middle ad
Tampilkan postingan dengan label Surat Terbuka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Surat Terbuka. Tampilkan semua postingan
Indra J Piliang 

Pahamilah.com - Politikus Partai Golkar, Indra J Piliang membuat surat terbuka untuk presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). Surat tersebut dimuat di blog pribadinya pada Kamis (9/10) dengan judul Surat Terbuka untuk Jokowi: Tentang Mimpi Generasi Usia 40-an Tahun.

Surat itu ditulis dari beberapa bagian. Pada bagian pembuka, Indra menulis mengenai beberapa pendapatnya mengenai menteri yang sebaiknya diangkat Jokowi.

Berikut bagian pembuka tulisan Indra tersebut: 
Pak Joko Widodo (Jokowi) yang saya hormati
Izinkan saya mengirimkan surat terbuka ini kepada Bapak. Perlu saya sampaikan, walau menjadi bagian dari Dewan Pakar Jenggala Center dan Poros Indonesia Muda, saya jarang bertemu Bapak. Kita hanya pernah bertemu dalam empat kali kesempatan, yakni dalam acara Deklarasi Damai yang diadakan KPU, di Media Center Jokowi-JK, di atas kapal Phinisi Hati Buana Setia di pelabuhan Sunda Kelapa dan pembubaran Tim Jenggala Center. Saya tidak merasa berkepentingan untuk berada di dekat Bapak, mengingat luasnya area kampanye dan kesibukan Bapak.

Usai Pilpres, saya juga tidak merasa harus mendekati Bapak. Bahkan saya mengkritik keras rencana pembentukan Tim Transisi. Argumen-argumen saya sudah jelas, yakni Tim Transisi itu tidak dikenal dalam sistem suksesi yang ada di Indonesia yang mengenal fixed term (siklus lima tahunan, dalam bahasa Lemhannas). Saya justru melihat ada potensi kebuntuan politik, akibat jarak yang dimunculkan ke pelbagai pihak dengan keberadaan Tim Super itu. Walau akhirnya Bapak memutuskan meresmikan tim itu, tentu Bapak sudah memiliki parameter tersendiri untuk menilai sukses tidaknya. Saya justru melihat sebaliknya, akibat kesibukan Bapak dengan Tim Transisi itu, kerja-kerja politik pasca Pilpres menjadi terabaikan yang berbuah pada sentimen yang diputar tentang kekalahan demi kekalahan yang terjadi di DPR RI dan MPR RI.

Karena memang tidak memiliki jalur khusus, mengingat waktu yang makin terbatas, yakni tinggal sepuluh hari, saya memberanikan diri untuk menulis surat terbuka ini. Barangkali surat ini masih berguna suatu hari nanti sebagai catatan sejarah saja.

Pak Joko Widodo (Jokowi) yang saya muliakan
Saya sudah membaca sejumlah nama calon menteri dalam “Kabinet Trisakti” Joko Widodo (Jokowi) yang muncul ke permukaan. Siapapun nama itu tidaklah penting. Begitupula latar belakang politik mereka. Hanya saja, sebagai bagian dari bentuk kepedulian, saya perlu sampaikan tentang hal-hal sebagai berikut.

Pertama, sebutan profesional, baik murni ataupun partai politik, sebaiknya dihindari. Dalam literatur manapun, menteri adalah jabatan politik, bukan jabatan bagi kalangan profesional atau birokrasi murni. Menteri bisa dipecat kapan saja oleh presiden. Sebagai pembantu presiden, kedudukan menteri tidak lebih tinggi dari asisten rumah tangga. Apalagi kalau sampai sebutan sebagai profesional atau politisi itu salah dalam penempatan, akibat tidak mengetahui dengan detil riwayat seseorang. Sebab, tidak semua orang berani menyantumkan seluruh riwayat hidupnya untuk kepentingan setingkat menteri. Bangsa ini memang kekurangan lembaga pencatat kehidupan seseorang, terutama sedikitnya penulis biografi ataupun auto biografi yang terverifikasi.

Kedua, dalam situasi pancaroba politik domestik, regional dan internasional sekarang, menteri haruslah memiliki kesadaran yang sama dan bahkan dididik dengan cara berpikir yang mirip. Kabinet yang berisi menteri dari bermacam latar belakang sah-sah saja, asalkan berasal dari generasi yang memiliki impian-impian dan tujuan-tujuan yang sudah tertancap dalam Visi Misi Jokowi-JK. Bukankah banyak mesin birokrasi di belakang mereka? Kalau perlu, mereka berasal dari jaringan perkawanan yang sama dan lama, sehingga masing-masing mengetahui sifat, karakter, pemikiran, bahkan kekuatan dan – terutama – kelemahan menteri lain. Sudah bukan zamannya lagi seorang menteri hanya merasa bertanggungjawab kepada presiden seorang, sementara abai mengoreksi potensi kesalahan yang dilakukan rekannya yang lain.

Ketiga, menteri tidak lahir dari kisah Pilpres yang singkat. Jadi tidak ada yang disebut sebagai politik balas jasa. Alangkah celakanya bila seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan teruji dalam masa yang panjang, tiba-tiba dikalahkan oleh calon-calon menteri titipan hanya karena arus kepemilikan kas kampanye. Negara ini sudah terlalu dicoreng oleh kepentingan-kepentingan titipan semacam itu, sehingga berbuah dengan berhumbalangnya para menteri kabinet sebelumnya ke dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan. Saya merasa, Bapak perlu memikirkan soal ini dengan sangat tenang. Letak keberhasilan Bapak bukan hanya mampu melewati periode kepemimpinan Bapak selama lima tahun, melainkan juga membawa seluruh armada yang Bapak pimpin selamat sampai di tujuan.

