middle ad
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan


Pahamilah.com - Tentang penamaan “Muhammad” untuk nama Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada beberapa riwayat yang menceritakan mengenai sejarahnya. Dahulu di masa jahiliyah tak banyak orang yang menyandang nama Muhammad. Bagi masyarakat jahiliyah kala itu, nama ini masih teramat asing di telinga mereka. Oleh karenanya, saat kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdul Muthalib, memilih nama “Muhammad” (orang yang terpuji) untuk cucu tercintanya, mereka merasa heran. Hal ini karena keputusan yang dilakukan Abdul Muthalib tersebut  berbeda dengan adat orang-orang Quraisy dahulu. Dimana diantara adat mereka, mereka menjadikan nama-nama leluhur sebagai nama untuk anak keturunan mereka.

Beberapa orang dari suku Quraisy memberi masukan untuk Abdulmutholib; yang kala itu selaku pembesar suku Quraisy, perihal nama untuk cucu tercintanya,

لما رغبت به عن أسماء أهل بيته؟
“Mengapa tidak dinamai dengan nama salah seorang dari kerabatnya saja?”

Abdul Muthalib menjawab,
أردت أن يحمده الله تعالى في السماء وخلقه في الأرض
“Aku ingin agar Allah memujinya di langit, dan ia dipuji makhluk-makhluk-Nya di bumi” (Lihat Dala ilun Nubuwwah 1: 113).

Ucapan ini menjadi kenyataan. Allah telah menjadikan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam adalah orang yang paling terpuji dan paling mulia di segenap penduduk langit dan bumi. Dalam Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari perkataan Abdulmutholib ini. Beliau mengatakan, “Allah ‘azzawajalla telah mengilhamkan kepada mereka untuk menamai Nabi dengan nama Muhammad (orang yang terpuji). Hal ini karena dalam diri beliau telah tertanam sifat-sifat yang luhur, agar menjadi sepadan antara nama dan tindakan, dan agar sinkron antara nama dan yang diberi nama, baik dalam hal nama maupun tindak-tanduknya” (Bidayah wan Nihayah 1: 669)

Ada pula riwayat lain yang menjelaskan sejarah penamaan Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Dalam Raudhatul Unuf, Imam As-Suhaili menukilkan riwayat tersebut. Kisahnya berawal dari perjalanan kakek beliau; Abdulmutholib menuju negeri Syam bersama tiga orang rekannya untuk suatu keperluan bisnis. Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang rahib (pendeta). Sang rahib menanyakan, “Dari mana kalian?”
“Kami berasal dari Makkah.” Jawab mereka.

Mengetahui mereka datang dari Makkah, sang rahib pun mengabarkan perihal berita yang dia dapatkan dalam kitab suci agamanya, “Sesungguhnya dari negeri kalian itu akan muncul seorang Nabi.” tegas sang rahib. Dengan penuh keheranan, Abdul Muthalib dan tiga orang kawannya menanyakan perihal nama Nabi tersebut. Rahib itu menjawab, “Namanya adalah Muhammad.”

Perawi menyatakan,
ولم يكن اسم محمد معروفا عند العرب
“Kala itu nama Muhammad belum dikenal di kalangan penduduk Arab.”

Mendengar jawaban rahib tersebut, Abdul Muthalib beserta tiga rekannya bertekad bila nanti lahir bayi laki-laki sepulang mereka dari Syam, mereka akan memberi nama Muhammad. Allah pun menakdirkan, ternyata bayi laki-laki yang pertama kali lahir sepulangnya mereka dari Syam adalah dari menantu Abdul Muthalib, yaitu Aminah binti Wahb; Ibunda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abdulmutholib pun menyematkan nama Muhammad untuk cucu tercintanya. Adapun ketiga rekan beliau; yaitu Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah, mereka juga tak mau kalah, saat lahir bayi laki-laki mereka, mereka juga segera menamai putera mereka dengan nama Muhammad. “Empat orang inilah,” terang Imam As-Suhaili,  “orang Arab pertama yang menamai anaknya dengan nama Muhammad.” (Raudhotul Unuf 1: 820).

