middle ad
Tampilkan postingan dengan label Bahtsul Masail. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bahtsul Masail. Tampilkan semua postingan

Assalamu'alaikum ustadz. Duh ribet nih mau darimana nyampeinya. Saya memang muslim tapi sering ninggalin shalat 5 waktu dan saat Ramadhan saya juga banyakan bolongnya. Pertanyaan saya gmn cara mengganti sholat fardu yang tertinggal ataupun puasa Ramadhan terhitung dari baligh sedang sekarang usia saya sudah seperempat abad lebih dikit. Apa ada kafaratnya juga. Mohon banget jawabanya ustadz.

Dido (Nama disamarkan)
---

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu mendapatkan rahmat dan hidayah Allah swt. Kami yakin bahwa pertanyaan yang Anda ajukan lahir dari kesadaran keimanan yang mendalam. Ada dua pertanyaan yang Anda ajukan di sini, dan kami akan memulai dengan menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang pertama.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban bagi setiap orang muslim yang sudah mukallaf. Dan termasuk salah satu rukun Islam seperti halnya puasa.

Meninggalkan shalat sama halnya dengan merusak agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “Bahwa shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkannya sungguh ia telah menengakkan agama, dan barang siapa yang merusaknya sungguh ia telah merusak agama”. Karenanya kelak di akhirat amal pertama seorang hamba yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt adalah shalat.

Shalat lima waktu sebagai kewajiban seorang muslim yang mukallaf jika karena udzur seperti lupa atau ketiduran ditinggalkan maka harus diqadla. Namun bagaimana jika dengan sengaja meninggalkan shalat tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan secara syara` (‘udzur syar’i) dan itu dilakukan selama bertahun-tahun? Apakah wajib meng-qadla?

Dalam kasus seperti ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa jika seseorang yang shalatnya banyak yang bolong dan tidak tahu secara pasti berapa jumlah shalat yang ditinggalkan maka ia tetap wajib meng-qadla`-nya sampai ia yakin bahwa bahwa ia telah terbebas dari tanggungjawabnya. Lantas ia wajib menentukan waktu yang pernah ditinggalkannya. Dan dimulai dengan men-qadla` shalat dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir kali ditinggalkan. Hal ini untuk memberikan kemudahan.

 قَالَ الحَنَفِيَّةُ: مَنْ عَلَيْهِ فَوَائِتُ كَثِيرَةٌ لَا يَدْرِي عَدَدَهَا، يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَيِّنَ الزَّمَنَ، فَيَنْوِي أَوَّلَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، أَوْ يَنْوِي آخِرَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، وَذَلِكَ تَسْهِيلاً عَلَيْهِ. (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143)

“Para ulama dari kalangan madzhab hanafi berpendapat bahwa seseorang yang shalatnya banyak ditinggalkan hingga dia sendiri tidak tahu berapa jumlah yang ditinggalkannya wajib meng-qadla-nya sampai ia yakin terbebas dari kewajiban itu. Dan ia wajib menentukan waktunya (waktu yang selama itu tidak menjalankan shalat). Lantas ia berniat (meng-qadla`) shalat dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir ia tinggalkan untuk memberi kemudahan baginya”.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedang menurut kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali orang yang meninggalkan shalat dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga ia tidak ingat lagi berapa jumlah yang ditinggalkan maka ia wajib meng-qadla` sampai ia yakin ia terlepas dari kewajibannya dan tidak harus menentukan waktunya. Tetapi cukup baginya untuk menentukan shalat yang pernah ditinggalkan, seperti dhuhur atau ashar.

وَقَالَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ مِنِ الْفُرُوضِ، وَلَا يَلْزَمُ تَعْيِينُ الزَّمَنِ، بَلْ يَكْفِي تَعْيِينُ الْمَنْوِيِّ كَالظُّهْرِ أَوِ الْعَصْرِ مَثَلًا (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143)

“Ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat, wajib baginya untuk meng-qadla shalat yang pernah ditinggalkan sampai ia yakin bebas dari kewajibannya berupa shalat-shalat fardlu (yang pernah ditinggalkan), dan tidak harus menentukan waktunya, tetapi cukup dengan menentukan yang diniati (shalat yang pernah ditinggalkan) seperti dhuhur atau ashar”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, peng-qadla`-an terhadap shalat yang pernah ditinggalkan dilakukan sesuai kemampuan pelakunya dan jangan sampai menimbulkan masaqqah atau memberatkan terhadap badan atau hartanya. Misalnya jangan sampai membuat ia sakit, atau menyebabkan kehilangan mata pencariannya.

إِذَا كَثُرَتِ الْفَوَائِتُ عَلَيْهِ يَتَشَاغَلُ بِالْقَضَاءِ مَا لَمْ يَلْحَقْهُ مَشَقَّةٌ فِي بَدَنِهِ أَوْ مَالِهِ، أَمَّا بَدَنُهُ فَأَنْ يَضْعُفَ أَوْ يَخَافُ الْمَرَضَ وَأَمَّا فِي الْمَالِ فَأَنْ يَنْقَطِعَ عَنِ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ بِحَيْثُ يَنْقَطِعُ عَنْ مَعَاشِهِ (ابن قدامة المقدسي، المغني، بيروت-دار الفكر، الطبعة الأولى، 1405هـ، ج، 1، 681)

“Apabila banyak sekali shalat yang ditinggalkan maka ia (orang yang meninggalkan shalat) wajib menyibukkan dirinya dengan qadla` sepanjang hal itu tidak menimbulkan masyaqqah pada badan atau hartanya. Adapun masyaqqah badannya adalah menjadi lemah fisik atau khawatir sakit. Sedang masyaqqah harta adalah ia terhenti dari men-tasharruf-kan hartanya sekiranya ia terputus mata pencariannya”. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 1, h. 681)

Dari kedua pendapat yang telah kami paparkan, maka dalam pandangan kami pendapat yang kedua terasa lebih mudah untuk dilakukan. Sebab untuk menentukankan waktu bukanlah perkara yang mudah karena biasanya orang lupa kapan waktu awal atau akhir meninggalkan shalat.

Namun dalam kasus ini juga sebenarnya ada pilihan pendapat yang ketiga yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan untuk meng-qadla’ shalat yang pernah ditinggalkan karenanya qadla-nya tidak sah. Tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat dan puasa sunnah.

وَتَارِكُ الصَّلَاةِ عَمْداً لَا يُشْرَعُ لَهُ قَضَاؤُهَا وَلَا تَصِحُّ مِنْهُ بَلْ يُكَثِّرُ مِنَ التَّطَوُّعِ وَكَذَا الصَّومُ وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنَ السَّلَفِ كَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ صَاحِبِ الشَّافِعِي وَدَاوُدَ وَأَتْبَاعِهِ وَلَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ مَا يُخَالِفُ هَذَا (إبن تيمية، الفتاوى الكبرى، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الاولى، 1408هـ/1987 م، ص. ج، 5، ص. 320)

“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan untuk meng-qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula qadla`-nya, tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga memperbanyak puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para ulama salaf seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii dan Imam Dawud azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil yang bertentangan dengan pandangan ini”. (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h. 320)  

Pandangan Ibnu Taimiyyah ini pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru sebagaimana pengakuannya sendiri. Tetapi sudah dikemukakan oleh para ulama terdahulu seperti Imam Dawud azh-Zhahiri yang pandangannya fiqh didokumentasikan oleh muridnya yaitu Ibnu Hazm. Dalam kasus ini Ibnu Hazm lebih lanjut menyatakan bahwa orang tersebut sebaiknya memperbanyak perbuatan baik, shalat sunnah untuk memperberat timbangan amal kebajikannya kelak pada hari kiamat, taubat, dan istighfar.

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا فَلْيُكَثِّرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيْزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ (السيد السابق، فقه السنة، القاهرة، الفتح للإعلام العربي، ج، 1، ص. 196)

“Adapun orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka ia selamanya ia tidak akan mampu meng-qadla`-nya selamanya. Karenanya, sebaiknya ia memperbanyak perbuatan baik dan shalat sunnah agar timbangan kebaikannya kelak pada hari kiamat menjadi berat, taubat, dan meminta ampun kepada Allah ‘azza wajalla”. (lihat as-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, juz, 1, h. 196) 

Dari penjelasan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja selama bertahun-tahun sampai ia tidak ingat berapa jumlah shalat yang pernah ditinggalkan maka ia harus meng-qadla` shalat menurut pendapat mayoritas ulama dan tidak ada kafarat baginya. Namun dengan mengacu kepada pandangan Ibnu Qudamah, maka qadla’ tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu juga orang tersebut agar memperbanyak kebajikan, shalat sunnah, bertaubat, dan memperbanyak istighfar. Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. (nu/pahamilah)

Bagaimana Mengganti Shalat dan Puasa yang Bolong?