Keempat, apabila Bapak memang menginginkan satu kabinet kerja yang solid, militan dan tanpa berharap berbagai sematan Bintang Tanda Jasa di dadanya, sebaiknya sejak awal bapak melibatkan kalangan terdekat dari orang tersebut. Rumah masa kecil dan keluarga sang calon menteri tentulah yang perlu Bapak lihat dan injak. Bapak perlu membangun empati sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Empati itu dimulai dari tingkat yang rendah, yakni dalam kehidupan berkeluarga dan bertetangga. Apalagi dengan mudah, Bapak bisa langsung menampung keluh-kesah siapapun, termasuk dari keluarga atau tetangga calon orang kepercayaan Bapak. Dengan relawan yang setia di sekeliling Bapak, tentulah dengan mudah bisa menditeksi keberadaan orang-orang yang akan menjadi kepercayaan Bapak itu. Terus terang, saya tidak percaya dengan pelbagai sebutan nama kampus luar dan dalam negeri yang tercantum di dalam kurikulum seseorang. Ketidak-percayaan saya muncul akibat banyaknya orang-orang bergelar akademik yang pada gilirannya menjadi pasien lembaga-lembaga penegak hukum.

Kelima, siapapun yang Bapak pilih, tidak akan diingat generasi nanti. Ini adalah era pemerintahan Jokowi. Sudah Bapak ketahui betapa anak-anak sekolah sekarang sama sekali tidak hafal nama menteri. Jangankan anak-anak sekolah, saya sendiri juga tidak hafal nama-nama menteri yang ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua, apalah lagi yang Jilid Satu lima tahun yang lalu. Yang orang akan ingat adalah nama Bapak. Yang orang juga akan lupakan adalah nama Bapak, apabila kurang berhasil melakukan perbaikan, janganlah dulu perubahan dan lompatan besar yang spektakuler. Nama-nama menteri akan hilang dalam satu generasi ke depan, sebagaimana generasi hari ini tak ingat lagi nama-nama menteri generasi lalu.

Pak Joko Widodo (Jokowi) yang jadi harapan rakyat pemilih
Bagian terpenting dari surat saya ada di sini. Saya berharap, Bapak mewujudkan mimpi satu generasi tentang Indonesia masa depan. Satu generasi yang rata-rata berusia 40 tahun, lahir dari pergerakan pemikiran dan aktivisme akhir tahun 1980-an dan era 1990-an. Inilah generasi bunga-berbunga yang tumbuh dari kelebihan gizi pembangunan era Orde Baru, tetapi terjepit dalam pembatasan-pembatasan secara intelektual , sosial dan politik. Generasi yang sebetulnya apatis dan apolitis, tetapi terpaksa ikut dalam aktivisme kampus dan luar kampus untuk membuka pintu demokrasi yang tertutup rapat dan dijaga ormas pemuda berloreng, hansip, polisi dan tentara.

Generasi yang juga menikmati beragam gelontoran program kampus guna disiapkan sebagai agen-agen pembangunan, tetapi dilarang membaca buku-buku kritis dari kiri sampai ke kanan. Generasi yang sudah mulai berpikir tentang Tinggal Landas, terpukau dengan sejumlah program rekayasa industri dan teknologi, serta dididik langsung oleh sejumlah tokoh kritis yang mayoritas sudah tiada. Generasi yang juga menyimak diskusi-diskusi kecil-kecilan dengan generasi lain yang sebagian sudah bisa keluar dari penjara Orde Lama dan Orde Baru, seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, WS Rendra, Ali Sadikin, Kemal Idris, dan nama-nama lainnya.

Apabila Bapak bisa menangkap alam pemikiran generasi yang berakhir dalam gerakan Mei 1998 ini, Bapak bisa tahu bahwa jauh lebih banyak yang menyingkir ke kehidupan profesional, birokrasi, kampus dan lembaga swadaya masyarakat, termasuk diplomat, bankir, polisi, dokter, guru, petani, pengusaha dan militer, ketimbang hadir di publik sebagai tokoh politik dan pemerintahan. Generasi inilah yang sekarang menjadi pucuk-pucuk pimpinan di tempat mereka masing-masing, mewarnai masyarakat, termasuk kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas. Merekalah yang sedang membentuk masa depan di tengah-tengah kehidupan, pada usia emas, usia kenabian, 40-an tahun. Mereka bekerja dalam lingkungan sendiri, kembali ke kehidupan akhir 80an dan era 90-an: apatis dan apolitis dengan yang namanya pergerakan kaum elite dan pemimpin yang demagog.

Terus terang, Pak Jokowi, nasionalisme kita lahir dari teks yang ditulis di koran-koran. Benedict Anderson menyebutnya sebagai printed nationalism. Apa artinya? Kalau mau melihat siapa yang disebut sebagai kaum nasionalis, tinggal membaca nama mereka di koran-koran, dalam bahasa sederhana. Dengan teknologi dan manajemen pencitraan dan konsultan yang bertumbuhan dewasa ini, printed nationalism sudah berubah menjadi printed Leviathan Thomas Hobbes dalam wujud penyelenggaraan negara. Negara telah berubah menjadi ajang pencitraan raksasa yang memakan otentisitas, idealitas dan sportivitas. Saya tahu, Bapak diserang tiap hari dengan koran, majalah, media online, social media, radio dan televisi yang dimiliki oleh lawan-lawan politik Bapak, sebagaimana juga Bapak dibela dengan metode yang sama.

Tetapi, Bapak akan gagal menangkap jiwa generasi yang saya sebut tadi, apabila Bapak mengandalkan pemberitaan untuk mencari nama mereka, apalagi dengan hanya mengandalkan kurir pengantar surat lamaran menjadi menteri. Mereka bukanlah bagian dari orang-orang yang mau menaruh nama di kancah pencitraan, apalagi demi ambisi politik atau dendam politik. Mereka menulis puluhan surat lamaran setelah lulus, tetapi jarang yang berbalas akibat multi-krisis yang dihadapi Indonesia di akhir abad 20. Tetapi, sebagai generasi berusia 40-an tahun, mereka ada di mana-mana secara mandiri dan otodidak dalam posisi yang tidak memerlukan ulur tangan orang lain lagi hanya untuk menghidupi keluarga masing-masing. Mereka ada dalam struktur dan kultur masyarakat itu sendiri dalam pelbagai ragam profesi yang mulai mapan.

