middle ad
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan


Pahamilah.com - Tentang penamaan “Muhammad” untuk nama Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada beberapa riwayat yang menceritakan mengenai sejarahnya. Dahulu di masa jahiliyah tak banyak orang yang menyandang nama Muhammad. Bagi masyarakat jahiliyah kala itu, nama ini masih teramat asing di telinga mereka. Oleh karenanya, saat kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdul Muthalib, memilih nama “Muhammad” (orang yang terpuji) untuk cucu tercintanya, mereka merasa heran. Hal ini karena keputusan yang dilakukan Abdul Muthalib tersebut  berbeda dengan adat orang-orang Quraisy dahulu. Dimana diantara adat mereka, mereka menjadikan nama-nama leluhur sebagai nama untuk anak keturunan mereka.

Beberapa orang dari suku Quraisy memberi masukan untuk Abdulmutholib; yang kala itu selaku pembesar suku Quraisy, perihal nama untuk cucu tercintanya,

لما رغبت به عن أسماء أهل بيته؟
“Mengapa tidak dinamai dengan nama salah seorang dari kerabatnya saja?”

Abdul Muthalib menjawab,
أردت أن يحمده الله تعالى في السماء وخلقه في الأرض
“Aku ingin agar Allah memujinya di langit, dan ia dipuji makhluk-makhluk-Nya di bumi” (Lihat Dala ilun Nubuwwah 1: 113).

Ucapan ini menjadi kenyataan. Allah telah menjadikan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam adalah orang yang paling terpuji dan paling mulia di segenap penduduk langit dan bumi. Dalam Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari perkataan Abdulmutholib ini. Beliau mengatakan, “Allah ‘azzawajalla telah mengilhamkan kepada mereka untuk menamai Nabi dengan nama Muhammad (orang yang terpuji). Hal ini karena dalam diri beliau telah tertanam sifat-sifat yang luhur, agar menjadi sepadan antara nama dan tindakan, dan agar sinkron antara nama dan yang diberi nama, baik dalam hal nama maupun tindak-tanduknya” (Bidayah wan Nihayah 1: 669)

Ada pula riwayat lain yang menjelaskan sejarah penamaan Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Dalam Raudhatul Unuf, Imam As-Suhaili menukilkan riwayat tersebut. Kisahnya berawal dari perjalanan kakek beliau; Abdulmutholib menuju negeri Syam bersama tiga orang rekannya untuk suatu keperluan bisnis. Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang rahib (pendeta). Sang rahib menanyakan, “Dari mana kalian?”
“Kami berasal dari Makkah.” Jawab mereka.

Mengetahui mereka datang dari Makkah, sang rahib pun mengabarkan perihal berita yang dia dapatkan dalam kitab suci agamanya, “Sesungguhnya dari negeri kalian itu akan muncul seorang Nabi.” tegas sang rahib. Dengan penuh keheranan, Abdul Muthalib dan tiga orang kawannya menanyakan perihal nama Nabi tersebut. Rahib itu menjawab, “Namanya adalah Muhammad.”

Perawi menyatakan,
ولم يكن اسم محمد معروفا عند العرب
“Kala itu nama Muhammad belum dikenal di kalangan penduduk Arab.”

Mendengar jawaban rahib tersebut, Abdul Muthalib beserta tiga rekannya bertekad bila nanti lahir bayi laki-laki sepulang mereka dari Syam, mereka akan memberi nama Muhammad. Allah pun menakdirkan, ternyata bayi laki-laki yang pertama kali lahir sepulangnya mereka dari Syam adalah dari menantu Abdul Muthalib, yaitu Aminah binti Wahb; Ibunda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abdulmutholib pun menyematkan nama Muhammad untuk cucu tercintanya. Adapun ketiga rekan beliau; yaitu Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah, mereka juga tak mau kalah, saat lahir bayi laki-laki mereka, mereka juga segera menamai putera mereka dengan nama Muhammad. “Empat orang inilah,” terang Imam As-Suhaili,  “orang Arab pertama yang menamai anaknya dengan nama Muhammad.” (Raudhotul Unuf 1: 820).

Harits bin Tsabit bersenandung dalam bait-bait syairnya,
فشق له من اسمه ليجله
فذو العرش محمود وهذا محمد
Namanya diambil dari nama (Tuhan) Nya untuk mengagungkannya
Karena Pemilik Arsy itu Maha terpuji (Mahmud) dan inilah hamba-Nya; orang yang terpuji (Muhammad).