Assalamu'alaikum ustadz. Duh ribet nih mau darimana nyampeinya. Saya memang muslim tapi sering ninggalin shalat 5 waktu dan saat Ramadhan saya juga banyakan bolongnya. Pertanyaan saya gmn cara mengganti sholat fardu yang tertinggal ataupun puasa Ramadhan terhitung dari baligh sedang sekarang usia saya sudah seperempat abad lebih dikit. Apa ada kafaratnya juga. Mohon banget jawabanya ustadz.

Dido (Nama disamarkan)
---

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu mendapatkan rahmat dan hidayah Allah swt. Kami yakin bahwa pertanyaan yang Anda ajukan lahir dari kesadaran keimanan yang mendalam. Ada dua pertanyaan yang Anda ajukan di sini, dan kami akan memulai dengan menjawab dan menjelaskan pertanyaan yang pertama.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa shalat lima waktu adalah kewajiban bagi setiap orang muslim yang sudah mukallaf. Dan termasuk salah satu rukun Islam seperti halnya puasa.

Meninggalkan shalat sama halnya dengan merusak agama. Dalam sebuah hadits dikatakan: “Bahwa shalat adalah tiang agama, barang siapa yang menegakkannya sungguh ia telah menengakkan agama, dan barang siapa yang merusaknya sungguh ia telah merusak agama”. Karenanya kelak di akhirat amal pertama seorang hamba yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah swt adalah shalat.

Shalat lima waktu sebagai kewajiban seorang muslim yang mukallaf jika karena udzur seperti lupa atau ketiduran ditinggalkan maka harus diqadla. Namun bagaimana jika dengan sengaja meninggalkan shalat tanpa adanya alasan yang dapat dibenarkan secara syara` (‘udzur syar’i) dan itu dilakukan selama bertahun-tahun? Apakah wajib meng-qadla?

Dalam kasus seperti ini para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa jika seseorang yang shalatnya banyak yang bolong dan tidak tahu secara pasti berapa jumlah shalat yang ditinggalkan maka ia tetap wajib meng-qadla`-nya sampai ia yakin bahwa bahwa ia telah terbebas dari tanggungjawabnya. Lantas ia wajib menentukan waktu yang pernah ditinggalkannya. Dan dimulai dengan men-qadla` shalat dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir kali ditinggalkan. Hal ini untuk memberikan kemudahan.

 قَالَ الحَنَفِيَّةُ: مَنْ عَلَيْهِ فَوَائِتُ كَثِيرَةٌ لَا يَدْرِي عَدَدَهَا، يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يُعَيِّنَ الزَّمَنَ، فَيَنْوِي أَوَّلَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، أَوْ يَنْوِي آخِرَ ظُهْرٍ عَلَيْهِ أَدْرَكَ وَقْتَهُ وَلَمْ يُصَلِّهِ، وَذَلِكَ تَسْهِيلاً عَلَيْهِ. (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143)

“Para ulama dari kalangan madzhab hanafi berpendapat bahwa seseorang yang shalatnya banyak ditinggalkan hingga dia sendiri tidak tahu berapa jumlah yang ditinggalkannya wajib meng-qadla-nya sampai ia yakin terbebas dari kewajiban itu. Dan ia wajib menentukan waktunya (waktu yang selama itu tidak menjalankan shalat). Lantas ia berniat (meng-qadla`) shalat dhuhur yang pertama kali atau yang terakhir ia tinggalkan untuk memberi kemudahan baginya”.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedang menurut kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali orang yang meninggalkan shalat dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga ia tidak ingat lagi berapa jumlah yang ditinggalkan maka ia wajib meng-qadla` sampai ia yakin ia terlepas dari kewajibannya dan tidak harus menentukan waktunya. Tetapi cukup baginya untuk menentukan shalat yang pernah ditinggalkan, seperti dhuhur atau ashar.

وَقَالَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ مِنِ الْفُرُوضِ، وَلَا يَلْزَمُ تَعْيِينُ الزَّمَنِ، بَلْ يَكْفِي تَعْيِينُ الْمَنْوِيِّ كَالظُّهْرِ أَوِ الْعَصْرِ مَثَلًا (وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته، بيروت-دار الفكر، الطبعة الثانية، 1405 هــ/1985 م، ج، 2، ص. 143)

“Ulama dari kalangan madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali berpendapat, wajib baginya untuk meng-qadla shalat yang pernah ditinggalkan sampai ia yakin bebas dari kewajibannya berupa shalat-shalat fardlu (yang pernah ditinggalkan), dan tidak harus menentukan waktunya, tetapi cukup dengan menentukan yang diniati (shalat yang pernah ditinggalkan) seperti dhuhur atau ashar”. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut-Dar al-Fikr, cet ke-3, 1405 H/1985 M. juz, 2, h. 143)

Sedangkan menurut Ibnu Qudamah, peng-qadla`-an terhadap shalat yang pernah ditinggalkan dilakukan sesuai kemampuan pelakunya dan jangan sampai menimbulkan masaqqah atau memberatkan terhadap badan atau hartanya. Misalnya jangan sampai membuat ia sakit, atau menyebabkan kehilangan mata pencariannya.

إِذَا كَثُرَتِ الْفَوَائِتُ عَلَيْهِ يَتَشَاغَلُ بِالْقَضَاءِ مَا لَمْ يَلْحَقْهُ مَشَقَّةٌ فِي بَدَنِهِ أَوْ مَالِهِ، أَمَّا بَدَنُهُ فَأَنْ يَضْعُفَ أَوْ يَخَافُ الْمَرَضَ وَأَمَّا فِي الْمَالِ فَأَنْ يَنْقَطِعَ عَنِ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ بِحَيْثُ يَنْقَطِعُ عَنْ مَعَاشِهِ (ابن قدامة المقدسي، المغني، بيروت-دار الفكر، الطبعة الأولى، 1405هـ، ج، 1، 681)

“Apabila banyak sekali shalat yang ditinggalkan maka ia (orang yang meninggalkan shalat) wajib menyibukkan dirinya dengan qadla` sepanjang hal itu tidak menimbulkan masyaqqah pada badan atau hartanya. Adapun masyaqqah badannya adalah menjadi lemah fisik atau khawatir sakit. Sedang masyaqqah harta adalah ia terhenti dari men-tasharruf-kan hartanya sekiranya ia terputus mata pencariannya”. (Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 1, h. 681)

Dari kedua pendapat yang telah kami paparkan, maka dalam pandangan kami pendapat yang kedua terasa lebih mudah untuk dilakukan. Sebab untuk menentukankan waktu bukanlah perkara yang mudah karena biasanya orang lupa kapan waktu awal atau akhir meninggalkan shalat.

Namun dalam kasus ini juga sebenarnya ada pilihan pendapat yang ketiga yang dikemukakan oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyyah. Menurutnya, orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja tidak disyariatkan untuk meng-qadla’ shalat yang pernah ditinggalkan karenanya qadla-nya tidak sah. Tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat dan puasa sunnah.

وَتَارِكُ الصَّلَاةِ عَمْداً لَا يُشْرَعُ لَهُ قَضَاؤُهَا وَلَا تَصِحُّ مِنْهُ بَلْ يُكَثِّرُ مِنَ التَّطَوُّعِ وَكَذَا الصَّومُ وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنَ السَّلَفِ كَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ صَاحِبِ الشَّافِعِي وَدَاوُدَ وَأَتْبَاعِهِ وَلَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ مَا يُخَالِفُ هَذَا (إبن تيمية، الفتاوى الكبرى، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الاولى، 1408هـ/1987 م، ص. ج، 5، ص. 320)

“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan untuk meng-qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula qadla`-nya, tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga memperbanyak puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para ulama salaf seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii dan Imam Dawud azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil yang bertentangan dengan pandangan ini”. (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, Beirut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h. 320)  

Pandangan Ibnu Taimiyyah ini pada dasarnya bukanlah pandangan yang baru sebagaimana pengakuannya sendiri. Tetapi sudah dikemukakan oleh para ulama terdahulu seperti Imam Dawud azh-Zhahiri yang pandangannya fiqh didokumentasikan oleh muridnya yaitu Ibnu Hazm. Dalam kasus ini Ibnu Hazm lebih lanjut menyatakan bahwa orang tersebut sebaiknya memperbanyak perbuatan baik, shalat sunnah untuk memperberat timbangan amal kebajikannya kelak pada hari kiamat, taubat, dan istighfar.

