middle ad
Tampilkan postingan dengan label Nusantara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nusantara. Tampilkan semua postingan
 (Ribuan warga berdesakan untuk bersilaturahmi di kediaman Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla, di Makassar, Sulsel, Selasa (29/7)

Radika (11), seorang anak warga Jalan Daeng Tantu, Kelurahan Rappokalling, Makassar, meninggal dunia karena terinjak-injak massa saat bersilaturahim terbuka (open house) Wakil Presiden terpilih, Jusuf Kalla, di rumah pribadinya, di Jalan Haji Bau, Makassar, Selasa siang.

"Dika terinjak-injak saat berdesak-desakan mengantre," kata keluarga korban Hawiah di Makassar, Selasa. Jenazah Radika kini disemayamkan di RS Stella Maris, Makassar.

Ribuan orang memadati rumah wakil presiden yang juga pemilik kelompok usaha terkemuka itu, yang akan memangku jabatannya pada 20 Oktober nanti bersama Presiden terpilih Joko Widodo.

Salah satu penyebab ribuan orang itu 'menyerbu' rumah Kalla karena ada pembagian uang tunai yang dikabarkan sebesar Rp50 ribu per orang, selain kotak makan siang. "Kami dapat kotak makanan dan uang Rp50 ribu," kata salah seorang warga yang turut mengantre, Dahlia.

Peristiwa mengenaskan serupa menimpa Radika sebetulnya sudah cukup sering terjadi dan mengemuka dalam pemberitaan.

Kebanyakan karena kelalaian tuan rumah dan kekurangan antisipasi dan cara pengamanan serta pembagian atas 'serbuan' warga yang datang, berebut sekadar uang pemberian atau sejenisnya. Akibat kelalaian itu, nyawa orang bisa melayang.

Selain Radika, enam warga lain yang berdesakan untuk 'berjuang' mendapatkan uang Rp50 ribu dan kotak makanan di rumah Kalla itu juga dirawat di ruang UGD rumah sakit.

Di balik peristiwa itu, warga menyesalkan mekanisme pembagian uang tunai yang hanya pada satu titik.
"Warga sebanyak ini, masa hanya satu pintu pembagian yang dibuka, seharusnya 10 titik," protes warga Jalan Nuri, Umar. (republika/pahamilah)


Kurang Antisipasi, Bocah 11 Tahun Tewas Terinjak-injak di Rumah JK

 (Ribuan warga berdesakan untuk bersilaturahmi di kediaman Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla, di Makassar, Sulsel, Selasa (29/7)

Radika (11), seorang anak warga Jalan Daeng Tantu, Kelurahan Rappokalling, Makassar, meninggal dunia karena terinjak-injak massa saat bersilaturahim terbuka (open house) Wakil Presiden terpilih, Jusuf Kalla, di rumah pribadinya, di Jalan Haji Bau, Makassar, Selasa siang.

"Dika terinjak-injak saat berdesak-desakan mengantre," kata keluarga korban Hawiah di Makassar, Selasa. Jenazah Radika kini disemayamkan di RS Stella Maris, Makassar.

Ribuan orang memadati rumah wakil presiden yang juga pemilik kelompok usaha terkemuka itu, yang akan memangku jabatannya pada 20 Oktober nanti bersama Presiden terpilih Joko Widodo.

Salah satu penyebab ribuan orang itu 'menyerbu' rumah Kalla karena ada pembagian uang tunai yang dikabarkan sebesar Rp50 ribu per orang, selain kotak makan siang. "Kami dapat kotak makanan dan uang Rp50 ribu," kata salah seorang warga yang turut mengantre, Dahlia.

Peristiwa mengenaskan serupa menimpa Radika sebetulnya sudah cukup sering terjadi dan mengemuka dalam pemberitaan.

Kebanyakan karena kelalaian tuan rumah dan kekurangan antisipasi dan cara pengamanan serta pembagian atas 'serbuan' warga yang datang, berebut sekadar uang pemberian atau sejenisnya. Akibat kelalaian itu, nyawa orang bisa melayang.

Selain Radika, enam warga lain yang berdesakan untuk 'berjuang' mendapatkan uang Rp50 ribu dan kotak makanan di rumah Kalla itu juga dirawat di ruang UGD rumah sakit.

Di balik peristiwa itu, warga menyesalkan mekanisme pembagian uang tunai yang hanya pada satu titik.
"Warga sebanyak ini, masa hanya satu pintu pembagian yang dibuka, seharusnya 10 titik," protes warga Jalan Nuri, Umar. (republika/pahamilah)



Aliran Baha'i Indonesia ternyata memiliki situs resmi yang sudah ada Sejak tahun 2011. Berdasarkan penjelasan dari http://bahaiindonesia.org,  aliran Baha'i sendiri berasal dari kata Bahá’u’lláh yang berarti Kemuliaan Tuhan. Pengikutnya mempercayai Bahá’u’lláh adalah Pembawa Wahyu Agama Bahá’í.

Salah satu kutipan dari Bahá’u’lláh yang menjadi tampilan website yaitu Agama Tuhan adalah untuk cinta dan kesatuan, janganlah menjadikannya sebagai sebab permusuhan dan perselisihan.

