Oleh: Hendri F. Isnaeni
Kebutuhan mushaf
Alquran di Indonesia masih belum terpenuhi. Apalagi pada bulan Ramadan,
permintaan meningkat 20 persen dari sekira 570 ribu Alquran yang dicetak
per bulan. Umat Islam yakin bahwa Ramadan dianggap sebagai waktu yang
tepat untuk berbuat baik dan bersedakah, salah satunya dengan membagikan
Alquran.
Menurut data Kementerian Agama, saat ini
jumlah umat Islam di Indonesia sekira 180 juta jiwa. Dengan asumsi
setiap kepala keluarga minimal satu Alquran, dibutuhkan sedikitnya 36
juta eksemplar per tahun. Sementara produksi Alquran oleh seratus
penerbit yang tergabung dalam Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia
(APQI) hanya mampu memenuhi 20 juta eksemplar per tahun. Begitu pula
Lembaga Percetakan Alquran Kementerian Agama, hanya berkapasitas 1,5
juta eksemplar per tahun.
Sejarah percetakan Alquran di Indonesia
tak dapat dilepaskan dari Jepang. Menurut sejarawan Harry J. Benda,
ketika akhir pemerintahan Jepang berada di pelupuk mata, penguasa Jepang
mendukung dan memenuhi tuntutan umat Islam. Gunseikan (Kepala
Pemerintah Militer) lewat Maklumat No. 22 tanggal 29 April 1945,
mengumumkan bahwa mulai 1 Mei 1945 hari Jumat adalah hari libur separuh
hari bagi semua kantor pemerintah. Pada 8 Juli 1945, Jepang merestui
pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Gondangdia, Jakarta, yang
diusulkan Masyumi –kelak menjadi Universitas Islam Indonesia dan
Institut Agama Islam Negeri.
Selain itu, “penguasa Jepang menciptakan
sejarah Islam yang jauh lebih penting lagi dengan mencetak Alquran
untuk pertama kalinya di bumi Indonesia, di Jakarta,” tulis Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit.
Jepang berjanji mencetak Alquran sejak awal September 1944. Namun baru terealisasi pada 11 Juni 1945.
“Untuk pertama kali sejak Balatentara
Dai Nippon mendarat di tanah Jawa kini dicetak kitab suci Alquran atas
usaha Masyumi, sedang kertasnya diterima sebagai hadiah dari pemerintah
Jepang,” tulis Soeara Asia, 14 Desember 1944. “Demikianlah
untuk membereskan urusan percetakan ini, baru-baru ini wakil-wakil
Masyumi dari Jakarta telah berkunjung ke Cirebon guna berunding dengan
tuan Ali Afiff dan tuan A. Kodir Afiff, keduanya pemimpin percetakan
‘Almirsjah’ di kota Cirebon.”
Ali Afiff juga dikenal sebagai pedagang
eceran buku-buku agama Islam di Cirebon. Dia adalah ayah dari Saleh
Afiff, yang menjabat menteri pada masa pemerintahan Soeharto.
Hasil perundingan: percetakan Almirsjah
akan mencetak 100 ribu kitab Alquran dengan harga 47 sen sebuah.
“…Tanggal 11 Juni, pemerintah mulai melangsungkan pencetakan Alquran.
Upacara pencetakan di hadiri oleh [...] pemuka-pemuka Shumubu
(Kantor Urusan Agama) dan Masyumi di antaranya K.H. A. Wahid Hasjim,
A.K. Muzakkir, H. Djunaedi, M. Zaim Djambek. Selanjutnya hadir pula
Abdullah bin Afiff dari Cirebon yang akan memimpin pencetakan itu,”
tulis Sinar Baroe, 12 Juni 1945.
Lebih dahulu, M. Zain Djambek dan K.H.
A. Wahid Hasjim menerangkan, bahwa tindakan ini adalah suatu bukti kerja
sama antara pemerintah Jepang dan umat Islam. “Hal ini tentu akan
disambut dengan gembira oleh segenap rakyat karena Alquran adalah suatu
barang yang amat penting dalam penghidupan umat Muslimin,” lanjut Sinar Baroe, 12 Juni 1945.
“Pada tanggal 28 Agustus 1945, sebagian
Alquran yang telah selesai dicetak, sudah pula dibagi-bagikan oleh
Panitia Pencetak Alquran kepada masjid-masjid dan imam-imam di seluruh
Jakarta Tokubetu-Si (Kota Praja Istimewa),” tulis Sinar Baroe, 29 Agustus 1945. Alquran juga akan bagikan kepada pesantren dan sekolah Islam di Pulau Jawa.
Di Sumatra, pemerintah Jepang juga
menghadiahkan kertas untuk mencetak Alquran pada peringatan hari
“Sumatera Baroe” serta sebagai bentuk terima kasih atas kerja sama kaum
Muslimin dengan pemerintah. “Sumatra Saiko Sikikan (Panglima
Balatentara Jepang di Sumatra) telah menghadiahkan sejumlah kertas
kepada kaum Muslimin untuk mencetak 1.000 jilid kitab suci Alquran,”
tulis Soeara Asia, 11 April 1945.