Wallahu a’lam bis showab.

__
Referensi: Al Lu’lu’u Al Maknun fi Shiroti An Nabi Al Ma’muun, karya Musa Rasyid Al ‘Azimi. Cetakan ketiga, tahun 1436/2015. Penerbit Darus Suma’i, Riyadh.
Kota Nabi, 18 Rojab 1436 H.
***
Penulis: Ahmad Anshori

(muslim.or.id/pahamilah)

Sejarah Penamaan “Muhammad” Untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam



Pahamilah.com - Tentang penamaan “Muhammad” untuk nama Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada beberapa riwayat yang menceritakan mengenai sejarahnya. Dahulu di masa jahiliyah tak banyak orang yang menyandang nama Muhammad. Bagi masyarakat jahiliyah kala itu, nama ini masih teramat asing di telinga mereka. Oleh karenanya, saat kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdul Muthalib, memilih nama “Muhammad” (orang yang terpuji) untuk cucu tercintanya, mereka merasa heran. Hal ini karena keputusan yang dilakukan Abdul Muthalib tersebut  berbeda dengan adat orang-orang Quraisy dahulu. Dimana diantara adat mereka, mereka menjadikan nama-nama leluhur sebagai nama untuk anak keturunan mereka.

Beberapa orang dari suku Quraisy memberi masukan untuk Abdulmutholib; yang kala itu selaku pembesar suku Quraisy, perihal nama untuk cucu tercintanya,

لما رغبت به عن أسماء أهل بيته؟
“Mengapa tidak dinamai dengan nama salah seorang dari kerabatnya saja?”

Abdul Muthalib menjawab,
أردت أن يحمده الله تعالى في السماء وخلقه في الأرض
“Aku ingin agar Allah memujinya di langit, dan ia dipuji makhluk-makhluk-Nya di bumi” (Lihat Dala ilun Nubuwwah 1: 113).

Ucapan ini menjadi kenyataan. Allah telah menjadikan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam adalah orang yang paling terpuji dan paling mulia di segenap penduduk langit dan bumi. Dalam Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari perkataan Abdulmutholib ini. Beliau mengatakan, “Allah ‘azzawajalla telah mengilhamkan kepada mereka untuk menamai Nabi dengan nama Muhammad (orang yang terpuji). Hal ini karena dalam diri beliau telah tertanam sifat-sifat yang luhur, agar menjadi sepadan antara nama dan tindakan, dan agar sinkron antara nama dan yang diberi nama, baik dalam hal nama maupun tindak-tanduknya” (Bidayah wan Nihayah 1: 669)

Ada pula riwayat lain yang menjelaskan sejarah penamaan Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Dalam Raudhatul Unuf, Imam As-Suhaili menukilkan riwayat tersebut. Kisahnya berawal dari perjalanan kakek beliau; Abdulmutholib menuju negeri Syam bersama tiga orang rekannya untuk suatu keperluan bisnis. Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang rahib (pendeta). Sang rahib menanyakan, “Dari mana kalian?”
“Kami berasal dari Makkah.” Jawab mereka.

Mengetahui mereka datang dari Makkah, sang rahib pun mengabarkan perihal berita yang dia dapatkan dalam kitab suci agamanya, “Sesungguhnya dari negeri kalian itu akan muncul seorang Nabi.” tegas sang rahib. Dengan penuh keheranan, Abdul Muthalib dan tiga orang kawannya menanyakan perihal nama Nabi tersebut. Rahib itu menjawab, “Namanya adalah Muhammad.”

Perawi menyatakan,
ولم يكن اسم محمد معروفا عند العرب
“Kala itu nama Muhammad belum dikenal di kalangan penduduk Arab.”

Mendengar jawaban rahib tersebut, Abdul Muthalib beserta tiga rekannya bertekad bila nanti lahir bayi laki-laki sepulang mereka dari Syam, mereka akan memberi nama Muhammad. Allah pun menakdirkan, ternyata bayi laki-laki yang pertama kali lahir sepulangnya mereka dari Syam adalah dari menantu Abdul Muthalib, yaitu Aminah binti Wahb; Ibunda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abdulmutholib pun menyematkan nama Muhammad untuk cucu tercintanya. Adapun ketiga rekan beliau; yaitu Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah, mereka juga tak mau kalah, saat lahir bayi laki-laki mereka, mereka juga segera menamai putera mereka dengan nama Muhammad. “Empat orang inilah,” terang Imam As-Suhaili,  “orang Arab pertama yang menamai anaknya dengan nama Muhammad.” (Raudhotul Unuf 1: 820).