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا فَلْيُكَثِّرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيْزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ (السيد السابق، فقه السنة، القاهرة، الفتح للإعلام العربي، ج، 1، ص. 196)

“Adapun orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktunya, maka ia selamanya ia tidak akan mampu meng-qadla`-nya selamanya. Karenanya, sebaiknya ia memperbanyak perbuatan baik dan shalat sunnah agar timbangan kebaikannya kelak pada hari kiamat menjadi berat, taubat, dan meminta ampun kepada Allah ‘azza wajalla”. (lihat as-Sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, juz, 1, h. 196) 

Dari penjelasan di atas setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja selama bertahun-tahun sampai ia tidak ingat berapa jumlah shalat yang pernah ditinggalkan maka ia harus meng-qadla` shalat menurut pendapat mayoritas ulama dan tidak ada kafarat baginya. Namun dengan mengacu kepada pandangan Ibnu Qudamah, maka qadla’ tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu juga orang tersebut agar memperbanyak kebajikan, shalat sunnah, bertaubat, dan memperbanyak istighfar. Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. (nu/pahamilah)

Foto Muslimah

Pahamilah.com - Melanjutkan pertanyaan kedua saudara Dido dari Surabaya. Pada edisi yang lalu, kami telah menjelaskan tentang bagaimana qadla-nya shalat yang ditinggalkan selama bertahun-tahun. Dan pada kesempatan ini kami akan mencoba menjelaskan mengenai qadla-nya puasa yang juga ditinggalkan selama bertahun-tahun.

Dalam kasus pembatalan puasa secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` (‘udzr syar’i) para fuqaha` berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang tersebut wajib meng-qadla` dan membayar kaffarat atau denda sebagaimana orang yang sengaja melakukan jima’ pada siang hari di bulan Ramadhan. (‘Alauddin al-Kasani dalam Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i dan Malik bin Anas dalam al-Mudawwah al-Kubra)

Sedangkan menurut madzhab Syafii bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara selain jima’ tidak memiliki kewajiban kaffarat. Sebab kaffarat menurut mereka hanya dalam kasus jima’ saja. (Ibrahim asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 183). Kami cenderung memilih pendapat madzab Syafi’i.

Pandangan madzhab Syafi’i di atas juga diamini oleh madzhab Hanbali sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah al-Mughni, Riyadl-Dar al-‘Alam al-Kutub, cet ke-3, 1417 H/1997 M, juz, 4, h. 349)

Mengenai penundaan pelaksanaan qadla` sampai Ramadhan berikutnya. Dalam kasus ini menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` seperti sakit, bepergian jauh, haid dan nifas menunda pelaksanaan qadla` sampai masuknya Ramadhan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah.

وَتَجِبُ اْلفِدْيَةُ أَيْضاً مَعَ الْقَضَاءِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ (غَيْرِ الْحَنَفِيَّةِ) عَلَى مَنْ فَرَّطَ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ، فَأَخَّرَهُ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ مِثْلُهُ بِقَدْرِ مَا فَاتَهُ مِنَ الْأَيَّامِ، قِيَاساً عَلَى مَنْ أَفْطَرَ مُتَعَمِّداً؛ لأن كِلَيْهِمَا مُسْتَهِينٌ بِحُرْمَةِ الصَّوْمِ

“Begitu juga wajib membayar fidyah beserta qadla` menurut mayoritas ulama (selain madzhab hanafi) atas orang yang melalaikan qadla` puasa Ramadhan kemudian ia menunda qadla` tersebut sampai datangnya puasa berikutnya, sejumlah puasa yang ditinggalkan karena diqiyaskan dengan orang yang membatalkan puasa puasa dengan sengaja. Sebab keduanya sama-sama dianggap orang yang tidak menghormati kemulian puasa.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M, juz, 2, h. 688-689)

Besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7 ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan, yang diberikan kepada orang miskin. Bahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab syafi’i, fidyah-nya bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun pendundaanya.

Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima hari dan baru di-qadla` pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut madzhab maliki dan hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda.

Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Tentu semua ketentuan dan konsekuensi di atas dilakukan menurut kadar kemampuan yang bersangkutan. Selain qadla puasa dan membayar fidyah, jangan lupa untuk memperbanyak istighfar, shalat sunnah, dan kebajikan kepada sesama. Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita untuk menjadi hamba yang lebih baik dan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. (nu/pahamilah)


Pahamilah Cara Mengganti Puasa yang Bolong

Foto Muslimah

Pahamilah.com - Melanjutkan pertanyaan kedua saudara Dido dari Surabaya. Pada edisi yang lalu, kami telah menjelaskan tentang bagaimana qadla-nya shalat yang ditinggalkan selama bertahun-tahun. Dan pada kesempatan ini kami akan mencoba menjelaskan mengenai qadla-nya puasa yang juga ditinggalkan selama bertahun-tahun.

Dalam kasus pembatalan puasa secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` (‘udzr syar’i) para fuqaha` berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, orang tersebut wajib meng-qadla` dan membayar kaffarat atau denda sebagaimana orang yang sengaja melakukan jima’ pada siang hari di bulan Ramadhan. (‘Alauddin al-Kasani dalam Bada’i ash-Shana’i fi Tartib asy-Syara’i dan Malik bin Anas dalam al-Mudawwah al-Kubra)

Sedangkan menurut madzhab Syafii bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara selain jima’ tidak memiliki kewajiban kaffarat. Sebab kaffarat menurut mereka hanya dalam kasus jima’ saja. (Ibrahim asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 183). Kami cenderung memilih pendapat madzab Syafi’i.

Pandangan madzhab Syafi’i di atas juga diamini oleh madzhab Hanbali sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah al-Mughni, Riyadl-Dar al-‘Alam al-Kutub, cet ke-3, 1417 H/1997 M, juz, 4, h. 349)

Mengenai penundaan pelaksanaan qadla` sampai Ramadhan berikutnya. Dalam kasus ini menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan syara` seperti sakit, bepergian jauh, haid dan nifas menunda pelaksanaan qadla` sampai masuknya Ramadhan berikutnya maka ia wajib membayar fidyah.

وَتَجِبُ اْلفِدْيَةُ أَيْضاً مَعَ الْقَضَاءِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ (غَيْرِ الْحَنَفِيَّةِ) عَلَى مَنْ فَرَّطَ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ، فَأَخَّرَهُ حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ مِثْلُهُ بِقَدْرِ مَا فَاتَهُ مِنَ الْأَيَّامِ، قِيَاساً عَلَى مَنْ أَفْطَرَ مُتَعَمِّداً؛ لأن كِلَيْهِمَا مُسْتَهِينٌ بِحُرْمَةِ الصَّوْمِ

“Begitu juga wajib membayar fidyah beserta qadla` menurut mayoritas ulama (selain madzhab hanafi) atas orang yang melalaikan qadla` puasa Ramadhan kemudian ia menunda qadla` tersebut sampai datangnya puasa berikutnya, sejumlah puasa yang ditinggalkan karena diqiyaskan dengan orang yang membatalkan puasa puasa dengan sengaja. Sebab keduanya sama-sama dianggap orang yang tidak menghormati kemulian puasa.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M, juz, 2, h. 688-689)

Besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7 ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan, yang diberikan kepada orang miskin. Bahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab syafi’i, fidyah-nya bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun pendundaanya.

Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima hari dan baru di-qadla` pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut madzhab maliki dan hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda.

Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Tentu semua ketentuan dan konsekuensi di atas dilakukan menurut kadar kemampuan yang bersangkutan. Selain qadla puasa dan membayar fidyah, jangan lupa untuk memperbanyak istighfar, shalat sunnah, dan kebajikan kepada sesama. Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita untuk menjadi hamba yang lebih baik dan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. (nu/pahamilah)


Telinga berdenging

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pak ustad, saya mau menanyakan tentang suara “nging” di telinga. Banyak orang yang sering menafsirkan suara nging di telinga sebagai petanda buruk. Yang ingin saya ketahui, apakah betul seperti itu, atau bagaimana. Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh. (Ayu/Jambi)

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Di antara kita memang kadang mengalami dan merasakan suara “nging” di telinga. Kadang ada yang berlangung sebentar, tetapi ada yang tidak.  Fenomena suara “nging” di telinga juga sering kali ditafsirkan ke hal-hal negatif. Bahkan kadang acapkali membuat gelisah orang yang merasakannya.

