middle ad
Tampilkan postingan dengan label Pengungsi Rohingya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengungsi Rohingya. Tampilkan semua postingan
 biksu pembatai muslim

Pahamilah.com - Munculnya kisah tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah Myanmar, Burma, adalah gambaran sebuah kisah yang sangat menyedihkan, kisah suatu kaum yang seharusnya mendapatkan hak untuk hidup layak, tetapi malah diperlakukan dengan tidak semena-mena. Kebiadaban biksu Ahsin Wirathu yang mengusir etnis Rohingya dari Myanmar sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Terlebih, dirinya sering bersuara untuk mengajak pengikutnya agar memerangi kaum minoritas yang beragama Islam. Untuk diketahui jika kelompok etnis Rohingya merupakan kaum keturunan etnis Bengali, lebih spesifiknya dari sub-etnis 'Chittagonia' yang mayoritas tinggal di Bangladesh bagian tenggara. Adapun bangsa Burma sendiri adalah berasal dari rumpun 'Thai-Kadal', Austroasiatik, atau Sino-Tibetan.

Namun, permasalahan di Burma memiliki kebijakan yang berbeda, suku Rohingya tidak diakui sama sekali sebagai bagian dari masyarakat Burma, bahkan, bila perlu mereka harus diusir atau seperti yang terjadi saat ini, dibantai sebagian, agar sebagian yang lainnya dapat mengungsi karena ketakutan.

Artinya, etnis Rohingya ini, semenjak negara Burma merdeka di tahun 1942 dari pemerintahan kolonial Inggris, telah dianggap sebagai imigran gelap. Padahal, pada kenyataannya eksistensi mereka sudah ada berabad-abad sebelum Burma merdeka.

Penderitaan seperti ini kerap berangsur-angsur setiap tahunnya. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengatakan, dengan adanya masalah Rohingya adalah timbulnya gemuruh dalam Hak Asasi Manusia (HAM).

"Saat ini kita sudah tidak lagi melihat masalah ini sebagai lingkup nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional yang tersambung satu sama lain. Persoalan manusia sejatinya tidak boleh dibatasi sekat-sekat administrasi teritori," tuturnya melalui pesan singkat, Sabtu (23/5).

Lebih lanjut, Maneger khawatir jika permasalahan itu berdampak secara domino pada negara-negara tetangga khususnya Indonesia yang dahulu sempat dimayoritaskan umat Buddha. Adapun peranan Pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik etnis.

Sebelumnya, Wajah Ashin menghias cover depan majalah Time, dan diberi judul ’The Face of Buddhist Terror’. Majalah terkemuka asal Amerika Serikat (AS) juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai Osama Bin Laden versi Burma.

Dalam kutipanya di Time, Rabu (20/5) lalu, Ashin menyatakan jika 'Sekarang bukan saatnya untuk diam' Apa yang disampaikan biksu berumur 46 tahun itu merujuk kepada kekerasan yang dilakukan pada Muslim Rohingya.

Sosok Ashin itu tak hanya menarik minat Time saja, the Washington Post juga menyorot sepak terjang Ashin yang disebut sebagai pemimpin dalam pergerakan pembantaian Rohingya. "Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila!" papar Ashin.

Anjing gila yang dimaksud Ashin tak lain merujuk pada etnis Muslim Rohingya. Perawakannya yang tenang, pakaiannya yang sederhana, seperti biksu pada umumnya ternyata jauh bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya. Ashin pria berkepala plontos pun tak segan-segan dengan keji menghabiskan nyawa manusia yang tak berdosa. (republika/pahamilah)

Biksu Ashin Wirathu Sebut Etnis Rohingya Sebagai Anjing Gila

 biksu pembatai muslim

Pahamilah.com - Munculnya kisah tragedi kemanusiaan yang terjadi di wilayah Myanmar, Burma, adalah gambaran sebuah kisah yang sangat menyedihkan, kisah suatu kaum yang seharusnya mendapatkan hak untuk hidup layak, tetapi malah diperlakukan dengan tidak semena-mena. Kebiadaban biksu Ahsin Wirathu yang mengusir etnis Rohingya dari Myanmar sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Terlebih, dirinya sering bersuara untuk mengajak pengikutnya agar memerangi kaum minoritas yang beragama Islam. Untuk diketahui jika kelompok etnis Rohingya merupakan kaum keturunan etnis Bengali, lebih spesifiknya dari sub-etnis 'Chittagonia' yang mayoritas tinggal di Bangladesh bagian tenggara. Adapun bangsa Burma sendiri adalah berasal dari rumpun 'Thai-Kadal', Austroasiatik, atau Sino-Tibetan.

