middle ad
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Indonesia pernah mencapai kemajuan dalam hal teknologi roket. Bahkan era tahun 1960-an, Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang berhasil meluncurkan roket buatan sendiri yang bernama Kartika 1.

Meski saat ini jika berbicara mengenai teknologi pengembangan rudal dan roket, Indonesia terkesan jauh tertinggal, namun Indonesia pernah menjadi negara yang sukses mengembangkan roket. Pengembangan teknologi roket di Indonesia mulai maju di awal tahun 1960-an dengan dibantu oleh Uni Soviet.

Hingga pada tanggal 14 Agustus 1964, Indonesia akhirnya berhasil meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat 220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Peluncuran ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang.

Setelah itu juga perkembangan roket dan rudal semakin semarak di Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika dua dengan berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Kemudian Indonesia juga membeli berbagai rudal Surfance to Air Missile (SAM) dari Uni Soviet.

Namun sayang, setelah orde lama jatuh, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era orde baru, dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bukan hanya di Asia namun di dunia.

Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km (inilah/pahamilah)

Pahamilah Rudal Kartika 1, Kebanggaan Indonesia Era Sukarno

Indonesia pernah mencapai kemajuan dalam hal teknologi roket. Bahkan era tahun 1960-an, Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang berhasil meluncurkan roket buatan sendiri yang bernama Kartika 1.

Meski saat ini jika berbicara mengenai teknologi pengembangan rudal dan roket, Indonesia terkesan jauh tertinggal, namun Indonesia pernah menjadi negara yang sukses mengembangkan roket. Pengembangan teknologi roket di Indonesia mulai maju di awal tahun 1960-an dengan dibantu oleh Uni Soviet.

Hingga pada tanggal 14 Agustus 1964, Indonesia akhirnya berhasil meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat 220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Peluncuran ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang.

Setelah itu juga perkembangan roket dan rudal semakin semarak di Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika dua dengan berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Kemudian Indonesia juga membeli berbagai rudal Surfance to Air Missile (SAM) dari Uni Soviet.

Namun sayang, setelah orde lama jatuh, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era orde baru, dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bukan hanya di Asia namun di dunia.

Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km (inilah/pahamilah)
Oleh: Hendri F. Isnaeni


Kebutuhan mushaf Alquran di Indonesia masih belum terpenuhi. Apalagi pada bulan Ramadan, permintaan meningkat 20 persen dari sekira 570 ribu Alquran yang dicetak per bulan. Umat Islam yakin bahwa Ramadan dianggap sebagai waktu yang tepat untuk berbuat baik dan bersedakah, salah satunya dengan membagikan Alquran.

Menurut data Kementerian Agama, saat ini jumlah umat Islam di Indonesia sekira 180 juta jiwa. Dengan asumsi setiap kepala keluarga minimal satu Alquran, dibutuhkan sedikitnya 36 juta eksemplar per tahun. Sementara produksi Alquran oleh seratus penerbit yang tergabung dalam Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia (APQI) hanya mampu memenuhi 20 juta eksemplar per tahun. Begitu pula Lembaga Percetakan Alquran Kementerian Agama, hanya berkapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun.

Sejarah percetakan Alquran di Indonesia tak dapat dilepaskan dari Jepang. Menurut sejarawan Harry J. Benda, ketika akhir pemerintahan Jepang berada di pelupuk mata, penguasa Jepang mendukung dan memenuhi tuntutan umat Islam. Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer) lewat Maklumat No. 22 tanggal 29 April 1945, mengumumkan bahwa mulai 1 Mei 1945 hari Jumat adalah hari libur separuh hari bagi semua kantor pemerintah. Pada 8 Juli 1945, Jepang merestui pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Gondangdia, Jakarta, yang diusulkan Masyumi –kelak menjadi Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri.

Selain itu, “penguasa Jepang menciptakan sejarah Islam yang jauh lebih penting lagi dengan mencetak Alquran untuk pertama kalinya di bumi Indonesia, di Jakarta,” tulis Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit. 