Sepanjang yang kami ketahui bahwa suara “nging” di telinga tidak ada kaitannya dengan petanda buruk. Tetapi merupakan peringatan kepada orang yang mengalaminya untuk ingat kepada Rasulullah saw dan membaca shalawat kepadanya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw sebagai berikut:

 إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي وَلْيُصَلِّي عَلَيَّ وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ - رواه الحكيم وابن السني، الطبراني وابن عدي وابن عساكر

“Jika telinga salah seorang di antara kalian berdengung, maka hendaknya ia mengingatku (Rasulullah saw), membaca shalawat kepadaku, dan mengucapakan: dzakarallahu man dzakarani bi khairin (Semoga Allah swt mengingat orang yang mengingatku dengan kebaikan)”. (H.R. al-Hakim, Ibn as-Sinni, at-Thabarani)

Dalam mengomentari sabda di atas, az-Zaila’i menyatakan bahwa dalam hadits tersebut mengandung bahwa tidak hanya sekedar mengingat Rasulullah saw tetapi juga bershalawat kepadanya dan mengucapkan: dzakarallahu man dzakarani bi khairin.

قَالَ الزَّيْلَعِيُّ فِيهِ عَدَمُ الْاِكْتِفَاءِ بِالذِّكْرِ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ (وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ

“Az-Zaila’i berkata, dalam hadits ini tidak cukup (bagi orang yang telinganya berdengung, pent)  hanya dengan mengingat Rasulullah saw saja sehingga ia bershalawat kepadanya (dan hendaknya membaca: dzakarallahu man dzakarani bi khairin)”. (Abdurrauf al-Munawi, Faidlul-Qadir, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1415 H/1994 M, juz, 1, h. 511)

Masalah ini juga telah dibahas dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-11 di Banjarmasin pada tanggal 19 Rabiul Awwal 1355 H/9 Juni 1936. Dalam Muktamar tersebut dijelaskan bahwa suaran “nging” dalam telinga menunjukkan bahwa Rasulullah saw sedang menyebut orang tersebut dalam perkumpulan yang tertinggi (al-mala` al-a’la) agar ia ingat kepada beliau dan bershalawat kepadanya.

Pandangan Muktamirin tersebut didasarkan kepada pendapat Abdurrauf al-Munawi yang dikemukakan oleh ‘Ali al-‘Azizi dalam kitab as-Siraj al-Munir:

قَالَ الْمُنَاوِيُّ فَإِنَّ اْلأُذُنَ إِنَّمَا تَطُنُّ لَمَّا وَرَدَ عَلَى الرُّوْحِ مِنَ الْخَبَرِ الْخَيْرِ وَهُوَ أَنَّ الْمُصْطَفَى قَدْ ذَكَرَ ذَلِكَ اْلإِنْسَانَ بِخَيْرٍ فِي الْمَلاَءِ اْلأَعْلَى فِيْ عَالَمِ اْلأَرْوَاحِ

“Imam al-Munawi berkata,  sesungguhnya telinga itu berdengung hanya ketika datang berita baik ke ruh, bahwa Rasasulullah Saw. telah menyebutkan orang (pemilik telinga yang berdengung) tersebut dengan kebaikan di al-Mala’ al-A’la (majlis tertinggi) di alam ruh. (Lihat Akamul Fuqaha)

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Dan jika telinga anda berdengung atau bersuara “nging” maka segeralah ingat Rasulullah saw, bershalawat, dan mengucapkan, dzakarallahu man dzakarni bi khairin. (nu/pahamilah)


Mengenai Suara Nging di Telinga

Telinga berdenging

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pak ustad, saya mau menanyakan tentang suara “nging” di telinga. Banyak orang yang sering menafsirkan suara nging di telinga sebagai petanda buruk. Yang ingin saya ketahui, apakah betul seperti itu, atau bagaimana. Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh. (Ayu/Jambi)

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Di antara kita memang kadang mengalami dan merasakan suara “nging” di telinga. Kadang ada yang berlangung sebentar, tetapi ada yang tidak.  Fenomena suara “nging” di telinga juga sering kali ditafsirkan ke hal-hal negatif. Bahkan kadang acapkali membuat gelisah orang yang merasakannya.

Sepanjang yang kami ketahui bahwa suara “nging” di telinga tidak ada kaitannya dengan petanda buruk. Tetapi merupakan peringatan kepada orang yang mengalaminya untuk ingat kepada Rasulullah saw dan membaca shalawat kepadanya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw sebagai berikut:

 إِذَا طَنَّتْ أُذُنُ أَحَدِكُمْ فَلْيَذْكُرْنِي وَلْيُصَلِّي عَلَيَّ وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ - رواه الحكيم وابن السني، الطبراني وابن عدي وابن عساكر

“Jika telinga salah seorang di antara kalian berdengung, maka hendaknya ia mengingatku (Rasulullah saw), membaca shalawat kepadaku, dan mengucapakan: dzakarallahu man dzakarani bi khairin (Semoga Allah swt mengingat orang yang mengingatku dengan kebaikan)”. (H.R. al-Hakim, Ibn as-Sinni, at-Thabarani)

Dalam mengomentari sabda di atas, az-Zaila’i menyatakan bahwa dalam hadits tersebut mengandung bahwa tidak hanya sekedar mengingat Rasulullah saw tetapi juga bershalawat kepadanya dan mengucapkan: dzakarallahu man dzakarani bi khairin.

قَالَ الزَّيْلَعِيُّ فِيهِ عَدَمُ الْاِكْتِفَاءِ بِالذِّكْرِ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَيْهِ (وَلْيَقُلْ ذَكَرَ اللهُ مَنْ ذَكَرَنِي بِخَيْرٍ

“Az-Zaila’i berkata, dalam hadits ini tidak cukup (bagi orang yang telinganya berdengung, pent)  hanya dengan mengingat Rasulullah saw saja sehingga ia bershalawat kepadanya (dan hendaknya membaca: dzakarallahu man dzakarani bi khairin)”. (Abdurrauf al-Munawi, Faidlul-Qadir, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1415 H/1994 M, juz, 1, h. 511)

Masalah ini juga telah dibahas dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-11 di Banjarmasin pada tanggal 19 Rabiul Awwal 1355 H/9 Juni 1936. Dalam Muktamar tersebut dijelaskan bahwa suaran “nging” dalam telinga menunjukkan bahwa Rasulullah saw sedang menyebut orang tersebut dalam perkumpulan yang tertinggi (al-mala` al-a’la) agar ia ingat kepada beliau dan bershalawat kepadanya.

Pandangan Muktamirin tersebut didasarkan kepada pendapat Abdurrauf al-Munawi yang dikemukakan oleh ‘Ali al-‘Azizi dalam kitab as-Siraj al-Munir:

قَالَ الْمُنَاوِيُّ فَإِنَّ اْلأُذُنَ إِنَّمَا تَطُنُّ لَمَّا وَرَدَ عَلَى الرُّوْحِ مِنَ الْخَبَرِ الْخَيْرِ وَهُوَ أَنَّ الْمُصْطَفَى قَدْ ذَكَرَ ذَلِكَ اْلإِنْسَانَ بِخَيْرٍ فِي الْمَلاَءِ اْلأَعْلَى فِيْ عَالَمِ اْلأَرْوَاحِ

“Imam al-Munawi berkata,  sesungguhnya telinga itu berdengung hanya ketika datang berita baik ke ruh, bahwa Rasasulullah Saw. telah menyebutkan orang (pemilik telinga yang berdengung) tersebut dengan kebaikan di al-Mala’ al-A’la (majlis tertinggi) di alam ruh. (Lihat Akamul Fuqaha)

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Dan jika telinga anda berdengung atau bersuara “nging” maka segeralah ingat Rasulullah saw, bershalawat, dan mengucapkan, dzakarallahu man dzakarni bi khairin. (nu/pahamilah)


Suami istri

Pahamilah.com - Assalamu’alaikum wr. wb. Mohon maaf sebelumnya Kiai. Saya ingin menanyakan, apakah diperbolehkan kami (suami-istri) menonton film biru (porno) untuk menambah keintiman atau gairah hubungan suami-istri. Atau ada solusi lain terkait hal ini. Terimakasih atas penjelasannya, dan sekali lagi kami mohon maaf.

Wassalam. Imron dari Kalsel (nama disamarkan)).

