middle ad
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
 Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono bersama presiden RI ke-3 BJ Habibie.

Pahamilah.com - Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono menyebut telah difitnah pemerintahan Joko Widodo. Dalam kasus pembubaran Petral, SBY menuding fitnah telah dibuat Menteri ESDM Kabinet Kerja, Sudirman Said kepada dirinya. SBY meminta klarifikasi terhadap pernyataan Sudirman yang menyebut 'pemberantasan mafia migas selalu berhenti di meja SBY'.

"Saya harap Pak Menteri ESDM melakukan klarifikasi apa yg dimaksud, karena justru saya ingin penyimpangan apapun diberantas," tulis SBY melalui akun twitternya, SBYudhoyono, Senin (18/5).

SBY juga mengaku terkejut bahwa pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said jelas menyerang & mendiskreditkan dirinya. Menurutnya, semasa menjabat Presiden, ia justru membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

"Yang hakikatnya memberantas kejahatan dan penyimpangan apapun," lanjut SBY.

SBY juga menegaskan, hingga meletakkan jabatan Presiden, tak satu pun usulan pembubaran Petral diajukan kepadanya. "Isu serius seperti mafia migas, pasti saya respons. Tidak mungkin berhenti di meja saya" tegasnya.

Tak ayal, atas tuduhan fitnah tersebut, SBY pun kembali 'menegur' pemerintahan Joko Widodo. SBY menyayangkan kenapa pemerintahan saat ini terus menyalahkan pemimpin dan pemerintahan sebelumnya.

"Popularitas bisa dibangun tanpa menjelekkan pihak lain," sambungnya,

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengakui adanya upaya kuat dari lingkungan di luar Pertamina yang berupaya menggagalkan upaya pembubaran Petral sejak lama.

Sudirman menyebut, di masa pemerintahan Presiden SBY, kerap kali upaya pembenahan mafia migas ini hanya berhenti di meja kerja presiden.

"Itulah sebabnya ketika saya diundang oleh presiden sehari sebelum ditunjuk sebagai menteri. Beliau bertanya banyak hal termasuk soal mafia. Saya jawab, pak sebetulnya dahulu banyak kegiatan inisiatif baik dari pertamina namun selesai di sini. Di mana? Di kantor presiden, karena presiden tidak mendukung," jelas Sudirman, Ahad (17/5).

Untuk Petral ini, dia menyebut, sudah sejak Januari tahun Pertamina mengalihkan fungsi pengadaan dari Petral kepada Integrated Supply Chain di bawah Pertamina. Selama tiga bulan penataan fungsi ISC, Pertamina disebut sudah lakukan penghematan sebesar 22 juta dolar AS atau Rp 250 miliar. (republika/pahamilah)

SBY: Menteri ESDM Telah Membuat Fitnah Soal Pembubaran Petral

 Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono bersama presiden RI ke-3 BJ Habibie.

Pahamilah.com - Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono menyebut telah difitnah pemerintahan Joko Widodo. Dalam kasus pembubaran Petral, SBY menuding fitnah telah dibuat Menteri ESDM Kabinet Kerja, Sudirman Said kepada dirinya. SBY meminta klarifikasi terhadap pernyataan Sudirman yang menyebut 'pemberantasan mafia migas selalu berhenti di meja SBY'.

"Saya harap Pak Menteri ESDM melakukan klarifikasi apa yg dimaksud, karena justru saya ingin penyimpangan apapun diberantas," tulis SBY melalui akun twitternya, SBYudhoyono, Senin (18/5).

SBY juga mengaku terkejut bahwa pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said jelas menyerang & mendiskreditkan dirinya. Menurutnya, semasa menjabat Presiden, ia justru membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

"Yang hakikatnya memberantas kejahatan dan penyimpangan apapun," lanjut SBY.

SBY juga menegaskan, hingga meletakkan jabatan Presiden, tak satu pun usulan pembubaran Petral diajukan kepadanya. "Isu serius seperti mafia migas, pasti saya respons. Tidak mungkin berhenti di meja saya" tegasnya.

Tak ayal, atas tuduhan fitnah tersebut, SBY pun kembali 'menegur' pemerintahan Joko Widodo. SBY menyayangkan kenapa pemerintahan saat ini terus menyalahkan pemimpin dan pemerintahan sebelumnya.

"Popularitas bisa dibangun tanpa menjelekkan pihak lain," sambungnya,

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengakui adanya upaya kuat dari lingkungan di luar Pertamina yang berupaya menggagalkan upaya pembubaran Petral sejak lama.

Sudirman menyebut, di masa pemerintahan Presiden SBY, kerap kali upaya pembenahan mafia migas ini hanya berhenti di meja kerja presiden.

"Itulah sebabnya ketika saya diundang oleh presiden sehari sebelum ditunjuk sebagai menteri. Beliau bertanya banyak hal termasuk soal mafia. Saya jawab, pak sebetulnya dahulu banyak kegiatan inisiatif baik dari pertamina namun selesai di sini. Di mana? Di kantor presiden, karena presiden tidak mendukung," jelas Sudirman, Ahad (17/5).

Untuk Petral ini, dia menyebut, sudah sejak Januari tahun Pertamina mengalihkan fungsi pengadaan dari Petral kepada Integrated Supply Chain di bawah Pertamina. Selama tiga bulan penataan fungsi ISC, Pertamina disebut sudah lakukan penghematan sebesar 22 juta dolar AS atau Rp 250 miliar. (republika/pahamilah)
 Susilo Bambang Yudhoyono

Pahamilah.com - Perbincangan masyarakat minggu ini didominasi oleh isu pelambatan ekonomi kita, dengan segala dampak & implikasinya. Kecemasan atas memburuknya situasi perekonomian bukan hanya disuarakan oleh pelaku pasar, tetapi juga oleh masyarakat luas.

Sebaiknya kita tidak perlu panik. Keadaan seperti ini setiap saat bisa terjadi. Masa kini dunia ekonomi mudah & sering mengalami gejolak. Yang penting, pemimpin dan pemerintah menyadari & mengakui bahwa memang ada persoalan yang harus ditangani secara serius.

Diperlukan gerak cepat & solusi yang efektif untuk atasi persoalan fiskal & APBN, pertumbuhan yang melambat dan kelesuan investasi & bisnis. Juga harus diantisipasi kemungkinan meningkatnya pengangguran, serta gangguan terhadap kecukupan & stabilitas harga bahan pokok.

Kalau berbagai persoalan ini tidak ditangani secara efektif, bisa saja keadaannya menjadi lebih buruk. Ini harus kita cegah. Bagi pemerintah, apapun opsi & kebijakan yang dipilih selalu ada plus & minusnya. Ada pro & kontranya. Tetapi tetap harus diambil.

Yang penting, pemerintah beri solusi. Tetapkan “policy response” yang realistik & sungguh dijalankan. Jangan terlalu banyak beretorika. Dulu, sebagai Presiden, persoalan seperti ini sering saya hadapi. Juga tidak mudah. Tetapi dengan kerja keras & tindakan tepat, selesai juga.

Rakyat perlu beri kesempatan & dukungan kepada Pak Jokowi & pemerintah, untuk atasi permasalahan di bidang ekonomi ini. Saya menilai situasinya belum masuk krisis. Masih ada waktu. Masih tersedia solusi. Penurunan ekonomi masih bisa dibalikkan. (citizenjurnalism/pahamilah)

Diambil dari akun twitter @SBYudhoyono
Pada hari Jumat, 8 Mei 2015

SBY Kembali Bercuit; Jangan Terlalu Banyak Beretorika

 Susilo Bambang Yudhoyono

Pahamilah.com - Perbincangan masyarakat minggu ini didominasi oleh isu pelambatan ekonomi kita, dengan segala dampak & implikasinya. Kecemasan atas memburuknya situasi perekonomian bukan hanya disuarakan oleh pelaku pasar, tetapi juga oleh masyarakat luas.

Sebaiknya kita tidak perlu panik. Keadaan seperti ini setiap saat bisa terjadi. Masa kini dunia ekonomi mudah & sering mengalami gejolak. Yang penting, pemimpin dan pemerintah menyadari & mengakui bahwa memang ada persoalan yang harus ditangani secara serius.

Diperlukan gerak cepat & solusi yang efektif untuk atasi persoalan fiskal & APBN, pertumbuhan yang melambat dan kelesuan investasi & bisnis. Juga harus diantisipasi kemungkinan meningkatnya pengangguran, serta gangguan terhadap kecukupan & stabilitas harga bahan pokok.

Kalau berbagai persoalan ini tidak ditangani secara efektif, bisa saja keadaannya menjadi lebih buruk. Ini harus kita cegah. Bagi pemerintah, apapun opsi & kebijakan yang dipilih selalu ada plus & minusnya. Ada pro & kontranya. Tetapi tetap harus diambil.

Yang penting, pemerintah beri solusi. Tetapkan “policy response” yang realistik & sungguh dijalankan. Jangan terlalu banyak beretorika. Dulu, sebagai Presiden, persoalan seperti ini sering saya hadapi. Juga tidak mudah. Tetapi dengan kerja keras & tindakan tepat, selesai juga.

Rakyat perlu beri kesempatan & dukungan kepada Pak Jokowi & pemerintah, untuk atasi permasalahan di bidang ekonomi ini. Saya menilai situasinya belum masuk krisis. Masih ada waktu. Masih tersedia solusi. Penurunan ekonomi masih bisa dibalikkan. (citizenjurnalism/pahamilah)

Diambil dari akun twitter @SBYudhoyono
Pada hari Jumat, 8 Mei 2015
Ketua Panja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja (kanan) berjalan saat akan menyerahkan hasil pembahasan komisi II dalam sidang Paripurna di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/9)

Pahamilah.com - Pemohon uji materi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dianjurkan mengikuti saran Mahkamah Konstitusi untuk mencabut permohonan pengujian UU Pilkada.

"Kalau memang sudah ada saran dari Mahkamah Konstitusi, sebaiknya ya diikuti daripada nanti diujikan tetapi tidak ada yang bisa diujikan, karena menurut MK, UU Pilkada sudah hangus," kata pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq, Selasa (14/10).

UU Pilkada dianggap hangus karena telah ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014.

Dengan demikian, kata dia, bagi kelompok masyarakat yang menginginkan diselenggarakannya pilkada langsung, sebaiknya mengalihkan gerakan mereka ke DPR.