Namun, permasalahan di Burma memiliki kebijakan yang berbeda, suku Rohingya tidak diakui sama sekali sebagai bagian dari masyarakat Burma, bahkan, bila perlu mereka harus diusir atau seperti yang terjadi saat ini, dibantai sebagian, agar sebagian yang lainnya dapat mengungsi karena ketakutan.

Artinya, etnis Rohingya ini, semenjak negara Burma merdeka di tahun 1942 dari pemerintahan kolonial Inggris, telah dianggap sebagai imigran gelap. Padahal, pada kenyataannya eksistensi mereka sudah ada berabad-abad sebelum Burma merdeka.

Penderitaan seperti ini kerap berangsur-angsur setiap tahunnya. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution mengatakan, dengan adanya masalah Rohingya adalah timbulnya gemuruh dalam Hak Asasi Manusia (HAM).

"Saat ini kita sudah tidak lagi melihat masalah ini sebagai lingkup nasional, tetapi juga masalah regional dan internasional yang tersambung satu sama lain. Persoalan manusia sejatinya tidak boleh dibatasi sekat-sekat administrasi teritori," tuturnya melalui pesan singkat, Sabtu (23/5).

Lebih lanjut, Maneger khawatir jika permasalahan itu berdampak secara domino pada negara-negara tetangga khususnya Indonesia yang dahulu sempat dimayoritaskan umat Buddha. Adapun peranan Pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik etnis.

Sebelumnya, Wajah Ashin menghias cover depan majalah Time, dan diberi judul ’The Face of Buddhist Terror’. Majalah terkemuka asal Amerika Serikat (AS) juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai Osama Bin Laden versi Burma.

Dalam kutipanya di Time, Rabu (20/5) lalu, Ashin menyatakan jika 'Sekarang bukan saatnya untuk diam' Apa yang disampaikan biksu berumur 46 tahun itu merujuk kepada kekerasan yang dilakukan pada Muslim Rohingya.

Sosok Ashin itu tak hanya menarik minat Time saja, the Washington Post juga menyorot sepak terjang Ashin yang disebut sebagai pemimpin dalam pergerakan pembantaian Rohingya. "Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila!" papar Ashin.

Anjing gila yang dimaksud Ashin tak lain merujuk pada etnis Muslim Rohingya. Perawakannya yang tenang, pakaiannya yang sederhana, seperti biksu pada umumnya ternyata jauh bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya. Ashin pria berkepala plontos pun tak segan-segan dengan keji menghabiskan nyawa manusia yang tak berdosa. (republika/pahamilah)
 Ilustrasi

Pahamilah.com - Koordinator Majelis Walubi, Rusli Tan menilai pembantaian terhadap etnis Rohingya di Myanmar sebagai sebuah tindak kejahatan yang tidak boleh dilakukan.

“Sebenarnya pembantaian (terhadap etnis Rohingya di Myanmar.red) itu sebuah kejahatan yang tidak boleh dilakukan. Pembunuhan itu tidak boleh, Pak,” kata Rusli kepada wartawan di sela-sela acara diskusi publik dengan tema “Nestapa Kemanusiaan Save Rohingya” di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Kamis (21/05/2015).

Menurut Rusli, langkah yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah Rohingya tidak cukup hanya dengan mengkritik pemerintah Myanmar tetapi lebih kepada melalui tindakan-tindakan yang konkrit
“Sebenarnya kita bukan mengkritik yah, tetapi kita harus melalui tindakan konkrit supaya mereka (Myanmar.red) bisa belajar. Kalau kita kritik justru suasana malah akan tambah panas, karena kebanyakan orang paling tidak suka jika dikritik,” ujar Rusli.

“Jadi yang bisa kita lakukan adalah melalui perbuatan-perbuatan seperti usul Pak Din,” imbuh Rusli.