Upacara penyerahan hadiah itu dilangsungkan pada 27 Maret 1945, dihadiri Gunseikan dan Somubuco (Kepala
Departemen Urusan Umum). Sedangkan dari pemuka dan alim ulama hadir
Syekh Djamil Djambek, Hadji Siradjuddin Abas, dan Sutan Mansur.
Keterlibatan Jepang dalam percetakan
Alquran kembali terjadi limabelas tahun kemudian, saat perundingan
pampasan perang. Pada pertengahan 1951, Amerika Serikat memprakarsai
Konferensi Perdamaian San Francisco untuk merundingkan perjanjian damai
dan pampasan antara Sekutu dengan Jepang. Konferensi Nihon-koku tono Heiwa-JÅyaku ini
menawarkan kepada Jepang kesempatan untuk meraih kembali posisinya di
kalangan masyarakat internasional. Sebagai bagian dari hasil konferensi,
pada 20 Januari 1958 perjanjian pampasan ditandatangani oleh Menteri
Luar Negeri Fujiyama dan Menteri Luar Negeri Subandrio. Perjanjian itu
menetapkan bahwa Jepang akan membayar US$223,080 juta selama duabelas
tahun dengan cicilan US$20 juta setiap tahun dalam bentuk barang modal
dan jasa; menghapuskan utang niaga sebesar US$176,920 juta, dan
memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400 juta.
Menurut profesor Akademi Pertahanan
Nasional Jepang, Masashi Nishihara, perjanjian pampasan perang terdiri
atas daftar enam kategori: transportasi dan komunikasi, pengembangan
tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan,
pertambangan, dan jasa atau pelayanan. Program ini meliputi hampir semua
industri dan satu daftar tambahan berisi 66 kategori spesifik lainnya
untuk “dipertimbangkan” agar mendapat dana pampasan. “Ini meliputi
suplai medis, pencetakan Alquran, dan perlengkapan astronomis,” tulis
Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang.
Sejumlah departemen berkompetisi
mendapatkan alokasi dana pampasan untuk proyek-proyek mereka. Tak
terkecuali Departemen Agama. Menurut Abdul Aziz dalam “K.H. Muhammad
Wahib Wahab: Kementerian Agama Pada Masa Demokrasi Terpimpin,”
Departemen Agama menuntut supaya mendapat pembagian harta pampasan
perang Jepang untuk membiayai proyek percetakan Alquran. “Tuntutan ini
dikabulkan, namun kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra dari
berbagai pihak karena K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama ke-7: 1959–1960
dan 1960–1962) menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu,” tulis Abdul Azis, termuat dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik.
Perusahaan Jepang yang mendapatkan
proyek tersebut adalah Toppan Printing Co., Ltd. Perusahaan ini, awalnya
bernama Toppan Printing Limited Partnership, didirikan oleh sekelompok
insinyur dari Biro Percetakan Kementerian Keuangan Jepang pada 1900,
lalu direorganisasi menjadi Toppan Printing Co., Ltd., pada 1908. Saat
ini, Toppan Printing adalah salah satu perusahaan percetakan terbesar di
dunia dengan penjualan US$1,7 milyar pada 2007. “Alquran yang dicetak
sebanyak 5 juta eksemplar dengan biaya US$1.800,” tulis Nishihara.
Tapi, menurut Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Departemen Agama, Alquran yang dicetak di Jepang
sebanyak 6 juta eksemplar. “Pada tahun 1960 terjadi lagi pentashihan di
luar Lajnah, yaitu sewaktu mushaf Alquran dicetak di Jepang sebanyak
6.000.000 naskah. Dalam dua dekade berikutnya setiap Alquran yang
dicetak di lndonesia selalu ditashih oleh Lajnah Pentashih Alquran,”
demikian laporan Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama tahun 1984
dalam Mengenal Mushaf Alquran Standar Indonesia.
Memang, semua mushaf yang diterbitkan di Indonesia tak bisa lolos sebelum mendapat tanda tashih (tas-hih,
pengesahan koreksian) dari Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen
Agama. “Lembaga ini dibentuk pada 1957 di bawah Menteri Agama K.H.
Muhammad Iljas, dua tahun sesudah kejadian yang banyak diingat orang
ini: pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng,
persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,”
tulis Tempo, 14 April 1984.
Kendati demikian, Laporan Konperensi Volume 1 menyebutkan, sebelum
Pleno ke-III Konferensi Dinas Departemen Agama ke-VII, 25-30 Januari
1961 di Cipayung, Bogor, ditutup, “lebih dahulu diadakan pembagian
Alquran yang dicetak di Jepang sebagai hasil perjuangan Menteri Agama
dalam menggunakan pampasan perang Jepang.” (historia/pahamilah)
0 comments: