet Effendy Yusuf di Jakarta, Jumat (12/9)

Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan rapat pada Jumat (12/9) dengan para majelis agama diantaranya MUI, PGI, PHDI, WALUBI dan MATAKIN.

Untuk diketahui rapat MATP itu dihadiri oleh para pengurus majelis-majelis agama yang ada di Indonesia dan dihadiri13 orang yang guna mengikuti rapat itu.

Rapat MATP berlangsung di Kantor Majelis Ulama Indonesia dimana ada enam orang dari MUI, satu orang dari PGI KWI dan MATAKIN serta dua orang dari WALUBI dan PHDI.

Usai rapat tersebut pihak MATP langsung menggelar konfrensi Pers di Aula Kantor MUI yang berada di Jakarta untuk mengumumkan hasil kesepakatan terhadap kawin beda agama.

Hasil rapat tersebut para majelis membuat tiga kesepakatan yaitu perkawinan adalah peristiwa yang sakral oleh sebab itu pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Bukan itu saja, negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU No 1 Tahun 1974 dan kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicatatkan dicatatan sipil sesuai UU No 23 Tahun 2006 jo UU No 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.

"Semuanya sudah jelas dan pada dasarnya disesuaikan menurut agama masing-masing," ucap pria yang suka menggunakan kaca mata itu. (republika/pahamilah)

Pernikahan

Oleh Ustad Abu Zaid

Pahamilah.com - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Anbar Jayadi bersama empat orang temannya menggugat UU Pernikahan ke MK. Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.”

"Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya; akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas," kata Anbar di Gedung MK, lebih dari sepekan lalu.

Sementara itu, peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, menyatakan sangat mendukung upaya itu. Ia menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini, menurut dia, sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.

Ketua Moderate Muslim Society, Zuhairi Misrawi, mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan dari negara. Komnas HAM, sebagaimana bisa kita baca via media massa, juga mendukung upaya uji materi itu untuk melegalkan pernikahan beda agama.

Semua itu menjadi isyarat yang jelas bahwa ada banyak kalangan yang terus menyasar Islam dan syariahnya. Tentu kita masih ingat kasus counter legal draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satunya adalah tuntutan pelegalan nikah beda agama ini. Apa yang terjadi ini makin menegaskan, bahwa sekularisme dan isu HAM tak lebih dari alat untuk menyerang Islam.

Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinaan lain akan diminta dilegalkan.

Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya: Pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan dan sebagainya. Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu lebar dan legal bagi upaya permurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya pemurtadan itu justru akan makin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara. Tentu semua itu amat berbahaya bagi umat.

Cinta Buta

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan
sesungguhnya adalah “cinta buta”. Cinta, yang merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya. Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut agar menikahi siapa saja dibolehkan.

Itu artinya, cinta atau naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri seksual itu.

Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa cinta itu mereka biarkan tanpa kendali. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta. Karena mereka tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai Muslim, mereka pun menabrak rambu-rambu yang dilarang. Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.
Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim seharusnya menjadikan halal-haram sebagai standar.

Agama Mengharamkan

Berkaitan dengan nikah beda agama, Allah SWT berfirman:
... Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya... (QS al-Baqarah [2]: 221).

Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysr f Ushl at-Tafsr (hlm. 293-297) menjelaskan, bahwa larangan ayat ini dikaitkan dengan qarinah yang menunjukkan larangan itu bersifat tegas (jazim) yaitu: ulika yad’na ila an-nr (mereka mengajak ke neraka). Jadi, ayat ini mengharamkan perkawinan pria Mukmin dengan wanita kafir dan perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir. Hanya saja, keumuman itu di-takhshish oleh firman Allah SWT:


Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kalian dan makanan kalian pun halal bagi mereka. (Halal pula menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di kalangan para wanita yang beriman dan para wanita yang menjaga kehormatan di kalangan orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).

Dengan demikian, perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria Mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) baik Budha, Hindu, Konghucu, aliran kepercayaan dan lainnya juga haram.

Adapun perkawinan pria Mukmin dengan wanita Ahlul Kitab (Nasrani atau Yahudi) adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshant yaitu ‘afft (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).

Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afft itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.

Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk menikahi wanita Mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanuta Ahlul Kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia, “Ceraikan dia!”
Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?” Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita Mukmin.”

Konsekuensi Nikah Beda Agama

Nikah beda agama dan pernikahan yang dilakukan dengan akad yang menyalahi syariah Islam seperti di catatan sipil, secara syar’i, adalah batil. Meski mungkin sah secara administratif dan dilegalkan negara, dalam pandangan Islam pernikahan itu tetap batil, tidak sah.