Ia mengatakan upaya yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan lobi-lobi atau tekanan ke DPR karena jika tetap bersikeras untuk diujikan di MK kemungkinan besar akan tetap gagal.

"Jangan sampai kemudian DPR malah menolak perppu itu karena kalau sampai ditolak, menurut kajian akan ada kekosongan hukum sementara," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.

Menurut dia, perppu tersebut tetap berpeluang disetujui oleh DPR meskipun komposisi anggota legislatif didominasi partai pendukung pilkada tidak langsung.

"Ada kemungkinan karena di Koalisi Merah Putih pun ada sinyal-sinyal penerimaan perppu. Apalagi dari Demokrat sudah pasti, kemudian dari Golkar juga ada sinyal-sinyal untuk menerima perppu itu," katanya. (republika/pahamilah)

MK Anggap UU Pilkada Hangus, Pemohon Sebaiknya Segera Cabut Uji Materi

Ketua Panja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja (kanan) berjalan saat akan menyerahkan hasil pembahasan komisi II dalam sidang Paripurna di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/9)

Pahamilah.com - Pemohon uji materi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dianjurkan mengikuti saran Mahkamah Konstitusi untuk mencabut permohonan pengujian UU Pilkada.

"Kalau memang sudah ada saran dari Mahkamah Konstitusi, sebaiknya ya diikuti daripada nanti diujikan tetapi tidak ada yang bisa diujikan, karena menurut MK, UU Pilkada sudah hangus," kata pengamat politik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq, Selasa (14/10).

UU Pilkada dianggap hangus karena telah ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014.

Dengan demikian, kata dia, bagi kelompok masyarakat yang menginginkan diselenggarakannya pilkada langsung, sebaiknya mengalihkan gerakan mereka ke DPR.

Ia mengatakan upaya yang paling mungkin dilakukan adalah melakukan lobi-lobi atau tekanan ke DPR karena jika tetap bersikeras untuk diujikan di MK kemungkinan besar akan tetap gagal.

"Jangan sampai kemudian DPR malah menolak perppu itu karena kalau sampai ditolak, menurut kajian akan ada kekosongan hukum sementara," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.

Menurut dia, perppu tersebut tetap berpeluang disetujui oleh DPR meskipun komposisi anggota legislatif didominasi partai pendukung pilkada tidak langsung.

"Ada kemungkinan karena di Koalisi Merah Putih pun ada sinyal-sinyal penerimaan perppu. Apalagi dari Demokrat sudah pasti, kemudian dari Golkar juga ada sinyal-sinyal untuk menerima perppu itu," katanya. (republika/pahamilah)

Hasil voting RUU Pilkada. 

Pahamilah.com - Sebanyak sepuluh ribu orang warga sudah menyerahkan surat kuasa untuk menggugat Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah.

"Sejauh ini sudah terkumpul sampai 10 ribu orang yang siap menggugat UU Pilkada karena kita tidak ingin hak pilih rakyat direnggut oleh DPR," kata kata koordinator lapangan aksi damai Koalisi Tolak UU Pilkada Dyhta Caturani di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (12/10).

Ia mengatakan surat kuasa tersebut diserahkan kepada dua organisasi yang akan menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstisuti, yaitu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta Perludem Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang tergabung dalam Koalisi Tolak UU Pilkada.

"Kami mengajak masyarakat atau warga negara yang mau menolak UU Pilkada untuk terlibat. Kita menggalang partisipasi publik untuk bersama-sama kita menggugat UU Pilkada," kata dia.

Dalam aksi damai itu, organisasi Kita Bergerak turut membantu dua organisasi tersebut untuk mengumpulkan masyarakat yang ingin menyerahkan surat kuasa guna menggugat UU Pilkada.

"Kami mengumpulkan KTP dan menggalang partisipsi publik. Hari ini kita mengajak semua yang sudah mengumpulkan KTP maupun yang mau tetapi belum mengumpulkan KTP sekalian menandatangani surat kuasa untuk diajukan sebagai penggugat UU Pilkada nanti," tuturnya.

Aksi tersebut merupakan serangkaian acara yang telah dilakukan beberapa minggu lalu untuk menghimpun masyarakat yang akan menggugat UU Pilkada.

"Aksi ini adalah serangkaian aksi, kita sudah melakukan aksi mengumpulkan KTP minggu lalu di tempat yang sama di sini dan kita kumpulkan juga secara online, lewat email, juga bisa datang secara langsung ke tempat kita," ujarnya.

Selain menyerahkan surat kuasa, masyarakat juga membubuhkan cap jari kelingking sebagai bentuk penolakan terhadap UU Pilkada  (republika/pahamilah)


10 Ribu Orang Siap Gugat UU Pilkada

Hasil voting RUU Pilkada. 

Pahamilah.com - Sebanyak sepuluh ribu orang warga sudah menyerahkan surat kuasa untuk menggugat Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah.

"Sejauh ini sudah terkumpul sampai 10 ribu orang yang siap menggugat UU Pilkada karena kita tidak ingin hak pilih rakyat direnggut oleh DPR," kata kata koordinator lapangan aksi damai Koalisi Tolak UU Pilkada Dyhta Caturani di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (12/10).

Ia mengatakan surat kuasa tersebut diserahkan kepada dua organisasi yang akan menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstisuti, yaitu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta Perludem Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang tergabung dalam Koalisi Tolak UU Pilkada.

"Kami mengajak masyarakat atau warga negara yang mau menolak UU Pilkada untuk terlibat. Kita menggalang partisipasi publik untuk bersama-sama kita menggugat UU Pilkada," kata dia.

Dalam aksi damai itu, organisasi Kita Bergerak turut membantu dua organisasi tersebut untuk mengumpulkan masyarakat yang ingin menyerahkan surat kuasa guna menggugat UU Pilkada.

"Kami mengumpulkan KTP dan menggalang partisipsi publik. Hari ini kita mengajak semua yang sudah mengumpulkan KTP maupun yang mau tetapi belum mengumpulkan KTP sekalian menandatangani surat kuasa untuk diajukan sebagai penggugat UU Pilkada nanti," tuturnya.

Aksi tersebut merupakan serangkaian acara yang telah dilakukan beberapa minggu lalu untuk menghimpun masyarakat yang akan menggugat UU Pilkada.

"Aksi ini adalah serangkaian aksi, kita sudah melakukan aksi mengumpulkan KTP minggu lalu di tempat yang sama di sini dan kita kumpulkan juga secara online, lewat email, juga bisa datang secara langsung ke tempat kita," ujarnya.

Selain menyerahkan surat kuasa, masyarakat juga membubuhkan cap jari kelingking sebagai bentuk penolakan terhadap UU Pilkada  (republika/pahamilah)


Rizal Ramli 

Pahamilah.com - Pakar perekonomian, Rizal Ramli, menilai, masih ada cara selain menaikkan harga BBM. Jokowi diimbaunya mencari alternatif lain.

"Saya tetap berprinsip, masih ada cara lain untuk mencegah menaikan harga BBM karena yang menjadi korbannya nanti adalah ratusan juta rakyat Indonesia. Cari dong cara lain yang ada nilai tambahnya," katanya.

Rizal Ramli mengatakan masih banyak cara lain untuk mengurangi defisit neraca perdagangan selain dari menaikan harga BBM bersubsidi. Cara pertama, yakni subsidi silang dengan menaikan harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan Pertamax Plus, sedangkan harga premium masih tetap namun kandungan oktan diturunkan.

Menurut dia, premium di Indonesia terlalu "mewah" karena kandungan oktan mencapai 88, dan jauh lebih tinggi dibandingkan jenis serupa di Amerika Serikat sekali pun yang oktannya hanya 86.

Ia meyakini cara tersebut bisa menurunkan konsumsi BBM subsidi sekitar 40 persen karena pemilik mobil mewah yang biasa ikut "menyedot" BBM subsidi takut mobilnya rusak.

"BBM rakyat ini masih tetap bisa digunakan untuk motor, angkot dan nelayan, tapi untuk mobil mewah akan cepat rusak. Dari subsidi silang ini, konsumsi BBM subsidi dari 55 persen akan turun jadi 40 persen dan pemerintah untung Rp40 triliun dari subsidi silang," katanya.

Cara kedua, pemerintah perlu benahi mekanisme "cost recovery" dari industri migas yang terlalu menguntungkan perusahaan, khususnya kontraktor asing. Sebabnya, kontrak bagi hasil produksi yang mengatur "cost recovery" sangat tidak adil dan rawan terjadi korupsi, dimana kontraktor bisa membebankan biaya produksi sampai biaya main golf dan pasang iklan di media massa kepada negara.

"Dari pembenahan cost recovery migas, pemerintah bisa hemat Rp64 triliun. Ketika saya menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi pada 2012 terhadap gugatan Undang-undang Migas, saya mempertanyakan kenapa produksi migas turun 40 persen tapi biaya cost recovery naik 200 persen. Benahi itu, kita bisa hemat 30 persen," ujarnya.

"Cara lainnya adalah sikat itu mafia migas, kita bisa hemat Rp100 miliar dan bangun kilang pengolahan BBM kita bisa hemat berpuluh-puluh triliun daripada terus-terusan menguntungkan kilang Singapura dan bayar pajak ke Singapura," lanjut Rizal Ramli. (republika/pahamilah)


Rizal Ramli: Pak Jokowi, Ini Alternatif Selain Naikkan BBM

Rizal Ramli 

Pahamilah.com - Pakar perekonomian, Rizal Ramli, menilai, masih ada cara selain menaikkan harga BBM. Jokowi diimbaunya mencari alternatif lain.

"Saya tetap berprinsip, masih ada cara lain untuk mencegah menaikan harga BBM karena yang menjadi korbannya nanti adalah ratusan juta rakyat Indonesia. Cari dong cara lain yang ada nilai tambahnya," katanya.

Rizal Ramli mengatakan masih banyak cara lain untuk mengurangi defisit neraca perdagangan selain dari menaikan harga BBM bersubsidi. Cara pertama, yakni subsidi silang dengan menaikan harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan Pertamax Plus, sedangkan harga premium masih tetap namun kandungan oktan diturunkan.

Menurut dia, premium di Indonesia terlalu "mewah" karena kandungan oktan mencapai 88, dan jauh lebih tinggi dibandingkan jenis serupa di Amerika Serikat sekali pun yang oktannya hanya 86.

Ia meyakini cara tersebut bisa menurunkan konsumsi BBM subsidi sekitar 40 persen karena pemilik mobil mewah yang biasa ikut "menyedot" BBM subsidi takut mobilnya rusak.