Rusli mengungkapkan kenapa Indonesia tidak meminjamkan satu pulau untuk menampung pengungsi Rohingya. Bila perlu, tegasnya, anggap saja mereka sebagai transmigran, ikut mencari ikan, atau sebagai petani untuk membantu mengembangkan ekonomi Indonesia.

Selain itu, Rusli menyampaikan dalam ajaran keyakinannya (budha.red) tidak mengenal yang namanya kritik mengkritik.

“Apa yang bisa kita bantu, ya kita bantu mereka (pengungsi Rohingya.red). Hanya itu saja, menurut saya harus seperti itu,” pungkas Rusli. (hidayatullah/pahamilah)

Walubi: Pembantaian Etnis Rohingya Sebagai Tindak Kejahatan

 Ilustrasi

Pahamilah.com - Koordinator Majelis Walubi, Rusli Tan menilai pembantaian terhadap etnis Rohingya di Myanmar sebagai sebuah tindak kejahatan yang tidak boleh dilakukan.

“Sebenarnya pembantaian (terhadap etnis Rohingya di Myanmar.red) itu sebuah kejahatan yang tidak boleh dilakukan. Pembunuhan itu tidak boleh, Pak,” kata Rusli kepada wartawan di sela-sela acara diskusi publik dengan tema “Nestapa Kemanusiaan Save Rohingya” di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Kamis (21/05/2015).

Menurut Rusli, langkah yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah Rohingya tidak cukup hanya dengan mengkritik pemerintah Myanmar tetapi lebih kepada melalui tindakan-tindakan yang konkrit
“Sebenarnya kita bukan mengkritik yah, tetapi kita harus melalui tindakan konkrit supaya mereka (Myanmar.red) bisa belajar. Kalau kita kritik justru suasana malah akan tambah panas, karena kebanyakan orang paling tidak suka jika dikritik,” ujar Rusli.

“Jadi yang bisa kita lakukan adalah melalui perbuatan-perbuatan seperti usul Pak Din,” imbuh Rusli.

Rusli mengungkapkan kenapa Indonesia tidak meminjamkan satu pulau untuk menampung pengungsi Rohingya. Bila perlu, tegasnya, anggap saja mereka sebagai transmigran, ikut mencari ikan, atau sebagai petani untuk membantu mengembangkan ekonomi Indonesia.

Selain itu, Rusli menyampaikan dalam ajaran keyakinannya (budha.red) tidak mengenal yang namanya kritik mengkritik.

“Apa yang bisa kita bantu, ya kita bantu mereka (pengungsi Rohingya.red). Hanya itu saja, menurut saya harus seperti itu,” pungkas Rusli. (hidayatullah/pahamilah)
 Wajah Ashin menghias sample Majalah Time, ’The Face of Buddhist Terror’

Pahamilah.com - Biksu Buddha Ashin Wirathu mendadak jadi sorotan dunia. Tragedi pembantaian dan pengusiran Muslim Rohingya banyak dikaitkan dengan Ashin. Wajahnya yang tenang, pakaiannya yang sederhana seperti biksu pada umumnya ternyata jauh bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya.

Media barat tak kurang mulai dari Majalah Time, New York Times, sampai Washington Post melabelinya sebagai pembenci Muslim. Ashin Wirathu disebut sebagai penggerak kaum Buddha di Myanmar menyerang Muslim Rohingya.

Wajah Ashin menghias sample Majalah Time, ’The Face of Buddhist Terror’ demikian judul besarnya. Time juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai ‘Bin Ladin Bangsa Burma’.

“Sekarang bukan saatnya untuk diam,” kata Ashin seperti dikutip detik.com dari Time, Rabu (20/5/2015).
Apa yang disampaikan biksu berumur 46 tahun itu merujuk kepada kekerasan yang dilakukan pada Muslim Rohingya.

Sosok Ashin ini tak hanya menarik minat Time saja, The Washington Post juga menyorot sepak terjang Ashin yang disebut sebagai pemimpin dalam pergerakan pembantaian Rohingya.

“Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila,” tutur Ashin seperti mengutip Washington Post. Anjing gila yang dimaksud Ashin tak lain merujuk pada Muslim Rohingya.

