Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Dalam peringatan Isra’ Mi’raj 1436 H di Istana Negara, atau Istana yang digunakan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pada Jum’at (15/5/2015) malam ada sesuatu yang berbeda dalam pembacaan tilawah Al-Qur’an.
Pembacaan Al-Qur’an yang biasanya dilantunkan sesuai dengan kaidah Islam baik dari segi tajwid dan tatacaranya, namun dalam peringatan Isra’ Mi’raj 1436 H di Istana Negara itu dilantunkan dengan lagu Dandang Gulo, salah satu tembang alias nyanyian dalam Langgam Jawa.
Masalah membaca Al-Qur’an dengan lagu Jawa Dadandanggulo dan sebagainya
Jenis lagu Dandanggulo itu dari segi makna kurang lebih adalah angan-angan manis. Lagu dalam langgam Jawa itu punya cengkok naik turunnnya nada dan panjang pendeknya, jumlah bait syairnya serta jumlah suku kata dan qafiyahnya, bunyi-bunyi di akhir bait. Bahkan sekaligus mengandung pula misi dalam isi jenis langgam itu.
Ketika jenis lagunya Dandanggulo maka ya hanya angan-angan manis. Lantas, ketika ternyata untuk melagukan Ayat-ayat Al-Qur’an, berarti sama dengan “memerkosa” ayat Allah untuk diresapi sebagai angan-angan manis belaka.
Betapa celakanya!
Lantas nanti ketika membaca al-Qur’an dengan langgam jenis lainnya, misalnya Durmo (sindiran untuk orang songong, tak peduli totokromo/ tatakrama), bagaimana kalau itu untuk membaca ayat-ayat tentang Keagungan Allah Ta’ala?
Perlu diketahui, tatacara melagukan dan menyusun bait-bait syair lagu langgam Jawa itu mirip dengan ilmu ‘Arudh wal qawafi dalam Sastra Arab. Kalau dalam Langgam Jawa ada Dandanggulo (yang ketika disebut jenis itu) maka mencakup isinya bermakna sekitar angan-angan manis. Irama lagu nyanyiannya sudah tertentu, termasuk panjang pendeknya, jumlah bait syairnya, huruf-huruf akhir baitnya dan sebagainya.
Dalam ilmu ‘arudh wal qawafi, juga ada jenis-jenis bahar, ada bahar wafir, misalnya syair (hanya sekadar contoh):
إِلهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلا وَلاَ أَقْوَى عَلَى نَارِ الجَحِيْم
“Wahai Tuhan aku bukanlah ahli (Surga) Firdaus, dan aku tak sanggup ke (Neraka) Jahim.
Syair itu harus sesuai wazannya (timbangan yang mengatur
panjang pendek dan menimbulkan irama nadanya). Juga harus sesuai
qafiyahnya, bunyi akhir tiap baitnya.
Irama lagu dari syair yang baharnya jenis wafir contohnya
Ilahi lastulil firdausi itu ya hanya untuk dilagukan syair yang begitu.
Tidak boleh untuk melagukan syair-syair yang jenis baharnya lain.
Apalagi untuk menjadi rujukan dalam membaca al-Qur’an, maka lebih tidak
boleh lagi. Karena akan sangat tidak cocok dan tidak dapat diterapkan.
Demikian pula, lagu irama Dandagulo Jawa, ya tidak bisa
untuk melagukan jenis tembang Durmo (songong, bahasa Betawi, tidak
peduli tatakrama dan susila). Bagaimana mau melagukan angan-angan manis
(Dandanggulo) untuk laku Durmo (sindiran untuk yang songong)?
Nah, persoalannya, lha sesama langgam Jawa saja yang satu
tidak boleh untuk yang lain, karena serba berlainan, bahkan tujuannya
juga berlainan, ada yang untuk angan-angan manis, ada yang untuk
menyindir kesongongan, ada yang untuk masalah kasmaran (asmarandana) dan
sebagainya. Jadi dari arah mana, ketika mau dipaksakan untuk membaca
Al-Qur’an?
Itu belum lagi ketika antara irama lagu Jawanya itu
tujuannya untuk menyindir kesongongan, misalnya, lalu untuk membaca
ayat-ayat tentang keagungan Allah Ta’ala. Bagaimana? Bukankah itu
jatuhnya menjadi mengolok-olok ayat Allah? Padahal kalau sampai dinilai
sebagai mengolok-olok ayat Allah, maka menjadi kafir.
وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ
وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ
تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ
إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ
كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦ [سورة التوبة,٦٥-٦٦]
65. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami
hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah
dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?
66. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa [At Tawbah,65-66].
Oleh karena itu, orang-orang Arab tempat turunnya ayat suci
Al-Qur’an sendiri tidak pernah menjadikan lagu syair-syair Arab dengan
berbagai bentuk baharnya untuk langgam dalam membaca Al-Qur’an. Lha kok
malah langgam Jawa mau dijadikan untuk langgam dalam membaca Al-Qur’an.
Afalaa ta’qiluun?
Penegasan lagi
Langgam Jawa dandanggulo dan sebagainya, bukan hanya masalah nada irama, tapi mengandung muatan tertentu. Begitu disebut dandanggulo, ya muatannya tentang angan-angan manis. Kalau jenis lagu Durmo ya mengenai semacam sindiran terhadap kesongongan (yang tidak peduli tatakrama/ totokromo). Sehingga penghayatan orang yang melagukan dan yang mendengarnya juga sudah terbawa oleh jenis langgam itu.