Dalam website ini juga terdapat kolom yang berjudul 'Baha'i percaya'. Kolom 'Baha'i percaya'  berisikan empat point. Diantaranya Baha'i Percaya Pria dan wanita adalah sama, Perdamaian Dunia adalah kebutuhan yang sangat mendesak dari jaman ini, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Semua agama berasal dari Tuhan.

Website ini tidak menjelaskan beberapa jumlah resmi pengikut aliran Baha'i yang ada di Indonesia. (republika/pahamilah)

Inilah Situs Resmi Agama Baha'i Indonesia


Aliran Baha'i Indonesia ternyata memiliki situs resmi yang sudah ada Sejak tahun 2011. Berdasarkan penjelasan dari http://bahaiindonesia.org,  aliran Baha'i sendiri berasal dari kata Bahá’u’lláh yang berarti Kemuliaan Tuhan. Pengikutnya mempercayai Bahá’u’lláh adalah Pembawa Wahyu Agama Bahá’í.

Salah satu kutipan dari Bahá’u’lláh yang menjadi tampilan website yaitu Agama Tuhan adalah untuk cinta dan kesatuan, janganlah menjadikannya sebagai sebab permusuhan dan perselisihan.

Dalam website ini juga terdapat kolom yang berjudul 'Baha'i percaya'. Kolom 'Baha'i percaya'  berisikan empat point. Diantaranya Baha'i Percaya Pria dan wanita adalah sama, Perdamaian Dunia adalah kebutuhan yang sangat mendesak dari jaman ini, Ketuhanan Yang Maha Esa dan Semua agama berasal dari Tuhan.

Website ini tidak menjelaskan beberapa jumlah resmi pengikut aliran Baha'i yang ada di Indonesia. (republika/pahamilah)

( Karikatur Jakarta Post, edisi Kamis 3 Juli 2014)


JAKARTA -Setelah menuai kritikan, pihak redaksi Jakarta Post merasa keliru telah membuat karikatur yang terkesan melecehkan umat Islam. Jakarta Post sempat mengidentifikasi kelompok Islam dengan segerombolan teroris melalui karikatur yang dimuat di edisi Kamis, 3 Juli 2014. Atas dasar itu, mereka akhirnya meminta maaf secara resmi pada Senin (7/7).

"Kami meminta maaf dan menarik kembali kartun editorial yang dipublikasikan di halaman 7 pada tanggal 3 Juli 2014. Kartun tersebut berisi simbol agama yang mungkin bersifat menyerang bagi beberapa pihak. Jakarta Post menyesali kesalahan ini, dan tidak bermaksud untuk memfitnah atau tidak menghormati agama lain," demikian permintaan maaf koran yang berdiri 25 April 1983 tersebut melalui edisi online.

Karikatur koran Jakarta Post, edisi Kamis (3/7), menuai kecaman di dunia maya. Salah satu pengecamnya adalah dari akun Twitter, @BanuMuhammad. Dia meminta Jakarta Post harus minta maaf. "Ini jelas penghinaan kalimat tauhid.. Beda ceritanya kalau pakai simbol yang lain," katanya.

Dalam edisi yang dimuat di halaman 7, harian berbahasa Inggris tersebut memuat karikatur dengan gambar simbol Islam dalam ukuran yang cukup besar di rubrik Opini. Itu setelah karikatur tersebut menggambarkan bendera berlafaz 'laa ilaha illallah' dengan logo tengkorak yang terpasang di bendera.

Tidak sekadar itu, lafaz tahlil tersebut dipadukan dengan bendera tengkorak khas bajak laut. Kemudian, tepat di tengah tengkorak, tertera tulisan 'Allah, Rasul, Muhammad'.

Gambar tersebut memuat karikatur dalam beberapa adegan. Adegan pertama menampilkan lima orang dalam posisi berlutut dengan mata tertutup kain dalam posisi berlutut di tanah dan tangannya terikat di belakang dalam posisi ditodong senjata. Di belakang ke lima orang itu berdiri seorang pria berjenggot serta bersorban sambil mengacungkan senjata laras panjang ke arah mereka, seolah-olah siap melakukan eksekusi.

Gambar lainnya menunjukkan dari jarak dekat, terlihat mobil pikap merek Totoya, yang ditumpangi tiga orang dengan senjata berat, seperti peluncur roket dan antiserangan udara sedang siaga. (republika/pahamilah)

Karikatur Jakarta Post Hina Islam, Setelah Rating Naik - Minta Maaf

( Karikatur Jakarta Post, edisi Kamis 3 Juli 2014)


JAKARTA -Setelah menuai kritikan, pihak redaksi Jakarta Post merasa keliru telah membuat karikatur yang terkesan melecehkan umat Islam. Jakarta Post sempat mengidentifikasi kelompok Islam dengan segerombolan teroris melalui karikatur yang dimuat di edisi Kamis, 3 Juli 2014. Atas dasar itu, mereka akhirnya meminta maaf secara resmi pada Senin (7/7).

"Kami meminta maaf dan menarik kembali kartun editorial yang dipublikasikan di halaman 7 pada tanggal 3 Juli 2014. Kartun tersebut berisi simbol agama yang mungkin bersifat menyerang bagi beberapa pihak. Jakarta Post menyesali kesalahan ini, dan tidak bermaksud untuk memfitnah atau tidak menghormati agama lain," demikian permintaan maaf koran yang berdiri 25 April 1983 tersebut melalui edisi online.