Ashin pun dengan terang-terangan di depan ‘umatnya’nya dalam ceramah di sebuah kuil menyebut Muslim Rohingya sebagai musuh. New York Times menulis jelas bagaimana kebencian Ashin pada kaum Rohingya.
“Saya bangga disebut sebagai umat Buddha garis keras,” tutur Ashin seperti dikutip dari New York Times.

 Aksi Budda menolak keberadaan Muslim Rohingya

Pembenci Muslim
Sebelum ini publik belum pernah mendengar nama biksu asal Mandalay ini. Pria kelahiran 1968 yang putus sekolah pada usia 14 tahundan menjadi biksu ini  mencuat setelah terlibat dalam kelompok ekstremis antimuslim “969” pada 2001.

Karena aksinya, pada 2003 Ashin Wirathu pernah dihukum 25 tahun penjara. Namun, pada 2010 dia sudah dibebaskan bersama dengan tahanan politik lainnya.

Usai keluar penjara, Wirathu makin aktif bersuara di media sosial. Ashin menyebarkan pesan melalui rekaman ceramah yang diunggah di YouTube dan Facebook.

Pada 2012, ketika pertumpahan darah antara Rohingya dan Buddhis terjadi di Provinsi Rakhine, Ashin semakin dikenal dengan pidato penuh amarahnya.

Dalam ceramahnya ia selalu mulai dengan kalimat, “Apapun yang kamu lakukan, lakukanlah sebagai seorang nasionalis”.

Ashin Wirathu menyebarkan ajaran kebencian dalam setiap ceramahnya. Dia selalu menyasar komunitas Muslim, seringkali dia memojokkan Rohingya.

Ia  pernah memimpin demonstrasi yang mendesak orang-orang Rohingya direlokasi ke negara ketiga.
Ia juga selalu mengkambinghitamkan kaum Muslim atas bentrokan yang terjadi. Dia terus mengulang alasan tak masuk akal soal tingkat reproduksi Muslim yang tinggi. (hidayatullah/pahamilah)

Biksu Buddha Pembenci Muslim Rohingya Jadi Sorotan Dunia

 Wajah Ashin menghias sample Majalah Time, ’The Face of Buddhist Terror’

Pahamilah.com - Biksu Buddha Ashin Wirathu mendadak jadi sorotan dunia. Tragedi pembantaian dan pengusiran Muslim Rohingya banyak dikaitkan dengan Ashin. Wajahnya yang tenang, pakaiannya yang sederhana seperti biksu pada umumnya ternyata jauh bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya.

Media barat tak kurang mulai dari Majalah Time, New York Times, sampai Washington Post melabelinya sebagai pembenci Muslim. Ashin Wirathu disebut sebagai penggerak kaum Buddha di Myanmar menyerang Muslim Rohingya.

Wajah Ashin menghias sample Majalah Time, ’The Face of Buddhist Terror’ demikian judul besarnya. Time juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai ‘Bin Ladin Bangsa Burma’.

“Sekarang bukan saatnya untuk diam,” kata Ashin seperti dikutip detik.com dari Time, Rabu (20/5/2015).
Apa yang disampaikan biksu berumur 46 tahun itu merujuk kepada kekerasan yang dilakukan pada Muslim Rohingya.

Sosok Ashin ini tak hanya menarik minat Time saja, The Washington Post juga menyorot sepak terjang Ashin yang disebut sebagai pemimpin dalam pergerakan pembantaian Rohingya.

“Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila,” tutur Ashin seperti mengutip Washington Post. Anjing gila yang dimaksud Ashin tak lain merujuk pada Muslim Rohingya.

Ashin pun dengan terang-terangan di depan ‘umatnya’nya dalam ceramah di sebuah kuil menyebut Muslim Rohingya sebagai musuh. New York Times menulis jelas bagaimana kebencian Ashin pada kaum Rohingya.
“Saya bangga disebut sebagai umat Buddha garis keras,” tutur Ashin seperti dikutip dari New York Times.

 Aksi Budda menolak keberadaan Muslim Rohingya

Pembenci Muslim
Sebelum ini publik belum pernah mendengar nama biksu asal Mandalay ini. Pria kelahiran 1968 yang putus sekolah pada usia 14 tahundan menjadi biksu ini  mencuat setelah terlibat dalam kelompok ekstremis antimuslim “969” pada 2001.