"BBM rakyat ini masih tetap bisa digunakan untuk motor, angkot dan nelayan, tapi untuk mobil mewah akan cepat rusak. Dari subsidi silang ini, konsumsi BBM subsidi dari 55 persen akan turun jadi 40 persen dan pemerintah untung Rp40 triliun dari subsidi silang," katanya.

Cara kedua, pemerintah perlu benahi mekanisme "cost recovery" dari industri migas yang terlalu menguntungkan perusahaan, khususnya kontraktor asing. Sebabnya, kontrak bagi hasil produksi yang mengatur "cost recovery" sangat tidak adil dan rawan terjadi korupsi, dimana kontraktor bisa membebankan biaya produksi sampai biaya main golf dan pasang iklan di media massa kepada negara.

"Dari pembenahan cost recovery migas, pemerintah bisa hemat Rp64 triliun. Ketika saya menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi pada 2012 terhadap gugatan Undang-undang Migas, saya mempertanyakan kenapa produksi migas turun 40 persen tapi biaya cost recovery naik 200 persen. Benahi itu, kita bisa hemat 30 persen," ujarnya.

"Cara lainnya adalah sikat itu mafia migas, kita bisa hemat Rp100 miliar dan bangun kilang pengolahan BBM kita bisa hemat berpuluh-puluh triliun daripada terus-terusan menguntungkan kilang Singapura dan bayar pajak ke Singapura," lanjut Rizal Ramli. (republika/pahamilah)


Presiden SBY tanda tangani Perppu Pilkada langsung. 

Pahamilah.com - Pengamat Politik Universitas Gorontalo La Husen Zuada, mengatakan, bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota atau Perppu Pilkada adalah catatan buruk bagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurut La Husen, alasannya kenapa Peprpu merupakan catatan buruk adalah kesan terhadap peraturan itu seperti memaksakan kehendak Partai Demokrat saja dan mengabaikan kehendak partai politik lainnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu itu, hal tersebut merupakan contoh yang tidak baik untuk seorang presiden, dan bakal diikuti oleh pemimpin berikutnya, saat usulan partainya dimentahkan di DPR, maka Presiden menggunakan Perppu untuk memaksakan kehendaknya. "Belum lagi tindakan Presiden SBY, seperti menghubungi ketua MK pasca UU Pilkada disahkan, ini juga memberikan kesan kurang baik bagi dirinya," Kata La Husen. (republika/pahamilah)


Pengamat: Perppu Menjadi Catatan Buruk Bagi SBY

Presiden SBY tanda tangani Perppu Pilkada langsung. 

Pahamilah.com - Pengamat Politik Universitas Gorontalo La Husen Zuada, mengatakan, bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota atau Perppu Pilkada adalah catatan buruk bagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurut La Husen, alasannya kenapa Peprpu merupakan catatan buruk adalah kesan terhadap peraturan itu seperti memaksakan kehendak Partai Demokrat saja dan mengabaikan kehendak partai politik lainnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu itu, hal tersebut merupakan contoh yang tidak baik untuk seorang presiden, dan bakal diikuti oleh pemimpin berikutnya, saat usulan partainya dimentahkan di DPR, maka Presiden menggunakan Perppu untuk memaksakan kehendaknya. "Belum lagi tindakan Presiden SBY, seperti menghubungi ketua MK pasca UU Pilkada disahkan, ini juga memberikan kesan kurang baik bagi dirinya," Kata La Husen. (republika/pahamilah)


Indra J Piliang (kanan) dalam diskusi polemik di Jakarta, Sabtu (12/10). 

Pahamilah.com - Politisi Partai Golkar, Indra J Piliang mempertanyakan pernyataan Presiden terpilih Indonesia, Joko Widodo. Sebelumnya Jokowi siap mengeluarkan hak veto jika dijegal Koalisi Merah Putih di Parlemen.

IJP, panggilan akrab Indra, melalui akun @IndraJPiliang, mengatakan soal hak veto ini tidak ada di konstitusi Indonesia. Akan tetapi ia akui memang di negara lain, seperti Amerika Serikat ada.

"Sy baca berita Pak @jokowi_do2 soal hak veto ini. Serius keleus bicaranya. Tp tidak ada dalam konstitusi Indonesiah Pak. Amrikiyah ada," ucap dia.

Ia pun mengatakan untungnya Jokowi belum dilantik, sehingga bisa ditanya lebih lanjut maksud kata-katanya. Karena pernyataan yang dikutip para jurnalis ini terlalu serius kesalahannya.

Ia menjelaskan di Australia ada hak veto Majelis Rendah melawan majelis tinggi. Sementara di Amerika Serikat hak veto dimiliki antara Presiden melawan DPR. Sedangkan di Indonesia tidak ada sama sekali.

Sebagai informasi, Undang-Undang Dasar 1945 sama sekali tak menyebut bahwa Presiden memiliki hak veto. Hanya saja ada Pasal 20 ayat 2. Ayat itu menjelaskan, 'setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama'.

Ayat ini bermakna setiap RUU harus memiliki persetujuan DPR dan presiden. Sebelumnya Presiden SBY 'dipaksa' netizen untuk menggunakan haknya menolak RUU Pilkada berdasarkan ayat tersebut. (republika/pahamilah)

Sebut Hak Veto, Jokowi Dinilai tak Mengerti Konstitusi Indonesia

Indra J Piliang (kanan) dalam diskusi polemik di Jakarta, Sabtu (12/10). 

Pahamilah.com - Politisi Partai Golkar, Indra J Piliang mempertanyakan pernyataan Presiden terpilih Indonesia, Joko Widodo. Sebelumnya Jokowi siap mengeluarkan hak veto jika dijegal Koalisi Merah Putih di Parlemen.

IJP, panggilan akrab Indra, melalui akun @IndraJPiliang, mengatakan soal hak veto ini tidak ada di konstitusi Indonesia. Akan tetapi ia akui memang di negara lain, seperti Amerika Serikat ada.

"Sy baca berita Pak @jokowi_do2 soal hak veto ini. Serius keleus bicaranya. Tp tidak ada dalam konstitusi Indonesiah Pak. Amrikiyah ada," ucap dia.

Ia pun mengatakan untungnya Jokowi belum dilantik, sehingga bisa ditanya lebih lanjut maksud kata-katanya. Karena pernyataan yang dikutip para jurnalis ini terlalu serius kesalahannya.

Ia menjelaskan di Australia ada hak veto Majelis Rendah melawan majelis tinggi. Sementara di Amerika Serikat hak veto dimiliki antara Presiden melawan DPR. Sedangkan di Indonesia tidak ada sama sekali.

Sebagai informasi, Undang-Undang Dasar 1945 sama sekali tak menyebut bahwa Presiden memiliki hak veto. Hanya saja ada Pasal 20 ayat 2. Ayat itu menjelaskan, 'setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama'.

Ayat ini bermakna setiap RUU harus memiliki persetujuan DPR dan presiden. Sebelumnya Presiden SBY 'dipaksa' netizen untuk menggunakan haknya menolak RUU Pilkada berdasarkan ayat tersebut. (republika/pahamilah)

 Presiden SBY tanda tangani Perppu Pilkada langsung. 


Keputusan Presiden SBY menandatangani Perppu untuk mengembalikan pilkada langsung disambut baik penghuni lini masa Twitter. Keputusan SBY untuk memastikan hak pilih langsung rakyat, dengan dikeluarkannya Perppu Pilkada Langsung dengan perbaikan 10 poin disambut positif dengan munculnya tagar #TerimakasihSBY.

Akun ‏@fadjroeL misalnya, yang selama ini kerap melontarkan kritik dan tagar caci maki ke SBY, berbalik memuji ketua umum Partai Demokar tersebut. "11a. Terimakasih tak terhingga buat tweeps + publik yg berjuang di sosmed + jalanan dg protes #ShameOnYouSBY dll selain #TerimakasihSBY."

Menantu SBY, Aulia Pohan mengapresiasi keputusan mertuanya yang mengembalikan pilkada tidak langsung. "I hope that everyone is satisfied now, win-win solution. #terimakasihsby," ujarnya melalui @AnnisaPohan.

Akun ‏@Ganang28_ malah menyebut SBY sebagai bapak demokrasi lantaran keputusannya itu. "#TerimakasihSBY 13- Inilah bapak demokrasi yang sesungguhnya, selamatkan hak memilih rakyat dari tikus DPR. #terimakasihSBY"

Pujian sekaligus sindiran muncul dari pemilik akun @yudipr. "Oh jadi Perppu itu cuma utk mengubah hestek #ShameOnYouSBY jadi #terimakasihSBY gitu pak @SBYudhoyono?? Kok murahan bgt ya."(republika/pahamilah)




Akhirnya SBY Terbitkan Perppu Pilkada Langsung

 Presiden SBY tanda tangani Perppu Pilkada langsung. 


Keputusan Presiden SBY menandatangani Perppu untuk mengembalikan pilkada langsung disambut baik penghuni lini masa Twitter. Keputusan SBY untuk memastikan hak pilih langsung rakyat, dengan dikeluarkannya Perppu Pilkada Langsung dengan perbaikan 10 poin disambut positif dengan munculnya tagar #TerimakasihSBY.

Akun ‏@fadjroeL misalnya, yang selama ini kerap melontarkan kritik dan tagar caci maki ke SBY, berbalik memuji ketua umum Partai Demokar tersebut. "11a. Terimakasih tak terhingga buat tweeps + publik yg berjuang di sosmed + jalanan dg protes #ShameOnYouSBY dll selain #TerimakasihSBY."

Menantu SBY, Aulia Pohan mengapresiasi keputusan mertuanya yang mengembalikan pilkada tidak langsung. "I hope that everyone is satisfied now, win-win solution. #terimakasihsby," ujarnya melalui @AnnisaPohan.

Akun ‏@Ganang28_ malah menyebut SBY sebagai bapak demokrasi lantaran keputusannya itu. "#TerimakasihSBY 13- Inilah bapak demokrasi yang sesungguhnya, selamatkan hak memilih rakyat dari tikus DPR. #terimakasihSBY"

Pujian sekaligus sindiran muncul dari pemilik akun @yudipr. "Oh jadi Perppu itu cuma utk mengubah hestek #ShameOnYouSBY jadi #terimakasihSBY gitu pak @SBYudhoyono?? Kok murahan bgt ya."(republika/pahamilah)






Pahamilah.com - Anggota DPR terpilih akan melaksanakan pengucapan sumpah sebagai wakil rakyat periode 2014-2019, Rabu (1/10/2014).