Terus terang, banyak nama yang terus muncul dan dimunculkan untuk ada di sekitar Bapak, bahkan ketika yang melahirkan konsep Trisakti mereka tumbangkan dengan propaganda gerakan Angkatan 1966. Mereka ingin terus ada di lapisan atas, membentuk kader-kader biologis dan ideologis, agar terus ada dan berkuasa. Nama-nama yang dulu kami hadapi dalam gerakan 1990-an, terus muncul lagi dengan berbagai dandanan, titel ataupun gelar akademis. Bagaimana bisa energi murni pembaharuan dan perubahan bisa tumbuh subur, apabila fisik yang menggerakkannya sama dan saling bertolak-belakang? (republika/pahamilah)



Ini Isi Surat Terbuka Indra Piliang untuk Jokow

Indra J Piliang 

Pahamilah.com - Politikus Partai Golkar, Indra J Piliang membuat surat terbuka untuk presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). Surat tersebut dimuat di blog pribadinya pada Kamis (9/10) dengan judul Surat Terbuka untuk Jokowi: Tentang Mimpi Generasi Usia 40-an Tahun.

Surat itu ditulis dari beberapa bagian. Pada bagian pembuka, Indra menulis mengenai beberapa pendapatnya mengenai menteri yang sebaiknya diangkat Jokowi.

Berikut bagian pembuka tulisan Indra tersebut: 
Pak Joko Widodo (Jokowi) yang saya hormati
Izinkan saya mengirimkan surat terbuka ini kepada Bapak. Perlu saya sampaikan, walau menjadi bagian dari Dewan Pakar Jenggala Center dan Poros Indonesia Muda, saya jarang bertemu Bapak. Kita hanya pernah bertemu dalam empat kali kesempatan, yakni dalam acara Deklarasi Damai yang diadakan KPU, di Media Center Jokowi-JK, di atas kapal Phinisi Hati Buana Setia di pelabuhan Sunda Kelapa dan pembubaran Tim Jenggala Center. Saya tidak merasa berkepentingan untuk berada di dekat Bapak, mengingat luasnya area kampanye dan kesibukan Bapak.

Usai Pilpres, saya juga tidak merasa harus mendekati Bapak. Bahkan saya mengkritik keras rencana pembentukan Tim Transisi. Argumen-argumen saya sudah jelas, yakni Tim Transisi itu tidak dikenal dalam sistem suksesi yang ada di Indonesia yang mengenal fixed term (siklus lima tahunan, dalam bahasa Lemhannas). Saya justru melihat ada potensi kebuntuan politik, akibat jarak yang dimunculkan ke pelbagai pihak dengan keberadaan Tim Super itu. Walau akhirnya Bapak memutuskan meresmikan tim itu, tentu Bapak sudah memiliki parameter tersendiri untuk menilai sukses tidaknya. Saya justru melihat sebaliknya, akibat kesibukan Bapak dengan Tim Transisi itu, kerja-kerja politik pasca Pilpres menjadi terabaikan yang berbuah pada sentimen yang diputar tentang kekalahan demi kekalahan yang terjadi di DPR RI dan MPR RI.

Karena memang tidak memiliki jalur khusus, mengingat waktu yang makin terbatas, yakni tinggal sepuluh hari, saya memberanikan diri untuk menulis surat terbuka ini. Barangkali surat ini masih berguna suatu hari nanti sebagai catatan sejarah saja.

Pak Joko Widodo (Jokowi) yang saya muliakan
Saya sudah membaca sejumlah nama calon menteri dalam “Kabinet Trisakti” Joko Widodo (Jokowi) yang muncul ke permukaan. Siapapun nama itu tidaklah penting. Begitupula latar belakang politik mereka. Hanya saja, sebagai bagian dari bentuk kepedulian, saya perlu sampaikan tentang hal-hal sebagai berikut.

Pertama, sebutan profesional, baik murni ataupun partai politik, sebaiknya dihindari. Dalam literatur manapun, menteri adalah jabatan politik, bukan jabatan bagi kalangan profesional atau birokrasi murni. Menteri bisa dipecat kapan saja oleh presiden. Sebagai pembantu presiden, kedudukan menteri tidak lebih tinggi dari asisten rumah tangga. Apalagi kalau sampai sebutan sebagai profesional atau politisi itu salah dalam penempatan, akibat tidak mengetahui dengan detil riwayat seseorang. Sebab, tidak semua orang berani menyantumkan seluruh riwayat hidupnya untuk kepentingan setingkat menteri. Bangsa ini memang kekurangan lembaga pencatat kehidupan seseorang, terutama sedikitnya penulis biografi ataupun auto biografi yang terverifikasi.

Kedua, dalam situasi pancaroba politik domestik, regional dan internasional sekarang, menteri haruslah memiliki kesadaran yang sama dan bahkan dididik dengan cara berpikir yang mirip. Kabinet yang berisi menteri dari bermacam latar belakang sah-sah saja, asalkan berasal dari generasi yang memiliki impian-impian dan tujuan-tujuan yang sudah tertancap dalam Visi Misi Jokowi-JK. Bukankah banyak mesin birokrasi di belakang mereka? Kalau perlu, mereka berasal dari jaringan perkawanan yang sama dan lama, sehingga masing-masing mengetahui sifat, karakter, pemikiran, bahkan kekuatan dan – terutama – kelemahan menteri lain. Sudah bukan zamannya lagi seorang menteri hanya merasa bertanggungjawab kepada presiden seorang, sementara abai mengoreksi potensi kesalahan yang dilakukan rekannya yang lain.