Karikatur koran Jakarta Post, edisi Kamis (3/7), menuai kecaman di dunia maya. Salah satu pengecamnya adalah dari akun Twitter, @BanuMuhammad. Dia meminta Jakarta Post harus minta maaf. "Ini jelas penghinaan kalimat tauhid.. Beda ceritanya kalau pakai simbol yang lain," katanya.

Dalam edisi yang dimuat di halaman 7, harian berbahasa Inggris tersebut memuat karikatur dengan gambar simbol Islam dalam ukuran yang cukup besar di rubrik Opini. Itu setelah karikatur tersebut menggambarkan bendera berlafaz 'laa ilaha illallah' dengan logo tengkorak yang terpasang di bendera.

Tidak sekadar itu, lafaz tahlil tersebut dipadukan dengan bendera tengkorak khas bajak laut. Kemudian, tepat di tengah tengkorak, tertera tulisan 'Allah, Rasul, Muhammad'.

Gambar tersebut memuat karikatur dalam beberapa adegan. Adegan pertama menampilkan lima orang dalam posisi berlutut dengan mata tertutup kain dalam posisi berlutut di tanah dan tangannya terikat di belakang dalam posisi ditodong senjata. Di belakang ke lima orang itu berdiri seorang pria berjenggot serta bersorban sambil mengacungkan senjata laras panjang ke arah mereka, seolah-olah siap melakukan eksekusi.

Gambar lainnya menunjukkan dari jarak dekat, terlihat mobil pikap merek Totoya, yang ditumpangi tiga orang dengan senjata berat, seperti peluncur roket dan antiserangan udara sedang siaga. (republika/pahamilah)

Telah lima kali pemilihan umum sejak pertama menggunakan hak pilih, dan saya masih saja menunggu kehadirannya, Presiden Pilihan Saya. Mencari-cari sosoknya, di antara rasa bingung melihat para calon presiden datang dari satu partai ke partai lain sibuk melobi sana sini, tapi tidak satu pun yang benar-benar melobi rakyat Indonesia.

Padahal tren saat ini, masyarakat tidak selalu memilih presiden sesuai rekomendasi partai. Sangat mungkin seseorang mengusung partai tertentu di pemilu legislatif tapi memilih presiden yang dinominasikan partai lain.

Siapa pun mengerti, memilih presiden berarti menunjuk orang, bukan lembaga kepartaian lagi. Jadi kenapa para calon presiden itu lupa melobi rakyat Indonesia? Mereka bisa menyampaikan visi dan misi yang jelas, lalu bernegosiasi dengan rakyat.

Kalau cuma berjanji membuat Indonesia lebih maju, lebih makmur atau hukum lebih ditegakkan, buat saya itu hanya janji semu karena tidak ada indikatornya. Saya memilih calon presiden yang punya janji dan solusi konkret. Presiden yang menjamin tidak ada lagi lembaga atau institusi, baik di tingkat lokal maupun propinsi, pada level pemerintah maupun non pemerintah, yang melarang muslimah menutup aurat.

Saya memilih Presiden yang berani menjamin bahwa di masa kepemimpinannya tidak ada siswa atau mahasiswa yang menjadi korban bully para senior. Presiden yang memikirkan dengan matang penyelenggaraan UN. Dia yang menjamin tidak akan ada soal UN yang bocor, tidak ada soal UN yang keluar dari apa yang dipelajari siswa, bahkan berani menghapus UN jika “satu-satunya indikator” kelulusan siswa itu dianggap lebih sedikit memberi manfaat ketimbang pengorbanan yang dikeluarkan.

Saya memilih presiden yang berani menjamin nilai rupiah menguat dan tidak membiarkan dolar terus menari-nari di atas kelemahan rupiah kita.

Saya memilih Presiden yang menjamin bahwa TKI Indonesia di luar negeri akan dijamin kehormatan, keselamatan dan hak-hak kemanusiaannya.

Saya memilih presiden yang menjamin penegakan hukum yang tidak tebang pilih.

Saya memilih presiden yang menjamin bahwa setiap ruang publik menghargai ibadah shalat umat Islam dengan menyediakan mushola layak, yang mudah dijangkau dan bersih.

Saya memilih presiden yang menjamin anak-anak Indonesia bebas dari ancaman narkoba, minuman keras, pedofilia dan propaganda rokok.

Saya memilih presiden yang mau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menyiapkan anak Indonesia berlaga di Piala Dunia di masa depan, mengembalikan kejayaan bulu tangkis dan memajukan dunia olah raga. Saya memilih presiden yang menjamin tidak ada lagi buku-buku, juga film lokal dan karya anak bangsa yang dibajak.

Saya memilih presiden yang berani menghapus tayangan yang mengandung pornografi dan kekerasan serta pembodohan baik di layar kaca atau di layar lebar.

Saya memilih presiden yang siap turun langsung ke daerah bencana untuk memastikan korban mendapat bantuan sebaik dan sesegera mungkin.

Saya memilih presiden yang siap mengucurkan dana untuk pengusaha kecil menengah. Presiden yang menyadari bahwa pondasi kokoh ekonomi bangsa tak cuma berada di tangan pengusaha kelas kakap, tapi juga berada di tangan para pengusaha kecil menengah ini. Saya memilih presiden yang ... yang... yang...