Pelantikan itu akan dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Hatta.

Adapun sumpah yang akan dibacakan anggota DPR terpilih nanti adalah:

Demi Allah saya bersumpah:
Bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945.

Bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.

Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.


Pahamilah Sumpah Pelantikan Anggota DPR Besok



Pahamilah.com - Anggota DPR terpilih akan melaksanakan pengucapan sumpah sebagai wakil rakyat periode 2014-2019, Rabu (1/10/2014).

Pelantikan itu akan dipimpin oleh Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Hatta.

Adapun sumpah yang akan dibacakan anggota DPR terpilih nanti adalah:

Demi Allah saya bersumpah:
Bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945.

Bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.

Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.


Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva

Pahamilah.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua materi gugatan Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Putusan dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, yang bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2014).

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Hamdan Zoelva, saat membacakan sidang putusan di ruang sidang.

Dalam surat putusannya MK menyatakan bahwa, PDIP selaku pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian UU MD3. MK juga berpendapat, bahwa PDIP tidak memiliki kerugian secara konstitusional.

Sebelumnya, PDIP mendaftarkan uji materi UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Dalam permohonannya PDIP menyatakan telah dirugikan tujuh pasal dalam UU tersebut. Pasal tersebut adalah Pasal 84, 97, 104, 115, 121, dan 152.

Selain PDIP dan Khofifah, ada tiga pemohon lain yang menguji materikan UU MD3 itu. Yaitu Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (ICJR), perwakilan DPD, serta sejarawan JJ Rizal.

Masing-masing pemohon menginginkan Mahkamah membatalkan beberapa pasal dalam UU MD3 itu.

Seperti misalnya, PDI Perjuangan yang menginginkan pembatalan terhadap Pasal 84 mengenai mekanime pemilihan pimpinan DPR.

Sedangkan Khofifah menginginkan Mahkamah membatalkan pasal tentang keterwakilan perempuan di parlemen.

Kemudian ICJR dan sejarawan JJ Rizal meminta Mahkamah membatalkan Pasal 245 UU MD3 mengenai imunitas anggota DPR. (inilah/pahamilah)


Akhirnya MK Tolak Semua Materi Gugatan PDIP

Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva

Pahamilah.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua materi gugatan Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang diajukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Putusan dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, yang bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2014).

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Hamdan Zoelva, saat membacakan sidang putusan di ruang sidang.

Dalam surat putusannya MK menyatakan bahwa, PDIP selaku pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian UU MD3. MK juga berpendapat, bahwa PDIP tidak memiliki kerugian secara konstitusional.

Sebelumnya, PDIP mendaftarkan uji materi UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Dalam permohonannya PDIP menyatakan telah dirugikan tujuh pasal dalam UU tersebut. Pasal tersebut adalah Pasal 84, 97, 104, 115, 121, dan 152.

Selain PDIP dan Khofifah, ada tiga pemohon lain yang menguji materikan UU MD3 itu. Yaitu Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana (ICJR), perwakilan DPD, serta sejarawan JJ Rizal.

Masing-masing pemohon menginginkan Mahkamah membatalkan beberapa pasal dalam UU MD3 itu.

Seperti misalnya, PDI Perjuangan yang menginginkan pembatalan terhadap Pasal 84 mengenai mekanime pemilihan pimpinan DPR.

Sedangkan Khofifah menginginkan Mahkamah membatalkan pasal tentang keterwakilan perempuan di parlemen.

Kemudian ICJR dan sejarawan JJ Rizal meminta Mahkamah membatalkan Pasal 245 UU MD3 mengenai imunitas anggota DPR. (inilah/pahamilah)


 
Mantan Menko Ekuin Kwik Kian Giea


KONTROVERSI TENTANG PILKADA

*Oleh Kwik Kian Gie

Sejak Indonesia berdiri sampai tahun 2007 tidak ada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung oleh rakyat. Dalam era Reformasi terbit UU Nomor 22 Tahun 2007 yang menentukan bahwa Kepala Daerah pada semua jenjang, yaitu Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih secara langsung oleh rakyat.

Di tahun 2011 Pemerintahan SBY mengajukan RUU yang mengembalikan Pilkada kepada DPRD. Secara implisit berarti bahwa setelah 5 tahun memerintah dengan sistem Pilkada langsung dirasakan bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan Pilkada oleh DPRD.

Yang sangat aneh, ketika RUU diterima oleh DPR tidak ada yang mempermasalahkan. Namun ketika fraksi-fraksi di DPR terkelompok ke dalam hanya dua koalisi saja, yaitu Koalisi Merah Putih yang menguasai sekitar 70% suara dan Koalisi Gotong Royong yang menguasai sisanya, meledaklah perdebatan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja tentang pro dan kontra Pilkada melalui DPRD.

Dalam perdebatan yang demikian gemuruhnya tidak ada yang mengemukakan kenyataan ini. Yang dikemukakan oleh yang setuju maupun yang tidak setuju yalah aspek korupsinya.

Dalam pertimbangannya RUU menggunakan dua argumentasi, yaitu untuk “Memperkuat sifat integral dalam NKRI” dan “Sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.” Secara lisan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengemukakan bahwa Pilkada langsung oleh rakyat telah mengakibatkan demikian meluas dan besarnya korupsi sampai pada para Kepala Daerah sendiri, sehingga 330 Kepala Daerah telah masuk penjara atau menjadi tersangka.

Yang pro Pilkada langsung mengatakan bahwa para anggota DPRD akan minta sogokan dari calon Kepala Daerah supaya dipilih. Yang pro Pilkada melalui DPRD mengatakan bahwa kenyataannya, para Kepala Daerah itu harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa terpilih. Seperti telah dikemukakan, pendirian pemerintah yang dinyatakan oleh Mendagri juga mengemukakan betapa hebatnya korupsi dalam Pilkada langsung.

Korupsi atau lengkapnya KKN tidak hanya terjadi pada Pilkada. KKN terjadi pada semua aspek kehidupan bangsa kita sejak lama, yang semakin lama semakin mendarah daging. Bahkan telah merasuk ke dalam otak yang oleh para filosof Yunani kuno disebut sudah terjadi corrupted mind pada elit bangsa kita.

Maka kalau aspek KKN yang dijadikan argumen, yang pro Pilkada langsung maupun yang pro Pilkada melalui DPRD sama-sama kuatnya atau sama-sama lemahnya. Marilah kita telaah hal ini tanpa menggunakan faktor KKN, karena kalau terus menggunakan faktor KKN sebagai argumentasi, kita disuguhi oleh tontonan para maling yang teriak maling.

Kita mulai dari pertimbangan yang tertuang dalam RUU. Yang pertama, yaitu Pilkada melalui DPRD memperkuat sifat integral dalam NKRI memang benar. Beberapa  daerah sangat menonjol kemajuannya dan kesejahteraan rakyatnya karena mempunyai Kepala Daerah yang memang sangat kompeten. Tetapi justru penonjolan kemampuan sangat sedikit daerah inilah yang membuat terjadinya kesenjangan yang besar antara daerah-daerah yang bagus dan daerah-daerah yang masih saja berantakan. Cepat atau lambat, hal yang demikian jelas akan memperlemah NKRI. Ketika saya menjabat sebagai Kepala Bappenas ada beberapa Kepala Daerah yang minta alokasi dana lebih besar. Saya menolaknya, karena segala sesuatunya telah dipertimbangkan dengan cermat. Beberapa Kepala Daerah langsung menjawab :”Pak, apakah kami perlu menyatakan diri ingin merdeka, memisahkan diri dari NKRI supaya bisa mendapatkan alokasi anggaran yang kami minta ?”

Pada waktu yang sama sangat banyak daerah yang minta agar Bappenas memberikan pendidikan dn pelatihan kepada para perencana daerah. Sampai sekarang yang terjadi yalah atau anggaran daerah dipakai buat yang bukan-bukan, atau banyak sisa anggaran. Ahok kelebihan anggaran yang mulai membagi-bagikan uang kepada para kepala daerah sekitarnya.

Argumentasi lainnya yang tertuang dalam RUU yalah “sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.” Apa benar argumentasi ini ? Tidak mutlak, karena nyatanya – seperti yang telah disebutkan tadi – memang ada beberapa Kepala Daerah yang sangat kompeten. Bagian terbesar dari daerah-daerah tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, kita saksikan sendiri di berbagai televisi betapa banyak dan memalukannya tingkah lakunya Kepala Daerah dalam KKN maupun dalam bidang demoralisasi.

Kita ambil satu contoh yang menonjol adanya kesenjangan sangat besar antara penolakan terhadap Pilkada melalui DPRD dan prestasi dari Kepala Daerah yang paling keras menolak, yaitu pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jokowi- Ahok. Dalam Suara Pembaruan tanggal 17 September 2014 halaman A 23 diberitakan bahwa “hingga pertengahan kedua September 2014 penyerapan APBD hanya 30 %. Diperkirakan penyerapan anggaran untuk pembangunan infra struktur sangat minim, yaitu hanya 0,01 % dari total nilai APBD DKI 2014 sebesar Rp. 72,9 trilyun. “ Selanjutnya dikatakan “Bahkan bila dilihat dari nilai penyerapan anggaran yang baru mencapai 30% atau sebesar Rp. 21,87 trilyun, penyerapan anggaran untuk pembangunan hanya 0,04%. Sedangkan sisanya 29,96% merupakan penyerapan anggaran dari gaji pegawai, alat tulis kantor (ATK) dan TALI (telpon, air, listrik, dan internet).
Jadi yang menolak luar biasa dahsyatnya, yaitu Jokowi-Ahok hanya mampu membangun infra struktur sebesar 0,01% dari anggaran yang disediakan, dan hanya 0,04% dari anggaran pembangunan yang disediakan.

Dalam bidang pembangunan MRT, Gubernur yang lama Fauzi Bowo yang memulai dengan pemberitaan sangat besar. Tetapi dihentikan oleh Gubernur Jokowi dengan alasan terlampau mahal. Setelah 3 bulan dilanjutkan lagi dengan Gubernur Jokowi memegang gambar lokasi awal pembangunan MRT di bunderan HI, seolah-olah dia yang memulai. Todal biaya sama sekali tidak kurang, bahkan mungkin ketambahan bunga utang untuk 3 bulan lamanya.