Karena aksinya, pada 2003 Ashin Wirathu pernah dihukum 25 tahun penjara. Namun, pada 2010 dia sudah dibebaskan bersama dengan tahanan politik lainnya.

Usai keluar penjara, Wirathu makin aktif bersuara di media sosial. Ashin menyebarkan pesan melalui rekaman ceramah yang diunggah di YouTube dan Facebook.

Pada 2012, ketika pertumpahan darah antara Rohingya dan Buddhis terjadi di Provinsi Rakhine, Ashin semakin dikenal dengan pidato penuh amarahnya.

Dalam ceramahnya ia selalu mulai dengan kalimat, “Apapun yang kamu lakukan, lakukanlah sebagai seorang nasionalis”.

Ashin Wirathu menyebarkan ajaran kebencian dalam setiap ceramahnya. Dia selalu menyasar komunitas Muslim, seringkali dia memojokkan Rohingya.

Ia  pernah memimpin demonstrasi yang mendesak orang-orang Rohingya direlokasi ke negara ketiga.
Ia juga selalu mengkambinghitamkan kaum Muslim atas bentrokan yang terjadi. Dia terus mengulang alasan tak masuk akal soal tingkat reproduksi Muslim yang tinggi. (hidayatullah/pahamilah)

 Hasan salah seorang muslim rohingya

Pahamilah.com - Seorang warga Muslim Rohingya yang pergi dari negaranya sendiri, yakni Myanmar mengaku sudah berbulan-bulan mengapung di air tanpa persediaan bahan makanan pokok yang mencukupi untuk seluruh penumpang kapal yang ia tumpangi.

Suara Hasan Ali lirih saat menceritakan perjalanannya di laut hingga berakhir di Indonesia. Seperti warga minoritas Muslim Rohingya lainnya, Hasan adalah pelarian dari diskriminasi dan kekejaman yang diterimanya umat Budha dan pemerintah Budha di Myanmar.

Hasan bersama lebih dari 300 warga Muslim Rohingya dan Bangladesh diselamatkan oleh warga Desa Simpang Lhee, Julok, Aceh Timur pada Rabu (20/5/2015) dini hari. Mereka kemudian ditempatkan di meunasah, diberi pakaian, mandi dan makan sepuasnya, dari hasil swadaya masyarakat setempat.

“Tiga bulan kami tidak makan, kini kami makan,” kata Hasan sambil terisak saat diberikan dua piring berisi penuh nasi dan lauk oleh warga desa, pada Rabu (20/5/2015). Melihat Hasan menangis, warga lainnya juga ikut meneteskan air mata.

Hasan mengatakan, dirinya pergi dari Myanmar dibantu oleh seorang warga Rohingya yang telah hidup makmur di Thailand bernama Anwar. Bersama ratusan warga Muslim Rohingya lainnya, Hasan ditempat di kapal yang dilarung ke laut.

Kehidupan mereka di laut mengenaskan. Kapal mereka dirusak oleh lima orang Myanmar. Pria 33 tahun ini menceritakan, di tengah laut lima orang warga Myanmar tiba-tiba datang, membawa makanan dan minuman untuk ditukar dengan bagian mesin kapal.

“Mesin diangkat, bensin juga dibawa. Ditukar dengan beras, air, cabe dan garam,” ungkap Hasan.
Kapal mereka tidak diperbolehkan merapat ke Thailand dan Bangladesh. Bantuan dari kedua negara tersebut hanya berupa makanan seadanya, dilemparkan dari helikopter. Pasokan yang tipis, Hasan hanya makan sehari sekali, minum dua kali sehari.

“Ada dapur di kapal, untuk memasak nasi dan garam. Mie instan kami makan mentah tanpa dimasak,” kata Hasan.

Untuk diketahui bersama, Hasan diselamatkan oleh para nelayan di desa Simpang Lhee pada Rabu (20/5/2015) dini hari tepat di saat persediaan makanan mereka habis. Kini dia bisa memakai pakaian yang layak, makan yang kenyang, dan tanpa rasa takut akan kehilangan nyawa di laut.

Sampai saat ini masih ada ribuan warga Muslim Rohingya yang ditampung di beberapa lokasi di Aceh. Sebagian tiba pekan lalu saat kapal mereka mencapai pantai Lhokseumawe dan Langsa.