Ketiga, menteri tidak lahir dari kisah Pilpres yang singkat. Jadi tidak ada yang disebut sebagai politik balas jasa. Alangkah celakanya bila seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan teruji dalam masa yang panjang, tiba-tiba dikalahkan oleh calon-calon menteri titipan hanya karena arus kepemilikan kas kampanye. Negara ini sudah terlalu dicoreng oleh kepentingan-kepentingan titipan semacam itu, sehingga berbuah dengan berhumbalangnya para menteri kabinet sebelumnya ke dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan. Saya merasa, Bapak perlu memikirkan soal ini dengan sangat tenang. Letak keberhasilan Bapak bukan hanya mampu melewati periode kepemimpinan Bapak selama lima tahun, melainkan juga membawa seluruh armada yang Bapak pimpin selamat sampai di tujuan.

Keempat, apabila Bapak memang menginginkan satu kabinet kerja yang solid, militan dan tanpa berharap berbagai sematan Bintang Tanda Jasa di dadanya, sebaiknya sejak awal bapak melibatkan kalangan terdekat dari orang tersebut. Rumah masa kecil dan keluarga sang calon menteri tentulah yang perlu Bapak lihat dan injak. Bapak perlu membangun empati sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Empati itu dimulai dari tingkat yang rendah, yakni dalam kehidupan berkeluarga dan bertetangga. Apalagi dengan mudah, Bapak bisa langsung menampung keluh-kesah siapapun, termasuk dari keluarga atau tetangga calon orang kepercayaan Bapak. Dengan relawan yang setia di sekeliling Bapak, tentulah dengan mudah bisa menditeksi keberadaan orang-orang yang akan menjadi kepercayaan Bapak itu. Terus terang, saya tidak percaya dengan pelbagai sebutan nama kampus luar dan dalam negeri yang tercantum di dalam kurikulum seseorang. Ketidak-percayaan saya muncul akibat banyaknya orang-orang bergelar akademik yang pada gilirannya menjadi pasien lembaga-lembaga penegak hukum.

Kelima, siapapun yang Bapak pilih, tidak akan diingat generasi nanti. Ini adalah era pemerintahan Jokowi. Sudah Bapak ketahui betapa anak-anak sekolah sekarang sama sekali tidak hafal nama menteri. Jangankan anak-anak sekolah, saya sendiri juga tidak hafal nama-nama menteri yang ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua, apalah lagi yang Jilid Satu lima tahun yang lalu. Yang orang akan ingat adalah nama Bapak. Yang orang juga akan lupakan adalah nama Bapak, apabila kurang berhasil melakukan perbaikan, janganlah dulu perubahan dan lompatan besar yang spektakuler. Nama-nama menteri akan hilang dalam satu generasi ke depan, sebagaimana generasi hari ini tak ingat lagi nama-nama menteri generasi lalu.

Pak Joko Widodo (Jokowi) yang jadi harapan rakyat pemilih
Bagian terpenting dari surat saya ada di sini. Saya berharap, Bapak mewujudkan mimpi satu generasi tentang Indonesia masa depan. Satu generasi yang rata-rata berusia 40 tahun, lahir dari pergerakan pemikiran dan aktivisme akhir tahun 1980-an dan era 1990-an. Inilah generasi bunga-berbunga yang tumbuh dari kelebihan gizi pembangunan era Orde Baru, tetapi terjepit dalam pembatasan-pembatasan secara intelektual , sosial dan politik. Generasi yang sebetulnya apatis dan apolitis, tetapi terpaksa ikut dalam aktivisme kampus dan luar kampus untuk membuka pintu demokrasi yang tertutup rapat dan dijaga ormas pemuda berloreng, hansip, polisi dan tentara.

Generasi yang juga menikmati beragam gelontoran program kampus guna disiapkan sebagai agen-agen pembangunan, tetapi dilarang membaca buku-buku kritis dari kiri sampai ke kanan. Generasi yang sudah mulai berpikir tentang Tinggal Landas, terpukau dengan sejumlah program rekayasa industri dan teknologi, serta dididik langsung oleh sejumlah tokoh kritis yang mayoritas sudah tiada. Generasi yang juga menyimak diskusi-diskusi kecil-kecilan dengan generasi lain yang sebagian sudah bisa keluar dari penjara Orde Lama dan Orde Baru, seperti Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Adnan Buyung Nasution, WS Rendra, Ali Sadikin, Kemal Idris, dan nama-nama lainnya.

Apabila Bapak bisa menangkap alam pemikiran generasi yang berakhir dalam gerakan Mei 1998 ini, Bapak bisa tahu bahwa jauh lebih banyak yang menyingkir ke kehidupan profesional, birokrasi, kampus dan lembaga swadaya masyarakat, termasuk diplomat, bankir, polisi, dokter, guru, petani, pengusaha dan militer, ketimbang hadir di publik sebagai tokoh politik dan pemerintahan. Generasi inilah yang sekarang menjadi pucuk-pucuk pimpinan di tempat mereka masing-masing, mewarnai masyarakat, termasuk kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas. Merekalah yang sedang membentuk masa depan di tengah-tengah kehidupan, pada usia emas, usia kenabian, 40-an tahun. Mereka bekerja dalam lingkungan sendiri, kembali ke kehidupan akhir 80an dan era 90-an: apatis dan apolitis dengan yang namanya pergerakan kaum elite dan pemimpin yang demagog.

Terus terang, Pak Jokowi, nasionalisme kita lahir dari teks yang ditulis di koran-koran. Benedict Anderson menyebutnya sebagai printed nationalism. Apa artinya? Kalau mau melihat siapa yang disebut sebagai kaum nasionalis, tinggal membaca nama mereka di koran-koran, dalam bahasa sederhana. Dengan teknologi dan manajemen pencitraan dan konsultan yang bertumbuhan dewasa ini, printed nationalism sudah berubah menjadi printed Leviathan Thomas Hobbes dalam wujud penyelenggaraan negara. Negara telah berubah menjadi ajang pencitraan raksasa yang memakan otentisitas, idealitas dan sportivitas. Saya tahu, Bapak diserang tiap hari dengan koran, majalah, media online, social media, radio dan televisi yang dimiliki oleh lawan-lawan politik Bapak, sebagaimana juga Bapak dibela dengan metode yang sama.