Jepang berjanji mencetak Alquran sejak awal September 1944. Namun baru terealisasi pada 11 Juni 1945.
“Untuk pertama kali sejak Balatentara Dai Nippon mendarat di tanah Jawa kini dicetak kitab suci Alquran atas usaha Masyumi, sedang kertasnya diterima sebagai hadiah dari pemerintah Jepang,” tulis Soeara Asia, 14 Desember 1944. “Demikianlah untuk membereskan urusan percetakan ini, baru-baru ini wakil-wakil Masyumi dari Jakarta telah berkunjung ke Cirebon guna berunding dengan tuan Ali Afiff dan tuan A. Kodir Afiff, keduanya pemimpin percetakan ‘Almirsjah’ di kota Cirebon.”

Ali Afiff juga dikenal sebagai pedagang eceran buku-buku agama Islam di Cirebon. Dia adalah ayah dari Saleh Afiff, yang menjabat menteri pada masa pemerintahan Soeharto.

Hasil perundingan: percetakan Almirsjah akan mencetak 100 ribu kitab Alquran dengan harga 47 sen sebuah. “…Tanggal 11 Juni, pemerintah mulai melangsungkan pencetakan Alquran. Upacara pencetakan di hadiri oleh [...] pemuka-pemuka Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi di antaranya K.H. A. Wahid Hasjim, A.K. Muzakkir, H. Djunaedi, M. Zaim Djambek. Selanjutnya hadir pula Abdullah bin Afiff dari Cirebon yang akan memimpin pencetakan itu,” tulis Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

Lebih dahulu, M. Zain Djambek dan K.H. A. Wahid Hasjim menerangkan, bahwa tindakan ini adalah suatu bukti kerja sama antara pemerintah Jepang dan umat Islam. “Hal ini tentu akan disambut dengan gembira oleh segenap rakyat karena Alquran adalah suatu barang yang amat penting dalam penghidupan umat Muslimin,” lanjut Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

“Pada tanggal 28 Agustus 1945, sebagian Alquran yang telah selesai dicetak, sudah pula dibagi-bagikan oleh Panitia Pencetak Alquran kepada masjid-masjid dan imam-imam di seluruh Jakarta Tokubetu-Si (Kota Praja Istimewa),” tulis Sinar Baroe, 29 Agustus 1945. Alquran juga akan bagikan kepada pesantren dan sekolah Islam di Pulau Jawa.

Di Sumatra, pemerintah Jepang juga menghadiahkan kertas untuk mencetak Alquran pada peringatan hari “Sumatera Baroe” serta sebagai bentuk terima kasih atas kerja sama kaum Muslimin dengan pemerintah. “Sumatra Saiko Sikikan (Panglima Balatentara Jepang di Sumatra) telah menghadiahkan sejumlah kertas kepada kaum Muslimin untuk mencetak 1.000 jilid kitab suci Alquran,” tulis Soeara Asia, 11 April 1945.
Upacara penyerahan hadiah itu dilangsungkan pada 27 Maret 1945, dihadiri Gunseikan dan Somubuco (Kepala Departemen Urusan Umum). Sedangkan dari pemuka dan alim ulama hadir Syekh Djamil Djambek, Hadji Siradjuddin Abas, dan Sutan Mansur.

Keterlibatan Jepang dalam percetakan Alquran kembali terjadi limabelas tahun kemudian, saat perundingan pampasan perang. Pada pertengahan 1951, Amerika Serikat memprakarsai Konferensi Perdamaian San Francisco untuk merundingkan perjanjian damai dan pampasan antara Sekutu dengan Jepang. Konferensi Nihon-koku tono Heiwa-Jōyaku ini menawarkan kepada Jepang kesempatan untuk meraih kembali posisinya di kalangan masyarakat internasional. Sebagai bagian dari hasil konferensi, pada 20 Januari 1958 perjanjian pampasan ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Fujiyama dan Menteri Luar Negeri Subandrio. Perjanjian itu menetapkan bahwa Jepang akan membayar US$223,080 juta selama duabelas tahun dengan cicilan US$20 juta setiap tahun dalam bentuk barang modal dan jasa; menghapuskan utang niaga sebesar US$176,920 juta, dan memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400 juta.