Ah, di manakah dirimu, Presiden Pilihan Saya? Di antara sosok-sosok berpakaian formal, lembar pidato penuh propaganda, serta senyum yang dihadirkan sesimpatik mungkin di media cetak dan layar televisi, saya masih mencarimu. Sosok yang akan menjamin, setidaknya sungguh-sungguh berusaha menjadi jawaban akan berbagai persoalan di tanah air. Jangan katakan penantian ini sia-sia. Saya percaya kau ada. Mohon, muncullah.



Catatan kaki_______________________
Judul asli: Presiden Pilihan saya
Penulis: Asma Nadia
Sumber: republika.co.id

Pahamilah Presiden Pilihan Saya

Telah lima kali pemilihan umum sejak pertama menggunakan hak pilih, dan saya masih saja menunggu kehadirannya, Presiden Pilihan Saya. Mencari-cari sosoknya, di antara rasa bingung melihat para calon presiden datang dari satu partai ke partai lain sibuk melobi sana sini, tapi tidak satu pun yang benar-benar melobi rakyat Indonesia.

Padahal tren saat ini, masyarakat tidak selalu memilih presiden sesuai rekomendasi partai. Sangat mungkin seseorang mengusung partai tertentu di pemilu legislatif tapi memilih presiden yang dinominasikan partai lain.

Siapa pun mengerti, memilih presiden berarti menunjuk orang, bukan lembaga kepartaian lagi. Jadi kenapa para calon presiden itu lupa melobi rakyat Indonesia? Mereka bisa menyampaikan visi dan misi yang jelas, lalu bernegosiasi dengan rakyat.

Kalau cuma berjanji membuat Indonesia lebih maju, lebih makmur atau hukum lebih ditegakkan, buat saya itu hanya janji semu karena tidak ada indikatornya. Saya memilih calon presiden yang punya janji dan solusi konkret. Presiden yang menjamin tidak ada lagi lembaga atau institusi, baik di tingkat lokal maupun propinsi, pada level pemerintah maupun non pemerintah, yang melarang muslimah menutup aurat.

Saya memilih Presiden yang berani menjamin bahwa di masa kepemimpinannya tidak ada siswa atau mahasiswa yang menjadi korban bully para senior. Presiden yang memikirkan dengan matang penyelenggaraan UN. Dia yang menjamin tidak akan ada soal UN yang bocor, tidak ada soal UN yang keluar dari apa yang dipelajari siswa, bahkan berani menghapus UN jika “satu-satunya indikator” kelulusan siswa itu dianggap lebih sedikit memberi manfaat ketimbang pengorbanan yang dikeluarkan.

Saya memilih presiden yang berani menjamin nilai rupiah menguat dan tidak membiarkan dolar terus menari-nari di atas kelemahan rupiah kita.

Saya memilih Presiden yang menjamin bahwa TKI Indonesia di luar negeri akan dijamin kehormatan, keselamatan dan hak-hak kemanusiaannya.

Saya memilih presiden yang menjamin penegakan hukum yang tidak tebang pilih.

Saya memilih presiden yang menjamin bahwa setiap ruang publik menghargai ibadah shalat umat Islam dengan menyediakan mushola layak, yang mudah dijangkau dan bersih.

Saya memilih presiden yang menjamin anak-anak Indonesia bebas dari ancaman narkoba, minuman keras, pedofilia dan propaganda rokok.

Saya memilih presiden yang mau mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menyiapkan anak Indonesia berlaga di Piala Dunia di masa depan, mengembalikan kejayaan bulu tangkis dan memajukan dunia olah raga. Saya memilih presiden yang menjamin tidak ada lagi buku-buku, juga film lokal dan karya anak bangsa yang dibajak.

Saya memilih presiden yang berani menghapus tayangan yang mengandung pornografi dan kekerasan serta pembodohan baik di layar kaca atau di layar lebar.

Saya memilih presiden yang siap turun langsung ke daerah bencana untuk memastikan korban mendapat bantuan sebaik dan sesegera mungkin.

Saya memilih presiden yang siap mengucurkan dana untuk pengusaha kecil menengah. Presiden yang menyadari bahwa pondasi kokoh ekonomi bangsa tak cuma berada di tangan pengusaha kelas kakap, tapi juga berada di tangan para pengusaha kecil menengah ini. Saya memilih presiden yang ... yang... yang...

Ah, di manakah dirimu, Presiden Pilihan Saya? Di antara sosok-sosok berpakaian formal, lembar pidato penuh propaganda, serta senyum yang dihadirkan sesimpatik mungkin di media cetak dan layar televisi, saya masih mencarimu. Sosok yang akan menjamin, setidaknya sungguh-sungguh berusaha menjadi jawaban akan berbagai persoalan di tanah air. Jangan katakan penantian ini sia-sia. Saya percaya kau ada. Mohon, muncullah.



Catatan kaki_______________________
Judul asli: Presiden Pilihan saya
Penulis: Asma Nadia
Sumber: republika.co.id
Indonesia pernah mencapai kemajuan dalam hal teknologi roket. Bahkan era tahun 1960-an, Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang berhasil meluncurkan roket buatan sendiri yang bernama Kartika 1.

Meski saat ini jika berbicara mengenai teknologi pengembangan rudal dan roket, Indonesia terkesan jauh tertinggal, namun Indonesia pernah menjadi negara yang sukses mengembangkan roket. Pengembangan teknologi roket di Indonesia mulai maju di awal tahun 1960-an dengan dibantu oleh Uni Soviet.