Ada beberapa konsekuensi dari pernikahan batil semacam ini. Pertama: hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina. Kedua: pertalian nasab bapak biologis dengan anaknya terputus. Bapak biologisnya tidak diakui sebagai walinya karena nasabnya terputus. Ketiga: hukum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada. Keempat: antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris.

Kelima: jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya yang merupakan hasil nikah beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah. Dampaknya, akad pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami-istrinya pun tidak sah.

Karena semua itu, jika gugatan ini sampai dikabulkan MK, dan bahkan nikah beda agama yang diharamkan oleh Islam itu dilegalkan, maka hanya ada satu kata, tunggulah kehancuran. (inilah/pahamilah)


Nikah Beda Agama: Banyak Konsekuensi Negatif

Pernikahan

Oleh Ustad Abu Zaid

Pahamilah.com - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Anbar Jayadi bersama empat orang temannya menggugat UU Pernikahan ke MK. Menurut dia, Pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.”

"Kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa ke depannya; akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas," kata Anbar di Gedung MK, lebih dari sepekan lalu.

Sementara itu, peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, menyatakan sangat mendukung upaya itu. Ia menyebutkan, salah satu prinsip dasar dalam perkawinan adalah kerelaan dari kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Hal ini, menurut dia, sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.

Ketua Moderate Muslim Society, Zuhairi Misrawi, mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan dari negara. Komnas HAM, sebagaimana bisa kita baca via media massa, juga mendukung upaya uji materi itu untuk melegalkan pernikahan beda agama.

Semua itu menjadi isyarat yang jelas bahwa ada banyak kalangan yang terus menyasar Islam dan syariahnya. Tentu kita masih ingat kasus counter legal draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satunya adalah tuntutan pelegalan nikah beda agama ini. Apa yang terjadi ini makin menegaskan, bahwa sekularisme dan isu HAM tak lebih dari alat untuk menyerang Islam.

Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, maka dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang Islam itu dilegalkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktik perzinaan lain akan diminta dilegalkan.

Jika nikah beda agama itu disahkan maka akibatnya: Pertama, pengesahan ini akan menjadi pintu untuk meruntuhkan banyak ketentuan Islam, terutama yang berkaitan dengan akibat dari pernikahan seperti hukum waris, perwalian, nafkah, hubungan pria-wanita di dalam pernikahan dan sebagainya. Kedua, pengesahan ini juga akan membuka pintu lebar dan legal bagi upaya permurtadan. Selama ini, meski nikah beda agama tidak dilegalkan, motif cinta dan pernikahan seperti itu banyak digunakan untuk pemurtadan. Apalagi jika nanti dilegalkan, upaya pemurtadan itu justru akan makin gencar dan meluas karena telah dilegalkan oleh negara. Tentu semua itu amat berbahaya bagi umat.

Cinta Buta

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan
sesungguhnya adalah “cinta buta”. Cinta, yang merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya. Dengan alasan nanti tidak tahu akan suka dengan siapa, dan bisa saja menyukai orang beda agama, sementara cinta mereka anggap sebagai bagian dari HAM dan tidak boleh dikekang, mereka pun menuntut agar menikahi siapa saja dibolehkan.

Itu artinya, cinta atau naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi. Jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya; manusia yang mengendalikan naluri seksual itu.

Pola pikir seperti itu tidak mempunyai standar halal-haram. Rasa cinta itu mereka biarkan tanpa kendali. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa membedakan: kepada dan dengan siapa mereka bercinta. Karena mereka tidak menggunakan standar berpikir yang benar sebagai Muslim, mereka pun menabrak rambu-rambu yang dilarang. Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.
Pola pikir demikian tentu tidak selayaknya dimiliki oleh seorang Muslim. Seorang Muslim seharusnya menjadikan halal-haram sebagai standar.

Agama Mengharamkan

Berkaitan dengan nikah beda agama, Allah SWT berfirman:
... Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita Mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan kaum musyrik (dengan para wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya... (QS al-Baqarah [2]: 221).

Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysr f Ushl at-Tafsr (hlm. 293-297) menjelaskan, bahwa larangan ayat ini dikaitkan dengan qarinah yang menunjukkan larangan itu bersifat tegas (jazim) yaitu: ulika yad’na ila an-nr (mereka mengajak ke neraka). Jadi, ayat ini mengharamkan perkawinan pria Mukmin dengan wanita kafir dan perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir. Hanya saja, keumuman itu di-takhshish oleh firman Allah SWT:


Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagi kalian dan makanan kalian pun halal bagi mereka. (Halal pula menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di kalangan para wanita yang beriman dan para wanita yang menjaga kehormatan di kalangan orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kalian (QS al-Maidah [5]: 5).

Dengan demikian, perkawinan wanita Mukmin dengan pria kafir adalah haram secara mutlak. Perkawinan pria Mukmin dengan wanita musyrik (selain Yahudi dan Nasrani) baik Budha, Hindu, Konghucu, aliran kepercayaan dan lainnya juga haram.