Jawaban

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt.  Bahwa berhubungan badan dengan istri termasuk bagian dari memberi nafkah batin. Bahkan berhubungan badan dengan istri dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah dalam konteks tertentu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw yang dikemukakan oleh Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali:
رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ --أبو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، بيروت-دار المعرفة، ج، 2، ص. 52

“Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa sesungguhnya seorang suami yang menggauli istrinya maka akan dicatat baginya pahala menggaulinya sebagaimana pahala anak laki-laki yang memerangi (musuh) di jalan Allah kemudian terbunuh.” (lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya` Ulum ad-Din,  Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 2, h. 52)

Dari sini saja kita bisa mengetahui bahwa hubungan badan suami-istri memiliki pahala yang sangat besar seperti pahalanya anak laki-laki yang berjihad di jalan Allah. Namun persoalannya tidak hanya sampai disini saja. Sebab, ternyata ada juga pasangan suami-istri yang dalam berhubungan badan terlebih dulu menonton film porno untuk menambah gairah dan keintimannya.  Lantas bagaimana sebenarnya pandangan para fuqaha` dalam menanggapi kasus ini.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa melihat film porno bagi pasangan suami-istri diperbolehkan.  Pandangan ini dirujukkan kepada apa yang dikemukakan oleh Syihabuddin al-Qalyubi. Beliau berpendapat bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah, meskipun itu sudah terpisah darinya, seperti kuku atau rambut kemaluannya. Keharaman melihat ini juga meliputi melihatnya dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau dalam air yang jernih. Namun jika melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin tidaklah diharamkan walaupun disertai dengan syahwat.
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَحْرُمُ رُؤْيَةُ شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهَا ، وَإِنْ أُبِينَ كَظُفُرٍ وَشَعْرِ عَانَةٍ وَإِبْطٍ وَدَمِ حَجْمٍ وَفَصْدٍ لَا نَحْوُ بَوْلٍ كَلَبَنٍ ، وَالْعِبْرَةُ فِي الْمُبَانِ بِوَقْتِ الْإِبَانَةِ فَيَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ أَجْنَبِيَّةٍ ، وَإِنْ نَكَحَهَا وَلَا يَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ زَوْجَةٍ وَإِنْ أَبَانَهَا ، وَشَمِلَ النَّظَرُ مَا لَوْ كَانَ مِنْ وَرَاءِ زُجَاجٍ أَوْ مُهَلْهَلِ النَّسْجِ أَوْ فِي مَاءٍ صَافٍ ، وَخَرَجَ بِهِ رُؤْيَةُ الصُّورَةِ فِي الْمَاءِ أَوْ فِي الْمِرْآةِ فَلَا يَحْرُمُ وَلَوْ مَعَ شَهْوَةٍ. (شهاب الدين القليوبي، حاشية القليوبي، بيروت-دار الفكر، 1419هـ/1998م، ج, 3، ص. 209)
“Kesimpulannya, bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah meskipun dipisahkan, seperti kuku, rambut kemaluan, bulu ketiak, darah bekam, darah yang keluar dengan cara membelah pembulu darah vena (fashd), bukan semisalnya air kencingnya seperti air susu. Dan yang menjadi pegangan itu pada apa yang dipisahkan pada saat waktu pemisahan. Karenanya, haram apa yang terpisah dari perempuan ajnabiyyah meskipun sudah pernah dinikahi, dan tidak haram apa yang dipisahkan dari istrinya sekalipun suaminya memisahkannya. Melihat dalam konteks ini termasuk melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau air yang jernih. Dan terkecualikan dari melihat aurat perempuan ajnabiyyah adalah melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin”. (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi, Bairut-Dar al-Fikr, 1419 H/1998 M, juz, 3, h. 2019).

Jadi, menurut kalangan yang memperbolehkan melihat film porno bagi pasangan suami-istri pada dasarnya mereka meng-ilhaq-kan dengan melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin. Dimana menurut Syihabuddin al-Qalyubi hal ini tidak diharamkan kendatipun menimbulkan syahwat.

Namun pandangan ini tidak sertamerta bisa diterima begitu saja. Sebab ada pendapat lain yang menyatakan bahwa melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram atau selainnya, selain istri, jika menimbulkan syahwat adalah haram. Bahkan keharaman ini menurut Ali asy-Syibramalisi mencakup juga keharaman melihat benda-benda mati (al-jamadat).
أَمَّا النَّظَرُ بِشَهْوَةٍ فَحَرَامٌ قَطْعًا لِكُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرِ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ شَرْحُ م ر قَالَ ع ش عُمُومُهُ يَشْمَلُ الْجَمَادَاتِ فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إلَيْهَا بِشَهْوَةٍ  --أنظر سليمان البجيرمي، التجريد لنفع العبيد، المكتبة الإسلامية-تركيا، ج، 3، ص. 326
“Adapun melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram dan selainnya, selain istri dan budaknya, secara pasti adalah haram (Syarh Muhammad ar-Ramli). (Dalam hal ini) Ali asy-Syibramalisi menyatakan bahwa keumuman keharaman ini meliputi benda-benda mati. Karenanya, haram melihat benda-benda mati dengan disertai syahwat” (Lihat, Sulaiman al-Bujairimi, at-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, al-Maktabah al-Islamiyyah-Turkey, tt, juz, 3, h. 326).

Dengan mengacu kepada pandangan yang kedua, maka menonton film porno bagi suami-istri adalah haram. Sebab, melihat benda mati saja jika disertai dengan syahwat itu hukumnya haram, apalagi melihat film porno.

Sebenarnya, masih banyak cara-cara lain yang diajarkan Islam untuk menambah gairah seksual pasangan suami-istri. Seperti melakukan cumbu-rayu dan ciuman sebelum melakukan hubungan badan, dan lain-lain. Karenanya, kami lebih cenderung kepada pendapat yang kedua.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Dan bagi pasangan suami-istri yang mengalami masalah seksual maka sebaiknya bersikaplah saling terbuka. Bicarakan baik-baik dengan pasangan. Dan kalau memang perlu berkonsultasilah kepada ahlinya. (nu/pahamilah)



Bolehkah Suami-Istri Menonton Film Porno?

Suami istri

Pahamilah.com - Assalamu’alaikum wr. wb. Mohon maaf sebelumnya Kiai. Saya ingin menanyakan, apakah diperbolehkan kami (suami-istri) menonton film biru (porno) untuk menambah keintiman atau gairah hubungan suami-istri. Atau ada solusi lain terkait hal ini. Terimakasih atas penjelasannya, dan sekali lagi kami mohon maaf.

Wassalam. Imron dari Kalsel (nama disamarkan)).

Jawaban

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt.  Bahwa berhubungan badan dengan istri termasuk bagian dari memberi nafkah batin. Bahkan berhubungan badan dengan istri dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah dalam konteks tertentu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw yang dikemukakan oleh Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali:
رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ --أبو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، بيروت-دار المعرفة، ج، 2، ص. 52

“Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa sesungguhnya seorang suami yang menggauli istrinya maka akan dicatat baginya pahala menggaulinya sebagaimana pahala anak laki-laki yang memerangi (musuh) di jalan Allah kemudian terbunuh.” (lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya` Ulum ad-Din,  Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 2, h. 52)

Dari sini saja kita bisa mengetahui bahwa hubungan badan suami-istri memiliki pahala yang sangat besar seperti pahalanya anak laki-laki yang berjihad di jalan Allah. Namun persoalannya tidak hanya sampai disini saja. Sebab, ternyata ada juga pasangan suami-istri yang dalam berhubungan badan terlebih dulu menonton film porno untuk menambah gairah dan keintimannya.  Lantas bagaimana sebenarnya pandangan para fuqaha` dalam menanggapi kasus ini.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa melihat film porno bagi pasangan suami-istri diperbolehkan.  Pandangan ini dirujukkan kepada apa yang dikemukakan oleh Syihabuddin al-Qalyubi. Beliau berpendapat bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah, meskipun itu sudah terpisah darinya, seperti kuku atau rambut kemaluannya. Keharaman melihat ini juga meliputi melihatnya dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau dalam air yang jernih. Namun jika melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin tidaklah diharamkan walaupun disertai dengan syahwat.
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَحْرُمُ رُؤْيَةُ شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهَا ، وَإِنْ أُبِينَ كَظُفُرٍ وَشَعْرِ عَانَةٍ وَإِبْطٍ وَدَمِ حَجْمٍ وَفَصْدٍ لَا نَحْوُ بَوْلٍ كَلَبَنٍ ، وَالْعِبْرَةُ فِي الْمُبَانِ بِوَقْتِ الْإِبَانَةِ فَيَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ أَجْنَبِيَّةٍ ، وَإِنْ نَكَحَهَا وَلَا يَحْرُمُ مَا أُبِينَ مِنْ زَوْجَةٍ وَإِنْ أَبَانَهَا ، وَشَمِلَ النَّظَرُ مَا لَوْ كَانَ مِنْ وَرَاءِ زُجَاجٍ أَوْ مُهَلْهَلِ النَّسْجِ أَوْ فِي مَاءٍ صَافٍ ، وَخَرَجَ بِهِ رُؤْيَةُ الصُّورَةِ فِي الْمَاءِ أَوْ فِي الْمِرْآةِ فَلَا يَحْرُمُ وَلَوْ مَعَ شَهْوَةٍ. (شهاب الدين القليوبي، حاشية القليوبي، بيروت-دار الفكر، 1419هـ/1998م، ج, 3، ص. 209)
“Kesimpulannya, bahwa haram melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah meskipun dipisahkan, seperti kuku, rambut kemaluan, bulu ketiak, darah bekam, darah yang keluar dengan cara membelah pembulu darah vena (fashd), bukan semisalnya air kencingnya seperti air susu. Dan yang menjadi pegangan itu pada apa yang dipisahkan pada saat waktu pemisahan. Karenanya, haram apa yang terpisah dari perempuan ajnabiyyah meskipun sudah pernah dinikahi, dan tidak haram apa yang dipisahkan dari istrinya sekalipun suaminya memisahkannya. Melihat dalam konteks ini termasuk melihat sesuatu dari anggota badan perempuan ajnabiyyah dari balik kaca atau kain tenun yang tipis atau air yang jernih. Dan terkecualikan dari melihat aurat perempuan ajnabiyyah adalah melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin”. (Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi, Bairut-Dar al-Fikr, 1419 H/1998 M, juz, 3, h. 2019).