Harits bin Tsabit bersenandung dalam bait-bait syairnya,
فشق له من اسمه ليجله
فذو العرش محمود وهذا محمد
Namanya diambil dari nama (Tuhan) Nya untuk mengagungkannya
Karena Pemilik Arsy itu Maha terpuji (Mahmud) dan inilah hamba-Nya; orang yang terpuji (Muhammad).

Wallahu a’lam bis showab.

__
Referensi: Al Lu’lu’u Al Maknun fi Shiroti An Nabi Al Ma’muun, karya Musa Rasyid Al ‘Azimi. Cetakan ketiga, tahun 1436/2015. Penerbit Darus Suma’i, Riyadh.
Kota Nabi, 18 Rojab 1436 H.
***
Penulis: Ahmad Anshori

(muslim.or.id/pahamilah)

Sejarah Penamaan “Muhammad” Untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam



Pahamilah.com - Tentang penamaan “Muhammad” untuk nama Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada beberapa riwayat yang menceritakan mengenai sejarahnya. Dahulu di masa jahiliyah tak banyak orang yang menyandang nama Muhammad. Bagi masyarakat jahiliyah kala itu, nama ini masih teramat asing di telinga mereka. Oleh karenanya, saat kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdul Muthalib, memilih nama “Muhammad” (orang yang terpuji) untuk cucu tercintanya, mereka merasa heran. Hal ini karena keputusan yang dilakukan Abdul Muthalib tersebut  berbeda dengan adat orang-orang Quraisy dahulu. Dimana diantara adat mereka, mereka menjadikan nama-nama leluhur sebagai nama untuk anak keturunan mereka.

Beberapa orang dari suku Quraisy memberi masukan untuk Abdulmutholib; yang kala itu selaku pembesar suku Quraisy, perihal nama untuk cucu tercintanya,

لما رغبت به عن أسماء أهل بيته؟
“Mengapa tidak dinamai dengan nama salah seorang dari kerabatnya saja?”

Abdul Muthalib menjawab,
أردت أن يحمده الله تعالى في السماء وخلقه في الأرض
“Aku ingin agar Allah memujinya di langit, dan ia dipuji makhluk-makhluk-Nya di bumi” (Lihat Dala ilun Nubuwwah 1: 113).

Ucapan ini menjadi kenyataan. Allah telah menjadikan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam adalah orang yang paling terpuji dan paling mulia di segenap penduduk langit dan bumi. Dalam Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari perkataan Abdulmutholib ini. Beliau mengatakan, “Allah ‘azzawajalla telah mengilhamkan kepada mereka untuk menamai Nabi dengan nama Muhammad (orang yang terpuji). Hal ini karena dalam diri beliau telah tertanam sifat-sifat yang luhur, agar menjadi sepadan antara nama dan tindakan, dan agar sinkron antara nama dan yang diberi nama, baik dalam hal nama maupun tindak-tanduknya” (Bidayah wan Nihayah 1: 669)

Ada pula riwayat lain yang menjelaskan sejarah penamaan Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Dalam Raudhatul Unuf, Imam As-Suhaili menukilkan riwayat tersebut. Kisahnya berawal dari perjalanan kakek beliau; Abdulmutholib menuju negeri Syam bersama tiga orang rekannya untuk suatu keperluan bisnis. Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang rahib (pendeta). Sang rahib menanyakan, “Dari mana kalian?”
“Kami berasal dari Makkah.” Jawab mereka.

Mengetahui mereka datang dari Makkah, sang rahib pun mengabarkan perihal berita yang dia dapatkan dalam kitab suci agamanya, “Sesungguhnya dari negeri kalian itu akan muncul seorang Nabi.” tegas sang rahib. Dengan penuh keheranan, Abdul Muthalib dan tiga orang kawannya menanyakan perihal nama Nabi tersebut. Rahib itu menjawab, “Namanya adalah Muhammad.”

Perawi menyatakan,
ولم يكن اسم محمد معروفا عند العرب
“Kala itu nama Muhammad belum dikenal di kalangan penduduk Arab.”