Hingga pada tanggal 14 Agustus 1964, Indonesia akhirnya berhasil meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat 220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Peluncuran ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang.

Setelah itu juga perkembangan roket dan rudal semakin semarak di Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika dua dengan berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Kemudian Indonesia juga membeli berbagai rudal Surfance to Air Missile (SAM) dari Uni Soviet.

Namun sayang, setelah orde lama jatuh, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era orde baru, dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bukan hanya di Asia namun di dunia.

Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km (inilah/pahamilah)

Pahamilah Rudal Kartika 1, Kebanggaan Indonesia Era Sukarno

Indonesia pernah mencapai kemajuan dalam hal teknologi roket. Bahkan era tahun 1960-an, Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang berhasil meluncurkan roket buatan sendiri yang bernama Kartika 1.

Meski saat ini jika berbicara mengenai teknologi pengembangan rudal dan roket, Indonesia terkesan jauh tertinggal, namun Indonesia pernah menjadi negara yang sukses mengembangkan roket. Pengembangan teknologi roket di Indonesia mulai maju di awal tahun 1960-an dengan dibantu oleh Uni Soviet.

Hingga pada tanggal 14 Agustus 1964, Indonesia akhirnya berhasil meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat 220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Peluncuran ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang.

Setelah itu juga perkembangan roket dan rudal semakin semarak di Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika dua dengan berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Kemudian Indonesia juga membeli berbagai rudal Surfance to Air Missile (SAM) dari Uni Soviet.

Namun sayang, setelah orde lama jatuh, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era orde baru, dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bukan hanya di Asia namun di dunia.

Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km (inilah/pahamilah)
Siti Aisyah, bocah berusia delapan tahun, sangat tegar dan semangat merawat ayahnya, Muhammad Nawawi Pulungan (54), yang tidak berdaya untuk menjalani hidupnya sehari-hari.

Setiap harinya, bocah perempuan yang biasa disapa Aisyah ini mendorong becak tanpa arah bersama sang ayah.

Sejak mengalami komplikasi, Nawawi Pulungan tidak berdaya dan membutuhkan perawatan yang ia dapatkan dari sang anak.

"Kami sudah tiga tahun belakangan ini tinggal di masjid raya, tapi karena takut diusir, jadi kami sering jalan tidak tentu arah, dan anak saya, Aisyah, yang merawat saya. Bangga saya punya anak sepertinya," ujarnya ketika ditemui Tribun, Kamis (20/3/2014).

Nawawi dan Aisyah sehari-hari bertahan hidup dengan belas kasihan dari masyarakat yang tak sengaja melihat mereka.

"Kami tidak mengemis. Kami hanya bertahan hidup sekuat tenaga kami. Mungkin banyak yang kasihan dengan kondisi kami dan mereka membantu dengan memberikan kami uang atau makanan," ujarnya.

Ia menuturkan, sejak Aisyah berusia 1 tahun, ibunya sudah meninggalkannya. Ia memiliki keluarga di Pematang Siantar. Namun, sejak ia tidak berdaya karena sakit, keluarganya tidak peduli dengan nasibnya dan Aisyah.

"Yang terpenting bagi saya saat ini adalah anak saya Aisyah dan kesembuhan saya. Saya semangat untuk sembuh agar bisa bekerja dan membahagiakan anak saya," katanya.

Rabu (19/3/2014) malam kemarin, Aisyah dan ayahnya dibawa oleh Plt Wali Kota Medan Dzulmi Eldin ke Rumah Sakit Pirngadi Medan untuk mendapatkan perawatan. Saat ini, ayah Aisyah sudah dirawat di rumah sakit tersebut.

Sementara itu, Aisyah telah dirawat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Rencananya, Jumat (21/3/2014), Aisyah akan disekolahkan di sebuah SD negeri di Jalan Purwo Medan. (Kompas/pahamilah)



Kisah Bocah Umur 8 Tahun Yang Merawat Ayahnya Di Becak

Siti Aisyah, bocah berusia delapan tahun, sangat tegar dan semangat merawat ayahnya, Muhammad Nawawi Pulungan (54), yang tidak berdaya untuk menjalani hidupnya sehari-hari.

Setiap harinya, bocah perempuan yang biasa disapa Aisyah ini mendorong becak tanpa arah bersama sang ayah.

Sejak mengalami komplikasi, Nawawi Pulungan tidak berdaya dan membutuhkan perawatan yang ia dapatkan dari sang anak.

"Kami sudah tiga tahun belakangan ini tinggal di masjid raya, tapi karena takut diusir, jadi kami sering jalan tidak tentu arah, dan anak saya, Aisyah, yang merawat saya. Bangga saya punya anak sepertinya," ujarnya ketika ditemui Tribun, Kamis (20/3/2014).

Nawawi dan Aisyah sehari-hari bertahan hidup dengan belas kasihan dari masyarakat yang tak sengaja melihat mereka.

"Kami tidak mengemis. Kami hanya bertahan hidup sekuat tenaga kami. Mungkin banyak yang kasihan dengan kondisi kami dan mereka membantu dengan memberikan kami uang atau makanan," ujarnya.