Jadi, menurut kalangan yang memperbolehkan melihat film porno bagi pasangan suami-istri pada dasarnya mereka meng-ilhaq-kan dengan melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin. Dimana menurut Syihabuddin al-Qalyubi hal ini tidak diharamkan kendatipun menimbulkan syahwat.

Namun pandangan ini tidak sertamerta bisa diterima begitu saja. Sebab ada pendapat lain yang menyatakan bahwa melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram atau selainnya, selain istri, jika menimbulkan syahwat adalah haram. Bahkan keharaman ini menurut Ali asy-Syibramalisi mencakup juga keharaman melihat benda-benda mati (al-jamadat).
أَمَّا النَّظَرُ بِشَهْوَةٍ فَحَرَامٌ قَطْعًا لِكُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرِ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ شَرْحُ م ر قَالَ ع ش عُمُومُهُ يَشْمَلُ الْجَمَادَاتِ فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إلَيْهَا بِشَهْوَةٍ  --أنظر سليمان البجيرمي، التجريد لنفع العبيد، المكتبة الإسلامية-تركيا، ج، 3، ص. 326
“Adapun melihat sesuatu (al-manzhur ilaih) seperti mahram dan selainnya, selain istri dan budaknya, secara pasti adalah haram (Syarh Muhammad ar-Ramli). (Dalam hal ini) Ali asy-Syibramalisi menyatakan bahwa keumuman keharaman ini meliputi benda-benda mati. Karenanya, haram melihat benda-benda mati dengan disertai syahwat” (Lihat, Sulaiman al-Bujairimi, at-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, al-Maktabah al-Islamiyyah-Turkey, tt, juz, 3, h. 326).

Dengan mengacu kepada pandangan yang kedua, maka menonton film porno bagi suami-istri adalah haram. Sebab, melihat benda mati saja jika disertai dengan syahwat itu hukumnya haram, apalagi melihat film porno.

Sebenarnya, masih banyak cara-cara lain yang diajarkan Islam untuk menambah gairah seksual pasangan suami-istri. Seperti melakukan cumbu-rayu dan ciuman sebelum melakukan hubungan badan, dan lain-lain. Karenanya, kami lebih cenderung kepada pendapat yang kedua.

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Dan bagi pasangan suami-istri yang mengalami masalah seksual maka sebaiknya bersikaplah saling terbuka. Bicarakan baik-baik dengan pasangan. Dan kalau memang perlu berkonsultasilah kepada ahlinya. (nu/pahamilah)



Selain pakaian wajib, ada pula yang statusnya sunah. Ini adalah pakaian yang mengandung keindahan dan hiasan. Ini dianjurkan oleh Rasulullah.

Dalam sebuah hadis dari Abu Darda yang diriwayatkan Abu Dawud, Muhammad mengingatkan seorang Muslim untuk membersihkan dan memperindah kendaraan dan pakaian saat hendak bertemu saudara seagamanya.

"Sehingga, kamu tampak bagai tahi lalat di tengah banyak orang. Artinya, indah dan menonjol. Itu karena Allah tidak menyukai pakaian kumal dan sengaja berpakaian kumal," ujar Muhammad. Bukan hanya dalam pertemuan umum, pakaian sunah tersebut dianjurkan dimiliki untuk dipakai saat shalat Jumat dan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.

Jenis pakaian lainnya masuk dalam kategori haram, yaitu pakaian dari sutra dan emas bagi laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian khusus buat perempuan juga perempuan yang berpakaian khusus untuk laki-laki. Di samping itu, memakai pakaian kemegahan dan kesombongan serta pakaian yang mengandung unsur berlebihan.

Laki-laki tak boleh berpakaian sutra. Siapa yang memakai sutra di dunia tak akan mengenakannya di akhirat. Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menyatakan, mayoritas ulama berpandangan bahwa memakai sutra dan duduk beralaskan sutra haram hukumnya. Tak ada pertentangan di antara mereka dalam masalah ini. Bagi perempuan, pakaian sutra tak menjadi masalah.

Diizinkan laki-laki berpakaian sutra kalau ada uzur. Anas menceritakan, Muhammad memberikan keringanan kepada Abdurahman bin Auf dan Zubair menggunakan pakaian sutra karena penyakit gatal yang diderita kedua sahabat itu. Mazhab Syafii memandang ada beberapa ketentuan pada sutra yang bercampur bahan lain.

Apabila sebagian besarnya adalah bahan sutra, pakaian itu diharamkan. Namun saat unsur sutranya hanya setengah atau kurang dari itu, pakaian tersebut tak diharamkan. Mazhab ini pun mengizinkan anak laki-laki menggunakan pakaian sutra. Namun, sebagian besar ahli fikih berpandangan sebaliknya. Mereka berpedoman pada hukum larangan terhadap laki-laki. (republika/pahamilah)

Mengapa Pria Dilarang Berbusana Sutra?

Selain pakaian wajib, ada pula yang statusnya sunah. Ini adalah pakaian yang mengandung keindahan dan hiasan. Ini dianjurkan oleh Rasulullah.

Dalam sebuah hadis dari Abu Darda yang diriwayatkan Abu Dawud, Muhammad mengingatkan seorang Muslim untuk membersihkan dan memperindah kendaraan dan pakaian saat hendak bertemu saudara seagamanya.

"Sehingga, kamu tampak bagai tahi lalat di tengah banyak orang. Artinya, indah dan menonjol. Itu karena Allah tidak menyukai pakaian kumal dan sengaja berpakaian kumal," ujar Muhammad. Bukan hanya dalam pertemuan umum, pakaian sunah tersebut dianjurkan dimiliki untuk dipakai saat shalat Jumat dan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha.

Jenis pakaian lainnya masuk dalam kategori haram, yaitu pakaian dari sutra dan emas bagi laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian khusus buat perempuan juga perempuan yang berpakaian khusus untuk laki-laki. Di samping itu, memakai pakaian kemegahan dan kesombongan serta pakaian yang mengandung unsur berlebihan.

Laki-laki tak boleh berpakaian sutra. Siapa yang memakai sutra di dunia tak akan mengenakannya di akhirat. Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menyatakan, mayoritas ulama berpandangan bahwa memakai sutra dan duduk beralaskan sutra haram hukumnya. Tak ada pertentangan di antara mereka dalam masalah ini. Bagi perempuan, pakaian sutra tak menjadi masalah.

Diizinkan laki-laki berpakaian sutra kalau ada uzur. Anas menceritakan, Muhammad memberikan keringanan kepada Abdurahman bin Auf dan Zubair menggunakan pakaian sutra karena penyakit gatal yang diderita kedua sahabat itu. Mazhab Syafii memandang ada beberapa ketentuan pada sutra yang bercampur bahan lain.

Apabila sebagian besarnya adalah bahan sutra, pakaian itu diharamkan. Namun saat unsur sutranya hanya setengah atau kurang dari itu, pakaian tersebut tak diharamkan. Mazhab ini pun mengizinkan anak laki-laki menggunakan pakaian sutra. Namun, sebagian besar ahli fikih berpandangan sebaliknya. Mereka berpedoman pada hukum larangan terhadap laki-laki. (republika/pahamilah)
Oleh : Teuku Muhammad Lintar

Ketika aku duduk santai di beranda rumah, datanglah seorang yang berpakaian rapi turun dari mobil mewah. " Assallammualaikum." dia menyapaku. " Wa alaikumsallam." kubalas salamnya sambil mempersilahkan duduk.