Tetapi, Bapak akan gagal menangkap jiwa generasi yang saya sebut tadi, apabila Bapak mengandalkan pemberitaan untuk mencari nama mereka, apalagi dengan hanya mengandalkan kurir pengantar surat lamaran menjadi menteri. Mereka bukanlah bagian dari orang-orang yang mau menaruh nama di kancah pencitraan, apalagi demi ambisi politik atau dendam politik. Mereka menulis puluhan surat lamaran setelah lulus, tetapi jarang yang berbalas akibat multi-krisis yang dihadapi Indonesia di akhir abad 20. Tetapi, sebagai generasi berusia 40-an tahun, mereka ada di mana-mana secara mandiri dan otodidak dalam posisi yang tidak memerlukan ulur tangan orang lain lagi hanya untuk menghidupi keluarga masing-masing. Mereka ada dalam struktur dan kultur masyarakat itu sendiri dalam pelbagai ragam profesi yang mulai mapan.

Terus terang, banyak nama yang terus muncul dan dimunculkan untuk ada di sekitar Bapak, bahkan ketika yang melahirkan konsep Trisakti mereka tumbangkan dengan propaganda gerakan Angkatan 1966. Mereka ingin terus ada di lapisan atas, membentuk kader-kader biologis dan ideologis, agar terus ada dan berkuasa. Nama-nama yang dulu kami hadapi dalam gerakan 1990-an, terus muncul lagi dengan berbagai dandanan, titel ataupun gelar akademis. Bagaimana bisa energi murni pembaharuan dan perubahan bisa tumbuh subur, apabila fisik yang menggerakkannya sama dan saling bertolak-belakang? (republika/pahamilah)




Pahamilah.com - Ketika surat-surat yang berada di dalam kotak saran sudah tak lagi di baca, sudah saatnya media yang menyadarkannya.

Fungsi dari adanya kotak saran itu adalah menampung semua keluh kesah dari sang pengguna, bukan hanya sebagai pajangan yang harus ada tapi tak berdaya guna.

——————————————
"Surat Terbuka Untuk Kepala Stasiun Manggarai"

Assalamu’alaykum pak/bu. Saya Reni Anggraeni. Mahasiswa. Muslimah. Pengguna setia commuter line. Manusia yang menghabiskan hampir 25 menit dari waktunya untuk mengantri agar bisa sholat maghrib di mushollah mini stasiun Manggarai.  Saya seorang commuter juga. Berdomisili di Depok namun kuliah di Jakarta.

Saya yang selalu mengikuti perubahan kondisi fisik dari stasiun Manggarai. Mulai dari tahun 2012 saya mulai menjadi anak kereta. Pada saat itu pedagang kaki lima masih diperbolehkan untuk menjajakan dagangannya di dalam stasiun, peron pada khususnya. Pendagang-pedagang di Peron itu menjual Aqua botol seharga Rp. 3.000,- sedangkan di Indomaret point (karena pada saat itu hanya ada Indomaret Point) pun menjual Aqua botol seharga Rp. 2.500,-

Kondisi mushollah pada saat itu hanya seukuran kamar anak kost berbiaya Rp. 300.000,- perbulan, dan itu pun dibagi dua antara laki-laki dan perempuannya serta di samping mushollah tersebut terdapat kamar mandi. Tidak layak sebenarnya jika bangunan itu dijadikan tempat sholat.

Setelah CEO PT. KAI yang bernama Jonan itu mengeluarkan kebijakan menggusur pedagang yang ada di stasiun hingga sapu bersih tanpa tanggungjawab. Stasiun Manggarai mulai berubah menjadi penampung mini market, seperti mushollahnya yang mini.

Beberapa bulan kemudian, Indomaret Point masih menjadi satu-satunya tumpuan untuk penumpang kereta membeli minum atau sekedar cemilan. Renovasi mulai terjadi di banyak sisi di stasiun Manggarai ini, dimulai dari pemindahan loket dan pintu masuk, kamar mandi hingga mushollah. Jujur, saya senang sekali ketika mendengar mushollah di stasiun Manggarai ini sedang direnovasi. Ekspektasi saya, mushollah di stasiun Manggarai akan di tingkat dua atau minimal lebih luas dan mempunyai tempat wudhu yang layak. Harapan tinggallah harapan, mushollah di stasiun Manggarai tetaplah mini.

Hingga akhirnya kini, stasiun Manggarai layaknya mall setelah Indomaret berdiri, kemudian menyusul Seven Eleven, Roti O, KFC, dan yang teranyar starbuck dan Q buble (maaf kalau tulisannya salah).

Pertanyaannya, bisakah pembangunan segala macam minimarket, tempat kopi atau apalah itu di stasiun Manggarai dihentikan? Apa gunanya ada Indomaret jika Sevel pun ada? Padahal sama-sama menjual minuman dan makanan ringan? Apa gunanya Roti O, dan starbuck ada jika sama-sama menjual kopi dan roti? Padahal kopi dan roti itu kita bisa dapatkan di Indomaret ataupun Sevel? Apa gunanya KFC ada jika Sevel ada? Padahal sama-sama menjual nasi dan ayam goreng?