Harits bin Tsabit bersenandung dalam bait-bait syairnya,
فشق له من اسمه ليجله
فذو العرش محمود وهذا محمد
Namanya diambil dari nama (Tuhan) Nya untuk mengagungkannya
Karena Pemilik Arsy itu Maha terpuji (Mahmud) dan inilah hamba-Nya; orang yang terpuji (Muhammad).

Wallahu a’lam bis showab.

__
Referensi: Al Lu’lu’u Al Maknun fi Shiroti An Nabi Al Ma’muun, karya Musa Rasyid Al ‘Azimi. Cetakan ketiga, tahun 1436/2015. Penerbit Darus Suma’i, Riyadh.
Kota Nabi, 18 Rojab 1436 H.
***
Penulis: Ahmad Anshori

(muslim.or.id/pahamilah)
Sebuah kamp konsentrasi Israel untuk menahan warga Palestina 

Pahamilah.com - Para peneliti sejarah Palestina, Salman Abu Sitta dan Terry  Rempel dari lembaga BADIL, menemukan fakta sejarah adanya 22 kamp konsentrasi Israel untuk warga Palestina.

Kamp konsentrasi bergaya Nazi saat menyiksa kalangan Yahudi itu berdiri antara tahun 1948 sampai 1955.

Studi itu kemudian diterbitkan di Journal of Palestine Studies setebal 500 halaman dan bersumber pada data-data yang dikeluarkan Palang Merah Internasional antara tahun 1948.

Data-data itu dianggap rahasia sampai dipublikasikan tahun 1996 dan kemudian secara tidak sengaja ditemukan oleh kedua peneliti tahun 1999.

Keduanya lalu melakukan klarifikasi kepada 22 orang saksi hidup tahanan Palestina di kamp tersebut sejak tahun 2002.

Kesengsaraan yang dialami oleh kalangan Yahudi di kamp konsentrasi Nazi akhirnya diterapkan bagi warga Palestina.

Namun warga Palestina yang merasakan penderitaan silih berganti dari penjajahan Israel, membuat eksistensi kamp konsentrasi ini hampir terlupakan.

"Banyak mantan tahanan Palestina melihat Israel sebagai setan, sehingga mereka berpikir pengalaman mereka di kamp konsentrasi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan tragedi lain yang lebih besar, Nakba. Tragedi Nakba membayangi semuanya," kata Abu Sitta dikutip dari Al Akhbar, Senin (29/9). (republika/pahamilah)


Misteri Kamp Konsentrasi Israel untuk Warga Palestina Terungkap

Sebuah kamp konsentrasi Israel untuk menahan warga Palestina 

Pahamilah.com - Para peneliti sejarah Palestina, Salman Abu Sitta dan Terry  Rempel dari lembaga BADIL, menemukan fakta sejarah adanya 22 kamp konsentrasi Israel untuk warga Palestina.

Kamp konsentrasi bergaya Nazi saat menyiksa kalangan Yahudi itu berdiri antara tahun 1948 sampai 1955.

Studi itu kemudian diterbitkan di Journal of Palestine Studies setebal 500 halaman dan bersumber pada data-data yang dikeluarkan Palang Merah Internasional antara tahun 1948.

Data-data itu dianggap rahasia sampai dipublikasikan tahun 1996 dan kemudian secara tidak sengaja ditemukan oleh kedua peneliti tahun 1999.

Keduanya lalu melakukan klarifikasi kepada 22 orang saksi hidup tahanan Palestina di kamp tersebut sejak tahun 2002.

Kesengsaraan yang dialami oleh kalangan Yahudi di kamp konsentrasi Nazi akhirnya diterapkan bagi warga Palestina.

Namun warga Palestina yang merasakan penderitaan silih berganti dari penjajahan Israel, membuat eksistensi kamp konsentrasi ini hampir terlupakan.

"Banyak mantan tahanan Palestina melihat Israel sebagai setan, sehingga mereka berpikir pengalaman mereka di kamp konsentrasi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan tragedi lain yang lebih besar, Nakba. Tragedi Nakba membayangi semuanya," kata Abu Sitta dikutip dari Al Akhbar, Senin (29/9). (republika/pahamilah)



Pahamilah.com - Pada periode 1960-an, Partai Komunis Indonesia—PKI, adalah partai komunis terbesar di dunia selain partai komunis di Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Sovyet saat itu. Mengapa gerakan mereka—kalau benar digerakkan PKI, gagal?