Sesaat kemudian dia mulai membuka pembicaraan. " Saya dengar dari orang-orang bahkan dari pegawai saya bahwa anda bisa meramal. Tujuan saya kemari, ingin mengetahui bagaimana nasib saya untuk kedepannya dan apa yang harus saya lakukan untuk saat ini hingga kedepannya?" mendengar itu aku sangat terkejut dengan pertanyaan yang dia lontarkan.

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya, sambil menghisap sebatang rokok kemudian aku menerangkan padanya. " Saya ini bukan peramal tapi saya ini hanya bisa membaca karakter orang dan itu semua karena Allah SWT, kenapa saya katakan demikian? oleh sebab satu detik kedepan adalah rahasia Allah, tidak ada seorang pun tahu akan ketentuan-NYA, contoh kecil akan saya berikan; Anda pasti tahu malam akan tiba tapi apakah anda tahu ketika malam itu akan turun hujan? tentu anda tidak akan tahu, karena itu adalah Rahasia Allah.

Nah, saya tidak melihat masa depan tapi saya melihat karakter seseorang, contohnya; mungkin ada yang terlupakan bagi anda sekarang ini, bisa jadi usaha anda saat ini menurun karena satu alasan dan itu terkadang juga bisa jadi teguran dari Allah SWT.

Dalam hal ini saya melihat ke sisi belakang, kenapa usaha anda menurun? bisa jadi karena anda lupa akan sebuah niat yang dulu pernah di ikrarkan apabila anda berhasil dalam usaha ini maka mengundang anak yatim-piatu, namun faktanya anda tidak melaksanakannya, itulah sebabnya usaha anda menurun.

Allah Swt telah menegur hati anda agar ingat akan janji pada-NYA melalui saya." Setelah aku menerangkan. Dia bertanya lagi, " Apakah MERAMAL itu ada hukumnya dalam agama?"

Kali ini kami bersama-sama meneguk kopi buatan ibuku. " Dalam Al-Qur'an (QS. An-Naml : 65) Allah berfirman, " Tidak ada seorang pun dilangit dan dibumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka dibangkit," Sudah jelas bagi kita semua bahwa meramal itu dilarang oleh Allah SWT, Akhirnya dia pergi dengan senyuman yang mengisyaratkan pengertian akan penjelasanku.


Perihal hukum meramal HARAM adalah:

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka Shalatnya selama 40 hari tidak akan diterima”

Barangsiapa membenarkan atau meyakini ramalan tersebut, maka dianggap telah meng Kufuri Al-Qur'an yang menyatakan hanya disisi Allah pengetahuan Ilmu Ghoib.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam Bersabda : “Barangsiapa yang mendatangi Dukun atau tukang ramal lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah Kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Rasullullah.

Hukum Meramal..........?

Oleh : Teuku Muhammad Lintar

Ketika aku duduk santai di beranda rumah, datanglah seorang yang berpakaian rapi turun dari mobil mewah. " Assallammualaikum." dia menyapaku. " Wa alaikumsallam." kubalas salamnya sambil mempersilahkan duduk.

Sesaat kemudian dia mulai membuka pembicaraan. " Saya dengar dari orang-orang bahkan dari pegawai saya bahwa anda bisa meramal. Tujuan saya kemari, ingin mengetahui bagaimana nasib saya untuk kedepannya dan apa yang harus saya lakukan untuk saat ini hingga kedepannya?" mendengar itu aku sangat terkejut dengan pertanyaan yang dia lontarkan.

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya, sambil menghisap sebatang rokok kemudian aku menerangkan padanya. " Saya ini bukan peramal tapi saya ini hanya bisa membaca karakter orang dan itu semua karena Allah SWT, kenapa saya katakan demikian? oleh sebab satu detik kedepan adalah rahasia Allah, tidak ada seorang pun tahu akan ketentuan-NYA, contoh kecil akan saya berikan; Anda pasti tahu malam akan tiba tapi apakah anda tahu ketika malam itu akan turun hujan? tentu anda tidak akan tahu, karena itu adalah Rahasia Allah.

Nah, saya tidak melihat masa depan tapi saya melihat karakter seseorang, contohnya; mungkin ada yang terlupakan bagi anda sekarang ini, bisa jadi usaha anda saat ini menurun karena satu alasan dan itu terkadang juga bisa jadi teguran dari Allah SWT.

Dalam hal ini saya melihat ke sisi belakang, kenapa usaha anda menurun? bisa jadi karena anda lupa akan sebuah niat yang dulu pernah di ikrarkan apabila anda berhasil dalam usaha ini maka mengundang anak yatim-piatu, namun faktanya anda tidak melaksanakannya, itulah sebabnya usaha anda menurun.

Allah Swt telah menegur hati anda agar ingat akan janji pada-NYA melalui saya." Setelah aku menerangkan. Dia bertanya lagi, " Apakah MERAMAL itu ada hukumnya dalam agama?"

Kali ini kami bersama-sama meneguk kopi buatan ibuku. " Dalam Al-Qur'an (QS. An-Naml : 65) Allah berfirman, " Tidak ada seorang pun dilangit dan dibumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka dibangkit," Sudah jelas bagi kita semua bahwa meramal itu dilarang oleh Allah SWT, Akhirnya dia pergi dengan senyuman yang mengisyaratkan pengertian akan penjelasanku.


Perihal hukum meramal HARAM adalah:

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka Shalatnya selama 40 hari tidak akan diterima”

Barangsiapa membenarkan atau meyakini ramalan tersebut, maka dianggap telah meng Kufuri Al-Qur'an yang menyatakan hanya disisi Allah pengetahuan Ilmu Ghoib.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam Bersabda : “Barangsiapa yang mendatangi Dukun atau tukang ramal lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah Kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Rasullullah.
pahamilah.com - Assalamu'alaikum wr wb.

Bagaimana hukumnya pernikahan yang dilakukan setelah pengantinnya hamil? Apakah anak yang dilahirkan berhak menggunakan nama suami ibunya? Ada yang mengatakan nikahnya tidak sah karena dilakukan pada kondisi tidak suci, sehingga dianjurkan dinikahkan lagi.

Wassalamualaikum,

Anita, Jakarta


Jawaban:

Perkawinan yang didahului oleh kehamilan dinilai sah oleh banyak ulama, walaupun memang ada ulama yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah. Sahabat Nabi SAW, Ibnu Abbas, berpendapat bahwa hubungan dua jenis kelamin yang tidak didahului oleh pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal.

Dengan kata lain, perkawinan seseorang yang telah berzina dengan wanita kemudian menikahinya dengan sah, seperti keadaan seorang yang mencuri buah dari kebun seseorang, kemudian dia membeli dengan sah kebun tersebut bersama seluruh buahnya.

Apa yang dicurinya (sebelum pembelian itu) haram, sedang yang dibelinya setelah pencurian itu adalah halal. Inilah pendapat Imam Syafi'i dan Abu Hanifah. Sedang Imam Malik menilai bahwa siapa yang berzina dengan seseorang kemudian dia menikahinya, maka hubungan seks keduanya adalah haram, kecuali dia melakukan akad nikah yang baru, setelah selesai iddah dari hubungan seks yang tidak sah itu.

Memang kalau ingin lebih tenang, sehingga dipandang sah juga oleh penganut mazhab Maliki, tidak ada salahnya melakukan nikah ulang, dengan memanggil dua orang saksi, wali wanita serta siapa saja yang bertindak sebagai penghulu. Anak yang lahir itu -- jika diakui oleh suami wanita tadi, maka dia dapat menyandang nama sang suami. Demikian, Wa Allah A'lam.


sumber: republika.co.id

Nikah Setelah Hamil, Bagaimana Hukumnya?

pahamilah.com - Assalamu'alaikum wr wb.

Bagaimana hukumnya pernikahan yang dilakukan setelah pengantinnya hamil? Apakah anak yang dilahirkan berhak menggunakan nama suami ibunya? Ada yang mengatakan nikahnya tidak sah karena dilakukan pada kondisi tidak suci, sehingga dianjurkan dinikahkan lagi.

Wassalamualaikum,

Anita, Jakarta


Jawaban:

Perkawinan yang didahului oleh kehamilan dinilai sah oleh banyak ulama, walaupun memang ada ulama yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah. Sahabat Nabi SAW, Ibnu Abbas, berpendapat bahwa hubungan dua jenis kelamin yang tidak didahului oleh pernikahan yang sah, lalu dilaksanakan sesudahnya pernikahan yang sah menjadikan hubungan tersebut awalnya haram dan akhirnya halal.