Adapun perkawinan pria Mukmin dengan wanita Ahlul Kitab (Nasrani atau Yahudi) adalah halal/boleh, namun dibatasi hanya dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshant yaitu ‘afft (yang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya).

Di tengah dunia yang didominasi oleh kebebasan berperilaku, perempuan mengumbar aurat, pergaulan bebas merajalela, perbuatan mendekati zina bahkan zina terjadi di mana-mana, rasanya sulit memenuhi sifat afft itu. Apalagi harus disadari bahwa meski dibolehkan, perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab yang muhshanat tetap bisa mendatangkan banyak persoalan di kemudian hari.

Khalifah Umar bin Khathab ra. menghendaki agar itu tidak dijadikan pilihan pertama, melainkan terakhir; artinya tetap mendahulukan untuk menikahi wanita Mukmin. Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanuta Ahlul Kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia, “Ceraikan dia!”
Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menceraikan dia?” Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun, aku takut kalian menjauhi wanita Mukmin.”

Konsekuensi Nikah Beda Agama

Nikah beda agama dan pernikahan yang dilakukan dengan akad yang menyalahi syariah Islam seperti di catatan sipil, secara syar’i, adalah batil. Meski mungkin sah secara administratif dan dilegalkan negara, dalam pandangan Islam pernikahan itu tetap batil, tidak sah.

Ada beberapa konsekuensi dari pernikahan batil semacam ini. Pertama: hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina. Kedua: pertalian nasab bapak biologis dengan anaknya terputus. Bapak biologisnya tidak diakui sebagai walinya karena nasabnya terputus. Ketiga: hukum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada. Keempat: antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris.

Kelima: jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya yang merupakan hasil nikah beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah. Dampaknya, akad pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami-istrinya pun tidak sah.

Karena semua itu, jika gugatan ini sampai dikabulkan MK, dan bahkan nikah beda agama yang diharamkan oleh Islam itu dilegalkan, maka hanya ada satu kata, tunggulah kehancuran. (inilah/pahamilah)


Nikah

Pahamilah.com - Lima anak muda alumnus dan mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia (UI) pekan-pekan ini menyedot perhatian publik. Mereka mengajukan judicial review alias uji materiatas pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka beralasan, ketentuanmelanggar HAM pasangan nikah beda agama.

Mereka menafsirkan, Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaan itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.

Salah satu pemohon Anbar Jayadi berpendapat pasal tersebut membuat rakyat Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama melakukan penyelundupan hukum. Caranya, menggunakan modus pernikahan di luar negeri atau juga penikahan secara adat.

Bagaimana Islam memandang pernikahan beda agama (PBA)? Para ulama sepakat, bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah dengan laki-laki nonmuslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu, Konghuchu, dan lainnya).

Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam QS al Baqarah:221, yang artinya:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka (laki-laki musyrik itu) beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."

Sampai di sini ulama sepakat. Clear! Silang pendapat baru terjadi pada bolehkah laki-laki muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)? Sebagain ulama berpendapat boleh. Dalilnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. Bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman(tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapuslah amalannya dan di hari kiamat termasuk orang-orang merugi."

Sebagian lain berpendapat pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim tidak boleh. Alasannya, ahlul kitab yang hidup di zaman sekarang tidaklah sama dengan ahlul kitab di masa Nabi Muhammad SAW. Tegasnya, ahlul kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik. Ini disebabkan kaum nashrani meyakini bahwa Isa adalah anak Allah. Sedangkan kaum Yahudi berpendapat Uzair anak Allah.

Dengan fakta bahwa seluruh ahlul kitab zaman kini telah musyrik, maka dalil yang digunakan sebagai sandaran adalah kembali pada “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (QS al Baqarah:221).

Lagi pula, perempuan ahlul kitab yang disyaratkan dalam QS al Maidah:5 itu haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina. Dengan kriteria tersebut, kelompok yang membolehkan pria muslim menikahi ahlul kitab harus mengusahakan calon istrinya memenuhi syarat tadi.

Sakinah mawaddah warohmah

Satu hal yang pasti, PBA tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagal tujuan utama dilaksanakannya pernikahan. Padahal, seperti firman Allah dalam QS Ar Rum:21 yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang (sakinah mawaddah warrohmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Frase sakinah mawaddah warohmah sudah amat populer di kalangan muslim. Kalimat ini adalah doa yang nyaris selalu ‘dihadiahkan’ kepada pasangan yang baru saja menikah. Secara bahasa, sakinah berarti tenang, tentram.Mawaddahberarticinta, harapan. sedangkan rahmahbermakna kasih sayang. Dengan demikian, secara sederhana doa ini dapat dimaknai sebagai berkeluarga dengan damai, tenang dan tentram dalam cinta dan kasih sayang. Sungguh doa yang amat indah.