Mendengar jawaban rahib tersebut, Abdul Muthalib beserta tiga rekannya bertekad bila nanti lahir bayi laki-laki sepulang mereka dari Syam, mereka akan memberi nama Muhammad. Allah pun menakdirkan, ternyata bayi laki-laki yang pertama kali lahir sepulangnya mereka dari Syam adalah dari menantu Abdul Muthalib, yaitu Aminah binti Wahb; Ibunda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abdulmutholib pun menyematkan nama Muhammad untuk cucu tercintanya. Adapun ketiga rekan beliau; yaitu Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah, mereka juga tak mau kalah, saat lahir bayi laki-laki mereka, mereka juga segera menamai putera mereka dengan nama Muhammad. “Empat orang inilah,” terang Imam As-Suhaili,  “orang Arab pertama yang menamai anaknya dengan nama Muhammad.” (Raudhotul Unuf 1: 820).

Harits bin Tsabit bersenandung dalam bait-bait syairnya,
فشق له من اسمه ليجله
فذو العرش محمود وهذا محمد
Namanya diambil dari nama (Tuhan) Nya untuk mengagungkannya
Karena Pemilik Arsy itu Maha terpuji (Mahmud) dan inilah hamba-Nya; orang yang terpuji (Muhammad).

Wallahu a’lam bis showab.

__
Referensi: Al Lu’lu’u Al Maknun fi Shiroti An Nabi Al Ma’muun, karya Musa Rasyid Al ‘Azimi. Cetakan ketiga, tahun 1436/2015. Penerbit Darus Suma’i, Riyadh.
Kota Nabi, 18 Rojab 1436 H.
***
Penulis: Ahmad Anshori

(muslim.or.id/pahamilah)
Sebuah kamp konsentrasi Israel untuk menahan warga Palestina 

Pahamilah.com - Para peneliti sejarah Palestina, Salman Abu Sitta dan Terry  Rempel dari lembaga BADIL, menemukan fakta sejarah adanya 22 kamp konsentrasi Israel untuk warga Palestina.

Kamp konsentrasi bergaya Nazi saat menyiksa kalangan Yahudi itu berdiri antara tahun 1948 sampai 1955.

Studi itu kemudian diterbitkan di Journal of Palestine Studies setebal 500 halaman dan bersumber pada data-data yang dikeluarkan Palang Merah Internasional antara tahun 1948.

Data-data itu dianggap rahasia sampai dipublikasikan tahun 1996 dan kemudian secara tidak sengaja ditemukan oleh kedua peneliti tahun 1999.

Keduanya lalu melakukan klarifikasi kepada 22 orang saksi hidup tahanan Palestina di kamp tersebut sejak tahun 2002.

Kesengsaraan yang dialami oleh kalangan Yahudi di kamp konsentrasi Nazi akhirnya diterapkan bagi warga Palestina.

Namun warga Palestina yang merasakan penderitaan silih berganti dari penjajahan Israel, membuat eksistensi kamp konsentrasi ini hampir terlupakan.

"Banyak mantan tahanan Palestina melihat Israel sebagai setan, sehingga mereka berpikir pengalaman mereka di kamp konsentrasi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan tragedi lain yang lebih besar, Nakba. Tragedi Nakba membayangi semuanya," kata Abu Sitta dikutip dari Al Akhbar, Senin (29/9). (republika/pahamilah)


Misteri Kamp Konsentrasi Israel untuk Warga Palestina Terungkap

Sebuah kamp konsentrasi Israel untuk menahan warga Palestina 

Pahamilah.com - Para peneliti sejarah Palestina, Salman Abu Sitta dan Terry  Rempel dari lembaga BADIL, menemukan fakta sejarah adanya 22 kamp konsentrasi Israel untuk warga Palestina.

Kamp konsentrasi bergaya Nazi saat menyiksa kalangan Yahudi itu berdiri antara tahun 1948 sampai 1955.

Studi itu kemudian diterbitkan di Journal of Palestine Studies setebal 500 halaman dan bersumber pada data-data yang dikeluarkan Palang Merah Internasional antara tahun 1948.

Data-data itu dianggap rahasia sampai dipublikasikan tahun 1996 dan kemudian secara tidak sengaja ditemukan oleh kedua peneliti tahun 1999.

Keduanya lalu melakukan klarifikasi kepada 22 orang saksi hidup tahanan Palestina di kamp tersebut sejak tahun 2002.

Kesengsaraan yang dialami oleh kalangan Yahudi di kamp konsentrasi Nazi akhirnya diterapkan bagi warga Palestina.