Kenapa pengelola stasiun Manggarai tidak memperhatikan pemugaran mushollahnya? Tahu kah kawan, stasiun Manggarai selalu dikunjungi oleh ratusan bahkan ribuan orang setiap maghribnya, entah itu yang mau pulang ke arah Bogor, Bekasi, Tangerang, Jatinegara ataupun Jakarta Kota dll. Biasanya diantara ratusan bahkan ribuan manusia itu separuhnya akan menunaikan sholat maghrib di mushollah mini tersebut. Dan kondisi dari mushollah itu sungguh tidak layak. Kalau dihitung mushollah tersebut hanya bisa menampung 20 orang saja. Sisanya masih harus mengantri giliran dengan yang lain. Pernah suatu ketika bapak-bapak menunaikan sholat maghrib di teras mushollahnya, dengan kondisi kotor dan beralaskan koran. Dia berujar “Maghrib keburu abis neng, udah jam berapa ini.” Mungkin, tidak hanya bapak ini yang bernasib demikian. Masih banyak pengguna kereta yang lain yang bernasib sama.

Bagaimana ini pak/bu? Berulang kali saya memasukkan surat ke dalam kotak saran yang berisi meminta pemugaran mushollah kembali tapi tak pernah ada respon positif dari pengelola stasiun. Yang ada malah pembangunan mini market yang semakin merajalela. Padahal lebih banyak pegunjung mushollah daripada mini market tersebut.
Saran saya, hentikan pembangunan mini market yang berada di stasiun Manggarai. Jika bingung tidak ada lahan yang bisa dibangun kembali untuk membangun mushollah, saya menyarankan untuk membangun mushollah di tempat loket dan pintu masuk yang lama, lahan tersebut cukup luas daripada lahan mushollah mini yang sekarang.
Surat ini murni pendapat subjektif saya. Mohon maaf jika ada kata yang salah.
Salam Anker (Anak Kereta)!!!! (rainyrens.tumblr/pahamilah)




Surat Terbuka Untuk Kepala Stasiun Manggarai


Pahamilah.com - Ketika surat-surat yang berada di dalam kotak saran sudah tak lagi di baca, sudah saatnya media yang menyadarkannya.

Fungsi dari adanya kotak saran itu adalah menampung semua keluh kesah dari sang pengguna, bukan hanya sebagai pajangan yang harus ada tapi tak berdaya guna.

——————————————
"Surat Terbuka Untuk Kepala Stasiun Manggarai"

Assalamu’alaykum pak/bu. Saya Reni Anggraeni. Mahasiswa. Muslimah. Pengguna setia commuter line. Manusia yang menghabiskan hampir 25 menit dari waktunya untuk mengantri agar bisa sholat maghrib di mushollah mini stasiun Manggarai.  Saya seorang commuter juga. Berdomisili di Depok namun kuliah di Jakarta.

Saya yang selalu mengikuti perubahan kondisi fisik dari stasiun Manggarai. Mulai dari tahun 2012 saya mulai menjadi anak kereta. Pada saat itu pedagang kaki lima masih diperbolehkan untuk menjajakan dagangannya di dalam stasiun, peron pada khususnya. Pendagang-pedagang di Peron itu menjual Aqua botol seharga Rp. 3.000,- sedangkan di Indomaret point (karena pada saat itu hanya ada Indomaret Point) pun menjual Aqua botol seharga Rp. 2.500,-

Kondisi mushollah pada saat itu hanya seukuran kamar anak kost berbiaya Rp. 300.000,- perbulan, dan itu pun dibagi dua antara laki-laki dan perempuannya serta di samping mushollah tersebut terdapat kamar mandi. Tidak layak sebenarnya jika bangunan itu dijadikan tempat sholat.

Setelah CEO PT. KAI yang bernama Jonan itu mengeluarkan kebijakan menggusur pedagang yang ada di stasiun hingga sapu bersih tanpa tanggungjawab. Stasiun Manggarai mulai berubah menjadi penampung mini market, seperti mushollahnya yang mini.

Beberapa bulan kemudian, Indomaret Point masih menjadi satu-satunya tumpuan untuk penumpang kereta membeli minum atau sekedar cemilan. Renovasi mulai terjadi di banyak sisi di stasiun Manggarai ini, dimulai dari pemindahan loket dan pintu masuk, kamar mandi hingga mushollah. Jujur, saya senang sekali ketika mendengar mushollah di stasiun Manggarai ini sedang direnovasi. Ekspektasi saya, mushollah di stasiun Manggarai akan di tingkat dua atau minimal lebih luas dan mempunyai tempat wudhu yang layak. Harapan tinggallah harapan, mushollah di stasiun Manggarai tetaplah mini.

Hingga akhirnya kini, stasiun Manggarai layaknya mall setelah Indomaret berdiri, kemudian menyusul Seven Eleven, Roti O, KFC, dan yang teranyar starbuck dan Q buble (maaf kalau tulisannya salah).

Pertanyaannya, bisakah pembangunan segala macam minimarket, tempat kopi atau apalah itu di stasiun Manggarai dihentikan? Apa gunanya ada Indomaret jika Sevel pun ada? Padahal sama-sama menjual minuman dan makanan ringan? Apa gunanya Roti O, dan starbuck ada jika sama-sama menjual kopi dan roti? Padahal kopi dan roti itu kita bisa dapatkan di Indomaret ataupun Sevel? Apa gunanya KFC ada jika Sevel ada? Padahal sama-sama menjual nasi dan ayam goreng?

Kenapa pengelola stasiun Manggarai tidak memperhatikan pemugaran mushollahnya? Tahu kah kawan, stasiun Manggarai selalu dikunjungi oleh ratusan bahkan ribuan orang setiap maghribnya, entah itu yang mau pulang ke arah Bogor, Bekasi, Tangerang, Jatinegara ataupun Jakarta Kota dll. Biasanya diantara ratusan bahkan ribuan manusia itu separuhnya akan menunaikan sholat maghrib di mushollah mini tersebut. Dan kondisi dari mushollah itu sungguh tidak layak. Kalau dihitung mushollah tersebut hanya bisa menampung 20 orang saja. Sisanya masih harus mengantri giliran dengan yang lain. Pernah suatu ketika bapak-bapak menunaikan sholat maghrib di teras mushollahnya, dengan kondisi kotor dan beralaskan koran. Dia berujar “Maghrib keburu abis neng, udah jam berapa ini.” Mungkin, tidak hanya bapak ini yang bernasib demikian. Masih banyak pengguna kereta yang lain yang bernasib sama.