Pertanyaan utama yang harus diajukan kepada para penolak syariat Allah atas nama HAM, pluralisme, dan yang sebangsanya adalah, apa tujuan kalian menikah? Apa sekadar menyalurkan hasrat seksual secara ‘sah’ dan ‘legal’ karena sudah merasa diikat dengan tali perkawinan?

Buat setiap muslim, perkawinan bukan sekadar menyalurkan hajat seks secara halal. Ada tujuan lain yang lebih besar dan lebih mulia ketimbang sekadar hal itu. Tujuan besar dan mulia ini adalah membangun keluarga guna melahirkan generasi yang bertaqwa dan bersyukur kepada Allah SWT.

Sampai di sini menjadi benderang, bahwa mustahil sebuah keluarga yang dibangun dengan landasan agama berbeda akan mencapai tujuan agung dan mulia tersebut. Bagaimana mungkin pasangan ini bisa mewujudkan cita-cita mulia tersebut, jika berbeda akidah? Bagaimana mereka akan mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak-anak yang kelak akan lahir? Nilai-nilai agama ibu atau bapaknyakah yang akan diwariskan kepada anak-anak mereka?

Lalu, saat salah satu atau keduanya wafat, jenazah mereka akan diurus secara agama apa? Agama yang meninggal, atau agama anak-anak yang masih hidup? Kalau menurut agama anak-anak, agama si sulung, si tengah, bungsu, atau anak nomor kesekian yang dipakai? Bukankah agama masing-masing anak pun bisa saja berbeda? Bagaimana memutuskan agama anak mana yang akan digunakan untuk mengurus jenazah ibu atau bapaknya?

Daftar persoalan bisa saja akan semakin panjang dari pernikahan beda agama ini. Anak-anak muda sekarang menyebutnya ribet. Untuk seabrek keribetan inikah kalin ngotot menikah dengan berbeda agama?

Mungkin mereka akan berdalih, perkara agama akan diserahkan kepada anak-anak saat mereka sudah dewasa dan bisa memutuskan. Jika ini yang terjadi, maka muslim yang menikah beda agama, terlebih lagi yang laki-laki, sudah menabrak firman Allah dalam QS At Tahrim:6, yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Padahal Allah sudah berfirman, bahwa hanya agama yang diterima di sisiNya hanyalah Islam (QS Ali Imran:19). Dalam firmannya yang lain, Allah menegaskan, mereka yang mencari agama selain Islam segala amalnya tertolak. Di akhirat mereka termasuk orang-orang yang merugi (QS Ali Imran:85).

Dalam Islam, menikah adalah bagian dari beribadah kepada Allah. Teramat banyak pelanggaran syariat yang dilakukan dalam pernikahan beda agama (PBA). Bagaimana mungkin menuju surga dengan melakukan banyak maksiat kepada Allah? Ibaratnya, mau menuju surga tapi menempuh jalan neraka. Bukankah tiap pelanggaran atas ketentuan Allah adalah dosa? Kecuali Allah menghendaki lain, maka tempat para pendosa adalah neraka jahanam. Na’udzu billahi mindzalik....

Jadi wilayah agama

Satu hal yang harus dipahami, sejatinya masalah perkawinan masuk dalam wilayah. Ia bukan sekadar urusan dua anak manusia yang mabuk kepayang karena cinta apalagi sekadar diperbudak syahwat. Karenanya, pernikahan tidak bisa dan tidak boleh diatur semata-mata dengan kemauan manusia, termasuk dengan dalih HAM, pluralisme, atau yang lainnya.

Pada konteks ini, uji materi pasal 2 ayat 1 UU No. UU No 1/1974 tentang Perkawinanyang diajukan lima anak muda semestinya tidak bisa diterima. Mungkin saja secara upaya yang mereka tempuh dengan maju ke MK bisa dianggap sebagai langkah yang pas untuk memenuhi hak konstitusionalnya. Namun secara substansi, pasal tadi tidak boleh dibatalkan.

Lagi pula, posisi negara hanya sebatas mencatat adanya peristiwa hukum perkawinan (fungsi administrasi). Sementara, sah atau tidak sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan negara. Dengan kata lain, negara tidak punya otoritas mengesahkan perkawinan. Menghapus pasal 2 ayat 1 UUP 1974 bukan cuma inkonstitusional, tapi bisa dimaknai melegalkan warga negara berbuat dosa. (inilah/pahamilah)


Nikah Beda Agama: Menuju Surga Lewat Jalan Neraka

Nikah

Pahamilah.com - Lima anak muda alumnus dan mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia (UI) pekan-pekan ini menyedot perhatian publik. Mereka mengajukan judicial review alias uji materiatas pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka beralasan, ketentuanmelanggar HAM pasangan nikah beda agama.