Menurut profesor Akademi Pertahanan Nasional Jepang, Masashi Nishihara, perjanjian pampasan perang terdiri atas daftar enam kategori: transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan. Program ini meliputi hampir semua industri dan satu daftar tambahan berisi 66 kategori spesifik lainnya untuk “dipertimbangkan” agar mendapat dana pampasan. “Ini meliputi suplai medis, pencetakan Alquran, dan perlengkapan astronomis,” tulis Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang.

Sejumlah departemen berkompetisi mendapatkan alokasi dana pampasan untuk proyek-proyek mereka. Tak terkecuali Departemen Agama. Menurut Abdul Aziz dalam “K.H. Muhammad Wahib Wahab: Kementerian Agama Pada Masa Demokrasi Terpimpin,” Departemen Agama menuntut supaya mendapat pembagian harta pampasan perang Jepang untuk membiayai proyek percetakan Alquran. “Tuntutan ini dikabulkan, namun kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra dari berbagai pihak karena K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama ke-7: 1959–1960 dan 1960–1962) menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu,” tulis Abdul Azis, termuat dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik.

Perusahaan Jepang yang mendapatkan proyek tersebut adalah Toppan Printing Co., Ltd. Perusahaan ini, awalnya bernama Toppan Printing Limited Partnership, didirikan oleh sekelompok insinyur dari Biro Percetakan Kementerian Keuangan Jepang pada 1900, lalu direorganisasi menjadi Toppan Printing Co., Ltd., pada 1908. Saat ini, Toppan Printing adalah salah satu perusahaan percetakan terbesar di dunia dengan penjualan US$1,7 milyar pada 2007. “Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar dengan biaya US$1.800,” tulis Nishihara.

Tapi, menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, Alquran yang dicetak di Jepang sebanyak 6 juta eksemplar. “Pada tahun 1960 terjadi lagi pentashihan di luar Lajnah, yaitu sewaktu mushaf Alquran dicetak di Jepang sebanyak 6.000.000 naskah. Dalam dua dekade berikutnya setiap Alquran yang dicetak di lndonesia selalu ditashih oleh Lajnah Pentashih Alquran,” demikian laporan Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama tahun 1984 dalam Mengenal Mushaf Alquran Standar Indonesia.  

Memang, semua mushaf yang diterbitkan di Indonesia tak bisa lolos sebelum mendapat tanda tashih (tas-hih, pengesahan koreksian) dari Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama. “Lembaga ini dibentuk pada 1957 di bawah Menteri Agama K.H. Muhammad Iljas, dua tahun sesudah kejadian yang banyak diingat orang ini: pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo, 14 April 1984.     

Kendati demikian, Laporan Konperensi Volume 1 menyebutkan, sebelum Pleno ke-III Konferensi Dinas Departemen Agama ke-VII, 25-30 Januari 1961 di Cipayung, Bogor, ditutup, “lebih dahulu diadakan pembagian Alquran yang dicetak di Jepang sebagai hasil perjuangan Menteri Agama dalam menggunakan pampasan perang Jepang.” (historia/pahamilah)

Dan Alqur'an Cetakan Jepang

Oleh: Hendri F. Isnaeni


Kebutuhan mushaf Alquran di Indonesia masih belum terpenuhi. Apalagi pada bulan Ramadan, permintaan meningkat 20 persen dari sekira 570 ribu Alquran yang dicetak per bulan. Umat Islam yakin bahwa Ramadan dianggap sebagai waktu yang tepat untuk berbuat baik dan bersedakah, salah satunya dengan membagikan Alquran.

Menurut data Kementerian Agama, saat ini jumlah umat Islam di Indonesia sekira 180 juta jiwa. Dengan asumsi setiap kepala keluarga minimal satu Alquran, dibutuhkan sedikitnya 36 juta eksemplar per tahun. Sementara produksi Alquran oleh seratus penerbit yang tergabung dalam Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia (APQI) hanya mampu memenuhi 20 juta eksemplar per tahun. Begitu pula Lembaga Percetakan Alquran Kementerian Agama, hanya berkapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun.