Bagaimana ini pak/bu? Berulang kali saya memasukkan surat ke dalam kotak saran yang berisi meminta pemugaran mushollah kembali tapi tak pernah ada respon positif dari pengelola stasiun. Yang ada malah pembangunan mini market yang semakin merajalela. Padahal lebih banyak pegunjung mushollah daripada mini market tersebut.
Saran saya, hentikan pembangunan mini market yang berada di stasiun Manggarai. Jika bingung tidak ada lahan yang bisa dibangun kembali untuk membangun mushollah, saya menyarankan untuk membangun mushollah di tempat loket dan pintu masuk yang lama, lahan tersebut cukup luas daripada lahan mushollah mini yang sekarang.
Surat ini murni pendapat subjektif saya. Mohon maaf jika ada kata yang salah.
Salam Anker (Anak Kereta)!!!! (rainyrens.tumblr/pahamilah)




Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok. 

Oleh: Nashih Nashrullah/Wartawan Republika

Pak Ahok yang terhormat, izinkan saya menyampaikan keresahan dan ragam kekhawatiran dari tak sedikit saudara Muslim, menyusul Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 67 Tahun 2014 yang Anda tandatangani langsung, meski sempat Anda sangkal di beberapa kesempatan. 

Ingub yang keluar pada 17 Juli 2014, secara jelas, pada poin 4 klausul a butir 1 berbunyi:” Melarang kegiatan pemotongan hewan di lokasi sekolah pendidikan dasar.”

Pak Ahok tidak usah khawatir, ungkapan sederhana ini nihil muatan politik, seperti dugaan Anda tengah diagendakan para politikus itu. Jika muncul stigma, atau barangkali dimunculkan dengan sengaja, bahwa institusi yang menaungi saya ingin menjegal Anda, itu terlalu berlebihan.

Ini tak lebih dari panggilan dan tuntutan hati, bahwa agama saya mengajarkan klarifikasi dan saling bernasihat, bukan saling fitnah sana sini. Apalagi kita adalah saudara, meski bukan seakidah, ikatan kebangsaan sebagai warga Indonesia dan sesama anak Adam, menyatukan kita, Koh Ahok.

Pak Ahok, apa alasan yang mendasari pelarangan tersebut? Bila yang jadi dalih pelarangan kurban di sekolah dasar, adalah menjauhkan sadisme dan atau menghindarkan siswa dari trauma akibat menyaksikan langsung proses pemotongan hewan, mestinya bukan lantas dilarang.

Belum ada data yang kuat dan jamak bahwa pemotongan hewan kurbandi sekolah dasar pemicu sadisme atau penyebab trauma berkepanjangan bagi siswa. Semoga pula, motif pelarangan bukan semata alasan menghindari lingkungan sekolah dari kotor dan bau tak sedap.

Ini soal teknis saja. Tidak ingin sekolah kotor, bukan malah dicari solusi bagaimana agar lokasi penyembelihan di lingkungan sekolah itu tetap bersih, toh juga setahun sekali. Bukan tiap hari, Pak Ahok. Usah lah dilarang. 

Tetapi, jika ternyata memang ada nuansa agama, dan semoga saja tidak, Ingub ini akan sangat patut disayangkan. Jangan sampai isu yang berkembang justru, Pak Ahok memiliki agenda khusus dalam mendangkalkan keagamaan siswa-siswa Muslim di sekolah dasar.

Ini sama saja membawa kehidupan beragama kita, mundur ke belakang. Dan polemik yang beginian sangat kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Pancasila dan UUD 1945, menjamin kebebasan menjalankan ibadah bagi pemeluknya. Kurban merupakan bagian ibadah tersebut dalam Islam. Dan Sistem Pendidikan Nasional, memberikan hak pelajar Muslim untuk mengetahui ajaran agama mereka di sekolah.

Pengenalan kurban sejak dini, juga sesuai dengan visi pendidikan yakni, mencetak pribadi yang beriman, bertakwa, dan beramal saleh. Saya yakin Pak Ahok paham yang demikian.

Semoga, Pak Ahok membaca atau minimal mendengar permintaan klarifikasi ini, agar tak lagi ada prasangka dan curiga di antara kita. Jika Anda tidak bisa mengintruksikan penyembelihan kurban di sekolah dasar, sebagai bentuk realiasi visi pendidikan keagamaan di sekolah, maka jangan lah Anda melarangnya. Masih banyak persoalan di ibu kota yang lebih prioritas, ketimbang berjibaku dengan polemik ini.

Gaya kepemimpinan Anda, bisa saja menjadi jawaban bagi ragam problematika di DKI Jakarta. Sebab sampai detik ini Pak Ahok, pada tataran teoritis (belum pada tataran praktik di lapangan; dua hal yang berbeda), saya masih percaya apa yang dikatakan salah cendekiawan Muslim asal negeri seribu satu malam, Irak, yaitu Imam Ali bin Thawus, bahwa seorang pemimpin non-Muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin Muslim yang zalim dan korup.

Terlebih, sistem demokrasi yang kita anut sekarang ini, memberikan ruang selebar-lebarnya bagi siapapun untuk tampil menjadi pemimpin. Saya yakin Anda paham betul tentang itu. Kekuasaan yang Anda pegang saat ini bukti bahwa demokrasi tak lagi rasis dan diskriminatif.

Dalam beberapa hal, saya juga menaruh hormat untuk Pak Ahok, meski banyak perkara yang saya kurang setuju dari Anda. Saya juga tak akan mempersoalkan jika kelak Anda jadi gubernur, tentu dengan syarat, Anda bersikap adil, dalam segala hal.