John Roosa dalam ‘Pretex for Mass Murder...’ yang terbit 2006 lalu mencoba menulis peristiwa itu hanya berdasarkan dokumen akurat. Risetnya menggunakan arsip yang selama ini jarang disentuh, terutama Dokumen Supardjo, tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam, wawancara dengan banyak tokoh PKI, dsb.

Dalam Dokumen Supardjo—semacam pertanggungjawaban Brigjen Supardjo, salah seorang militer dengan pangkat tertinggi yang terlibat dalam ‘gerakan’ tersebut, Roosa menyebut alasan kegagalan G30S. Mengapa pertanggungjawaban? Karena menurut Roosa, Dokumen Supardjo ditulis sebelum ia tertangkap. Dan "...informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya."

Kesimpulan Supardjo: G30S gagal karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang pengetahuannya cetek soal prosedur kemiliteran. "Dengan menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbulkan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti," tulis Roosa.

Supardjo menulis, setiba di Halim Perdanakusumah, sehari sebelum kejadian, Supardjo mengaku bingung siapa sebenarnya yang memimpin G30S. Koordinasi yang buruk juga menjadi sebab kegagalan.
"Kerja sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil," ujar Roosa dalam buku itu.

Sebab lain, Supardjo—yang menjadi brigadir jenderal pada usia 44 karena kemampuannya sebagai ahli strategi sejumlah pertempuran, menilai perencanaan gerakan kurang matang. Dalam dokumen itu Supardjo menulis, "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas." (inilah/pahamilah)


Inilah Sebab-sebab G30S Gagal


Pahamilah.com - Pada periode 1960-an, Partai Komunis Indonesia—PKI, adalah partai komunis terbesar di dunia selain partai komunis di Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Sovyet saat itu. Mengapa gerakan mereka—kalau benar digerakkan PKI, gagal?

John Roosa dalam ‘Pretex for Mass Murder...’ yang terbit 2006 lalu mencoba menulis peristiwa itu hanya berdasarkan dokumen akurat. Risetnya menggunakan arsip yang selama ini jarang disentuh, terutama Dokumen Supardjo, tulisan-tulisan Muhammad Munir dan Iskandar Subekti yang tersimpan di Amsterdam, wawancara dengan banyak tokoh PKI, dsb.

Dalam Dokumen Supardjo—semacam pertanggungjawaban Brigjen Supardjo, salah seorang militer dengan pangkat tertinggi yang terlibat dalam ‘gerakan’ tersebut, Roosa menyebut alasan kegagalan G30S. Mengapa pertanggungjawaban? Karena menurut Roosa, Dokumen Supardjo ditulis sebelum ia tertangkap. Dan "...informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya."

Kesimpulan Supardjo: G30S gagal karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang pengetahuannya cetek soal prosedur kemiliteran. "Dengan menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbulkan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti," tulis Roosa.

Supardjo menulis, setiba di Halim Perdanakusumah, sehari sebelum kejadian, Supardjo mengaku bingung siapa sebenarnya yang memimpin G30S. Koordinasi yang buruk juga menjadi sebab kegagalan.
"Kerja sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil," ujar Roosa dalam buku itu.

Sebab lain, Supardjo—yang menjadi brigadir jenderal pada usia 44 karena kemampuannya sebagai ahli strategi sejumlah pertempuran, menilai perencanaan gerakan kurang matang. Dalam dokumen itu Supardjo menulis, "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas." (inilah/pahamilah)


Abdul Mun’im DZ, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 

Pahamilah.com - Abdul Mun’im DZ, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 mengungkapkan, sejumlah peneliti asing telah melakukan kesalahan dengan mendramatisasi jumlah korban peristiwa G30S PKI sampai jutaan orang.

"Pihak asing me-mark-up jumlah korban hingga jutaan korban PKI. Padahal jumlah korban diperkirakan hanya di bawah 200.000," ungkapnya dalam bedah buku itu di gedung rektorat Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Selasa (23/9) kemarin.