Sementara itu, menurut data yang ada menyebutkan jika jumlah imigran asal Myanmar dan Bangladesh yang terdampar di Aceh telah mencapai 1.346 orang. Jumlah ini belum termasuk ratusan imigran yang terdampar di perairan Aceh pada Rabu (20/5/2015) pagi.

Sedangkan warga Muslim Myanmar dan Bangladesh yang masih terkatung-katung di lautan lepas yang diperkirakan berjumlah sekitar 7.000 orang. (panjimas/pahamilah)

3 Bulan Tak Makan, Warga Muslim Rohingya Menangis Saat Melihat Nasi & Lauk di Aceh

 Hasan salah seorang muslim rohingya

Pahamilah.com - Seorang warga Muslim Rohingya yang pergi dari negaranya sendiri, yakni Myanmar mengaku sudah berbulan-bulan mengapung di air tanpa persediaan bahan makanan pokok yang mencukupi untuk seluruh penumpang kapal yang ia tumpangi.

Suara Hasan Ali lirih saat menceritakan perjalanannya di laut hingga berakhir di Indonesia. Seperti warga minoritas Muslim Rohingya lainnya, Hasan adalah pelarian dari diskriminasi dan kekejaman yang diterimanya umat Budha dan pemerintah Budha di Myanmar.

Hasan bersama lebih dari 300 warga Muslim Rohingya dan Bangladesh diselamatkan oleh warga Desa Simpang Lhee, Julok, Aceh Timur pada Rabu (20/5/2015) dini hari. Mereka kemudian ditempatkan di meunasah, diberi pakaian, mandi dan makan sepuasnya, dari hasil swadaya masyarakat setempat.

“Tiga bulan kami tidak makan, kini kami makan,” kata Hasan sambil terisak saat diberikan dua piring berisi penuh nasi dan lauk oleh warga desa, pada Rabu (20/5/2015). Melihat Hasan menangis, warga lainnya juga ikut meneteskan air mata.

Hasan mengatakan, dirinya pergi dari Myanmar dibantu oleh seorang warga Rohingya yang telah hidup makmur di Thailand bernama Anwar. Bersama ratusan warga Muslim Rohingya lainnya, Hasan ditempat di kapal yang dilarung ke laut.

Kehidupan mereka di laut mengenaskan. Kapal mereka dirusak oleh lima orang Myanmar. Pria 33 tahun ini menceritakan, di tengah laut lima orang warga Myanmar tiba-tiba datang, membawa makanan dan minuman untuk ditukar dengan bagian mesin kapal.

“Mesin diangkat, bensin juga dibawa. Ditukar dengan beras, air, cabe dan garam,” ungkap Hasan.
Kapal mereka tidak diperbolehkan merapat ke Thailand dan Bangladesh. Bantuan dari kedua negara tersebut hanya berupa makanan seadanya, dilemparkan dari helikopter. Pasokan yang tipis, Hasan hanya makan sehari sekali, minum dua kali sehari.

“Ada dapur di kapal, untuk memasak nasi dan garam. Mie instan kami makan mentah tanpa dimasak,” kata Hasan.

Untuk diketahui bersama, Hasan diselamatkan oleh para nelayan di desa Simpang Lhee pada Rabu (20/5/2015) dini hari tepat di saat persediaan makanan mereka habis. Kini dia bisa memakai pakaian yang layak, makan yang kenyang, dan tanpa rasa takut akan kehilangan nyawa di laut.

Sampai saat ini masih ada ribuan warga Muslim Rohingya yang ditampung di beberapa lokasi di Aceh. Sebagian tiba pekan lalu saat kapal mereka mencapai pantai Lhokseumawe dan Langsa.

Sementara itu, menurut data yang ada menyebutkan jika jumlah imigran asal Myanmar dan Bangladesh yang terdampar di Aceh telah mencapai 1.346 orang. Jumlah ini belum termasuk ratusan imigran yang terdampar di perairan Aceh pada Rabu (20/5/2015) pagi.

Sedangkan warga Muslim Myanmar dan Bangladesh yang masih terkatung-katung di lautan lepas yang diperkirakan berjumlah sekitar 7.000 orang. (panjimas/pahamilah)