Termasuk dengan tidak membuat Ingub yang semacam ini. Jika Anda tidak berkomitmen dengan keadilan yang absolut seperti ini, maka Pak Ahok harus legowo, bila masyarakat Muslim di DKI misalnya menolak Anda, dan seperti yang Anda sepakati juga ini adalah hak dalam berdemokrasi.
Bukan karena kebencian dan dendam, tetapi demokrasi adalah suara mayoritas yang bernurani, sekali pun terkadang tak bergema, bahkan sering ‘tertindas’. (republika/pahamilah)


Surat Terbuka Untuk Ahok

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok. 

Oleh: Nashih Nashrullah/Wartawan Republika

Pak Ahok yang terhormat, izinkan saya menyampaikan keresahan dan ragam kekhawatiran dari tak sedikit saudara Muslim, menyusul Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 67 Tahun 2014 yang Anda tandatangani langsung, meski sempat Anda sangkal di beberapa kesempatan. 

Ingub yang keluar pada 17 Juli 2014, secara jelas, pada poin 4 klausul a butir 1 berbunyi:” Melarang kegiatan pemotongan hewan di lokasi sekolah pendidikan dasar.”

Pak Ahok tidak usah khawatir, ungkapan sederhana ini nihil muatan politik, seperti dugaan Anda tengah diagendakan para politikus itu. Jika muncul stigma, atau barangkali dimunculkan dengan sengaja, bahwa institusi yang menaungi saya ingin menjegal Anda, itu terlalu berlebihan.

Ini tak lebih dari panggilan dan tuntutan hati, bahwa agama saya mengajarkan klarifikasi dan saling bernasihat, bukan saling fitnah sana sini. Apalagi kita adalah saudara, meski bukan seakidah, ikatan kebangsaan sebagai warga Indonesia dan sesama anak Adam, menyatukan kita, Koh Ahok.

Pak Ahok, apa alasan yang mendasari pelarangan tersebut? Bila yang jadi dalih pelarangan kurban di sekolah dasar, adalah menjauhkan sadisme dan atau menghindarkan siswa dari trauma akibat menyaksikan langsung proses pemotongan hewan, mestinya bukan lantas dilarang.

Belum ada data yang kuat dan jamak bahwa pemotongan hewan kurbandi sekolah dasar pemicu sadisme atau penyebab trauma berkepanjangan bagi siswa. Semoga pula, motif pelarangan bukan semata alasan menghindari lingkungan sekolah dari kotor dan bau tak sedap.

Ini soal teknis saja. Tidak ingin sekolah kotor, bukan malah dicari solusi bagaimana agar lokasi penyembelihan di lingkungan sekolah itu tetap bersih, toh juga setahun sekali. Bukan tiap hari, Pak Ahok. Usah lah dilarang. 

Tetapi, jika ternyata memang ada nuansa agama, dan semoga saja tidak, Ingub ini akan sangat patut disayangkan. Jangan sampai isu yang berkembang justru, Pak Ahok memiliki agenda khusus dalam mendangkalkan keagamaan siswa-siswa Muslim di sekolah dasar.

Ini sama saja membawa kehidupan beragama kita, mundur ke belakang. Dan polemik yang beginian sangat kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Pancasila dan UUD 1945, menjamin kebebasan menjalankan ibadah bagi pemeluknya. Kurban merupakan bagian ibadah tersebut dalam Islam. Dan Sistem Pendidikan Nasional, memberikan hak pelajar Muslim untuk mengetahui ajaran agama mereka di sekolah.

Pengenalan kurban sejak dini, juga sesuai dengan visi pendidikan yakni, mencetak pribadi yang beriman, bertakwa, dan beramal saleh. Saya yakin Pak Ahok paham yang demikian.

Semoga, Pak Ahok membaca atau minimal mendengar permintaan klarifikasi ini, agar tak lagi ada prasangka dan curiga di antara kita. Jika Anda tidak bisa mengintruksikan penyembelihan kurban di sekolah dasar, sebagai bentuk realiasi visi pendidikan keagamaan di sekolah, maka jangan lah Anda melarangnya. Masih banyak persoalan di ibu kota yang lebih prioritas, ketimbang berjibaku dengan polemik ini.

Gaya kepemimpinan Anda, bisa saja menjadi jawaban bagi ragam problematika di DKI Jakarta. Sebab sampai detik ini Pak Ahok, pada tataran teoritis (belum pada tataran praktik di lapangan; dua hal yang berbeda), saya masih percaya apa yang dikatakan salah cendekiawan Muslim asal negeri seribu satu malam, Irak, yaitu Imam Ali bin Thawus, bahwa seorang pemimpin non-Muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin Muslim yang zalim dan korup.

Terlebih, sistem demokrasi yang kita anut sekarang ini, memberikan ruang selebar-lebarnya bagi siapapun untuk tampil menjadi pemimpin. Saya yakin Anda paham betul tentang itu. Kekuasaan yang Anda pegang saat ini bukti bahwa demokrasi tak lagi rasis dan diskriminatif.

Dalam beberapa hal, saya juga menaruh hormat untuk Pak Ahok, meski banyak perkara yang saya kurang setuju dari Anda. Saya juga tak akan mempersoalkan jika kelak Anda jadi gubernur, tentu dengan syarat, Anda bersikap adil, dalam segala hal.

Termasuk dengan tidak membuat Ingub yang semacam ini. Jika Anda tidak berkomitmen dengan keadilan yang absolut seperti ini, maka Pak Ahok harus legowo, bila masyarakat Muslim di DKI misalnya menolak Anda, dan seperti yang Anda sepakati juga ini adalah hak dalam berdemokrasi.
Bukan karena kebencian dan dendam, tetapi demokrasi adalah suara mayoritas yang bernurani, sekali pun terkadang tak bergema, bahkan sering ‘tertindas’. (republika/pahamilah)