Tentang legitimasi juga sangat aneh dengan pemilihan pemimpin penyelenggara dari berbagai jenjang secara langsung oleh rakyat. Bupati, Walikota, Gubernur, Anggota DPR, anggota DPRD dan Presiden sama semua legitimasinya, sama semua penyandang voc populi vox dei, sama semua menyuarakan suara Tuhan, tetapi pendapatnya dan kepentingannya bisa sangat berseberangan luar biasa.

Hak rakyat yang dirampas

Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD merampas hak rakyat sangat banyak dipakai oleh yang pro Pilkada langsung. Marilah kita berpikir jernih dan jujur. Rakyat yang mana ? Jumlah rakyat yang ikut Pilpres adalah 70 juta untuk Jokowi dan 62 juta suara untuk Prabowo. Jokwi memperoleh 53% suara rakyat. Dari perbandingan angka ini saja tidak dapat dikatakan seluruh rakyat merasa haknya dirampas. 62 juta suara bukannya nothing.

Dalam poster kampanye gambar yang dijadikan template yalah Bung Karno, Megawati dan Jokowi. Pikiran Bung Karno tentang Demokrasi sangat jelas, yaitu Demokrasi Perwakilan, dan itupun ditambah dengan asas pengambilan keputusan yang tidak didasarkan atas pemungutan suara melulu. Dia menggunakan istilah diktatur mayoritas dan tirani minoritas untuk mempertegas pendiriannya. Dia juga selalu mengemukakan apakah 50% plus satu itu Demokrasi ? Apakah 50% plus satu itu boleh dikatakan sama dengan “Rakyat” ?

Jumlah rakyat yang menggunakan hak pilihnya termasuk yang tertinggi di dunia. Apakah penggunaan hak politiknya yang berbondong-bondong itu karena sangat sadar politik ataukah datang untuk menerima uang dari para calon legislatif maupun eksekutif yang dipilih secara langsung ?

Kalau 5 tahun yang lalu uang yang harus dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR rata-rata sekitar Rp. 300 juta, di tahun 2014 sudah menjadi Rp. 3 milyar.

Demokrasi, walaupun sistem perwakilan membutuhkan rakyat yang sudah cukup pendidikan dan pengetahuannya. Marilah kita sangat jujur terhadap diri sendiri. Apakah bagian terbesar dari rakyat Indonesia sudah cukup pendidikannya ? Para calon presiden sendiri mengemukakan betapa tertinggalnya bagian terbesar dari rakyat kita dalam bidang pendidikan yang dijadikan fokus dari platformnya. Berbicara soal pilkada langsung rakyat digambarkan sebagai yang sudah sangat kompeten menjadi pemilih yang sangat bertanggung jawab.

Melihat demikian banyaknya orang yang demikian luar biasa semangatnya untuk memasuki arena penyelenggaraan negara, kita patut tanya pada diri sendiri tentang apa motifnya ? Apakah mereka demikian semangat, demikian ngotot, bersedia mengeluarkan uang, bersedia menggadaikan harta bendanya untuk menjadi anggota legislatif atau eksekutif itu karena demikian luar biasa cintanya kepada bangsa, ataukah sudah membayangkan harta dengan jumlah berapa serta ketenaran dan kenikmatan apa yang akan diperolehnya ?

Saya berhenti menulis ini karena Kompas tanggal 22 September 2014 baru datang dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperolh kredit dari berbagai bank.” Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan. (kwikkiangie/pahamilah)



________________________
*)Kwik Kian Gie lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1935; adalah seorang ahli ekonomi dan politikus Indonesia keturunan Tionghoa. menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi (1999 - 2000) dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas (2001 - 2004). Selain itu, sebagai bentuk pengabdian di dunia pendidikan Indonesia, ia mendirikan Institut Bisnis dan Informatika Indonesia


Pandangan Kwik Kian Gie: Kontroversi Tentang Pilkada

 
Mantan Menko Ekuin Kwik Kian Giea


KONTROVERSI TENTANG PILKADA

*Oleh Kwik Kian Gie

Sejak Indonesia berdiri sampai tahun 2007 tidak ada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) secara langsung oleh rakyat. Dalam era Reformasi terbit UU Nomor 22 Tahun 2007 yang menentukan bahwa Kepala Daerah pada semua jenjang, yaitu Gubernur, Walikota dan Bupati dipilih secara langsung oleh rakyat.

Di tahun 2011 Pemerintahan SBY mengajukan RUU yang mengembalikan Pilkada kepada DPRD. Secara implisit berarti bahwa setelah 5 tahun memerintah dengan sistem Pilkada langsung dirasakan bahwa Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya dibandingkan dengan Pilkada oleh DPRD.

Yang sangat aneh, ketika RUU diterima oleh DPR tidak ada yang mempermasalahkan. Namun ketika fraksi-fraksi di DPR terkelompok ke dalam hanya dua koalisi saja, yaitu Koalisi Merah Putih yang menguasai sekitar 70% suara dan Koalisi Gotong Royong yang menguasai sisanya, meledaklah perdebatan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja tentang pro dan kontra Pilkada melalui DPRD.

Dalam perdebatan yang demikian gemuruhnya tidak ada yang mengemukakan kenyataan ini. Yang dikemukakan oleh yang setuju maupun yang tidak setuju yalah aspek korupsinya.

Dalam pertimbangannya RUU menggunakan dua argumentasi, yaitu untuk “Memperkuat sifat integral dalam NKRI” dan “Sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.” Secara lisan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengemukakan bahwa Pilkada langsung oleh rakyat telah mengakibatkan demikian meluas dan besarnya korupsi sampai pada para Kepala Daerah sendiri, sehingga 330 Kepala Daerah telah masuk penjara atau menjadi tersangka.

Yang pro Pilkada langsung mengatakan bahwa para anggota DPRD akan minta sogokan dari calon Kepala Daerah supaya dipilih. Yang pro Pilkada melalui DPRD mengatakan bahwa kenyataannya, para Kepala Daerah itu harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa terpilih. Seperti telah dikemukakan, pendirian pemerintah yang dinyatakan oleh Mendagri juga mengemukakan betapa hebatnya korupsi dalam Pilkada langsung.

Korupsi atau lengkapnya KKN tidak hanya terjadi pada Pilkada. KKN terjadi pada semua aspek kehidupan bangsa kita sejak lama, yang semakin lama semakin mendarah daging. Bahkan telah merasuk ke dalam otak yang oleh para filosof Yunani kuno disebut sudah terjadi corrupted mind pada elit bangsa kita.

Maka kalau aspek KKN yang dijadikan argumen, yang pro Pilkada langsung maupun yang pro Pilkada melalui DPRD sama-sama kuatnya atau sama-sama lemahnya. Marilah kita telaah hal ini tanpa menggunakan faktor KKN, karena kalau terus menggunakan faktor KKN sebagai argumentasi, kita disuguhi oleh tontonan para maling yang teriak maling.

Kita mulai dari pertimbangan yang tertuang dalam RUU. Yang pertama, yaitu Pilkada melalui DPRD memperkuat sifat integral dalam NKRI memang benar. Beberapa  daerah sangat menonjol kemajuannya dan kesejahteraan rakyatnya karena mempunyai Kepala Daerah yang memang sangat kompeten. Tetapi justru penonjolan kemampuan sangat sedikit daerah inilah yang membuat terjadinya kesenjangan yang besar antara daerah-daerah yang bagus dan daerah-daerah yang masih saja berantakan. Cepat atau lambat, hal yang demikian jelas akan memperlemah NKRI. Ketika saya menjabat sebagai Kepala Bappenas ada beberapa Kepala Daerah yang minta alokasi dana lebih besar. Saya menolaknya, karena segala sesuatunya telah dipertimbangkan dengan cermat. Beberapa Kepala Daerah langsung menjawab :”Pak, apakah kami perlu menyatakan diri ingin merdeka, memisahkan diri dari NKRI supaya bisa mendapatkan alokasi anggaran yang kami minta ?”

Pada waktu yang sama sangat banyak daerah yang minta agar Bappenas memberikan pendidikan dn pelatihan kepada para perencana daerah. Sampai sekarang yang terjadi yalah atau anggaran daerah dipakai buat yang bukan-bukan, atau banyak sisa anggaran. Ahok kelebihan anggaran yang mulai membagi-bagikan uang kepada para kepala daerah sekitarnya.

Argumentasi lainnya yang tertuang dalam RUU yalah “sangat mahal, yang tidak sebanding dengan manfaat yang diperolehnya.” Apa benar argumentasi ini ? Tidak mutlak, karena nyatanya – seperti yang telah disebutkan tadi – memang ada beberapa Kepala Daerah yang sangat kompeten. Bagian terbesar dari daerah-daerah tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, kita saksikan sendiri di berbagai televisi betapa banyak dan memalukannya tingkah lakunya Kepala Daerah dalam KKN maupun dalam bidang demoralisasi.

Kita ambil satu contoh yang menonjol adanya kesenjangan sangat besar antara penolakan terhadap Pilkada melalui DPRD dan prestasi dari Kepala Daerah yang paling keras menolak, yaitu pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jokowi- Ahok. Dalam Suara Pembaruan tanggal 17 September 2014 halaman A 23 diberitakan bahwa “hingga pertengahan kedua September 2014 penyerapan APBD hanya 30 %. Diperkirakan penyerapan anggaran untuk pembangunan infra struktur sangat minim, yaitu hanya 0,01 % dari total nilai APBD DKI 2014 sebesar Rp. 72,9 trilyun. “ Selanjutnya dikatakan “Bahkan bila dilihat dari nilai penyerapan anggaran yang baru mencapai 30% atau sebesar Rp. 21,87 trilyun, penyerapan anggaran untuk pembangunan hanya 0,04%. Sedangkan sisanya 29,96% merupakan penyerapan anggaran dari gaji pegawai, alat tulis kantor (ATK) dan TALI (telpon, air, listrik, dan internet).
Jadi yang menolak luar biasa dahsyatnya, yaitu Jokowi-Ahok hanya mampu membangun infra struktur sebesar 0,01% dari anggaran yang disediakan, dan hanya 0,04% dari anggaran pembangunan yang disediakan.

Dalam bidang pembangunan MRT, Gubernur yang lama Fauzi Bowo yang memulai dengan pemberitaan sangat besar. Tetapi dihentikan oleh Gubernur Jokowi dengan alasan terlampau mahal. Setelah 3 bulan dilanjutkan lagi dengan Gubernur Jokowi memegang gambar lokasi awal pembangunan MRT di bunderan HI, seolah-olah dia yang memulai. Todal biaya sama sekali tidak kurang, bahkan mungkin ketambahan bunga utang untuk 3 bulan lamanya.