Dan satu hal yang sangat perlu diingat, Langgam Jawa
Dandanggulo, Durmo dan sebagainya itu hanya bisa digunakan untuk tembang
alias nyanyian. Maka ketika disuarakan, walau yang disuarakan itu
Al-Qur’an, kesannya ya tetap nyanyian. Jadi sama dengan membanting ayat
suci menjadi nyanyian belaka. Apakah setega itu kita mau memperlakukan
ayat-ayat Allah Ta’ala?
(Lihat haditsnya di bawah nanti, menjadikan Al-Qur’an
sebagai nyanyian itu termasuk 6 perkara yang nabi saw takuti atas
umatnya).
Lebih dari itu, nyanyian itu tadi sifatnya sangat terbatas.
Artinya yang jenis untuk kasmaran seperti Asmorondono (Asmarandana) ya
tidak boleh dinyanyikan untuk lagu jenis pucung alias pocong yang
berkaitan dengan orang meninggal.
Kalau orang masih punya pikiran lurus, mana mungkin jenis
tembang nyanyian dan sifatnya sangat terbatas seperti itu, kemudian
diperuntukkan untuk membaca wahyu Allah? Sedangkan untuk membaca teks
Pancasila dalam satu acara misalnya, itu saja sama sekali tidak bisa.
Kenapa? Karena, misalnya Pancasila dibaca dengan lagu
Megatruh (mecati alias menjelang meninggal), maka tentu menimbulkan
tanda tanya. Apakah pembacanya itu ngalup biar segera mati atau
bagaimana.
Itu saja sama-sama hanya bikinan manusia. Sudah menimbulkan
masalah. Lha kalau itu untuk merekayasa bacaan ayat-ayat suci
Al-Qur’an, bukankah berarti pelecehan dan penodaan agama?
Sekali lagi saya tanyakan (secara inkari): Bagaimana kalau
ayat-ayat tentang keagungan Allah Ta’ala, lalu dibaca dengan langgam
Durmo yang inti nada lagu itu sindiran terhadap orang songong?
Tentu yang terjadi bukan penghormatan terhadapm kesucian
Al-Qur’an dan pengagungan untuk Allah Ta’ala dalam isi ayat suci itu,
namun adalah istihza’ aias pelecehan. Padahal, kalau sampai jatuhnya ke
istihza’ terhadap Allah, ayat-ayat suciNya, dan Nabi Muhammad shallalahu
‘alaihi wa sallam, maka bisa mengeluarkan pelakunya dari Islam.
وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ
وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ
تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ
إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ
كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦ [سورة التوبة,٦٥-٦٦]
65. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami
hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah
dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?
66. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa
[At Tawbah,65-66]
Jadi jangan gampang-gampang bicara. Sekalipun ahli ilmu
Al-Qur’an, namun dalam kasus rekayasa pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an
ini, ketika tidak mengerti tentang Langgam Jawa dengan aneka
rangkaiannya, ya wala taqfu maa laisa laka bihi ‘ilm.
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ
وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا ٣٦
[سورة الإسراء,٣٦]
36. Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
[Al Isra”36]
[Al Isra”36]
Apalagi ini untuk merekayasa bacaan Al-Qur’an yang mungkin
mengikuti Said Aqil Siradj ketua umum NU dan orang liberal dalam
memasarkan apa yang disebut Islam Nusantara.
Mau dibawa ke mana Umat Islam ini?
Semoga Allah lindungi kami dari ini:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا: إِمَارَةُ
السُّفَهَاءِ، وَسَفْكُ الدِّمَاءِ، وَبَيْعُ الْحُكْمِ، وَقَطِيعَةُ
الرَّحِمِ، وَنَشْوٌ يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ، وَكَثْرَةُ
الشُّرَطِ “
[حكم الألباني]
(صحيح) انظر حديث رقم: 216 في صحيح الجامع
[حكم الألباني]
(صحيح) انظر حديث رقم: 216 في صحيح الجامع
Dari Auf bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
Aku khawatir atas kamu sekalian enam: pemerintahan orang-orang yang bodoh, penumpahan darah, jual hukum, memutus (tali) persaudaraan/ kekerabatan, generasi yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian, dan banyaknya polisi (aparat pemerintah, yang berarti banyak kedhaliman). (HR Thabrani, shahih menurut Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ hadits no. 216)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ
قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي
لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ
صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ
لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ
لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ
فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
الراوي : جابر بن عبدالله المحدث : الألباني
المصدر : صحيح الترغيب الصفحة أو الرقم: 2242 خلاصة حكم المحدث : صحيح لغيره
الراوي : جابر بن عبدالله المحدث : الألباني
المصدر : صحيح الترغيب الصفحة أو الرقم: 2242 خلاصة حكم المحدث : صحيح لغيره
/Dorar.net
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ka’b bin’ Ujroh, “Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh”, (Ka’b bin ‘Ujroh Radliyallahu’anhu) bertanya, apa itu kepemerintahan orang bodoh? (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda: “Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku, barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kedholiman mereka maka dia bukanlah golonganku, dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku, barang siapa yang tidak membenarkan mereka atas kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku. (Musnad Ahmad No.13919, shahih lighairihi menurut Al-Albani dalam Shahih at-Targhib).
Allahul Musta’an. Wa laa haula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adhiim. (eramuslim/pahamilah)
Jakarta, Selasa 1 Sya’ban 1436H/ 19 Mei 2015
0 comments: