middle ad
Tampilkan postingan dengan label Titik Nol. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Titik Nol. Tampilkan semua postingan


Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Pahamilah.com -
segala puji hanya bagi Allah yang Mahasuci dan Mahaagung yang tidak ada satu makhluk pun dapat menyamai kesucian dan keagungannya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, suri tauladan bagi kita hingga akhir masa.

Mengutip dari kitab al-Hikam nomer 133, “Jangan menuntut upah terhadap amal perbuatan yang engkau sendiri tidak ikut berbuat. Cukup besar upah/balasan bagimu dari Allah jika Ia menerima amal itu. Allah berfirman, ‘Dan Allah yang menjadikan engkau dan apa yang engkau perbuat.’ Ibrahim al-Aqni berkata, ’Dari Allah yang menjadikan hamba dan segala perbuatannya, dia pula yang memberikan taufik untuk siapa yang sampai mendekat kepadanya.”

Rezeki manusia itu sesungguhnya bukan pada pahalanya, melainkan rezeki manusia itu ketika bisa beramal dan Allah ridha. Benar, Allah menjanjikan pahala tapi sejatinya bukan urusan kita pahala itu, urusan Allah yang memberi. Urusan kita adalah sebelum beramal niatnya lurus, ketika beramal dijaga dengan benar, dan sesudah beramal lupakan. Kita tidak boleh menganggap amal itu milik kita, amal itu karunia Allah.

Kegagalan suatu amal ada tiga, yaitu: 1) niatnya tidak benar, 2) caranya tidak benar, 3) sesudah jadi amal diakui itu miliknya. Ini karena sebetulnya bukan kita yang sedekah, yang ada adalah Allah menitipkan uang kepada kita untuk hambanya melalui perantara yaitu kita.

Karena Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk beramal, kemudian Allah memberi taufik di hati kita supaya kita ingin beramal, dan itu sudah cukup untuk kita. Perihal nanti sedekah itu apakah menjadi amal atau tidak, itu semua sudah janji dan hak Allah. Yang mana kita sebagai hamba tidak perlu menunggu, juga tidak perlu untuk mengungkit-ungkit amalan tersebut.

Perihal perhitungan balasan sedekah dari Allah, itu juga adalah hak Allah apakah nanti dibalas dengan 10 sampai 700 kali lipat. Dan itu memang sudah tidak perlu kita nanti-nantikan, karena itu sudah pasti. Janji Allah itu pasti tidak akan pernah meleset. Tidak akan tertukar. Tidak salah detiknya, menitnya, dan pasti sempurna.

Maka dari itu, kita harus fokus pada dua hal di awal dan satu hal di akhir. Yakni jaga dengan lillaahi ta’ala, dan tidak boleh ada niat yang lain atau tersembunyi dalam diri kita. Ketika kita tersenyum, maka bukan karena ingin dagangan kita laku. Kita tersenyum bukan karena supaya kelihatan menarik. Kita tersenyum bukan karena ingin orang lain membalas senyuman kita, tapi kita tersenyum karena Allah suka orang yang tersenyum karena-Nya.

Kita sedekah karena Allah suka ketika kita bersedekah. Perihal orang lain mau berterima kasih, mau menghargai atau tidak itu semua bukan urusan kita. Urusan utama kita adalah sedekah, menolong orang, berbuat supaya amalan tersebut diterima oleh Allah. Dan itu ketika di awal kemudian ketika sudah jadi menjadi amal, hilang diri kita sama sekali.

Semua kebaikan yang bisa kita lakukan itu datangnya dari Allah. Kita tidak boleh mengakui, saya sudah nyumbang, saya sudah menolong, saya sudah berbuat, semua itu tidak boleh. Karena, “Allah lah yang telah menciptakan engkau dan apa yang engkau lakukan.” Itulah adab untuk kita semua.

Namun ketika kita dalam masalah dan kita merasa punya amal, lalu kita bertawasul itu baru diperbolehkan. Karena bertawasul juga sama seperti kita menyerahkan kepada Allah dengan cara kita menyerahkan amalan baik yang pernah kita lakukan, yang mudah-mudahan diterima oleh Allah.

Kemudian marilah kita belajar untuk menjadi pelupa. Pelupa terhadap sekecil apapun kebaikan kita. Karena memang sesungguhnya kita tidak pernah menolong orang, yang ada ialah Allah menggerakkan kita untuk menolong orang lewat perantara kita.