Mereka menafsirkan, Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaan itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.

Salah satu pemohon Anbar Jayadi berpendapat pasal tersebut membuat rakyat Indonesia yang hendak melangsungkan pernikahan beda agama melakukan penyelundupan hukum. Caranya, menggunakan modus pernikahan di luar negeri atau juga penikahan secara adat.

Bagaimana Islam memandang pernikahan beda agama (PBA)? Para ulama sepakat, bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah dengan laki-laki nonmuslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki muslim haram menikah dengan wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu, Konghuchu, dan lainnya).

Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam QS al Baqarah:221, yang artinya:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka (laki-laki musyrik itu) beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran."

Sampai di sini ulama sepakat. Clear! Silang pendapat baru terjadi pada bolehkah laki-laki muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)? Sebagain ulama berpendapat boleh. Dalilnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu. Bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman(tidak menerima hukum-hukum islam) maka hapuslah amalannya dan di hari kiamat termasuk orang-orang merugi."

Sebagian lain berpendapat pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan nonmuslim tidak boleh. Alasannya, ahlul kitab yang hidup di zaman sekarang tidaklah sama dengan ahlul kitab di masa Nabi Muhammad SAW. Tegasnya, ahlul kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik. Ini disebabkan kaum nashrani meyakini bahwa Isa adalah anak Allah. Sedangkan kaum Yahudi berpendapat Uzair anak Allah.

Dengan fakta bahwa seluruh ahlul kitab zaman kini telah musyrik, maka dalil yang digunakan sebagai sandaran adalah kembali pada “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (QS al Baqarah:221).

Lagi pula, perempuan ahlul kitab yang disyaratkan dalam QS al Maidah:5 itu haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina. Dengan kriteria tersebut, kelompok yang membolehkan pria muslim menikahi ahlul kitab harus mengusahakan calon istrinya memenuhi syarat tadi.

Sakinah mawaddah warohmah

Satu hal yang pasti, PBA tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagal tujuan utama dilaksanakannya pernikahan. Padahal, seperti firman Allah dalam QS Ar Rum:21 yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang (sakinah mawaddah warrohmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Frase sakinah mawaddah warohmah sudah amat populer di kalangan muslim. Kalimat ini adalah doa yang nyaris selalu ‘dihadiahkan’ kepada pasangan yang baru saja menikah. Secara bahasa, sakinah berarti tenang, tentram.Mawaddahberarticinta, harapan. sedangkan rahmahbermakna kasih sayang. Dengan demikian, secara sederhana doa ini dapat dimaknai sebagai berkeluarga dengan damai, tenang dan tentram dalam cinta dan kasih sayang. Sungguh doa yang amat indah.

Pertanyaan utama yang harus diajukan kepada para penolak syariat Allah atas nama HAM, pluralisme, dan yang sebangsanya adalah, apa tujuan kalian menikah? Apa sekadar menyalurkan hasrat seksual secara ‘sah’ dan ‘legal’ karena sudah merasa diikat dengan tali perkawinan?

Buat setiap muslim, perkawinan bukan sekadar menyalurkan hajat seks secara halal. Ada tujuan lain yang lebih besar dan lebih mulia ketimbang sekadar hal itu. Tujuan besar dan mulia ini adalah membangun keluarga guna melahirkan generasi yang bertaqwa dan bersyukur kepada Allah SWT.

Sampai di sini menjadi benderang, bahwa mustahil sebuah keluarga yang dibangun dengan landasan agama berbeda akan mencapai tujuan agung dan mulia tersebut. Bagaimana mungkin pasangan ini bisa mewujudkan cita-cita mulia tersebut, jika berbeda akidah? Bagaimana mereka akan mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak-anak yang kelak akan lahir? Nilai-nilai agama ibu atau bapaknyakah yang akan diwariskan kepada anak-anak mereka?

Lalu, saat salah satu atau keduanya wafat, jenazah mereka akan diurus secara agama apa? Agama yang meninggal, atau agama anak-anak yang masih hidup? Kalau menurut agama anak-anak, agama si sulung, si tengah, bungsu, atau anak nomor kesekian yang dipakai? Bukankah agama masing-masing anak pun bisa saja berbeda? Bagaimana memutuskan agama anak mana yang akan digunakan untuk mengurus jenazah ibu atau bapaknya?

Daftar persoalan bisa saja akan semakin panjang dari pernikahan beda agama ini. Anak-anak muda sekarang menyebutnya ribet. Untuk seabrek keribetan inikah kalin ngotot menikah dengan berbeda agama?

Mungkin mereka akan berdalih, perkara agama akan diserahkan kepada anak-anak saat mereka sudah dewasa dan bisa memutuskan. Jika ini yang terjadi, maka muslim yang menikah beda agama, terlebih lagi yang laki-laki, sudah menabrak firman Allah dalam QS At Tahrim:6, yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Padahal Allah sudah berfirman, bahwa hanya agama yang diterima di sisiNya hanyalah Islam (QS Ali Imran:19). Dalam firmannya yang lain, Allah menegaskan, mereka yang mencari agama selain Islam segala amalnya tertolak. Di akhirat mereka termasuk orang-orang yang merugi (QS Ali Imran:85).

Dalam Islam, menikah adalah bagian dari beribadah kepada Allah. Teramat banyak pelanggaran syariat yang dilakukan dalam pernikahan beda agama (PBA). Bagaimana mungkin menuju surga dengan melakukan banyak maksiat kepada Allah? Ibaratnya, mau menuju surga tapi menempuh jalan neraka. Bukankah tiap pelanggaran atas ketentuan Allah adalah dosa? Kecuali Allah menghendaki lain, maka tempat para pendosa adalah neraka jahanam. Na’udzu billahi mindzalik....

Jadi wilayah agama

Satu hal yang harus dipahami, sejatinya masalah perkawinan masuk dalam wilayah. Ia bukan sekadar urusan dua anak manusia yang mabuk kepayang karena cinta apalagi sekadar diperbudak syahwat. Karenanya, pernikahan tidak bisa dan tidak boleh diatur semata-mata dengan kemauan manusia, termasuk dengan dalih HAM, pluralisme, atau yang lainnya.

Pada konteks ini, uji materi pasal 2 ayat 1 UU No. UU No 1/1974 tentang Perkawinanyang diajukan lima anak muda semestinya tidak bisa diterima. Mungkin saja secara upaya yang mereka tempuh dengan maju ke MK bisa dianggap sebagai langkah yang pas untuk memenuhi hak konstitusionalnya. Namun secara substansi, pasal tadi tidak boleh dibatalkan.

Lagi pula, posisi negara hanya sebatas mencatat adanya peristiwa hukum perkawinan (fungsi administrasi). Sementara, sah atau tidak sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan negara. Dengan kata lain, negara tidak punya otoritas mengesahkan perkawinan. Menghapus pasal 2 ayat 1 UUP 1974 bukan cuma inkonstitusional, tapi bisa dimaknai melegalkan warga negara berbuat dosa. (inilah/pahamilah)


Yusril Ihza Mahendra 

Pahamilah.com - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pelegalan pernikahan beda agama tidak bisa terjadi di Indonesia. Pasalnya, dalam memutuskan sesuatu, negara harus bercermin pada kesadaran hukum masyarakat.

“Di Indonesia menurut saya tidak bisa,” kata mantan menteri hukum dan hak asasi manusia, kepada Republika Online (ROL), Senin (8/9)

Masyarakat Indonesia, kata Yusril, sangat menghargai kemajemukan hukum negara. Sehingga, prinsip hukum pernikahan tergantung pada prinsip-prinsip agama masing-masing. "Islam tidak bisa memakai hukum pernikahan Hindu misalnya. Jika ada yang berbeda, maka yang berlaku hukum antar golongan," jelas Yusri.

Oleh karenanya, jika ada pernikahan beda agama, maka hukum yang digunakan menggunakan hukum antar golongan.  Maka, hukum perkawinan yang berlaku sesuai dengan hukum perkawinan agama suami.

“Misalnya laki-laki Islam menikah dengan perempuan Konghucu. Maka yang berlaku hukum pernikahan agama laki-laki. Begitu juga sebaliknya. Masalahnya, diperbolehkan nggak dalam agama itu?”, jelas Yusril. (republika/pahamilah)

Yusril: Pelegalan Nikah Beda Agama tak Bisa Dilakukan

Yusril Ihza Mahendra 

Pahamilah.com - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pelegalan pernikahan beda agama tidak bisa terjadi di Indonesia. Pasalnya, dalam memutuskan sesuatu, negara harus bercermin pada kesadaran hukum masyarakat.

“Di Indonesia menurut saya tidak bisa,” kata mantan menteri hukum dan hak asasi manusia, kepada Republika Online (ROL), Senin (8/9)

Masyarakat Indonesia, kata Yusril, sangat menghargai kemajemukan hukum negara. Sehingga, prinsip hukum pernikahan tergantung pada prinsip-prinsip agama masing-masing. "Islam tidak bisa memakai hukum pernikahan Hindu misalnya. Jika ada yang berbeda, maka yang berlaku hukum antar golongan," jelas Yusri.

Oleh karenanya, jika ada pernikahan beda agama, maka hukum yang digunakan menggunakan hukum antar golongan.  Maka, hukum perkawinan yang berlaku sesuai dengan hukum perkawinan agama suami.