Ia menuturkan, sejak Aisyah berusia 1 tahun, ibunya sudah meninggalkannya. Ia memiliki keluarga di Pematang Siantar. Namun, sejak ia tidak berdaya karena sakit, keluarganya tidak peduli dengan nasibnya dan Aisyah.

"Yang terpenting bagi saya saat ini adalah anak saya Aisyah dan kesembuhan saya. Saya semangat untuk sembuh agar bisa bekerja dan membahagiakan anak saya," katanya.

Rabu (19/3/2014) malam kemarin, Aisyah dan ayahnya dibawa oleh Plt Wali Kota Medan Dzulmi Eldin ke Rumah Sakit Pirngadi Medan untuk mendapatkan perawatan. Saat ini, ayah Aisyah sudah dirawat di rumah sakit tersebut.

Sementara itu, Aisyah telah dirawat oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Rencananya, Jumat (21/3/2014), Aisyah akan disekolahkan di sebuah SD negeri di Jalan Purwo Medan. (Kompas/pahamilah)



Oleh: Sigit Kamseno


Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah berbincang dengan da’i terkenal asal Papua, Ustadz Fadhlan Garamatan mengenai antropologi masyarakat Papua.  Bersama tiga tokoh Papua lainnya, da’i yang dikenal dengan sebutan “ustadz Sabun” itu bercerita mengenai sejarah kerajaan Islam di tanah Papua yang diketahui merupakan daerah minoritas Muslim, bahkan tidak jarang diasosiasikan dengan sebutan daerah Nasrani.

Sebetulnya, hampir semua peneliti bersepakat bahwa masuknya Islam di Papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk ke Bumi Cendrawasih itu, namun demikian hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan hal tersebut terjadi. Di antara para pemerhati, peneliti, maupun keturunan  raja-raja di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari masih terdapat silang pendapat mengenai kapan Islam masuk ke daerah Papua. Masih sedikitnya penelitian tentang hal tersebut  amat mungkin disebabkan karena secara sosio-geografis tanah Papua terletak pada daerah peripheral Islam di Nusantara, sehingga studi mengenai Islam di Papua luput dari kajian para sejarawan lokal maupun asing.

Adalah Toni Victor M. Wanggai, menulis sebuah penelitian serius mengenai kedatangan Islam di Tanah Papua. Dalam penelitian yang merujuk kepada data-data historis Portugis, Spanyol, dan Belanda serta wawancara dengan keturunan raja-raja di Bumi Papua itu, disebutkan bahwa kedatangan Islam di Papua memang lebih belakangan dari pada islamisasi di daerah  lain di Nusantara.

Dalam penelitiannya, Wanggai menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh kesultanan Bacan di Maluku Utara melalui kontak perdagangan, budaya dan politik. Selanjutnya pada abad XVI di bawah Kesultanan Tidore, agama Islam mulai terlembaga ke dalam struktur kerajaan di Kepulauan Raja Ampat, yakni kerajaan Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Pada saat yang sama berdiri juga kerajaan atau ‘pertuanan’ lain di  daerah Fakfak dan Kaimana, antara lain Namatota, Rumbati, dan Patipi. Kerajaan Islam ini merupakan kerajaan-kerajaan mini yang diberikan semacam otonomi  dan merupakan subordinat dari kesultanan di Maluku.

Sejarah Awal Islamisasi di Papua

Hingga saat ini, diskursus mengenai kapan Islam masuk ke Papua masih belum usai. Keturunan raja-raja Islam di Papua sendiri saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung bukti tertulis maupun arkeologis.

Ali Athwa (2004) menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Papua tidak terlepas dari pengaruh kerajaan Majapahit dan kerajaan lain di Nusantara, ia juga meyakini bahwa jalur masuknya Islam ke Papua adalah melalui Maluku. Athwa berpendapat bahwa pemuka-pemuka pesisir di Papua memeluk agama  Islam karena pengaruh dari Kesultanan Islam Bacan di Maluku pada tahun 1520 yang saat itu gencar melebarkan pengaruh ke luar Maluku, terutama ke Papua.

Sedangkan Frederick Jusuf Onim (2006) memilki pendapat tak serupa. Menurutnya, agama Islam baru masuk ke daerah Papua pada abad ke XVII, dan belum memiliki pengaruh apa-apa. Onim juga mengatakan sebuah fakta bahwa karena pengaruh Islam yang  tidak signifikan di Papua itulah, pulau terbesar kedua di dunia itu acapkali luput dari peta penyebaran Islam dunia, sekalipun pada abad-abad silam beberapa titik di wilayah Papua telah bersentuhan dengan Islam.

Wanggai (2009) membuat pemetaan lebih detail. Menurut Wanggai, ada tujuh versi mengenai kedatangan Islam di Papua: versi Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta Ternate dan Tidore dengan karakteristik yang berbeda. Menariknya, sekalipun meyakini bahwa Islam baru masuk ke Papua pada abad ke XVI, versi Aceh yang digambarkan oleh Wanggai menyebutkan bahwa Islam datang ke Papua sekitar abad XIII, tepatnya pada tahun 1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari Ulama Sufi terkenal, Abdul Qadir al-Jilani.

Mengutip wawancara dengan keturunan Raja Patipi, Wanggai mengatakan bahwa Iskandar Syah datang ke Papua  dengan membawa Mushaf al-Quran tulisan tangan, kitab hadits, kitab-kitab ilmu tauhid dan do’a-do’a. Sedangkan tiga kitab lainnya dimasukan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang mulai punah. Adapula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara.