Maka dari itu, sebaiknya kita tidak mengingat-ngingat kebaikan orang lain, apalagi untuk menuntut orang membalas kebaikan kita. Dan yang terpenting adalah ingat, gigih di awal, sempurnakan ikhtiar dan lupakan apa yang sudah terjadi. Wallahu ‘alam. (inilah/pahamilah)


Pahamilah Tiga Tempat dalam Ikhlas



Oleh: KH Abdullah Gymnastiar

Pahamilah.com -
segala puji hanya bagi Allah yang Mahasuci dan Mahaagung yang tidak ada satu makhluk pun dapat menyamai kesucian dan keagungannya. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, suri tauladan bagi kita hingga akhir masa.

Mengutip dari kitab al-Hikam nomer 133, “Jangan menuntut upah terhadap amal perbuatan yang engkau sendiri tidak ikut berbuat. Cukup besar upah/balasan bagimu dari Allah jika Ia menerima amal itu. Allah berfirman, ‘Dan Allah yang menjadikan engkau dan apa yang engkau perbuat.’ Ibrahim al-Aqni berkata, ’Dari Allah yang menjadikan hamba dan segala perbuatannya, dia pula yang memberikan taufik untuk siapa yang sampai mendekat kepadanya.”

Rezeki manusia itu sesungguhnya bukan pada pahalanya, melainkan rezeki manusia itu ketika bisa beramal dan Allah ridha. Benar, Allah menjanjikan pahala tapi sejatinya bukan urusan kita pahala itu, urusan Allah yang memberi. Urusan kita adalah sebelum beramal niatnya lurus, ketika beramal dijaga dengan benar, dan sesudah beramal lupakan. Kita tidak boleh menganggap amal itu milik kita, amal itu karunia Allah.

Kegagalan suatu amal ada tiga, yaitu: 1) niatnya tidak benar, 2) caranya tidak benar, 3) sesudah jadi amal diakui itu miliknya. Ini karena sebetulnya bukan kita yang sedekah, yang ada adalah Allah menitipkan uang kepada kita untuk hambanya melalui perantara yaitu kita.

Karena Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk beramal, kemudian Allah memberi taufik di hati kita supaya kita ingin beramal, dan itu sudah cukup untuk kita. Perihal nanti sedekah itu apakah menjadi amal atau tidak, itu semua sudah janji dan hak Allah. Yang mana kita sebagai hamba tidak perlu menunggu, juga tidak perlu untuk mengungkit-ungkit amalan tersebut.

Perihal perhitungan balasan sedekah dari Allah, itu juga adalah hak Allah apakah nanti dibalas dengan 10 sampai 700 kali lipat. Dan itu memang sudah tidak perlu kita nanti-nantikan, karena itu sudah pasti. Janji Allah itu pasti tidak akan pernah meleset. Tidak akan tertukar. Tidak salah detiknya, menitnya, dan pasti sempurna.

Maka dari itu, kita harus fokus pada dua hal di awal dan satu hal di akhir. Yakni jaga dengan lillaahi ta’ala, dan tidak boleh ada niat yang lain atau tersembunyi dalam diri kita. Ketika kita tersenyum, maka bukan karena ingin dagangan kita laku. Kita tersenyum bukan karena supaya kelihatan menarik. Kita tersenyum bukan karena ingin orang lain membalas senyuman kita, tapi kita tersenyum karena Allah suka orang yang tersenyum karena-Nya.

Kita sedekah karena Allah suka ketika kita bersedekah. Perihal orang lain mau berterima kasih, mau menghargai atau tidak itu semua bukan urusan kita. Urusan utama kita adalah sedekah, menolong orang, berbuat supaya amalan tersebut diterima oleh Allah. Dan itu ketika di awal kemudian ketika sudah jadi menjadi amal, hilang diri kita sama sekali.

Semua kebaikan yang bisa kita lakukan itu datangnya dari Allah. Kita tidak boleh mengakui, saya sudah nyumbang, saya sudah menolong, saya sudah berbuat, semua itu tidak boleh. Karena, “Allah lah yang telah menciptakan engkau dan apa yang engkau lakukan.” Itulah adab untuk kita semua.

Namun ketika kita dalam masalah dan kita merasa punya amal, lalu kita bertawasul itu baru diperbolehkan. Karena bertawasul juga sama seperti kita menyerahkan kepada Allah dengan cara kita menyerahkan amalan baik yang pernah kita lakukan, yang mudah-mudahan diterima oleh Allah.

Kemudian marilah kita belajar untuk menjadi pelupa. Pelupa terhadap sekecil apapun kebaikan kita. Karena memang sesungguhnya kita tidak pernah menolong orang, yang ada ialah Allah menggerakkan kita untuk menolong orang lewat perantara kita.

Maka dari itu, sebaiknya kita tidak mengingat-ngingat kebaikan orang lain, apalagi untuk menuntut orang membalas kebaikan kita. Dan yang terpenting adalah ingat, gigih di awal, sempurnakan ikhtiar dan lupakan apa yang sudah terjadi. Wallahu ‘alam. (inilah/pahamilah)


(ilustrasi)

Oleh: Makmun Nawawi

Pahamilah.com - Suatu hari, Iyas bin Qatadah, pemimpin Bani Tamim, melihat bulu jenggotnya sudah putih. Ia pun berucap: “Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari perkara (petaka atau kematian) secara mendadak. Kulihat kematian sudah menuntutku dan aku tak bisa mengelak darinya.”

Kemudian, ia pun keluar menemui masyarakatnya, seraya berseru: “Wahai kaum Bani Tamim, aku sungguh sudah memberikan masa mudaku untuk kalian maka hendaknya kalian memberikan untukku di masa tuaku. Mengapa kalian tak bisa memperlihatkan kepadaku perihal krusial dan mendesaknya kebutuhan; kematian ini begitu dekat denganku.”

Kemudian, ia mengibaskan surbannya, menyendiri, lalu meminta izin kepada kaumnya untuk fokus beribadah kepada Rabb-nya, dan tidak melibatkan diri dalam percaturan kekuasaan, hingga meninggal.

Sinyal-sinyal dari kerentaan usia, yang sekaligus merupakan salah satu indikasi dari dekatnya seseorang akan kematian, kerap hadir di hadapan kita.

Misalnya, anak-cucu yang sudah beringsut dewasa, kulit yang sudah mengeriput, gigi yang sudah mulai tanggal satu demi satu, tulang mengalami osteoporosis yang selanjutnya mengakibatkan nyeri, menurunnya daya pendengaran, indra pengecap, dan daya ingat (memori). Demikian pula dengan tumbuhnya uban di bulu-bulu kita.

Melalui narasi di atas, bagaimana Iyas bin Qatadah, pemimpin Bani Tamim, begitu cerdas menangkap sinyal-sinyal kematian itu dengan hadirnya uban di jenggotnya.

Maka, berbahagialah kita yang tersadarkan dengan segenap fase kehidupan yang mau tidak mau mesti kita jalani, sehingga babak kehidupan kita pun berakhir dengan indah. Sebaliknya, hati-hatilah, jika semua itu sama sekali tidak menorehkan keinsyapan pada kita, sehingga “makin tua justru makin jadi”.

Allah berfirman: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (ar-Rum: 54).

Sedang, Nabi SAW bersabda: “Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam, walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR Ibnu Hibban).

Gemerlap jabatan dan kekuasaan (al-jah) memang acap kali meninabobokan manusia, sehingga dia bebal untuk mengingat kematian. Itulah sebabnya mengapa banyak guru spiritual mewanti-wanti agar seseorang tidak tersandung dalam jebakan ini.

Bahwa, kekuasaan juga merupakan wahana bagi sang hamba untuk lebih banyak beramal saleh memang benar. Tapi, banyak tokoh politik dan pemimpin terkapar di dalamnya adalah fakta yang sulit dibantah, sehingga dia terpasung dalam janji-janji muluk yang diikrarkannya sendiri dan sifat amanah pun menjadi jauh sekali.

Sosok Iyas bin Qatadah sebagai pemimpin, moga bisa menginspirasi para tokoh politik kita, sehingga akhir hidupnya sungguh memesona, ia sukses dalam menjalin hubungan dengan sesama dan Rabb-nya (republika/pahamilah)


Inilah Sinyal-Sinyal Kematian

(ilustrasi)

Oleh: Makmun Nawawi

Pahamilah.com - Suatu hari, Iyas bin Qatadah, pemimpin Bani Tamim, melihat bulu jenggotnya sudah putih. Ia pun berucap: “Ya Allah, aku berlindung kepada Engkau dari perkara (petaka atau kematian) secara mendadak. Kulihat kematian sudah menuntutku dan aku tak bisa mengelak darinya.”