Tentang legitimasi juga sangat aneh dengan pemilihan pemimpin penyelenggara dari berbagai jenjang secara langsung oleh rakyat. Bupati, Walikota, Gubernur, Anggota DPR, anggota DPRD dan Presiden sama semua legitimasinya, sama semua penyandang voc populi vox dei, sama semua menyuarakan suara Tuhan, tetapi pendapatnya dan kepentingannya bisa sangat berseberangan luar biasa.

Hak rakyat yang dirampas

Argumen bahwa Pilkada melalui DPRD merampas hak rakyat sangat banyak dipakai oleh yang pro Pilkada langsung. Marilah kita berpikir jernih dan jujur. Rakyat yang mana ? Jumlah rakyat yang ikut Pilpres adalah 70 juta untuk Jokowi dan 62 juta suara untuk Prabowo. Jokwi memperoleh 53% suara rakyat. Dari perbandingan angka ini saja tidak dapat dikatakan seluruh rakyat merasa haknya dirampas. 62 juta suara bukannya nothing.

Dalam poster kampanye gambar yang dijadikan template yalah Bung Karno, Megawati dan Jokowi. Pikiran Bung Karno tentang Demokrasi sangat jelas, yaitu Demokrasi Perwakilan, dan itupun ditambah dengan asas pengambilan keputusan yang tidak didasarkan atas pemungutan suara melulu. Dia menggunakan istilah diktatur mayoritas dan tirani minoritas untuk mempertegas pendiriannya. Dia juga selalu mengemukakan apakah 50% plus satu itu Demokrasi ? Apakah 50% plus satu itu boleh dikatakan sama dengan “Rakyat” ?

Jumlah rakyat yang menggunakan hak pilihnya termasuk yang tertinggi di dunia. Apakah penggunaan hak politiknya yang berbondong-bondong itu karena sangat sadar politik ataukah datang untuk menerima uang dari para calon legislatif maupun eksekutif yang dipilih secara langsung ?

Kalau 5 tahun yang lalu uang yang harus dikeluarkan untuk menjadi anggota DPR rata-rata sekitar Rp. 300 juta, di tahun 2014 sudah menjadi Rp. 3 milyar.

Demokrasi, walaupun sistem perwakilan membutuhkan rakyat yang sudah cukup pendidikan dan pengetahuannya. Marilah kita sangat jujur terhadap diri sendiri. Apakah bagian terbesar dari rakyat Indonesia sudah cukup pendidikannya ? Para calon presiden sendiri mengemukakan betapa tertinggalnya bagian terbesar dari rakyat kita dalam bidang pendidikan yang dijadikan fokus dari platformnya. Berbicara soal pilkada langsung rakyat digambarkan sebagai yang sudah sangat kompeten menjadi pemilih yang sangat bertanggung jawab.

Melihat demikian banyaknya orang yang demikian luar biasa semangatnya untuk memasuki arena penyelenggaraan negara, kita patut tanya pada diri sendiri tentang apa motifnya ? Apakah mereka demikian semangat, demikian ngotot, bersedia mengeluarkan uang, bersedia menggadaikan harta bendanya untuk menjadi anggota legislatif atau eksekutif itu karena demikian luar biasa cintanya kepada bangsa, ataukah sudah membayangkan harta dengan jumlah berapa serta ketenaran dan kenikmatan apa yang akan diperolehnya ?

Saya berhenti menulis ini karena Kompas tanggal 22 September 2014 baru datang dengan head line “Wakil Rakyat di Daerah Tergadai”. Isinya bahwa surat pelantikan sebagai anggota DPRD sudah laku dan sudah lazim dijadikan agunan untuk memperolh kredit dari berbagai bank.” Satu bukti lagi bahwa Pilkada langsung berakibat sepert ini yang sangat memalukan. (kwikkiangie/pahamilah)



________________________
*)Kwik Kian Gie lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1935; adalah seorang ahli ekonomi dan politikus Indonesia keturunan Tionghoa. menjabat sebagai Menteri Koordinator Ekonomi (1999 - 2000) dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua Bappenas (2001 - 2004). Selain itu, sebagai bentuk pengabdian di dunia pendidikan Indonesia, ia mendirikan Institut Bisnis dan Informatika Indonesia


 Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. - Pakar Hukum Tata Negara

PANDANGAN PROF. YUSRIL IHZA MAHENDRA MENGENAI
PILKADA LANGSUNG ATAU MELALUI DPRD.

Rezim pemilu di dalam UUD 45 Pasal 22E ayat 2 hanya ada 4 jenis pemilu. Pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, pemilu untuk memilih anggota DPD, pemilu untuk memilih anggota DPRD, dan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pilkada menurut Undang-Undang Dasar 1945 tidak termasuk rezim pemilihan umum.

Kalau otonomi itu diberikan kepada Propinsi, maka pemilihan bupati dan walikota memang bisa diserahkan kepada DPRD. Kalau kita merujuk pasal 18 UUD 45, dikatakan, Gubernur-Wakil gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota itu dipilih dengan cara demokratis. Demokratis itu bisa langsung bisa tidak langsung. jadi itu hanya soal pilihan.

Kalau saya lihat manfaat - Mudaratnya sekarang, bagi saya lebih banyak manfaatnya kalau di pilih oleh DPRD kembali. sebab sistem yang kita bangun, pilihan langsung seperti sekarang itu membuka peluang untuk terjadinya korupsi besar-besaran. karena biaya kandidat untuk kampanye itu besar sekali! dan itu sebagian besar digunakan untuk memberi uang kepada para pemilih. darimana mereka uang-uangnya? yah memberi lisensi Izin tambang, izin kebun dan segala macam. akhirnya korupsi terjadi dimana-mana. jadi Korupsi menurut saya hal sistem. Korupsi itu masalah sistem juga. jadi sifat yang kontradiksi.

kita anti korupsi tapi kita buka Pilkada-pilkada seperti itu yang membuka peluang terjadinya korupsi. jadi harus kita habisi korupsi itu dengan sistem, bukan dengan nangkapin orang. Tangkapin orang setiap hari, mau 1000 KPK, mau bikin 1000 penjara tidak akan selesai permasalahannya selama sistem tidak kita benahi.

Begini, Kita semua mengatakan kita ini anti korupsi mau berantas Korupsi, salah satu contoh kita laksanakan Pilkada-pilkada langsung seperti sekarang ini. bukankah Pilkada-Pilkada itu membuka peluang lebar-lebar untuk terjadinya Korupsi? jadikan kita kontradiksi! itu contohnya

Pada waktu mengamandemen UUD 45 tahun 1999 itu, saya tidak terlibat terlalu banyak dalam amandemen itu. saya jadi anggota DPR cuma 23 hari pada waktu tahun 1999. mulanya saya duduk didalam Panitia adhoc MPR tentang perubahan UUD 45, tapi karena saya dilantik menjadi menteri kehakiman maka tugas saya digantikan oleh saudara Hamdan Zoelva yang sekarang ini Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (Sekarang Ketua MK) Hamdan lah yang meneruskan, menggantikan saya membahas perubahan UUD 45 itu. bunyi UUD tegas, Pasangan calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh Partai Politik peserta pemilihan Umum. pada waktu itu yang ada dikepala kita para anggota DPR dan MPR, yang dimaksud dengan Pemilihan umum itu ialah Pemilihan umum Legislatif yang 5 tahun sekali yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1971 dibawah pemerintahan orde baru dulu. tidak pernah kita membayangkan adanya Pemilihan Presiden di sebut sebagai Pemilihan Umum, tidak pernah terbayangkan dalam pikiran kita Pemilihan Kepala Daerah disebut dengan Pemilu kepala Daerah.

Sekarang ini sudah berganti, dulu disebut Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah. Sekarang disebut Pemilu Kada, Pemilu Kepala Daerah. jadi resminya misalnya di kendari Pemilu walikota dan wakil walikota Kendari, Pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur propinsi Sulawesi Tenggara.

Jadi yang ada dalam pikiran kita waktu itu Pemilihan umum itu adalah Pemilihan umum legislatif 5 tahun sekali yang dilaksanakan lebih 30 tahun dimasa Pemerintahan Orde Baru nya Pak Harto. jadi ketika dikatakan pasangan Presiden dan wakil Presiden dicalonkan oleh partai Politik Peserta Pemilihan Umum, yang kita bayangkan itu adalah Peserta pemilihan umum Legislatif. dan hanya itulah partai Politik itu. partai tidak ikut dalam pemilihan DPD, Partai tidak ikut dalam Pemilihan daerah, partai tidak ikut dalam pemilihan kepala desa, karena yang bertarung adalah Individu bukan partai. tapi yang bertarung dalam Pemilihan umum dimana Partai secara langsung terlibat hanya dalam pemilu legislatif.

Terkait dengan pemilihan kepala daerah, pemilihan kepala daerah ini amandemen pasal 18. pasal 18 itu hanya mengatakan Gubernur, Bupati dan walikota dipilih melalui cara-cara yang DEMOKRATIS. cara-cara yang demokratis bisa multitafsir, tergantung bagaimana UU menterjemahkannya. mula mula pemilihan oleh DPRD, belakangan Pemilihan langsung.

Saya dari awal sudah tidak setuju dengan pemilihan langsung, tapi sudahlah jalan terus aja. akhirnya diadakan Pemilihan langsung Gubernur, Bupati dan walikota. itu yang terjadi sekarang. Dan ketika diadakan Pemilihan langsung, maka SENGKETA terjadi dimana-mana.

Apakah tidak bisa UU pemilihan Kepala daerah itu mengubah pemilihan cukup oleh DPRD? tidak melanggar UUD, karena UUD mengatakan dipilih secara DEMOKRATIS. Demokratis bisa LANGSUNG bisa TIDAK LANGSUNG !

Jadi kita mengamati apa yang terjadi sejak Pemilukada (Pemilu Kepala daerah) langsung ini, rakyat kelihatannya belum begitu siap menghadapi ini karena kabupaten dan kota itu kecil wilayahnya. orang saling kenal satu sama lain. kalau kabupaten atau kota itu kecil. orang saling kenal satu sama lain, kalau ini dukung si A, dukung si B dukung si C. orang itu tiap hari ketemu juaan dipasar, ketemu diwarung kopi- minum kopi dan itu menimbulkan satu ketegangan antara rakyat sesama rakyat pada level bawah. rakyat belum terlalu dewasa untuk beda politik secara pribadi tidak masalah. perbedaan politik bisa masuk ke wilayah Pribadi, wilayah keluarga, wilayah kampung. calon itu dari kampung ini asalnya,didukung. ternyata menang dari kampung lain, itu bisa jadi masalah antar 2 kampung.