Jika penuturan ini benar, maka penyebaran Islam di Papua sebetulnya satu zaman dengan penyebaran Islam secara massif di tanah Jawa, terutama pada masa awal-awal dakwah Walisongo pada abad ke XV, hanya saja penyebaran Islam di Papua memang cenderung lebih lambat dan tidak semassif seperti di pulau-pulau lain di Nusantara.

Dalam rentang waktu yang jauh, populasi Umat Islam di Papua baru meningkat secara signifikan setelah provinsi tersebut bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 disusul dengan masuknya sejumlah transmigran asal Sulawesi, Jawa dan Maluku yang ditempatkan di Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Merauke. Seiring dengan itu bermunculanlah lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Hidayatullah, dan seterusnya.

Peninggalan Islam di Papua

Selajur dengan perkembangan dakwah Islam pada masa awal di Papua yang berjalan lambat, peninggalan Islam di Papua tidak sebanyak di daerah lain. Namun demikian bukan berarti hal tersebut menjadikan Papua sepi dari peninggalan Islam.

Ada beberapa peninggalan sejarah Islam di Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung Patimburak  yang sudah berusia ratusan tahun.

Di Desa Darembang Kampung Lama juga terdapat peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat. Melihat dari ukiran dan bentuknya, tiang-tiang kayu ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid yang sudah keropos.

Demikian juga di daerah Fakfak, dalam catatan Wanggai, terdapat lima buah manuskrip yang diduga berumur 800tahun berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada raja Patipi XVI. Manuskrip tersebut adalah sebuah mushaf tua berukuran 50 cm x 40 cm, bertullis tangan di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi kitab. Empat lainnya adalah kitab hadits, tauhid, dan kumpulan do’a. Dalam kitab tersebut terdapat sebuah tapak tangan berupa jari yang terbuka. Penginggalan inilah yang diyakini sebagai peninggalan Syaikh Iskandar Syah.

Ustadz Fadlan Garamatan sendiri sebagai da’i asli Papua hingga kini masih aktif menyebarkan dakwah Islam di provinsi paling timur Indonesia itu. Keturunan Raja Patipi itu membangun sebuah Pesantren di daerah Bekasi untuk anak-anak Papua dengan pertimbangan bahwa proses pendidikan akan terasa sulit jika pesantren tersebut dibangun di tanah kelahirannya. Menurutnya, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa secara tradisi, para orang tua di Papua akan selalu memanggil anaknya pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkan anaknya menginap di pesantren, tentu saja hal ini mengakibatkan proses belajar santri yang diharapkan menjadi du’at di tanah papua itu akan terhambat.

Fakta ini sekaligus menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para da’i di daerah lain bahwa dakwah Islam di berbagai tempat memang memiliki corak dan karakter yang khas sesuai dengan kultur lokal setempat. Wallahu a’lam.



Fote note ____________________ 


Sigit Kamseno adalah Redaktur bimasislam.kemenag.go.id dan kontributor di beberapa Media Islam Online

Mengintip Jejak Islam di Papua

Oleh: Sigit Kamseno


Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah berbincang dengan da’i terkenal asal Papua, Ustadz Fadhlan Garamatan mengenai antropologi masyarakat Papua.  Bersama tiga tokoh Papua lainnya, da’i yang dikenal dengan sebutan “ustadz Sabun” itu bercerita mengenai sejarah kerajaan Islam di tanah Papua yang diketahui merupakan daerah minoritas Muslim, bahkan tidak jarang diasosiasikan dengan sebutan daerah Nasrani.

Sebetulnya, hampir semua peneliti bersepakat bahwa masuknya Islam di Papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk ke Bumi Cendrawasih itu, namun demikian hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan hal tersebut terjadi. Di antara para pemerhati, peneliti, maupun keturunan  raja-raja di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari masih terdapat silang pendapat mengenai kapan Islam masuk ke daerah Papua. Masih sedikitnya penelitian tentang hal tersebut  amat mungkin disebabkan karena secara sosio-geografis tanah Papua terletak pada daerah peripheral Islam di Nusantara, sehingga studi mengenai Islam di Papua luput dari kajian para sejarawan lokal maupun asing.

Adalah Toni Victor M. Wanggai, menulis sebuah penelitian serius mengenai kedatangan Islam di Tanah Papua. Dalam penelitian yang merujuk kepada data-data historis Portugis, Spanyol, dan Belanda serta wawancara dengan keturunan raja-raja di Bumi Papua itu, disebutkan bahwa kedatangan Islam di Papua memang lebih belakangan dari pada islamisasi di daerah  lain di Nusantara.

Dalam penelitiannya, Wanggai menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh kesultanan Bacan di Maluku Utara melalui kontak perdagangan, budaya dan politik. Selanjutnya pada abad XVI di bawah Kesultanan Tidore, agama Islam mulai terlembaga ke dalam struktur kerajaan di Kepulauan Raja Ampat, yakni kerajaan Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Pada saat yang sama berdiri juga kerajaan atau ‘pertuanan’ lain di  daerah Fakfak dan Kaimana, antara lain Namatota, Rumbati, dan Patipi. Kerajaan Islam ini merupakan kerajaan-kerajaan mini yang diberikan semacam otonomi  dan merupakan subordinat dari kesultanan di Maluku.