Dikatakannya, korban juga tidak hanya berasal dari pihak PKI. “Korban yang berasal dari kalangan NU juga banyak. Apalagi kalau dihitung dari rangkaian pemberontakan PKI sebelum 1965,” katanya.

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU menjelaskan, buka setebal 208 dirilis karena banyak kelompok yang melakukan pembelaan terhadap PKI dan cenderung menyalahkan NU serta TNI.

Lanjutnya, saat ini banyak kalangan NU, terutama generasi mudanya, yang tidak lagi mengenal sejarah NU sehingga mengikuti cara berpikir orang lain, baik akademisi maupun politisi, yang memojokkan NU terkait tragedi 1965.

"Korban dari pihak NU dan TNI banyak sekali. Jadi kenapa NU dan TNI yang dipojokkan, sedangkan selamai ini banyak propaganda membela PKI yang jelas mengancam ideologi bangsa kita," jelasnya.

Hampir semua buku yang terbit membela PKI atas benturan tersebut, tanpa melihat prolog dan penyebab kenapa benturan tersebut terjadi.

"Banyak media yang membuat tulisan tentang benturan NU dengan PKI namun semua hanya membela PKI, sedangkan keganasan PKI tidak mereka soroti," ujarnya.

Ia menambahkan, penerbitan buku Benturan NU-PKI bukan dalam rangkan memperpanjang konfik.

“Kita tidak ingin mengobarkan peperangan, namun kita mau melakukan rekonsiliasi dan perdamaian yanng didasarkan atas fakta yang benar. Bukan hanya pihak kami yang minta maaf, tapi mereka juga harus minta maaf," ujarnya. (nu/pahamilah)



Ternyata Pihak Asing “Mark-up” Jumlah Korban PKI

Abdul Mun’im DZ, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 

Pahamilah.com - Abdul Mun’im DZ, penulis buku Benturan NU-PKI 1948-1965 mengungkapkan, sejumlah peneliti asing telah melakukan kesalahan dengan mendramatisasi jumlah korban peristiwa G30S PKI sampai jutaan orang.

"Pihak asing me-mark-up jumlah korban hingga jutaan korban PKI. Padahal jumlah korban diperkirakan hanya di bawah 200.000," ungkapnya dalam bedah buku itu di gedung rektorat Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Selasa (23/9) kemarin.

Dikatakannya, korban juga tidak hanya berasal dari pihak PKI. “Korban yang berasal dari kalangan NU juga banyak. Apalagi kalau dihitung dari rangkaian pemberontakan PKI sebelum 1965,” katanya.

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU menjelaskan, buka setebal 208 dirilis karena banyak kelompok yang melakukan pembelaan terhadap PKI dan cenderung menyalahkan NU serta TNI.

Lanjutnya, saat ini banyak kalangan NU, terutama generasi mudanya, yang tidak lagi mengenal sejarah NU sehingga mengikuti cara berpikir orang lain, baik akademisi maupun politisi, yang memojokkan NU terkait tragedi 1965.

"Korban dari pihak NU dan TNI banyak sekali. Jadi kenapa NU dan TNI yang dipojokkan, sedangkan selamai ini banyak propaganda membela PKI yang jelas mengancam ideologi bangsa kita," jelasnya.

Hampir semua buku yang terbit membela PKI atas benturan tersebut, tanpa melihat prolog dan penyebab kenapa benturan tersebut terjadi.

"Banyak media yang membuat tulisan tentang benturan NU dengan PKI namun semua hanya membela PKI, sedangkan keganasan PKI tidak mereka soroti," ujarnya.

Ia menambahkan, penerbitan buku Benturan NU-PKI bukan dalam rangkan memperpanjang konfik.

“Kita tidak ingin mengobarkan peperangan, namun kita mau melakukan rekonsiliasi dan perdamaian yanng didasarkan atas fakta yang benar. Bukan hanya pihak kami yang minta maaf, tapi mereka juga harus minta maaf," ujarnya. (nu/pahamilah)



Khawarij (ilustrasi) 

Pahamilah.com - Sepanjang sejarah Islam muncul satu kelompok tertu yang tampil dengan pemikiran berbeda tentang Islam. Kelompok ini muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Mereka dikenal sebagai Karijis, satu kelompok yang membuat kacau balau pemerintahan Ali. Memang, mereka tidak pernah menjadi kekuatan politik di dunia Islam. Namun, mengutip komentar khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khawarij adalah kelompok yang merindukan kebahagiaan di akhirat namun menempuh jalan yang salah.

latar Belakang

Pada bulan Juni tahun 656 , khalifah Utsman bin' Affan dibunuh. Para pembunuhnya adalah anggota kelompok Khawarij yang tidak puas dengan kebijakan sahabat Utsman terhadap provinsi Mesir. Berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar, yang menunjuk siapa penggantinya secara tidak langsung, Usman tidak sempat mempersiapkan siapa penggantinya.