“Misalnya laki-laki Islam menikah dengan perempuan Konghucu. Maka yang berlaku hukum pernikahan agama laki-laki. Begitu juga sebaliknya. Masalahnya, diperbolehkan nggak dalam agama itu?”, jelas Yusril. (republika/pahamilah)

Buku nikah (Ilustrasi) 

Pahamilah.com - Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM, Maneger Nasution, menyatakan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pernikahan beda agama bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi UUD 1945.

"Gugatan uji materil ke MK terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat 1 tidak sejalan dengan prinsip sila 1 dan 2 Pancasila sebagai dasar negara," tegas Maneger dalam rilisnya kepada Republika, Senin (8/9).

Gugatan uji materiil itu, lanjut Maneger, juga bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 pasal 28B sebagai konstitusi negara. Bahkan, bertentangan dengan pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

"Jika gugatan itu dikabulkan, artinya negara sama saja tidak hadir menjamin warganya menjalankan hukum agama yang mereka anut," ujarnya.

Menurutnya, masalah perkawinan adalah domain agama. Jika pasal 2 ayat 1 itu dibatalkan, maka hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama.

Apalagi, lanjutnya, posisi negara hanya sebatas fungsi administrasi atau mencatat peristiwa perkawinan. Sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.

Maneger menyatakan para pendukung pernikahan antar agama berpendapat dengan pasal 16 ayat (1) dalam Dasar Undang-Undang tentang HAM (DUHAM), yaitu:

"Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga...."

"Inilah alasan umum bagi mereka yang berpendapat boleh kawin berbeda agama dengan alasan HAM," paparnya

Di Indonesia, tidak ada pembatasan perkawinan karena etnis dan warna kulit. Tetapi tentang agama, jelas Maneger, dibatasi oleh UU. 

Jadi, Pasal 16 ayat (1) DUHAM itu harus dan sudah disesuaikan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undang serta budaya Indonesia.

Apalagi, ungkapnya, Dasar HAM di Indonesia adalah sila 1 dan 2 Pancasila. Dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 1, ditegaskan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Sedangkan perkawinan yang sah, jelasnya, hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasal 10 ayat 2, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

"Adapun pengaturan perkawinan di Indonesia itu merujuk pada UU Nomor 1 tahun 1974," jelas Maneger (republika/pahamilah)

Komnas HAM: Uji Materi Kawin Beda Agama Bertentangan dengan Dasar Negara

Buku nikah (Ilustrasi) 

Pahamilah.com - Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM, Maneger Nasution, menyatakan gugatan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pernikahan beda agama bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi UUD 1945.

"Gugatan uji materil ke MK terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat 1 tidak sejalan dengan prinsip sila 1 dan 2 Pancasila sebagai dasar negara," tegas Maneger dalam rilisnya kepada Republika, Senin (8/9).

Gugatan uji materiil itu, lanjut Maneger, juga bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 pasal 28B sebagai konstitusi negara. Bahkan, bertentangan dengan pasal 10 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

"Jika gugatan itu dikabulkan, artinya negara sama saja tidak hadir menjamin warganya menjalankan hukum agama yang mereka anut," ujarnya.

Menurutnya, masalah perkawinan adalah domain agama. Jika pasal 2 ayat 1 itu dibatalkan, maka hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama.

Apalagi, lanjutnya, posisi negara hanya sebatas fungsi administrasi atau mencatat peristiwa perkawinan. Sedangkan sah atau tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan hukum negara.

Maneger menyatakan para pendukung pernikahan antar agama berpendapat dengan pasal 16 ayat (1) dalam Dasar Undang-Undang tentang HAM (DUHAM), yaitu:

"Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga...."

"Inilah alasan umum bagi mereka yang berpendapat boleh kawin berbeda agama dengan alasan HAM," paparnya

Di Indonesia, tidak ada pembatasan perkawinan karena etnis dan warna kulit. Tetapi tentang agama, jelas Maneger, dibatasi oleh UU. 

Jadi, Pasal 16 ayat (1) DUHAM itu harus dan sudah disesuaikan dengan Pancasila, UUD 1945 dan Undang-Undang serta budaya Indonesia.

Apalagi, ungkapnya, Dasar HAM di Indonesia adalah sila 1 dan 2 Pancasila. Dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 1, ditegaskan setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Sedangkan perkawinan yang sah, jelasnya, hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasal 10 ayat 2, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

"Adapun pengaturan perkawinan di Indonesia itu merujuk pada UU Nomor 1 tahun 1974," jelas Maneger (republika/pahamilah)

Undangan Pernikahan (ilustrasi). 

