middle ad
Tampilkan postingan dengan label Perang Gaza. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perang Gaza. Tampilkan semua postingan
Bocah Palestina

Pahamilah.com - Siapa yang tidak kenal Jeffrey Goldberg. Jurnalis gaek keturunan Yahudi ini memang bukan sosok sembarangan. Selain sudah makan asam garam di dunia kewartanan, veteran Angkatan Bersenjata Israel yang ikut berbagai perang itu adalah salah satu tangki pemikir elit rezim Zionis Israel hingga hari ini. Berbagai tulisannya dipandang mencerminkan suara autentik “negara” Yahudi di media massa AS.

Dalam liputan utama sepanjang 12 halaman di majalah The Atlantic enam tahun silam, Jeffrey Goldberg menyoroti kemungkinan bertahannya Israel di kawasan Timur Tengah. Dalam artikel panjang itu, Godlberg memulai tulisannya dengan rangkaian pertanyaan: “Bagaimana Israel bisa bertahan hidup 60 tahun lagi di belahan dunia yang sudah membesarkan kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas? Bagaimana Israel bisa berkembang bila angkatan bersenjatanya tak bisa mengalahkan gerombolan kecil para peluncur roket (Hizbullah)? Bukankah penumpukan begitu banyak orang Yahudi di tempat yang demikian sempit—hingga dapat menimbulkan klaustrofobia—di kawasan dunia paling bergejolak itu justru melemahkan daya tahan masyarakat Yahudi?”

Godlberg tampaknya berusaha menjawab berbagai kegalauan eksistensial rezim zionis Israel, sembari menimbang ancaman internal yang—menurutnya—terus berusaha menggagalkan solusi dua negara. “Saya khawatir. Kalian bisa mencoba bertahan dari ancaman luar sebaik mungkin, tapi kalian juga harus waspada dengan ancaman dari dalam,” tulis Goldberg. “Saya benar-benar khawatir terhadap masa 10 sampai 15 tahun Israel di depan. Saya khawatir dengan delegitimasi, dan delegitimasi adalah proses yang (masyarakat) Israel sendiri bisa ikut serta melakukannya,” imbuhnya.

Goldberg melanjutkan, “Kalangan Yahudi Amerika khususnya harus menyadari bahwa segala sesuatunya sangat rapuh.” Lantas, Goldberg menekankan bahwa mengajukan pertanyaan terbesar (yaitu yang menyangkut masa depan eksistensi Israel) adalah baik, meski tak pernah memberi jawaban yang jelas.

Apa yang disampaikan Goldberg 6 tahun silam itu, tepatnya Mei 2008, tampaknya terus menghantui elit politik dan militer zionis. Bagaimana tidak? Negara yang berdiri di atas tanah milik bangsa lain itu kini sedang berada di pusaran torpedo yang dahsyat. Dua tiga negara yang tampak begitu kuat dan berakar dalam ribuan tahun lamanya, seperti Mesir, Irak dan Suriah, bisa mendadak oleng, apatah lagi negara buatan yang ditanam oleh rezim penjajah yang datang nun jauh dari berbagai belahan dunia.

Ketakutan dan kegelisahan zionis ini dapat kita lihat setiap hari dari serangkaian analisis dan komentar media massa mereka sendiri. Hampir setiap hari barang satu dua pemikir Yahudi yang mulai mempertanyakan makna dan maslahat kehadiran negara khusus kaum Yahudi di tengah-tengah lingkungan yang sama sekali menolaknya. Kian hari kian jelas bahwa negara Yahudi bernama Israel ibarat minyak di tengah puluhan juta liter danau yang tak mampu bercampur dengannya.

Kegelisahan eksistensial itu makin kuat seiring kegagalan Israel menginvasi Jalur Gaza sejak 2008-09 silam. PM Benjamin Netanyahu dan sebagian besar elit Israel tahu persis bahwa mereka tak bisa berbuat banyak menghadapi faksi-faksi perlawanan Palestina, terutama yang berada di Gaza. Israel tak lagi punya pasukan yang bisa seenaknya diminta menginvasi Gaza—apalagi Lebanon Selatan. Masa-masa itu telah berlalu tanpa mungkin kembali lagi. Rezim zionis ini sadar sepenuhnya bahwa tidak ada solusi baginya saat ini kecuali lewat negosiasi dengan pihak Palestina.