Para pembunuh, yang kini memegang kendali efektif di ibukota, Madinah, ingin Ali menjadi khalifah baru. Ali secara alami menolak penunjukan tersebut. Namun, atas bujukan para sahabat lainnya, Ali menerima itu.
Di masa Ali, hampir terjadi perang saudara yang melibatkan dua pihak yang bertikai. Menurut Esposito, masa ‘’fitnah besar’’, yakni antara 656 dan 661 M, adalah waktu kemunculan kelompok ini.

Semua berawal dari Perang Shiffin antara  kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketika perang saudara pertama dalam Islam itu berakhir di meja arbitrase, kelompok pendukung Ali yang sebagian besar berasal dari suku Tamim, mulai melakukan pembangkangan.

Kelompok Khawarij menuding Khalifah Ali telah mengingkarti surah Al-Hujurat [49] ayat 9, ‘’Jika dua golongan orang beriman berperang satu sama lain, damaikanlah mereka. Jika salah satu dari mereka berbuat aniaya kepada yang lain, perangilah yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT.’’

Keputusan Ali yang menyetujui arbitrase dinilai kelompok Khawarij sebagai sebuah dosa besar, karena telah mengingkari ayat-ayat Allah SWT. Dalam pandangan kelompok Khawarij, Khalifah Utsman layak mati karena kesalahan-kesalahannya. Ali-lah Khalifah yang sah, dan Muawiyah adalah pembangkang dan agresor yang tak layak di-tahkim.

Prinsip Khawarij

Ketika Ali dinilai melakukan kesalahan, muncul ideologi yang menyatakan individu yang melakukan dosa tidak layak memerintah. Ini ide yang ekstrim waktu itu, dan itu bukan yang terakhir.

Akhirnya, Kharijis berpendapat bahwa dosa-dosa adalah bentuk kekufuran. Orang yang kufur dapat diperangi meski ia seorang sahabat Nabi atau Khalifah. Selain itu, jika Anda tidak setuju dengan keyakinan mereka adalah dosa besar, Anda disebut kafir dan bisa diperangi.

Keyakinan Khariji tidak memiliki banyak dasar dalam teologi Islam. Imam al-Tahawi, mengatakan satu-satunya hal yang disebut kafir terhadap seorang Muslim adalah ketika ia tidak lagi percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagian besar Kharijis tidak berpendidikan namun fasih membaca Alqur'an dan hadist. Mayoritas dari mereka adalah perampok gurun Badui yang lahir karena kurangnya pemahaman Islam. Mereka gagal dalam upaya mereka untuk membunuh Muawiyah dan 'Amr ibn al-'As, yang mendukung Muawiyah.

Namun pada tahun 661 mereka berhasil membunuh khalifah, Ali, di Kufah. Ini menjadi akhir kekhalifahan Rasyidin dan awal kekhalifahan Umayyah, yang dipimpin oleh Muawiyah.

Khawarij terus menjadi gangguan bagi Umayyah dan Abbasiyah kekhalifahan selama berabad-abad. Mereka tidak pernah datang untuk mengadakan pemberontakan di kota besar, tetapi berkeliaran di seluruh dunia Muslim, melecehkan dan meneror penduduk yang tidak menerima keyakinan mereka.

Di Afrika Utara, mereka berhasil mendapatkan dukungan dari kelompok berber. Tak kurang ada 20 sekte Khawarij dan setiap kelompoknya memilih imam dengan caranya sendiri-sendiri. Masing-masing menyatakan diri sebagai komunitas Muslim yang paling benar.