Lalu kemudian merebak apa yang disebut dengan Money Politik. karena untuk membiayai pemilu, Pemilukada itu sangat besar! kadang-kadang untuk pemilihan bupati orang harus menyediakan 30-35 milyar. untuk biaya kampanye, biaya saksi, biaya segala macam termasuk kadang-kadang team sukses, saksi di TPS, korlap, segala macam sampai memberi uang kepada rakyat beli sembako beli segala macam. sebegitu besar biaya habis untuk pelaksanaan pilkada. Gaji bupati berapa? 6 Juta sebulan! kapan bupati itu akan mengembalikan modal untuk menjadi bupati itu? segala macam cara. akhirnya bupati yang kaya sumber daya alam dia akan beri izin-izin tambang, yang punya luas tanah dia akan beri izin-izin kebun kelapa sawit, kebun karet dan segala macam dikasihkan untuk biaya Pilkada kalau dia sebagai incumbent.

2 tahun menjelang Pemilukada gubernur Incumbent memberikan izin kepada penambangan timah dilaut, kasih izin nikel, kasih izin ini itu. kadang-kadang 1 lahan ada 10 macam izin dikeluarkan oleh bupati, walikota Incumbent. Negara rusak gara-gara Pilkada-pilkada ini.

lalu Pilkada itu kalau sengketa diserahkan kepada pengadilan tinggi, entah bagaimana setelah amandemen UU 32 2004 dengan UU 8 2008 kalau ngak salah, maka itu diserahkan ke Mahkamah Konstitusi. saya sendiri yang mendraft UU MK itu tidak bisa mikir bahwa MK itu akan diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa Pemilu kada. Hakim MK itu cuma 9 orang. Memang MK dinyatakan salah satu tugasnya adalah mengadili persengketaan Pemilihan Umum, sengketa Pemilu. Pemilu yang dimaksud disitu, Pemilu 5 tahun sekali. tetapi ketika Pilkada diubah menjadi Pemilukada, itu dianggap sebagai area dari Konstitusi maka dikasih ke MK.

Di MK itu hanya 9 Hakim harus memeriksa begitu banyak perkara Pilkada. tahun 2013 terdapat 178 Pemilukada diseluruh tanah air. 90% dibawa ke MK, berarti ada sekitar 160 perkara Pilkada yang dibawa ke MK, diputus oleh MK, kalau setahun ada 360 hari dipotong-potong hari kerja hari libur dan lain-lain kira-kira ada 300 hari, maka 2 hari sekali MK harus memutuskan 1 Perkara Pilkada. bagaimana bisa diharapkan pemeriksaan itu berjalan secara objektif, jujur, adil, tenang pertimbanganpun tidak mendalam. sidang 3 kali langsung diputus. dan akhirnya banyak sekali godaan-godaan, biaya sangat tinggi.

Bayangkan pemilukada kabupaten marauke, Pemilukada kabupaten Diae pecahan kabupaten jaya wijaya di papua, orang yang kalah pilkada itu harus membawa 30 saksi ke jakarta, membawa dokumen segala macam. berapa ongkosnya membawa orang 30 dari kabupaten Diae ke jakarta mereka jadi saksi menginap 1 minggu dijakarta. biaya besar sekali. lalu timbulah macam-macam kritik, saya di tanya sebagai advokat apa anda senang MK tangani Pilkada? ya senang! banyak rejeki.

Bolehkan kita kembalikan lagi pemilihan itu kepada DPRD? sah dari segi konstitusi tidak salah asal UU 32 2004 dan UU 8 tahun 2008 itu diamandemen. kalau terjadi sengketa siapa yang selesaikan saya sudah berikan masukan bahwa baiknya itu dikembalikan kepada Pengadilan tinggi tata usaha negara bukan pengadilan negeri. Pengadilan tinggi biasa-Pengadilan TUN,lebih relevan pengadilan TUN. karena itu keputusan pejabat tata usaha negara. tapi pengadilan tinggi TUN harus mengadili dalam sidang terbuka, bukan baca berkas kayak perkara banding tau-tau sudah ada putusan.

Pengalaman ketika membela Partai dalam sidang pengadilan tinggi tata usaha jakarta melawan KPU, terbuka sidang, fair, saksi dihadirkan. alat bukti dibuka disidang semua, akhirnya KPU dikalahkan. jadi dia selesai di pengadilan tinggi. kalau di sulawesi selatan ada 14 kabupaten, maka itu akan diputus oleh pengadilan tinggi TUN Makassar. selesai sampai disitu. jadi tidak usah dibawa kemana mana lagi. berpekara dekat dan mereka diawasi sama KY. MK malah tidak ada yang mengawasi, karena UU nya dibatalkan oleh MK sendiri.

Jadi kita kembalikan Pilkada itu pada DPRD lebih mudah kita mengawasi. misalnya kabupaten Konawe, Anggota DPR nya 30 orang, Kabupaten Kendari cuma 35 orang. lebih mudah kita awasi yang 35 orang itu daripada mengawasi rakyat sekabupaten. kalau mereka disuap tinggal di tangkap saja, daripada mengawasi orang ribuan. dan mungkin dengan cara itu juga maka akan ditemukan juga calon bupati dan walikota yang lebih berkualitas.

Sekarang ini siapa saja asal punya uang. Banyak Preman jadi bupati. Karena memang Pemilu itu memakan biaya besar dan rakyat baru mau datang Nyoblos itu umumnya kalau dikasih uang. kadang kadang mereka betul juga, saya bicara sama Nelayan, Pak minggu depan ada Pilkada, bapak bagaimana? Pak yusril dia bilang, saya kalau tidak melaut satu hari saya tidak makan. jadi saya tidak pergi melaut 1 hari siapa yang bisa ganti saya pergi melaut? itu barang 100 ribu 200 ribu baru saya tidak melaut, kalau tidak saya pergi melaut saya jadi golput.

Akhirnya Pilkada seperti itu, siapa banyak uang walau tidak semua, umumnya akan menang.

Kalau ditanya kepada saya, bagaimana ya? serahkan lagi kepada Pemilihan langsung? saya pikir silahkan. kalau kemudian ada sengketa, bawalah ke pengadilan tinggi TUN, Gubernur bawa aja ke Mahkamah Agung. tapi pemilihan umum yang 5 tahun sekali itu dan pemilihan Presiden biarlah itu menjadi area Mahkamah Konstitusi. dengan begitu Mahkamah konstitusi tidak terlalu sibuk dengan 9 hakim itu. biar dia fokus pada pengujian UU, putuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara, kemudian juga Pemilu. sekarang kalau anda pergi ke gedung MK, Gedung MK itu sudah kayak pasar. ada sengketa Pilkada masing-masing bawa pendukung. hari itu ada 3 sengketa Pilkada di adili, 1 pasangan bawa 100 ada 6 pasangan sudah 600 orang yang ada di Gedung MK. mau jalan saja sudah susah di gedung MK, karena sesak dimana-mana. Itulah yang terjadi... (logikaisme/pahamilah)


Pandangan Prof. Yusril Ihza Mahendra Mengenai Pilkada Langsung atau Melalui DPRD

 Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. - Pakar Hukum Tata Negara

PANDANGAN PROF. YUSRIL IHZA MAHENDRA MENGENAI
PILKADA LANGSUNG ATAU MELALUI DPRD.

Rezim pemilu di dalam UUD 45 Pasal 22E ayat 2 hanya ada 4 jenis pemilu. Pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR, pemilu untuk memilih anggota DPD, pemilu untuk memilih anggota DPRD, dan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pilkada menurut Undang-Undang Dasar 1945 tidak termasuk rezim pemilihan umum.

Kalau otonomi itu diberikan kepada Propinsi, maka pemilihan bupati dan walikota memang bisa diserahkan kepada DPRD. Kalau kita merujuk pasal 18 UUD 45, dikatakan, Gubernur-Wakil gubernur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota itu dipilih dengan cara demokratis. Demokratis itu bisa langsung bisa tidak langsung. jadi itu hanya soal pilihan.

Kalau saya lihat manfaat - Mudaratnya sekarang, bagi saya lebih banyak manfaatnya kalau di pilih oleh DPRD kembali. sebab sistem yang kita bangun, pilihan langsung seperti sekarang itu membuka peluang untuk terjadinya korupsi besar-besaran. karena biaya kandidat untuk kampanye itu besar sekali! dan itu sebagian besar digunakan untuk memberi uang kepada para pemilih. darimana mereka uang-uangnya? yah memberi lisensi Izin tambang, izin kebun dan segala macam. akhirnya korupsi terjadi dimana-mana. jadi Korupsi menurut saya hal sistem. Korupsi itu masalah sistem juga. jadi sifat yang kontradiksi.

kita anti korupsi tapi kita buka Pilkada-pilkada seperti itu yang membuka peluang terjadinya korupsi. jadi harus kita habisi korupsi itu dengan sistem, bukan dengan nangkapin orang. Tangkapin orang setiap hari, mau 1000 KPK, mau bikin 1000 penjara tidak akan selesai permasalahannya selama sistem tidak kita benahi.

Begini, Kita semua mengatakan kita ini anti korupsi mau berantas Korupsi, salah satu contoh kita laksanakan Pilkada-pilkada langsung seperti sekarang ini. bukankah Pilkada-Pilkada itu membuka peluang lebar-lebar untuk terjadinya Korupsi? jadikan kita kontradiksi! itu contohnya

Pada waktu mengamandemen UUD 45 tahun 1999 itu, saya tidak terlibat terlalu banyak dalam amandemen itu. saya jadi anggota DPR cuma 23 hari pada waktu tahun 1999. mulanya saya duduk didalam Panitia adhoc MPR tentang perubahan UUD 45, tapi karena saya dilantik menjadi menteri kehakiman maka tugas saya digantikan oleh saudara Hamdan Zoelva yang sekarang ini Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (Sekarang Ketua MK) Hamdan lah yang meneruskan, menggantikan saya membahas perubahan UUD 45 itu. bunyi UUD tegas, Pasangan calon presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh Partai Politik peserta pemilihan Umum. pada waktu itu yang ada dikepala kita para anggota DPR dan MPR, yang dimaksud dengan Pemilihan umum itu ialah Pemilihan umum Legislatif yang 5 tahun sekali yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1971 dibawah pemerintahan orde baru dulu. tidak pernah kita membayangkan adanya Pemilihan Presiden di sebut sebagai Pemilihan Umum, tidak pernah terbayangkan dalam pikiran kita Pemilihan Kepala Daerah disebut dengan Pemilu kepala Daerah.