Dengan kata lain, perkawinan seseorang yang telah berzina dengan wanita kemudian menikahinya dengan sah, seperti keadaan seorang yang mencuri buah dari kebun seseorang, kemudian dia membeli dengan sah kebun tersebut bersama seluruh buahnya.

Apa yang dicurinya (sebelum pembelian itu) haram, sedang yang dibelinya setelah pencurian itu adalah halal. Inilah pendapat Imam Syafi'i dan Abu Hanifah. Sedang Imam Malik menilai bahwa siapa yang berzina dengan seseorang kemudian dia menikahinya, maka hubungan seks keduanya adalah haram, kecuali dia melakukan akad nikah yang baru, setelah selesai iddah dari hubungan seks yang tidak sah itu.

Memang kalau ingin lebih tenang, sehingga dipandang sah juga oleh penganut mazhab Maliki, tidak ada salahnya melakukan nikah ulang, dengan memanggil dua orang saksi, wali wanita serta siapa saja yang bertindak sebagai penghulu. Anak yang lahir itu -- jika diakui oleh suami wanita tadi, maka dia dapat menyandang nama sang suami. Demikian, Wa Allah A'lam.


sumber: republika.co.id

EMPAT tahun bukanlah waktu sedikit untuk belajar mengenal teori keadilan dalam pasal dan undang-udang, setiap hari kami bercengkerama dengan aturan, setiap waktu kami menulis makalah dalam bentuk tinjauan maupun intisari peraturan, demi ke-sohihan-nya pun tak jarang kami harus berburu resensi TEBAL ratusan halaman di perpustakaan atau menelusuri jejak-jejak di dunia maya dengan berbekal mesin pencari (google, dsb) dan menggantungkan diri pada tiga huruf hebat "WWW" (http/https) sebagai "jimat" yang kesaktiannya melebihi dukun atau paranormal di muka bumi.

Memang sangat indah dan menyenangkan menimba ilmu tentang keadilan di bangku perkuliahan, sebab yang kami kaji adalah ideliasme kebenaran, disana antara hitam dan putih mudah sekali dibedakan, antara yang bengkok dan lurus sangat tegas tidak boleh dicampur adukkan.

Setelah kami disyahkan dihadapan Majelis dalam seremonial yang disebut dengan istilah wisuda, kami mencoba untuk mengamalkan apa yang telah kami timba, namun ternyata dunia ini begitu SANGAT HITAM yang pekatnya melebihi jelaga, hingga pelita kecil yang kami bawa tiada mampu menerangi sebagaimana mestinya, bahkan untuk tapak kecil kami sendiri dalam melangkah pun cahaya itu seakan tidak bisa membuat jalan yang kami telusuri menjadi terang.

Memang dulu sewaktu menimba idealisme keadilan itu kami juga dikenalkan dengan realita melalui praktek dan belajar menangani suatu kasus, tapi sekarang fakta yang kami hadapi ternyata lebih kejam dan tidak berkeperimanusiaan serta jauh dari nilai moralitas, hukum telah menjadi ROBOT - dikendalikan demi kepentingan pribadi semata, digerakkan oleh oknum manusia-manusia bermoral rendah yang hanya menyukai STANDART HARGA yang terkenal dengan istilah WANI PIRO, jujur dengan berat hati saya enggan memakai istilah OKNUM sebab pada kenyataannya mereka itu lebih banyak daripada manusia yang masih menjunjung moralitas dan kebenaran yang sejujurnya.

Mungkin "kebanyakan" oknum-oknum tersebut akan membantah dengan menggunakan alasan ini dan itu, namun alasan tetap sebuah alasan demi pembenaran terhadap yang mereka kerjakan. (oknum kok banyak? - jadi berasa aneh pada tulisanku sendiri)

Empat tahunku seakan sia-sia belaka, sebab ternyata aku tidak bisa bermain dalam suatu lobi abu-abu yang sarat dengan berbagai macam kepentingan, hati nuraniku tidak sanggup untuk menjadi sosok dalam dua muka, yang disatu sisi harus makan dari hasil tetes keringat yang diperoleh dari mempermainkan keadilan namun di sisi yang lain berdalih bahwa semua ini demi "membela" suatu keadilan yang pada hakikatnya kebenaran itu sendiri masih dipertanyakan.

Aku pernah mengalami suatu ketidakadilan dimana KEPALSUAN itu disyahkan sebagai juara ketika palu hakim berbunyi membentur meja - aku kalah, lalu dimanakah keadilan itu ada? yang kuketahui keadilan yang sebenarnya itu hanya ada dialam sana, dimana ketika mulut dikunci rapat dan hanya anggota tubuh saja yang diperkenankan untuk bicara.


__________________..
NB: tulisan ini aku persembahkan kepada diriku sendiri dan juga untuk sahabat yang kejujurannya tiada berharga dan kebenaran yang diungkapkannya hanya dipandang sebelah mata. 



Keadilan Wani Piro


EMPAT tahun bukanlah waktu sedikit untuk belajar mengenal teori keadilan dalam pasal dan undang-udang, setiap hari kami bercengkerama dengan aturan, setiap waktu kami menulis makalah dalam bentuk tinjauan maupun intisari peraturan, demi ke-sohihan-nya pun tak jarang kami harus berburu resensi TEBAL ratusan halaman di perpustakaan atau menelusuri jejak-jejak di dunia maya dengan berbekal mesin pencari (google, dsb) dan menggantungkan diri pada tiga huruf hebat "WWW" (http/https) sebagai "jimat" yang kesaktiannya melebihi dukun atau paranormal di muka bumi.

Memang sangat indah dan menyenangkan menimba ilmu tentang keadilan di bangku perkuliahan, sebab yang kami kaji adalah ideliasme kebenaran, disana antara hitam dan putih mudah sekali dibedakan, antara yang bengkok dan lurus sangat tegas tidak boleh dicampur adukkan.

Setelah kami disyahkan dihadapan Majelis dalam seremonial yang disebut dengan istilah wisuda, kami mencoba untuk mengamalkan apa yang telah kami timba, namun ternyata dunia ini begitu SANGAT HITAM yang pekatnya melebihi jelaga, hingga pelita kecil yang kami bawa tiada mampu menerangi sebagaimana mestinya, bahkan untuk tapak kecil kami sendiri dalam melangkah pun cahaya itu seakan tidak bisa membuat jalan yang kami telusuri menjadi terang.

Memang dulu sewaktu menimba idealisme keadilan itu kami juga dikenalkan dengan realita melalui praktek dan belajar menangani suatu kasus, tapi sekarang fakta yang kami hadapi ternyata lebih kejam dan tidak berkeperimanusiaan serta jauh dari nilai moralitas, hukum telah menjadi ROBOT - dikendalikan demi kepentingan pribadi semata, digerakkan oleh oknum manusia-manusia bermoral rendah yang hanya menyukai STANDART HARGA yang terkenal dengan istilah WANI PIRO, jujur dengan berat hati saya enggan memakai istilah OKNUM sebab pada kenyataannya mereka itu lebih banyak daripada manusia yang masih menjunjung moralitas dan kebenaran yang sejujurnya.

Mungkin "kebanyakan" oknum-oknum tersebut akan membantah dengan menggunakan alasan ini dan itu, namun alasan tetap sebuah alasan demi pembenaran terhadap yang mereka kerjakan. (oknum kok banyak? - jadi berasa aneh pada tulisanku sendiri)

Empat tahunku seakan sia-sia belaka, sebab ternyata aku tidak bisa bermain dalam suatu lobi abu-abu yang sarat dengan berbagai macam kepentingan, hati nuraniku tidak sanggup untuk menjadi sosok dalam dua muka, yang disatu sisi harus makan dari hasil tetes keringat yang diperoleh dari mempermainkan keadilan namun di sisi yang lain berdalih bahwa semua ini demi "membela" suatu keadilan yang pada hakikatnya kebenaran itu sendiri masih dipertanyakan.

Aku pernah mengalami suatu ketidakadilan dimana KEPALSUAN itu disyahkan sebagai juara ketika palu hakim berbunyi membentur meja - aku kalah, lalu dimanakah keadilan itu ada? yang kuketahui keadilan yang sebenarnya itu hanya ada dialam sana, dimana ketika mulut dikunci rapat dan hanya anggota tubuh saja yang diperkenankan untuk bicara.


__________________..
NB: tulisan ini aku persembahkan kepada diriku sendiri dan juga untuk sahabat yang kejujurannya tiada berharga dan kebenaran yang diungkapkannya hanya dipandang sebelah mata.