Ketakmampuan militernya melancarkan invasi darat ke Jalur Gaza merupakan bukti kegagalan, kelemahan, kegamangan dan inkompetensi militer yang serius. Kerusakan dan kehancuran infrastruktur serta pembantaian ribuan warga Gaza tidak dapat menutupi kegagalan militer dalam arti strategisnya. Padahal, Israel adalah negara yang telah dan tetap wajib berdiri di atas supremasi militer.

Hasan Hijazi, pengamat Israel asal Lebanon, menyimpulkan bahwa para pengamat dan analis Israel hampir semuanya sepakat bahwa aksi militer Israel di Gaza tidak mampu mengubah situasi nyata di medan laga, terutama akibat kegagalan serangan udara dan ketakmampuan melancarkan serangan darat. Dia menambahkan bahwa para analis zionis yakin bahwa solusi bagi kegagalan militer tersebut hanyalah negosiasi dengan pihak Palestina. Dan itu artinya tak ada kemenangan militer bagi Israel—sesuatu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan eksistensi negara palsu yang berdiri di atas doktrin supremasi militer ini.

Hijazi menyatakan bahwa popularitas kubu Menlu Avigdor Lieberman yang menolak kompromi dan negosiasi dengan “teroris Gaza” belakangan terus merosot tajam. Netanyahu yang semula dianggap tergolong kubu garis keras juga berangsur melunak. Ada banyak kekhawatiran yang tumbuh di lingkaran dalam kekuasaan saat ini. Selain kegagalan militer Israel meriah kemenangan yang telak dan desisif, kemenangan militer Suriah memukul mundur gerombolan pemberontak teroris dari berbagai wilayahnya juga menambah kecemasan yang serius.

Sebagian besar analis Israel saat ini condong pada pendapat bahwa Israel tidak lagi memiliki supremasi militer atas lawan-lawannya, dan karenanya harus sadar bahwa jalur diplomasi, pembicaraan dan negosiasi adalah satu-satunya yang tersedia. Serangan militer merawak rambang ke Jalur Gaza sejak Juli silam kembali mengingatkan banyak elit zionis pada prediksi Jeffrey Goldberg 6 tahun lalu. Bahwa ide Israel bakal lenyap atau setidaknya luruh dari peta kawasan dan berganti menjadi sebuah negara asli bernama Palestina dengan segala konsekuensi suka-duka berbagi tanah dengan penduduk yang ada di sana bukan lagi suatu kemustahilan.

Kemerdekaan Palestina seutuhnya, yang membentang dari Laut Tengah hingga Sungai Yordania, tak lagi dapat dianggap sebagai isapan jempol belaka. Cita-cita itu kini telah menjadi harapan yang di depan mata. (islamtimes/pahamilah)


Jeffrey Goldberg: Kemerdekaan Palestina bukan Isapan Jempol

Bocah Palestina

Pahamilah.com - Siapa yang tidak kenal Jeffrey Goldberg. Jurnalis gaek keturunan Yahudi ini memang bukan sosok sembarangan. Selain sudah makan asam garam di dunia kewartanan, veteran Angkatan Bersenjata Israel yang ikut berbagai perang itu adalah salah satu tangki pemikir elit rezim Zionis Israel hingga hari ini. Berbagai tulisannya dipandang mencerminkan suara autentik “negara” Yahudi di media massa AS.

Dalam liputan utama sepanjang 12 halaman di majalah The Atlantic enam tahun silam, Jeffrey Goldberg menyoroti kemungkinan bertahannya Israel di kawasan Timur Tengah. Dalam artikel panjang itu, Godlberg memulai tulisannya dengan rangkaian pertanyaan: “Bagaimana Israel bisa bertahan hidup 60 tahun lagi di belahan dunia yang sudah membesarkan kelompok-kelompok perlawanan seperti Hamas? Bagaimana Israel bisa berkembang bila angkatan bersenjatanya tak bisa mengalahkan gerombolan kecil para peluncur roket (Hizbullah)? Bukankah penumpukan begitu banyak orang Yahudi di tempat yang demikian sempit—hingga dapat menimbulkan klaustrofobia—di kawasan dunia paling bergejolak itu justru melemahkan daya tahan masyarakat Yahudi?”