Sejarah Awal Islamisasi di Papua

Hingga saat ini, diskursus mengenai kapan Islam masuk ke Papua masih belum usai. Keturunan raja-raja Islam di Papua sendiri saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung bukti tertulis maupun arkeologis.

Ali Athwa (2004) menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Papua tidak terlepas dari pengaruh kerajaan Majapahit dan kerajaan lain di Nusantara, ia juga meyakini bahwa jalur masuknya Islam ke Papua adalah melalui Maluku. Athwa berpendapat bahwa pemuka-pemuka pesisir di Papua memeluk agama  Islam karena pengaruh dari Kesultanan Islam Bacan di Maluku pada tahun 1520 yang saat itu gencar melebarkan pengaruh ke luar Maluku, terutama ke Papua.

Sedangkan Frederick Jusuf Onim (2006) memilki pendapat tak serupa. Menurutnya, agama Islam baru masuk ke daerah Papua pada abad ke XVII, dan belum memiliki pengaruh apa-apa. Onim juga mengatakan sebuah fakta bahwa karena pengaruh Islam yang  tidak signifikan di Papua itulah, pulau terbesar kedua di dunia itu acapkali luput dari peta penyebaran Islam dunia, sekalipun pada abad-abad silam beberapa titik di wilayah Papua telah bersentuhan dengan Islam.

Wanggai (2009) membuat pemetaan lebih detail. Menurut Wanggai, ada tujuh versi mengenai kedatangan Islam di Papua: versi Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta Ternate dan Tidore dengan karakteristik yang berbeda. Menariknya, sekalipun meyakini bahwa Islam baru masuk ke Papua pada abad ke XVI, versi Aceh yang digambarkan oleh Wanggai menyebutkan bahwa Islam datang ke Papua sekitar abad XIII, tepatnya pada tahun 1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari Ulama Sufi terkenal, Abdul Qadir al-Jilani.

Mengutip wawancara dengan keturunan Raja Patipi, Wanggai mengatakan bahwa Iskandar Syah datang ke Papua  dengan membawa Mushaf al-Quran tulisan tangan, kitab hadits, kitab-kitab ilmu tauhid dan do’a-do’a. Sedangkan tiga kitab lainnya dimasukan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang mulai punah. Adapula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara.

Jika penuturan ini benar, maka penyebaran Islam di Papua sebetulnya satu zaman dengan penyebaran Islam secara massif di tanah Jawa, terutama pada masa awal-awal dakwah Walisongo pada abad ke XV, hanya saja penyebaran Islam di Papua memang cenderung lebih lambat dan tidak semassif seperti di pulau-pulau lain di Nusantara.

Dalam rentang waktu yang jauh, populasi Umat Islam di Papua baru meningkat secara signifikan setelah provinsi tersebut bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 disusul dengan masuknya sejumlah transmigran asal Sulawesi, Jawa dan Maluku yang ditempatkan di Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Merauke. Seiring dengan itu bermunculanlah lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Hidayatullah, dan seterusnya.

Peninggalan Islam di Papua

Selajur dengan perkembangan dakwah Islam pada masa awal di Papua yang berjalan lambat, peninggalan Islam di Papua tidak sebanyak di daerah lain. Namun demikian bukan berarti hal tersebut menjadikan Papua sepi dari peninggalan Islam.

Ada beberapa peninggalan sejarah Islam di Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung Patimburak  yang sudah berusia ratusan tahun.

Di Desa Darembang Kampung Lama juga terdapat peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat. Melihat dari ukiran dan bentuknya, tiang-tiang kayu ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid yang sudah keropos.

Demikian juga di daerah Fakfak, dalam catatan Wanggai, terdapat lima buah manuskrip yang diduga berumur 800tahun berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada raja Patipi XVI. Manuskrip tersebut adalah sebuah mushaf tua berukuran 50 cm x 40 cm, bertullis tangan di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi kitab. Empat lainnya adalah kitab hadits, tauhid, dan kumpulan do’a. Dalam kitab tersebut terdapat sebuah tapak tangan berupa jari yang terbuka. Penginggalan inilah yang diyakini sebagai peninggalan Syaikh Iskandar Syah.

Ustadz Fadlan Garamatan sendiri sebagai da’i asli Papua hingga kini masih aktif menyebarkan dakwah Islam di provinsi paling timur Indonesia itu. Keturunan Raja Patipi itu membangun sebuah Pesantren di daerah Bekasi untuk anak-anak Papua dengan pertimbangan bahwa proses pendidikan akan terasa sulit jika pesantren tersebut dibangun di tanah kelahirannya. Menurutnya, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa secara tradisi, para orang tua di Papua akan selalu memanggil anaknya pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkan anaknya menginap di pesantren, tentu saja hal ini mengakibatkan proses belajar santri yang diharapkan menjadi du’at di tanah papua itu akan terhambat.

Fakta ini sekaligus menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para da’i di daerah lain bahwa dakwah Islam di berbagai tempat memang memiliki corak dan karakter yang khas sesuai dengan kultur lokal setempat. Wallahu a’lam.



Fote note ____________________ 


Sigit Kamseno adalah Redaktur bimasislam.kemenag.go.id dan kontributor di beberapa Media Islam Online