Pahamilah.com - Gugatan lima mahasiswa dan alumnus Universitas Indonesia (UI) terhadap pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak sejalan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal prinsip itu yang menjadi salah satu dasar negara ini.

"Jika permohonan uji materi tersebut dikabulkan MK, maka itu sama saja artinya negara tidak lagi menjamin warganya untuk menjalankan hukum agama yang  mereka anut," kata pakar hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, Sabtu (6/9).

Asep menuturkan, Indonesia memang bukan negara agama. Namun ada beberapa aspek yang mendasari sistem hukum yang diterapkan di negara ini.

Salah satunya adalah kesadaran masyarakat untuk menjalankan hukum agamanya masing-masing. Termasuk di dalamnya masalah pernikahan.

"Masalah perkawinan itu wilayahnya agama. Oleh karena itu, jika pasal 2 ayat 1 dibatalkan maka itu artinya hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama," katanya.

Menurutnya, posisi negara hanya sebatas mencatat adanya peristiwa hukum perkawinan (fungsi administrasi). Sementara, sah atau tidak sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan negara.

"Dengan kata lain, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengabsahkan sebuah perkawinan. Karena sumber hukum perkawinan itu sendiri berasal dari hukum agama, bukan hukum buatan manusia," tuturnya.

Ia menambahkan, salah satu fungsi hukum agama adalah mencegah para penganutnya dari berbuat dosa. Sementara menurut pandangan agama yang diakui di Indonesia, menikah dengan orang berbeda keyakinan itu termasuk dosa.

Oleh sebab itu, Asep tidak setuju bila pasal 2 ayat 1 UUP 1974 dihapus. "Kalau dihapus, itu bukan sekadar inkonstitusional lagi namanya, tapi sudah melegalkan warga negara untuk berbuat dosa. Hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh negara yang menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasannya," kata Asep.

Sebelumnya, lima mahasiswa dan alumnus Universitas Indonesia (UI) mengajukan judicial review UUP 1974 yang menyatakan perkawinan beda agama tidak sah. Mereka beranggapan pasal 2 Ayat 1 pada UU tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional mereka.

Para pemohon uji materi UUP 1974 itu adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata dan Anbar Jayadi serta Luthfi‎ Sahputra.(republika/pahamilah)

Pahamilah; Alasan Nikah Beda Agama tak Bisa Dilegalkan di Indonesia

Undangan Pernikahan (ilustrasi). 

Pahamilah.com - Gugatan lima mahasiswa dan alumnus Universitas Indonesia (UI) terhadap pasal 2 ayat 1 UU No 1/1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak sejalan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal prinsip itu yang menjadi salah satu dasar negara ini.

"Jika permohonan uji materi tersebut dikabulkan MK, maka itu sama saja artinya negara tidak lagi menjamin warganya untuk menjalankan hukum agama yang  mereka anut," kata pakar hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, Sabtu (6/9).

Asep menuturkan, Indonesia memang bukan negara agama. Namun ada beberapa aspek yang mendasari sistem hukum yang diterapkan di negara ini.

Salah satunya adalah kesadaran masyarakat untuk menjalankan hukum agamanya masing-masing. Termasuk di dalamnya masalah pernikahan.

"Masalah perkawinan itu wilayahnya agama. Oleh karena itu, jika pasal 2 ayat 1 dibatalkan maka itu artinya hukum negara bakal menabrak hukum-hukum agama," katanya.

Menurutnya, posisi negara hanya sebatas mencatat adanya peristiwa hukum perkawinan (fungsi administrasi). Sementara, sah atau tidak sahnya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum agama, bukan negara.

"Dengan kata lain, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengabsahkan sebuah perkawinan. Karena sumber hukum perkawinan itu sendiri berasal dari hukum agama, bukan hukum buatan manusia," tuturnya.

Ia menambahkan, salah satu fungsi hukum agama adalah mencegah para penganutnya dari berbuat dosa. Sementara menurut pandangan agama yang diakui di Indonesia, menikah dengan orang berbeda keyakinan itu termasuk dosa.

Oleh sebab itu, Asep tidak setuju bila pasal 2 ayat 1 UUP 1974 dihapus. "Kalau dihapus, itu bukan sekadar inkonstitusional lagi namanya, tapi sudah melegalkan warga negara untuk berbuat dosa. Hal semacam ini tidak boleh dilakukan oleh negara yang menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasannya," kata Asep.

Sebelumnya, lima mahasiswa dan alumnus Universitas Indonesia (UI) mengajukan judicial review UUP 1974 yang menyatakan perkawinan beda agama tidak sah. Mereka beranggapan pasal 2 Ayat 1 pada UU tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional mereka.

Para pemohon uji materi UUP 1974 itu adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata dan Anbar Jayadi serta Luthfi‎ Sahputra.(republika/pahamilah)