Sejarah percetakan Alquran di Indonesia tak dapat dilepaskan dari Jepang. Menurut sejarawan Harry J. Benda, ketika akhir pemerintahan Jepang berada di pelupuk mata, penguasa Jepang mendukung dan memenuhi tuntutan umat Islam. Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer) lewat Maklumat No. 22 tanggal 29 April 1945, mengumumkan bahwa mulai 1 Mei 1945 hari Jumat adalah hari libur separuh hari bagi semua kantor pemerintah. Pada 8 Juli 1945, Jepang merestui pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Gondangdia, Jakarta, yang diusulkan Masyumi –kelak menjadi Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri.

Selain itu, “penguasa Jepang menciptakan sejarah Islam yang jauh lebih penting lagi dengan mencetak Alquran untuk pertama kalinya di bumi Indonesia, di Jakarta,” tulis Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit. 

Jepang berjanji mencetak Alquran sejak awal September 1944. Namun baru terealisasi pada 11 Juni 1945.
“Untuk pertama kali sejak Balatentara Dai Nippon mendarat di tanah Jawa kini dicetak kitab suci Alquran atas usaha Masyumi, sedang kertasnya diterima sebagai hadiah dari pemerintah Jepang,” tulis Soeara Asia, 14 Desember 1944. “Demikianlah untuk membereskan urusan percetakan ini, baru-baru ini wakil-wakil Masyumi dari Jakarta telah berkunjung ke Cirebon guna berunding dengan tuan Ali Afiff dan tuan A. Kodir Afiff, keduanya pemimpin percetakan ‘Almirsjah’ di kota Cirebon.”

Ali Afiff juga dikenal sebagai pedagang eceran buku-buku agama Islam di Cirebon. Dia adalah ayah dari Saleh Afiff, yang menjabat menteri pada masa pemerintahan Soeharto.

Hasil perundingan: percetakan Almirsjah akan mencetak 100 ribu kitab Alquran dengan harga 47 sen sebuah. “…Tanggal 11 Juni, pemerintah mulai melangsungkan pencetakan Alquran. Upacara pencetakan di hadiri oleh [...] pemuka-pemuka Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi di antaranya K.H. A. Wahid Hasjim, A.K. Muzakkir, H. Djunaedi, M. Zaim Djambek. Selanjutnya hadir pula Abdullah bin Afiff dari Cirebon yang akan memimpin pencetakan itu,” tulis Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

Lebih dahulu, M. Zain Djambek dan K.H. A. Wahid Hasjim menerangkan, bahwa tindakan ini adalah suatu bukti kerja sama antara pemerintah Jepang dan umat Islam. “Hal ini tentu akan disambut dengan gembira oleh segenap rakyat karena Alquran adalah suatu barang yang amat penting dalam penghidupan umat Muslimin,” lanjut Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

“Pada tanggal 28 Agustus 1945, sebagian Alquran yang telah selesai dicetak, sudah pula dibagi-bagikan oleh Panitia Pencetak Alquran kepada masjid-masjid dan imam-imam di seluruh Jakarta Tokubetu-Si (Kota Praja Istimewa),” tulis Sinar Baroe, 29 Agustus 1945. Alquran juga akan bagikan kepada pesantren dan sekolah Islam di Pulau Jawa.

Di Sumatra, pemerintah Jepang juga menghadiahkan kertas untuk mencetak Alquran pada peringatan hari “Sumatera Baroe” serta sebagai bentuk terima kasih atas kerja sama kaum Muslimin dengan pemerintah. “Sumatra Saiko Sikikan (Panglima Balatentara Jepang di Sumatra) telah menghadiahkan sejumlah kertas kepada kaum Muslimin untuk mencetak 1.000 jilid kitab suci Alquran,” tulis Soeara Asia, 11 April 1945.
Upacara penyerahan hadiah itu dilangsungkan pada 27 Maret 1945, dihadiri Gunseikan dan Somubuco (Kepala Departemen Urusan Umum). Sedangkan dari pemuka dan alim ulama hadir Syekh Djamil Djambek, Hadji Siradjuddin Abas, dan Sutan Mansur.