Godlberg tampaknya berusaha menjawab berbagai kegalauan eksistensial rezim zionis Israel, sembari menimbang ancaman internal yang—menurutnya—terus berusaha menggagalkan solusi dua negara. “Saya khawatir. Kalian bisa mencoba bertahan dari ancaman luar sebaik mungkin, tapi kalian juga harus waspada dengan ancaman dari dalam,” tulis Goldberg. “Saya benar-benar khawatir terhadap masa 10 sampai 15 tahun Israel di depan. Saya khawatir dengan delegitimasi, dan delegitimasi adalah proses yang (masyarakat) Israel sendiri bisa ikut serta melakukannya,” imbuhnya.

Goldberg melanjutkan, “Kalangan Yahudi Amerika khususnya harus menyadari bahwa segala sesuatunya sangat rapuh.” Lantas, Goldberg menekankan bahwa mengajukan pertanyaan terbesar (yaitu yang menyangkut masa depan eksistensi Israel) adalah baik, meski tak pernah memberi jawaban yang jelas.

Apa yang disampaikan Goldberg 6 tahun silam itu, tepatnya Mei 2008, tampaknya terus menghantui elit politik dan militer zionis. Bagaimana tidak? Negara yang berdiri di atas tanah milik bangsa lain itu kini sedang berada di pusaran torpedo yang dahsyat. Dua tiga negara yang tampak begitu kuat dan berakar dalam ribuan tahun lamanya, seperti Mesir, Irak dan Suriah, bisa mendadak oleng, apatah lagi negara buatan yang ditanam oleh rezim penjajah yang datang nun jauh dari berbagai belahan dunia.

Ketakutan dan kegelisahan zionis ini dapat kita lihat setiap hari dari serangkaian analisis dan komentar media massa mereka sendiri. Hampir setiap hari barang satu dua pemikir Yahudi yang mulai mempertanyakan makna dan maslahat kehadiran negara khusus kaum Yahudi di tengah-tengah lingkungan yang sama sekali menolaknya. Kian hari kian jelas bahwa negara Yahudi bernama Israel ibarat minyak di tengah puluhan juta liter danau yang tak mampu bercampur dengannya.

Kegelisahan eksistensial itu makin kuat seiring kegagalan Israel menginvasi Jalur Gaza sejak 2008-09 silam. PM Benjamin Netanyahu dan sebagian besar elit Israel tahu persis bahwa mereka tak bisa berbuat banyak menghadapi faksi-faksi perlawanan Palestina, terutama yang berada di Gaza. Israel tak lagi punya pasukan yang bisa seenaknya diminta menginvasi Gaza—apalagi Lebanon Selatan. Masa-masa itu telah berlalu tanpa mungkin kembali lagi. Rezim zionis ini sadar sepenuhnya bahwa tidak ada solusi baginya saat ini kecuali lewat negosiasi dengan pihak Palestina.

Ketakmampuan militernya melancarkan invasi darat ke Jalur Gaza merupakan bukti kegagalan, kelemahan, kegamangan dan inkompetensi militer yang serius. Kerusakan dan kehancuran infrastruktur serta pembantaian ribuan warga Gaza tidak dapat menutupi kegagalan militer dalam arti strategisnya. Padahal, Israel adalah negara yang telah dan tetap wajib berdiri di atas supremasi militer.

Hasan Hijazi, pengamat Israel asal Lebanon, menyimpulkan bahwa para pengamat dan analis Israel hampir semuanya sepakat bahwa aksi militer Israel di Gaza tidak mampu mengubah situasi nyata di medan laga, terutama akibat kegagalan serangan udara dan ketakmampuan melancarkan serangan darat. Dia menambahkan bahwa para analis zionis yakin bahwa solusi bagi kegagalan militer tersebut hanyalah negosiasi dengan pihak Palestina. Dan itu artinya tak ada kemenangan militer bagi Israel—sesuatu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan eksistensi negara palsu yang berdiri di atas doktrin supremasi militer ini.

Hijazi menyatakan bahwa popularitas kubu Menlu Avigdor Lieberman yang menolak kompromi dan negosiasi dengan “teroris Gaza” belakangan terus merosot tajam. Netanyahu yang semula dianggap tergolong kubu garis keras juga berangsur melunak. Ada banyak kekhawatiran yang tumbuh di lingkaran dalam kekuasaan saat ini. Selain kegagalan militer Israel meriah kemenangan yang telak dan desisif, kemenangan militer Suriah memukul mundur gerombolan pemberontak teroris dari berbagai wilayahnya juga menambah kecemasan yang serius.