Namun warga Palestina yang merasakan penderitaan silih berganti dari penjajahan Israel, membuat eksistensi kamp konsentrasi ini hampir terlupakan.

"Banyak mantan tahanan Palestina melihat Israel sebagai setan, sehingga mereka berpikir pengalaman mereka di kamp konsentrasi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan tragedi lain yang lebih besar, Nakba. Tragedi Nakba membayangi semuanya," kata Abu Sitta dikutip dari Al Akhbar, Senin (29/9). (republika/pahamilah)



Pahamilah.com - Pada periode 1960-an, Partai Komunis Indonesia—PKI, adalah partai komunis terbesar di dunia selain partai komunis di Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Sovyet saat itu. Mengapa gerakan mereka—kalau benar digerakkan PKI, gagal?

John Roosa dalam ‘Pretex for Mass Murder...’ yang terbit 2006 lalu mencoba menulis peristiwa itu hanya berdasarkan dokumen akurat. Risetnya menggunakan arsip yang selama ini jarang disentuh, terutama Dokumen Supardjo, tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam, wawancara dengan banyak tokoh PKI, dsb.

Dalam Dokumen Supardjo—semacam pertanggungjawaban Brigjen Supardjo, salah seorang militer dengan pangkat tertinggi yang terlibat dalam ‘gerakan’ tersebut, Roosa menyebut alasan kegagalan G30S. Mengapa pertanggungjawaban? Karena menurut Roosa, Dokumen Supardjo ditulis sebelum ia tertangkap. Dan "...informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya."

Kesimpulan Supardjo: G30S gagal karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang pengetahuannya cetek soal prosedur kemiliteran. "Dengan menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbulkan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti," tulis Roosa.

Supardjo menulis, setiba di Halim Perdanakusumah, sehari sebelum kejadian, Supardjo mengaku bingung siapa sebenarnya yang memimpin G30S. Koordinasi yang buruk juga menjadi sebab kegagalan.
"Kerja sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil," ujar Roosa dalam buku itu.

Sebab lain, Supardjo—yang menjadi brigadir jenderal pada usia 44 karena kemampuannya sebagai ahli strategi sejumlah pertempuran, menilai perencanaan gerakan kurang matang. Dalam dokumen itu Supardjo menulis, "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas." (inilah/pahamilah)


Inilah Sebab-sebab G30S Gagal


Pahamilah.com - Pada periode 1960-an, Partai Komunis Indonesia—PKI, adalah partai komunis terbesar di dunia selain partai komunis di Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Sovyet saat itu. Mengapa gerakan mereka—kalau benar digerakkan PKI, gagal?

John Roosa dalam ‘Pretex for Mass Murder...’ yang terbit 2006 lalu mencoba menulis peristiwa itu hanya berdasarkan dokumen akurat. Risetnya menggunakan arsip yang selama ini jarang disentuh, terutama Dokumen Supardjo, tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam, wawancara dengan banyak tokoh PKI, dsb.

Dalam Dokumen Supardjo—semacam pertanggungjawaban Brigjen Supardjo, salah seorang militer dengan pangkat tertinggi yang terlibat dalam ‘gerakan’ tersebut, Roosa menyebut alasan kegagalan G30S. Mengapa pertanggungjawaban? Karena menurut Roosa, Dokumen Supardjo ditulis sebelum ia tertangkap. Dan "...informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya."

Kesimpulan Supardjo: G30S gagal karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang pengetahuannya cetek soal prosedur kemiliteran. "Dengan menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbulkan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti," tulis Roosa.

Supardjo menulis, setiba di Halim Perdanakusumah, sehari sebelum kejadian, Supardjo mengaku bingung siapa sebenarnya yang memimpin G30S. Koordinasi yang buruk juga menjadi sebab kegagalan.
"Kerja sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil," ujar Roosa dalam buku itu.

Sebab lain, Supardjo—yang menjadi brigadir jenderal pada usia 44 karena kemampuannya sebagai ahli strategi sejumlah pertempuran, menilai perencanaan gerakan kurang matang. Dalam dokumen itu Supardjo menulis, "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas." (inilah/pahamilah)


Abdul Mun’im DZ, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 

Pahamilah.com - Abdul Mun’im DZ, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 mengungkapkan, sejumlah peneliti asing telah melakukan kesalahan dengan mendramatisasi jumlah korban peristiwa G30S PKI sampai jutaan orang.