Kaum Khawarij juga dikenal dengan beberapa sebutan.  Mereka juga kerap disebut sebagai Al-Haruriyah. Nama itu adalah nisbat pada tempat kumpulnya para pendahulu mereka ketika berpisah dan memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, yakni Harura. (republika/pahamilah)


Khawarij Perindu Kehidupan Akhirat di Jalan yang Salah

Khawarij (ilustrasi) 

Pahamilah.com - Sepanjang sejarah Islam muncul satu kelompok tertu yang tampil dengan pemikiran berbeda tentang Islam. Kelompok ini muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Mereka dikenal sebagai Karijis, satu kelompok yang membuat kacau balau pemerintahan Ali. Memang, mereka tidak pernah menjadi kekuatan politik di dunia Islam. Namun, mengutip komentar khalifah Umar bin Abdul Aziz, Khawarij adalah kelompok yang merindukan kebahagiaan di akhirat namun menempuh jalan yang salah.

latar Belakang

Pada bulan Juni tahun 656 , khalifah Utsman bin' Affan dibunuh. Para pembunuhnya adalah anggota kelompok Khawarij yang tidak puas dengan kebijakan sahabat Utsman terhadap provinsi Mesir. Berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, Abu Bakar dan Umar, yang menunjuk siapa penggantinya secara tidak langsung, Usman tidak sempat mempersiapkan siapa penggantinya.

Para pembunuh, yang kini memegang kendali efektif di ibukota, Madinah, ingin Ali menjadi khalifah baru. Ali secara alami menolak penunjukan tersebut. Namun, atas bujukan para sahabat lainnya, Ali menerima itu.
Di masa Ali, hampir terjadi perang saudara yang melibatkan dua pihak yang bertikai. Menurut Esposito, masa ‘’fitnah besar’’, yakni antara 656 dan 661 M, adalah waktu kemunculan kelompok ini.

Semua berawal dari Perang Shiffin antara  kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketika perang saudara pertama dalam Islam itu berakhir di meja arbitrase, kelompok pendukung Ali yang sebagian besar berasal dari suku Tamim, mulai melakukan pembangkangan.

Kelompok Khawarij menuding Khalifah Ali telah mengingkarti surah Al-Hujurat [49] ayat 9, ‘’Jika dua golongan orang beriman berperang satu sama lain, damaikanlah mereka. Jika salah satu dari mereka berbuat aniaya kepada yang lain, perangilah yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT.’’

Keputusan Ali yang menyetujui arbitrase dinilai kelompok Khawarij sebagai sebuah dosa besar, karena telah mengingkari ayat-ayat Allah SWT. Dalam pandangan kelompok Khawarij, Khalifah Utsman layak mati karena kesalahan-kesalahannya. Ali-lah Khalifah yang sah, dan Muawiyah adalah pembangkang dan agresor yang tak layak di-tahkim.

Prinsip Khawarij

Ketika Ali dinilai melakukan kesalahan, muncul ideologi yang menyatakan individu yang melakukan dosa tidak layak memerintah. Ini ide yang ekstrim waktu itu, dan itu bukan yang terakhir.

Akhirnya, Kharijis berpendapat bahwa dosa-dosa adalah bentuk kekufuran. Orang yang kufur dapat diperangi meski ia seorang sahabat Nabi atau Khalifah. Selain itu, jika Anda tidak setuju dengan keyakinan mereka adalah dosa besar, Anda disebut kafir dan bisa diperangi.

Keyakinan Khariji tidak memiliki banyak dasar dalam teologi Islam. Imam al-Tahawi, mengatakan satu-satunya hal yang disebut kafir terhadap seorang Muslim adalah ketika ia tidak lagi percaya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Sebagian besar Kharijis tidak berpendidikan namun fasih membaca Alqur'an dan hadist. Mayoritas dari mereka adalah perampok gurun Badui yang lahir karena kurangnya pemahaman Islam. Mereka gagal dalam upaya mereka untuk membunuh Muawiyah dan 'Amr ibn al-'As, yang mendukung Muawiyah.

Namun pada tahun 661 mereka berhasil membunuh khalifah, Ali, di Kufah. Ini menjadi akhir kekhalifahan Rasyidin dan awal kekhalifahan Umayyah, yang dipimpin oleh Muawiyah.

Khawarij terus menjadi gangguan bagi Umayyah dan Abbasiyah kekhalifahan selama berabad-abad. Mereka tidak pernah datang untuk mengadakan pemberontakan di kota besar, tetapi berkeliaran di seluruh dunia Muslim, melecehkan dan meneror penduduk yang tidak menerima keyakinan mereka.

Di Afrika Utara, mereka berhasil mendapatkan dukungan dari kelompok berber. Tak kurang ada 20 sekte Khawarij dan setiap kelompoknya memilih imam dengan caranya sendiri-sendiri. Masing-masing menyatakan diri sebagai komunitas Muslim yang paling benar.