Sebagian besar analis Israel saat ini condong pada pendapat bahwa Israel tidak lagi memiliki supremasi militer atas lawan-lawannya, dan karenanya harus sadar bahwa jalur diplomasi, pembicaraan dan negosiasi adalah satu-satunya yang tersedia. Serangan militer merawak rambang ke Jalur Gaza sejak Juli silam kembali mengingatkan banyak elit zionis pada prediksi Jeffrey Goldberg 6 tahun lalu. Bahwa ide Israel bakal lenyap atau setidaknya luruh dari peta kawasan dan berganti menjadi sebuah negara asli bernama Palestina dengan segala konsekuensi suka-duka berbagi tanah dengan penduduk yang ada di sana bukan lagi suatu kemustahilan.

Kemerdekaan Palestina seutuhnya, yang membentang dari Laut Tengah hingga Sungai Yordania, tak lagi dapat dianggap sebagai isapan jempol belaka. Cita-cita itu kini telah menjadi harapan yang di depan mata. (islamtimes/pahamilah)


Tentara Israel menangis

Pahamilah.com - Kemarin, di wilayah pendudukan Palestina yang sejak 1948 dikoloni oleh rezim zionis dengan dukungan AS dan negara-negara Eropa, terjadi unjuk rasa damai yang terbesar sejak rezim zionis meluncurkan operasi "Protective Edge" pada 8 Juli lalu. Agresi brutal setidaknya telah merengut nyawa 1980 warga Palestina dan mencederai ribuan lainnya.

Unjuk rasa yang diikuti puluhan ribu demonstran Yahudi itu diselenggarakan partai Meretz progresif dan Peace Now, sebuah kelompok aktivis yang menentang pembangunan permukiman Yahudi di wilayah yang diduduki. Para pengunjuk rasa juga menyatakan kemarahannya pada rezim Netanyahu, dengan meneriakkan "Bibi, pulanglah!"

The Jerusalem Post melaporkan:

"Pemimpin Meretz MK Zehava Gal-On mengatakan, Netanyahu harus berhenti karena gagal dalam upayanya menciptakan ketenangan di selatan, walaupun punya 'cek kosong' untuk menjabat selama lima tahun. Ia mengatakan, 'Israel' akan melakukan lebih baik untuk mengangkat blokade di Gaza, mengakhiri pendudukan di wilayah Palestina (yang meliputi wilayah yang dicaplok sejak 1948), dan kembali ke perundingan yang melampaui gencatan senjata."

"Anda dapat mencapai kerangka kerja yang Anda sudi terima sekarang tanpa membayar harga 64 tentara tewas dan kematian warga sipil," kata Gal-On kepada Netanyahu. Kerumunan orang kontan berteriak "Bibi pulanglah."

"... Sambil membelakangi gedung balaikota Tel Aviv yang mengibarkan bendera raksasa 'Israel', para pengunjuk rasa mengusung poster bertuliskan, 'Yahudi dan Arab menolak menjadi musuh,' dan 'Jika tak ada perdamaian, perang terjadi'."

Adapun harian zionis Times of Israel menuturkan,

"Penulis David Grossman berpidato ke arah kerumunan, dan mengatakan bahwa 'Israel' 'menenggelamkan rumah kami dalam fanatisme dan kebencian dari dalam'."

"Gerakan berbahaya sedang datang melintasi 'Israel' karena rasa putus asa, kecemasan, nasionalisme, dan rasisme meletus secara serentak," katanya. "Tak satu kata pun kutukan yang diucapkan perdana menteri. Akan sangat sulit untuk mengendalikan kekuatan gelap. Saya kuatir, para pemimpin senang melihat kaum Kiri disandera, tapi kondisi pasang ini akan berbalik melawan mereka saat mereka tampak terlalu moderat. Proses dan fenomena ini sayangnya akan mengubah 'Israel' jadi lebih radikal, militan, kultus xenophobia, terisolasi, dan dikucilkan. (islamtimes/pahamilah)


Imbas Agresi Gaza, Zionis Protes Zionis

Tentara Israel menangis

Pahamilah.com - Kemarin, di wilayah pendudukan Palestina yang sejak 1948 dikoloni oleh rezim zionis dengan dukungan AS dan negara-negara Eropa, terjadi unjuk rasa damai yang terbesar sejak rezim zionis meluncurkan operasi "Protective Edge" pada 8 Juli lalu. Agresi brutal setidaknya telah merengut nyawa 1980 warga Palestina dan mencederai ribuan lainnya.