"Pihak asing me-mark-up jumlah korban hingga jutaan korban PKI. Padahal jumlah korban diperkirakan hanya di bawah 200.000," ungkapnya dalam bedah buku itu di gedung rektorat Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Selasa (23/9) kemarin.

Dikatakannya, korban juga tidak hanya berasal dari pihak PKI. “Korban yang berasal dari kalangan NU juga banyak. Apalagi kalau dihitung dari rangkaian pemberontakan PKI sebelum 1965,” katanya.

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU menjelaskan, buka setebal 208 dirilis karena banyak kelompok yang melakukan pembelaan terhadap PKI dan cenderung menyalahkan NU serta TNI.

Lanjutnya, saat ini banyak kalangan NU, terutama generasi mudanya, yang tidak lagi mengenal sejarah NU sehingga mengikuti cara berpikir orang lain, baik akademisi maupun politisi, yang memojokkan NU terkait tragedi 1965.

"Korban dari pihak NU dan TNI banyak sekali. Jadi kenapa NU dan TNI yang dipojokkan, sedangkan selamai ini banyak propaganda membela PKI yang jelas mengancam ideologi bangsa kita," jelasnya.

Hampir semua buku yang terbit membela PKI atas benturan tersebut, tanpa melihat prolog dan penyebab kenapa benturan tersebut terjadi.

"Banyak media yang membuat tulisan tentang benturan NU dengan PKI namun semua hanya membela PKI, sedangkan keganasan PKI tidak mereka soroti," ujarnya.

Ia menambahkan, penerbitan buku Benturan NU-PKI bukan dalam rangkan memperpanjang konfik.

“Kita tidak ingin mengobarkan peperangan, namun kita mau melakukan rekonsiliasi dan perdamaian yanng didasarkan atas fakta yang benar. Bukan hanya pihak kami yang minta maaf, tapi mereka juga harus minta maaf," ujarnya. (nu/pahamilah)



Ternyata Pihak Asing “Mark-up” Jumlah Korban PKI

Abdul Mun’im DZ, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 

Pahamilah.com - Abdul Mun’im DZ, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 mengungkapkan, sejumlah peneliti asing telah melakukan kesalahan dengan mendramatisasi jumlah korban peristiwa G30S PKI sampai jutaan orang.

"Pihak asing me-mark-up jumlah korban hingga jutaan korban PKI. Padahal jumlah korban diperkirakan hanya di bawah 200.000," ungkapnya dalam bedah buku itu di gedung rektorat Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Selasa (23/9) kemarin.

Dikatakannya, korban juga tidak hanya berasal dari pihak PKI. “Korban yang berasal dari kalangan NU juga banyak. Apalagi kalau dihitung dari rangkaian pemberontakan PKI sebelum 1965,” katanya.

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU menjelaskan, buka setebal 208 dirilis karena banyak kelompok yang melakukan pembelaan terhadap PKI dan cenderung menyalahkan NU serta TNI.

Lanjutnya, saat ini banyak kalangan NU, terutama generasi mudanya, yang tidak lagi mengenal sejarah NU sehingga mengikuti cara berpikir orang lain, baik akademisi maupun politisi, yang memojokkan NU terkait tragedi 1965.

"Korban dari pihak NU dan TNI banyak sekali. Jadi kenapa NU dan TNI yang dipojokkan, sedangkan selamai ini banyak propaganda membela PKI yang jelas mengancam ideologi bangsa kita," jelasnya.

Hampir semua buku yang terbit membela PKI atas benturan tersebut, tanpa melihat prolog dan penyebab kenapa benturan tersebut terjadi.

"Banyak media yang membuat tulisan tentang benturan NU dengan PKI namun semua hanya membela PKI, sedangkan keganasan PKI tidak mereka soroti," ujarnya.

Ia menambahkan, penerbitan buku Benturan NU-PKI bukan dalam rangkan memperpanjang konfik.

“Kita tidak ingin mengobarkan peperangan, namun kita mau melakukan rekonsiliasi dan perdamaian yanng didasarkan atas fakta yang benar. Bukan hanya pihak kami yang minta maaf, tapi mereka juga harus minta maaf," ujarnya. (nu/pahamilah)