Sekarang ini sudah berganti, dulu disebut Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah. Sekarang disebut Pemilu Kada, Pemilu Kepala Daerah. jadi resminya misalnya di kendari Pemilu walikota dan wakil walikota Kendari, Pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur propinsi Sulawesi Tenggara.

Jadi yang ada dalam pikiran kita waktu itu Pemilihan umum itu adalah Pemilihan umum legislatif 5 tahun sekali yang dilaksanakan lebih 30 tahun dimasa Pemerintahan Orde Baru nya Pak Harto. jadi ketika dikatakan pasangan Presiden dan wakil Presiden dicalonkan oleh partai Politik Peserta Pemilihan Umum, yang kita bayangkan itu adalah Peserta pemilihan umum Legislatif. dan hanya itulah partai Politik itu. partai tidak ikut dalam pemilihan DPD, Partai tidak ikut dalam Pemilihan daerah, partai tidak ikut dalam pemilihan kepala desa, karena yang bertarung adalah Individu bukan partai. tapi yang bertarung dalam Pemilihan umum dimana Partai secara langsung terlibat hanya dalam pemilu legislatif.

Terkait dengan pemilihan kepala daerah, pemilihan kepala daerah ini amandemen pasal 18. pasal 18 itu hanya mengatakan Gubernur, Bupati dan walikota dipilih melalui cara-cara yang DEMOKRATIS. cara-cara yang demokratis bisa multitafsir, tergantung bagaimana UU menterjemahkannya. mula mula pemilihan oleh DPRD, belakangan Pemilihan langsung.

Saya dari awal sudah tidak setuju dengan pemilihan langsung, tapi sudahlah jalan terus aja. akhirnya diadakan Pemilihan langsung Gubernur, Bupati dan walikota. itu yang terjadi sekarang. Dan ketika diadakan Pemilihan langsung, maka SENGKETA terjadi dimana-mana.

Apakah tidak bisa UU pemilihan Kepala daerah itu mengubah pemilihan cukup oleh DPRD? tidak melanggar UUD, karena UUD mengatakan dipilih secara DEMOKRATIS. Demokratis bisa LANGSUNG bisa TIDAK LANGSUNG !

Jadi kita mengamati apa yang terjadi sejak Pemilukada (Pemilu Kepala daerah) langsung ini, rakyat kelihatannya belum begitu siap menghadapi ini karena kabupaten dan kota itu kecil wilayahnya. orang saling kenal satu sama lain. kalau kabupaten atau kota itu kecil. orang saling kenal satu sama lain, kalau ini dukung si A, dukung si B dukung si C. orang itu tiap hari ketemu juaan dipasar, ketemu diwarung kopi- minum kopi dan itu menimbulkan satu ketegangan antara rakyat sesama rakyat pada level bawah. rakyat belum terlalu dewasa untuk beda politik secara pribadi tidak masalah. perbedaan politik bisa masuk ke wilayah Pribadi, wilayah keluarga, wilayah kampung. calon itu dari kampung ini asalnya,didukung. ternyata menang dari kampung lain, itu bisa jadi masalah antar 2 kampung.

Lalu kemudian merebak apa yang disebut dengan Money Politik. karena untuk membiayai pemilu, Pemilukada itu sangat besar! kadang-kadang untuk pemilihan bupati orang harus menyediakan 30-35 milyar. untuk biaya kampanye, biaya saksi, biaya segala macam termasuk kadang-kadang team sukses, saksi di TPS, korlap, segala macam sampai memberi uang kepada rakyat beli sembako beli segala macam. sebegitu besar biaya habis untuk pelaksanaan pilkada. Gaji bupati berapa? 6 Juta sebulan! kapan bupati itu akan mengembalikan modal untuk menjadi bupati itu? segala macam cara. akhirnya bupati yang kaya sumber daya alam dia akan beri izin-izin tambang, yang punya luas tanah dia akan beri izin-izin kebun kelapa sawit, kebun karet dan segala macam dikasihkan untuk biaya Pilkada kalau dia sebagai incumbent.

2 tahun menjelang Pemilukada gubernur Incumbent memberikan izin kepada penambangan timah dilaut, kasih izin nikel, kasih izin ini itu. kadang-kadang 1 lahan ada 10 macam izin dikeluarkan oleh bupati, walikota Incumbent. Negara rusak gara-gara Pilkada-pilkada ini.

lalu Pilkada itu kalau sengketa diserahkan kepada pengadilan tinggi, entah bagaimana setelah amandemen UU 32 2004 dengan UU 8 2008 kalau ngak salah, maka itu diserahkan ke Mahkamah Konstitusi. saya sendiri yang mendraft UU MK itu tidak bisa mikir bahwa MK itu akan diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa Pemilu kada. Hakim MK itu cuma 9 orang. Memang MK dinyatakan salah satu tugasnya adalah mengadili persengketaan Pemilihan Umum, sengketa Pemilu. Pemilu yang dimaksud disitu, Pemilu 5 tahun sekali. tetapi ketika Pilkada diubah menjadi Pemilukada, itu dianggap sebagai area dari Konstitusi maka dikasih ke MK.

Di MK itu hanya 9 Hakim harus memeriksa begitu banyak perkara Pilkada. tahun 2013 terdapat 178 Pemilukada diseluruh tanah air. 90% dibawa ke MK, berarti ada sekitar 160 perkara Pilkada yang dibawa ke MK, diputus oleh MK, kalau setahun ada 360 hari dipotong-potong hari kerja hari libur dan lain-lain kira-kira ada 300 hari, maka 2 hari sekali MK harus memutuskan 1 Perkara Pilkada. bagaimana bisa diharapkan pemeriksaan itu berjalan secara objektif, jujur, adil, tenang pertimbanganpun tidak mendalam. sidang 3 kali langsung diputus. dan akhirnya banyak sekali godaan-godaan, biaya sangat tinggi.

Bayangkan pemilukada kabupaten marauke, Pemilukada kabupaten Diae pecahan kabupaten jaya wijaya di papua, orang yang kalah pilkada itu harus membawa 30 saksi ke jakarta, membawa dokumen segala macam. berapa ongkosnya membawa orang 30 dari kabupaten Diae ke jakarta mereka jadi saksi menginap 1 minggu dijakarta. biaya besar sekali. lalu timbulah macam-macam kritik, saya di tanya sebagai advokat apa anda senang MK tangani Pilkada? ya senang! banyak rejeki.

Bolehkan kita kembalikan lagi pemilihan itu kepada DPRD? sah dari segi konstitusi tidak salah asal UU 32 2004 dan UU 8 tahun 2008 itu diamandemen. kalau terjadi sengketa siapa yang selesaikan saya sudah berikan masukan bahwa baiknya itu dikembalikan kepada Pengadilan tinggi tata usaha negara bukan pengadilan negeri. Pengadilan tinggi biasa-Pengadilan TUN,lebih relevan pengadilan TUN. karena itu keputusan pejabat tata usaha negara. tapi pengadilan tinggi TUN harus mengadili dalam sidang terbuka, bukan baca berkas kayak perkara banding tau-tau sudah ada putusan.

Pengalaman ketika membela Partai dalam sidang pengadilan tinggi tata usaha jakarta melawan KPU, terbuka sidang, fair, saksi dihadirkan. alat bukti dibuka disidang semua, akhirnya KPU dikalahkan. jadi dia selesai di pengadilan tinggi. kalau di sulawesi selatan ada 14 kabupaten, maka itu akan diputus oleh pengadilan tinggi TUN Makassar. selesai sampai disitu. jadi tidak usah dibawa kemana mana lagi. berpekara dekat dan mereka diawasi sama KY. MK malah tidak ada yang mengawasi, karena UU nya dibatalkan oleh MK sendiri.

Jadi kita kembalikan Pilkada itu pada DPRD lebih mudah kita mengawasi. misalnya kabupaten Konawe, Anggota DPR nya 30 orang, Kabupaten Kendari cuma 35 orang. lebih mudah kita awasi yang 35 orang itu daripada mengawasi rakyat sekabupaten. kalau mereka disuap tinggal di tangkap saja, daripada mengawasi orang ribuan. dan mungkin dengan cara itu juga maka akan ditemukan juga calon bupati dan walikota yang lebih berkualitas.

Sekarang ini siapa saja asal punya uang. Banyak Preman jadi bupati. Karena memang Pemilu itu memakan biaya besar dan rakyat baru mau datang Nyoblos itu umumnya kalau dikasih uang. kadang kadang mereka betul juga, saya bicara sama Nelayan, Pak minggu depan ada Pilkada, bapak bagaimana? Pak yusril dia bilang, saya kalau tidak melaut satu hari saya tidak makan. jadi saya tidak pergi melaut 1 hari siapa yang bisa ganti saya pergi melaut? itu barang 100 ribu 200 ribu baru saya tidak melaut, kalau tidak saya pergi melaut saya jadi golput.

Akhirnya Pilkada seperti itu, siapa banyak uang walau tidak semua, umumnya akan menang.

Kalau ditanya kepada saya, bagaimana ya? serahkan lagi kepada Pemilihan langsung? saya pikir silahkan. kalau kemudian ada sengketa, bawalah ke pengadilan tinggi TUN, Gubernur bawa aja ke Mahkamah Agung. tapi pemilihan umum yang 5 tahun sekali itu dan pemilihan Presiden biarlah itu menjadi area Mahkamah Konstitusi. dengan begitu Mahkamah konstitusi tidak terlalu sibuk dengan 9 hakim itu. biar dia fokus pada pengujian UU, putuskan sengketa kewenangan antar lembaga negara, kemudian juga Pemilu. sekarang kalau anda pergi ke gedung MK, Gedung MK itu sudah kayak pasar. ada sengketa Pilkada masing-masing bawa pendukung. hari itu ada 3 sengketa Pilkada di adili, 1 pasangan bawa 100 ada 6 pasangan sudah 600 orang yang ada di Gedung MK. mau jalan saja sudah susah di gedung MK, karena sesak dimana-mana. Itulah yang terjadi... (logikaisme/pahamilah)