Unjuk rasa yang diikuti puluhan ribu demonstran Yahudi itu diselenggarakan partai Meretz progresif dan Peace Now, sebuah kelompok aktivis yang menentang pembangunan permukiman Yahudi di wilayah yang diduduki. Para pengunjuk rasa juga menyatakan kemarahannya pada rezim Netanyahu, dengan meneriakkan "Bibi, pulanglah!"

The Jerusalem Post melaporkan:

"Pemimpin Meretz MK Zehava Gal-On mengatakan, Netanyahu harus berhenti karena gagal dalam upayanya menciptakan ketenangan di selatan, walaupun punya 'cek kosong' untuk menjabat selama lima tahun. Ia mengatakan, 'Israel' akan melakukan lebih baik untuk mengangkat blokade di Gaza, mengakhiri pendudukan di wilayah Palestina (yang meliputi wilayah yang dicaplok sejak 1948), dan kembali ke perundingan yang melampaui gencatan senjata."

"Anda dapat mencapai kerangka kerja yang Anda sudi terima sekarang tanpa membayar harga 64 tentara tewas dan kematian warga sipil," kata Gal-On kepada Netanyahu. Kerumunan orang kontan berteriak "Bibi pulanglah."

"... Sambil membelakangi gedung balaikota Tel Aviv yang mengibarkan bendera raksasa 'Israel', para pengunjuk rasa mengusung poster bertuliskan, 'Yahudi dan Arab menolak menjadi musuh,' dan 'Jika tak ada perdamaian, perang terjadi'."

Adapun harian zionis Times of Israel menuturkan,

"Penulis David Grossman berpidato ke arah kerumunan, dan mengatakan bahwa 'Israel' 'menenggelamkan rumah kami dalam fanatisme dan kebencian dari dalam'."

"Gerakan berbahaya sedang datang melintasi 'Israel' karena rasa putus asa, kecemasan, nasionalisme, dan rasisme meletus secara serentak," katanya. "Tak satu kata pun kutukan yang diucapkan perdana menteri. Akan sangat sulit untuk mengendalikan kekuatan gelap. Saya kuatir, para pemimpin senang melihat kaum Kiri disandera, tapi kondisi pasang ini akan berbalik melawan mereka saat mereka tampak terlalu moderat. Proses dan fenomena ini sayangnya akan mengubah 'Israel' jadi lebih radikal, militan, kultus xenophobia, terisolasi, dan dikucilkan. (islamtimes/pahamilah)


Israel-AS

Pahamilah.com - Sebanyak 313 Yahudi korban selamat serta keturunan korban selamat dan tewas dari genosida Nazi ikut menandatangani surat berikut yang ditulis untuk menanggapi manipulasi Elie Wiesel tentang "Genosida Nazi" untuk membenarkan serangan zionis "Israel" terhadap Gaza:

"Sebagai korban Yahudi yang selamat serta keturunan korban selamat dan tewas genosida Nazi, kita secara tegas mengutuk pembantaian warga Palestina di Gaza dan pendudukan berkelanjutan dan kolonisasi historis Palestina. Kami mengutuk Amerika Serikat karena memberi dana 'Israel' untuk melancarkan serangan, dan negara-negara Barat pada umumnya karena menggunakan otot diplomatik untuk melindungi 'Israel' dari jerata hukum. Genosida bermula di tengah kebungkaman dunia."

"Kami kuatir dengan dehumanisasi ekstrim, rasis dari warga Palestina di tengah kawanan 'Israel', yang telah mencapai demam puncak. Di 'Israel' (wilayah pendudukan Palestina), politisi dan pakar di The Times of Israel dan The Jerusalem Post telah menyerukan secara terbuka untuk melakukan genosida warga Palestina dan sayap kanan 'Israel' yang mengadopsi lencana Neo-Nazi."