Keterlibatan Jepang dalam percetakan Alquran kembali terjadi limabelas tahun kemudian, saat perundingan pampasan perang. Pada pertengahan 1951, Amerika Serikat memprakarsai Konferensi Perdamaian San Francisco untuk merundingkan perjanjian damai dan pampasan antara Sekutu dengan Jepang. Konferensi Nihon-koku tono Heiwa-Jōyaku ini menawarkan kepada Jepang kesempatan untuk meraih kembali posisinya di kalangan masyarakat internasional. Sebagai bagian dari hasil konferensi, pada 20 Januari 1958 perjanjian pampasan ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Fujiyama dan Menteri Luar Negeri Subandrio. Perjanjian itu menetapkan bahwa Jepang akan membayar US$223,080 juta selama duabelas tahun dengan cicilan US$20 juta setiap tahun dalam bentuk barang modal dan jasa; menghapuskan utang niaga sebesar US$176,920 juta, dan memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400 juta.

Menurut profesor Akademi Pertahanan Nasional Jepang, Masashi Nishihara, perjanjian pampasan perang terdiri atas daftar enam kategori: transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan. Program ini meliputi hampir semua industri dan satu daftar tambahan berisi 66 kategori spesifik lainnya untuk “dipertimbangkan” agar mendapat dana pampasan. “Ini meliputi suplai medis, pencetakan Alquran, dan perlengkapan astronomis,” tulis Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang.

Sejumlah departemen berkompetisi mendapatkan alokasi dana pampasan untuk proyek-proyek mereka. Tak terkecuali Departemen Agama. Menurut Abdul Aziz dalam “K.H. Muhammad Wahib Wahab: Kementerian Agama Pada Masa Demokrasi Terpimpin,” Departemen Agama menuntut supaya mendapat pembagian harta pampasan perang Jepang untuk membiayai proyek percetakan Alquran. “Tuntutan ini dikabulkan, namun kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra dari berbagai pihak karena K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama ke-7: 1959–1960 dan 1960–1962) menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu,” tulis Abdul Azis, termuat dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik.

Perusahaan Jepang yang mendapatkan proyek tersebut adalah Toppan Printing Co., Ltd. Perusahaan ini, awalnya bernama Toppan Printing Limited Partnership, didirikan oleh sekelompok insinyur dari Biro Percetakan Kementerian Keuangan Jepang pada 1900, lalu direorganisasi menjadi Toppan Printing Co., Ltd., pada 1908. Saat ini, Toppan Printing adalah salah satu perusahaan percetakan terbesar di dunia dengan penjualan US$1,7 milyar pada 2007. “Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar dengan biaya US$1.800,” tulis Nishihara.

Tapi, menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, Alquran yang dicetak di Jepang sebanyak 6 juta eksemplar. “Pada tahun 1960 terjadi lagi pentashihan di luar Lajnah, yaitu sewaktu mushaf Alquran dicetak di Jepang sebanyak 6.000.000 naskah. Dalam dua dekade berikutnya setiap Alquran yang dicetak di lndonesia selalu ditashih oleh Lajnah Pentashih Alquran,” demikian laporan Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama tahun 1984 dalam Mengenal Mushaf Alquran Standar Indonesia.  

Memang, semua mushaf yang diterbitkan di Indonesia tak bisa lolos sebelum mendapat tanda tashih (tas-hih, pengesahan koreksian) dari Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama. “Lembaga ini dibentuk pada 1957 di bawah Menteri Agama K.H. Muhammad Iljas, dua tahun sesudah kejadian yang banyak diingat orang ini: pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo, 14 April 1984.     

Kendati demikian, Laporan Konperensi Volume 1 menyebutkan, sebelum Pleno ke-III Konferensi Dinas Departemen Agama ke-VII, 25-30 Januari 1961 di Cipayung, Bogor, ditutup, “lebih dahulu diadakan pembagian Alquran yang dicetak di Jepang sebagai hasil perjuangan Menteri Agama dalam menggunakan pampasan perang Jepang.” (historia/pahamilah)
Pahamilah.com - Siapa tak kenal Imam Syafi’i? Bapak ushul fiqih ini tak hanya tenar karena kepakarannya di bidang hukum Islam. Sejumlah ulama menilai, Imam Syafi’i juga layak dianggap pelopor disiplin keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir dan musthalah hadits.