Kemudian, ia pun keluar menemui masyarakatnya, seraya berseru: “Wahai kaum Bani Tamim, aku sungguh sudah memberikan masa mudaku untuk kalian maka hendaknya kalian memberikan untukku di masa tuaku. Mengapa kalian tak bisa memperlihatkan kepadaku perihal krusial dan mendesaknya kebutuhan; kematian ini begitu dekat denganku.”

Kemudian, ia mengibaskan surbannya, menyendiri, lalu meminta izin kepada kaumnya untuk fokus beribadah kepada Rabb-nya, dan tidak melibatkan diri dalam percaturan kekuasaan, hingga meninggal.

Sinyal-sinyal dari kerentaan usia, yang sekaligus merupakan salah satu indikasi dari dekatnya seseorang akan kematian, kerap hadir di hadapan kita.

Misalnya, anak-cucu yang sudah beringsut dewasa, kulit yang sudah mengeriput, gigi yang sudah mulai tanggal satu demi satu, tulang mengalami osteoporosis yang selanjutnya mengakibatkan nyeri, menurunnya daya pendengaran, indra pengecap, dan daya ingat (memori). Demikian pula dengan tumbuhnya uban di bulu-bulu kita.

Melalui narasi di atas, bagaimana Iyas bin Qatadah, pemimpin Bani Tamim, begitu cerdas menangkap sinyal-sinyal kematian itu dengan hadirnya uban di jenggotnya.

Maka, berbahagialah kita yang tersadarkan dengan segenap fase kehidupan yang mau tidak mau mesti kita jalani, sehingga babak kehidupan kita pun berakhir dengan indah. Sebaliknya, hati-hatilah, jika semua itu sama sekali tidak menorehkan keinsyapan pada kita, sehingga “makin tua justru makin jadi”.

Allah berfirman: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (ar-Rum: 54).

Sedang, Nabi SAW bersabda: “Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam, walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” (HR Ibnu Hibban).

Gemerlap jabatan dan kekuasaan (al-jah) memang acap kali meninabobokan manusia, sehingga dia bebal untuk mengingat kematian. Itulah sebabnya mengapa banyak guru spiritual mewanti-wanti agar seseorang tidak tersandung dalam jebakan ini.

Bahwa, kekuasaan juga merupakan wahana bagi sang hamba untuk lebih banyak beramal saleh memang benar. Tapi, banyak tokoh politik dan pemimpin terkapar di dalamnya adalah fakta yang sulit dibantah, sehingga dia terpasung dalam janji-janji muluk yang diikrarkannya sendiri dan sifat amanah pun menjadi jauh sekali.

Sosok Iyas bin Qatadah sebagai pemimpin, moga bisa menginspirasi para tokoh politik kita, sehingga akhir hidupnya sungguh memesona, ia sukses dalam menjalin hubungan dengan sesama dan Rabb-nya (republika/pahamilah)



Seorang doktor Muslimah berjilbab diwawancarai wartawan asing yang menyatakan pakaiannya itu tidak mencerminkan pengetahuannya.

"Kami berkesimpulan Jilbab itu simbol keterbelakangan dan kemunduran" kata wartawan

Kemudian sang Doktor pun dengan cerdas mengatakan;
"Manusia di masa awal hampir telanjang, bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka mulai mengenakan busana, apa yang saya kenakan hari ini sebenarnya adalah lambang kecanggihan dan kemajuan berpikir yang telah dicapai manusia berabad-abad lamanya. Adapun ketelanjangan yang ada sekarang adalah simbol keterbelakangan dan kembalinya manusia kepada masa jahiliyah. Seandainya ketelanjangan itu simbol kemajuan maka bisa dikatakan para binatang itu telah mencapai puncak peradaban".


Wartawan Asing Vs Doktor Muslimah


Seorang doktor Muslimah berjilbab diwawancarai wartawan asing yang menyatakan pakaiannya itu tidak mencerminkan pengetahuannya.

"Kami berkesimpulan Jilbab itu simbol keterbelakangan dan kemunduran" kata wartawan

Kemudian sang Doktor pun dengan cerdas mengatakan;
"Manusia di masa awal hampir telanjang, bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka mulai mengenakan busana, apa yang saya kenakan hari ini sebenarnya adalah lambang kecanggihan dan kemajuan berpikir yang telah dicapai manusia berabad-abad lamanya. Adapun ketelanjangan yang ada sekarang adalah simbol keterbelakangan dan kembalinya manusia kepada masa jahiliyah. Seandainya ketelanjangan itu simbol kemajuan maka bisa dikatakan para binatang itu telah mencapai puncak peradaban".