"Selain itu, kami muak dan marah terhadap penyalahgunaan Elie Wiesel terhadap sejarah kami di halaman-halaman [tulisannya] untuk mempromosikan kebohongan terang-terangan yang digunakan untuk membenarkan yang tidak dapat dibenarkan: upaya habis-habisan 'Israel' untuk menghancurkan Gaza dan pembunuhan hampir 2000 warga Palestina, termasuk ratusan anak-anak. Tidak ada yang dapat membenarkan pengeboman tempat penampungan PBB, rumah tinggal, rumah sakit, dan universitas. Tidak ada yang dapat membenarkan merampas listrik dan air dari orang-orang."

"Kita harus meningkatkan suara kolektif dan menggunakan kekuatan kolektif untuk mengakhiri semua bentuk rasisme, termasuk genosida rakyat Palestina. Kami menyerukan segera diakhirinya pengepungan dan blokade terhadap Gaza. Kami menyerukan boikot ekonomi, budaya, dan akademis penuh terhadap 'Israel'."

"Jangan pernah lagi" harus berarti "JANGAN PERNAH LAGI BAGI SIAPAPUN!"

Berikut adalah link yang memuat nama-nama warga Yahudi di seantero dunia (yang pernah menjadi korban kekejaman rezim fasis Nazi Jerman) yang menandatangani surat kutukan tersebut:
http://uprootedpalestinians.wordpress.com/2014/08/17/over-300-survivors-and-descendants-of-survivors-of-victims-of-the-nazi-genocide-condemn-israels-assault-on-gaza/  (islamtimes.pahamilah)

313 Yahudi Korban Nazi Kutuk Pendudukan & Agresi Zionis

Israel-AS

Pahamilah.com - Sebanyak 313 Yahudi korban selamat serta keturunan korban selamat dan tewas dari genosida Nazi ikut menandatangani surat berikut yang ditulis untuk menanggapi manipulasi Elie Wiesel tentang "Genosida Nazi" untuk membenarkan serangan zionis "Israel" terhadap Gaza:

"Sebagai korban Yahudi yang selamat serta keturunan korban selamat dan tewas genosida Nazi, kita secara tegas mengutuk pembantaian warga Palestina di Gaza dan pendudukan berkelanjutan dan kolonisasi historis Palestina. Kami mengutuk Amerika Serikat karena memberi dana 'Israel' untuk melancarkan serangan, dan negara-negara Barat pada umumnya karena menggunakan otot diplomatik untuk melindungi 'Israel' dari jerata hukum. Genosida bermula di tengah kebungkaman dunia."

"Kami kuatir dengan dehumanisasi ekstrim, rasis dari warga Palestina di tengah kawanan 'Israel', yang telah mencapai demam puncak. Di 'Israel' (wilayah pendudukan Palestina), politisi dan pakar di The Times of Israel dan The Jerusalem Post telah menyerukan secara terbuka untuk melakukan genosida warga Palestina dan sayap kanan 'Israel' yang mengadopsi lencana Neo-Nazi."

"Selain itu, kami muak dan marah terhadap penyalahgunaan Elie Wiesel terhadap sejarah kami di halaman-halaman [tulisannya] untuk mempromosikan kebohongan terang-terangan yang digunakan untuk membenarkan yang tidak dapat dibenarkan: upaya habis-habisan 'Israel' untuk menghancurkan Gaza dan pembunuhan hampir 2000 warga Palestina, termasuk ratusan anak-anak. Tidak ada yang dapat membenarkan pengeboman tempat penampungan PBB, rumah tinggal, rumah sakit, dan universitas. Tidak ada yang dapat membenarkan merampas listrik dan air dari orang-orang."

"Kita harus meningkatkan suara kolektif dan menggunakan kekuatan kolektif untuk mengakhiri semua bentuk rasisme, termasuk genosida rakyat Palestina. Kami menyerukan segera diakhirinya pengepungan dan blokade terhadap Gaza. Kami menyerukan boikot ekonomi, budaya, dan akademis penuh terhadap 'Israel'."

"Jangan pernah lagi" harus berarti "JANGAN PERNAH LAGI BAGI SIAPAPUN!"

Berikut adalah link yang memuat nama-nama warga Yahudi di seantero dunia (yang pernah menjadi korban kekejaman rezim fasis Nazi Jerman) yang menandatangani surat kutukan tersebut:
http://uprootedpalestinians.wordpress.com/2014/08/17/over-300-survivors-and-descendants-of-survivors-of-victims-of-the-nazi-genocide-condemn-israels-assault-on-gaza/  (islamtimes.pahamilah)