Terlahir dengan nama Muhammad ibn Idris, Imam Syafi’i tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan kritis. Memang ia sangat memuliakan dan mengagumi guru-gurunya. Namun, proses pencarian kebenaran yang gigih membawanya ke panggung ijtihad yang mandiri. Imam Syafi’i sukses membangun mazhabnya sendiri, terutama fiqih.

Tak pelak, Imam Syaf’i pun berbeda pandangan dengan para pendiri mazhab fiqih lain, baik gurunya sendiri, Imam Malik; pendahulunya, Imam Hanafi; ataupun muridnya, Imam Hambali.

Soal qunut misalnya. Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas bahwa qunut tak sunnah pada sembahyang shubuh, kecuali pada sembahyang witir. “Dalam sembahyang shubuh, Nabi melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak,” dalihnya.

Imam Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah kuat, ia meyakini qunut shubuh juga berstatus sunnah. Sebagai ulama yang konsekuen, Imam Syafi’i tak putus membaca qunut shubuh sepanjang hidupnya. Selalu. Kecuali pada suatu hari yang aneh.

Ya, saat itu Imam Syafi’i meninggalkan qunut shubuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah makam.

Mengapa?

Ternyata Imam Syafi’i sedang menaruh hormat yang tinggi kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena di tanah makam di sekitar tempat ia sembahyang itu telah bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi (nu.or.id/pahamilah)

Inilah Alasan Ketika Imam Syafii Tidak Qunut

Pahamilah.com - Siapa tak kenal Imam Syafi’i? Bapak ushul fiqih ini tak hanya tenar karena kepakarannya di bidang hukum Islam. Sejumlah ulama menilai, Imam Syafi’i juga layak dianggap pelopor disiplin keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir dan musthalah hadits.

Terlahir dengan nama Muhammad ibn Idris, Imam Syafi’i tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan kritis. Memang ia sangat memuliakan dan mengagumi guru-gurunya. Namun, proses pencarian kebenaran yang gigih membawanya ke panggung ijtihad yang mandiri. Imam Syafi’i sukses membangun mazhabnya sendiri, terutama fiqih.

Tak pelak, Imam Syaf’i pun berbeda pandangan dengan para pendiri mazhab fiqih lain, baik gurunya sendiri, Imam Malik; pendahulunya, Imam Hanafi; ataupun muridnya, Imam Hambali.

Soal qunut misalnya. Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas bahwa qunut tak sunnah pada sembahyang shubuh, kecuali pada sembahyang witir. “Dalam sembahyang shubuh, Nabi melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak,” dalihnya.

Imam Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah kuat, ia meyakini qunut shubuh juga berstatus sunnah. Sebagai ulama yang konsekuen, Imam Syafi’i tak putus membaca qunut shubuh sepanjang hidupnya. Selalu. Kecuali pada suatu hari yang aneh.

Ya, saat itu Imam Syafi’i meninggalkan qunut shubuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah makam.

Mengapa?

Ternyata Imam Syafi’i sedang menaruh hormat yang tinggi kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena di tanah makam di sekitar tempat ia sembahyang itu telah bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi (nu.or.id/pahamilah)
Pahamilah.com - Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh, sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka,Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum.

Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.

Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir.

Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.

Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.

Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.

Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).

Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam.

Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”

Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.

Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”

Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.

Saat Terakhir

Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.

Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’

Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640).

Seuasi bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)

Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H. Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari. (nu.or.id/pahamilah)

Detik-Detik Terakhir Muhammad SAW

Pahamilah.com - Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh, sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka,Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum.

Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.

Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir.

Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.

Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.

Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.

Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).

Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam.

Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”

Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.

Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”

Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.

Saat Terakhir

Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.

Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’

Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640).

Seuasi bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)

Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H. Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari. (nu.or.id/pahamilah)