Setiap penghuni alam semesta adalah makhluk. Ia hadir sebagai ciptaan, sadar maupun tidak. Predikat “makhluk” disandang secara natural (takwini). Setiap entitas nyaris mematuhi hukum kemakhlukan “Sunnatullah” dari makhluk mineral dengan cirri khasnya hingga makluk hewani dengan ciri khasnya. Masing-masing bergerak dan mengikuti aturan yang berlaku secara determinan. Mereka semua patuh dan tak dapat mengelak dari konsekuensi natural.

Kepatuhan ini bersifat universal, bagi alam itu sendiri dan semua yang mengisinya. Rahmat Allah sebagai sistem yang meliputi setiap entitas kosmik meliputinya tanpa membedakan sisi kehambaannya. Bila alam bergerak dan berproses, maka siapapun yang berada di dalamnya akan menerima akibatnya. Gempa dan semua proses natural tak lain adalah fenomena yang menkonfirmasi hukum kemakhlukan.

Hanya sebagian dari penghuni alam yang diberi tugas tambahan, yaitu kehambaan. Manusia dan jin adalah makhluk yang dituntut untuk melaksanakan tugas kehambaan. Kehambaan adalah hukum yang dibebankan kepada manusia, karena ia telah dilengkapi dengan kehendak, akal sehat dan ikhtiar.

Pemuda asal pulau Madura ini masih menunggu jawaban saya. “Begini. Sebelum mewajibkan puasa dan perintah lainnya, Allah memberi kita kemampuan melakukan dan tidak melakukannya. Setelah diberi, Allah menghendaki manusia menggunakan kemampuan itu. Lalu Allah menetapkan peraturan yang mengikat dan mengurangi kebebasannya dengan kemampuan dan kehendaknya.

Pada saat itu ada sekelompok manusia yang bersedia mengurangi kebebasannya dengan mematuhi aturan-aturan itu, dan ada pula sekelompok manusia yang tidak bersedia mengurangi kebebasannya. Saat itu Allah akan memberikan kasihnya kepada kelompok itu. Yang bersedia membatasi kebebasannya dengan mematuhi aturan-aturanya, diberi rahmat berupa ganti rugi kebebasan yang sudah dikuranginya. Sedangkan yang tidak bersedia membatasi kebebasannya dengan tidak mematuhi aturan-aturan itu diberi rahmat berupa ganti untung kebebasan yang telah dinikmatinya. Lalu masing-masing lebur dalam rahmatNya dengan dua manifestasiNya.

Kelompok pertama telah melaksanakan tugas kemakhlukan dan kehambaan dan karenanya diganjar dengan pahala berganda rahmat yang panas dan sejuk (menghangatkan) karena ia menghimpun rahmat Jalaliyah dan rahmat JamaliyahNya. Sedangkan kelompok kedua hanya melaksanakan tugas kemakhlukan hanya mendapatkan rahmat Jalaliyah, rahmat yang panas.

Pahala dan siksa adalah dua rahmat yang berbeda pola. Allah memasukkan yang patuh sebagai makhluk dan hamba dalam kasihNya yang berganda, yaitu rahmat yang sejuk dan panas. Dan Ia memasukkan yang hanya patuh sebagai makhkuk dalam kasih yang tunggal, yaitu rahmat yang panas (cahaya, api). Neraka tak lain adalah rahmat yang dihadirkan dalam bentuk suhu tinggi yang membakar laron-laron yang bersaing meraihnya. Sorga adalah rahmat yang dihadirkan dalam bentuk suhu rendah yang membekukan semut-semut yang berjuang untuk tenggelam di dalamnya.

Api melumerkan anai-anai yang memutuskan untuk lenyap dalam cintanya yang membara. Madu menenggelamkan (membekukan) semut yang memutuskan utuk mengalami perfeksi dan transsubtansi sebagai madu.

Cinta dapat dipahami sebagai peleburan subjek dan objek bak semut yang meleburkan diri dalam laguna madu seraya menganggap dirinya madu. Cinta dapat pula dipahami sebagai peniadaan subjek dalam diri objek laksana anai-anai yang memusnahkan diri dalam api (cahaya) sembari menganggap dirinya tiada.






Fote Note___________________________
Judul Asli : “Anugerah Siksa”
Oleh : islamtimes.org

Misteri “Anugerah Siksa”

Setiap penghuni alam semesta adalah makhluk. Ia hadir sebagai ciptaan, sadar maupun tidak. Predikat “makhluk” disandang secara natural (takwini). Setiap entitas nyaris mematuhi hukum kemakhlukan “Sunnatullah” dari makhluk mineral dengan cirri khasnya hingga makluk hewani dengan ciri khasnya. Masing-masing bergerak dan mengikuti aturan yang berlaku secara determinan. Mereka semua patuh dan tak dapat mengelak dari konsekuensi natural.

Kepatuhan ini bersifat universal, bagi alam itu sendiri dan semua yang mengisinya. Rahmat Allah sebagai sistem yang meliputi setiap entitas kosmik meliputinya tanpa membedakan sisi kehambaannya. Bila alam bergerak dan berproses, maka siapapun yang berada di dalamnya akan menerima akibatnya. Gempa dan semua proses natural tak lain adalah fenomena yang menkonfirmasi hukum kemakhlukan.

Hanya sebagian dari penghuni alam yang diberi tugas tambahan, yaitu kehambaan. Manusia dan jin adalah makhluk yang dituntut untuk melaksanakan tugas kehambaan. Kehambaan adalah hukum yang dibebankan kepada manusia, karena ia telah dilengkapi dengan kehendak, akal sehat dan ikhtiar.

Pemuda asal pulau Madura ini masih menunggu jawaban saya. “Begini. Sebelum mewajibkan puasa dan perintah lainnya, Allah memberi kita kemampuan melakukan dan tidak melakukannya. Setelah diberi, Allah menghendaki manusia menggunakan kemampuan itu. Lalu Allah menetapkan peraturan yang mengikat dan mengurangi kebebasannya dengan kemampuan dan kehendaknya.

Pada saat itu ada sekelompok manusia yang bersedia mengurangi kebebasannya dengan mematuhi aturan-aturan itu, dan ada pula sekelompok manusia yang tidak bersedia mengurangi kebebasannya. Saat itu Allah akan memberikan kasihnya kepada kelompok itu. Yang bersedia membatasi kebebasannya dengan mematuhi aturan-aturanya, diberi rahmat berupa ganti rugi kebebasan yang sudah dikuranginya. Sedangkan yang tidak bersedia membatasi kebebasannya dengan tidak mematuhi aturan-aturan itu diberi rahmat berupa ganti untung kebebasan yang telah dinikmatinya. Lalu masing-masing lebur dalam rahmatNya dengan dua manifestasiNya.

Kelompok pertama telah melaksanakan tugas kemakhlukan dan kehambaan dan karenanya diganjar dengan pahala berganda rahmat yang panas dan sejuk (menghangatkan) karena ia menghimpun rahmat Jalaliyah dan rahmat JamaliyahNya. Sedangkan kelompok kedua hanya melaksanakan tugas kemakhlukan hanya mendapatkan rahmat Jalaliyah, rahmat yang panas.

Pahala dan siksa adalah dua rahmat yang berbeda pola. Allah memasukkan yang patuh sebagai makhluk dan hamba dalam kasihNya yang berganda, yaitu rahmat yang sejuk dan panas. Dan Ia memasukkan yang hanya patuh sebagai makhkuk dalam kasih yang tunggal, yaitu rahmat yang panas (cahaya, api). Neraka tak lain adalah rahmat yang dihadirkan dalam bentuk suhu tinggi yang membakar laron-laron yang bersaing meraihnya. Sorga adalah rahmat yang dihadirkan dalam bentuk suhu rendah yang membekukan semut-semut yang berjuang untuk tenggelam di dalamnya.

Api melumerkan anai-anai yang memutuskan untuk lenyap dalam cintanya yang membara. Madu menenggelamkan (membekukan) semut yang memutuskan utuk mengalami perfeksi dan transsubtansi sebagai madu.

Cinta dapat dipahami sebagai peleburan subjek dan objek bak semut yang meleburkan diri dalam laguna madu seraya menganggap dirinya madu. Cinta dapat pula dipahami sebagai peniadaan subjek dalam diri objek laksana anai-anai yang memusnahkan diri dalam api (cahaya) sembari menganggap dirinya tiada.






Fote Note___________________________
Judul Asli : “Anugerah Siksa”
Oleh : islamtimes.org