Kaum Khawarij juga dikenal dengan beberapa sebutan.  Mereka juga kerap disebut sebagai Al-Haruriyah. Nama itu adalah nisbat pada tempat kumpulnya para pendahulu mereka ketika berpisah dan memberontak terhadap Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib, yakni Harura. (republika/pahamilah)


Ilustrasi Muslim Afrika saat pertama kali menjejakkan kaki di Benua Amerika. 

Pahamilah.com - Buku sejarah dunia, termasuk di Indonesia menyebut pelaut Christopher Colombus-lah yang tiba pertama kali di benua antah berantah yang kemudian diberinama benua Amerika pada tahun 1492. Colombus berlayar melintasi Atlantik dengan menggunakan kapal kerajaan Spanyol tiba di Karibia, Amerika Tengah.

Selama ratusan tahun, teori ini diterima seluruh dunia. Namun, ada teori lain yang justru menarik minat peneliti mengkaji ulang capaian Colombus. Ini sekaligus menghargai bahwa yang pertama kali tiba di Amerika adalah jiwa-jiwa  pemberani yang menyeberangi Samudera Atlantik dengan perahu yang tidak diakui Columbus.

Faktanya, apa yang diketahui Columbus saat itu adalah dunia itu datar. Padahal filsuf Yunani seperti Aristoteles dan Pythagoras menyatakan bumi itu bulat. Columbus baru mengakui bumi itu bulat ketika peradaban Islam mencapai era keemasannya.

Pada tahun 800-an awal, Khalifah Abbasiyah  al-Ma'mun mengumpulkan para ilmuwan termasuk al-Khawarizmi di Baghdad guna menghitung lingkar bumi.  Mengetahui bahwa bumi itu bulat, dan mengetahui ukurannya ke tingkat yang sangat baik dari akurasi, para pelaut Muslim mengarungi samudera, jauh sebelum Columbus dengan congkak mengklaim dirinya pelaut ulung.

Muslim Spanyol


Sejarawan Muslim dan pakar geografi Abu al-Hasan al-Masudi menulis pada tahun 956, pada tahun 889 pelaut Muslim mulai mengarungi samudera dari al-Andalus menuju barat. Mereka akhirnya menemukan sebuah daratan besar di laut, di mana mereka berdagang dengan penduduk asli, dan kembali ke Eropa.

Al-Masudi mencatat tanah dan menyebutnya "tanah yang tak dikenal". Dua pelayaran lebih dari Muslim Spanyol ke Amerika dicatat dalam sejarah. Satu berada pada tahun 999 dan dipimpin oleh Ibn Farrukh, dari Granada. Yang lainnya, pelayaran ahli geografi al-Idrisi.

Mereka ditawan oleh penduduk asli Amerika di pulau itu selama beberapa hari. Akhirnya, mereka dibebaskan ketika penerjemah yang tinggal di antara penduduk asli yang berbicara bahasa Arab. Merekapun kembali ke al-Andalus dan menceritakan kisah mereka. Bagian penting dari perjalanan ini adalah adanya pembicara bahasa Arab diantara warga pribumi. Ini menunjukkan bahwa pasti ada kontak antara dunia Arab dan Amerika

Peta Penjelajahan Pelaut Muslim 

Di Afrika, pada tahun 1300-an, penguasa kerajaan Mali, Abu Bakar mengirimkan armada kapal sebanyak 400 unit guna mengarungi samudera Atlantik. Namun, hanya ada satu kapal yang kembali. Mereka melaporkan telah menemukan tanah di seberang lautan.

Mansa Abu Bakar kemudian mengirimkan kembali ekpedisi Atlantik dengan membawa 2000 armada. Kali ini, tidak ada kapal yang kembali. Meski tidak ada catatan di Mali soal perjalanan itu, ada bukti kedatangan mereka di Amerika, seperti prasasti berbahasa Mandika (Bahasa tradisional Mali).


Prasasti itu juga ditemukan di dekat sungai Misssippi dan Arizona, AS.Prasasti itu bergambar gajah sakit. Gajah itu bukanlah hewan asli Amerika, melainkan sengaja dibawa sebagai alat transportasi.

Era Ustmaniyah

Pada tahun 1929, penemuan yang menakjubkan terjadi di Istanbul, Turki. Sebuah peta yang dibuat pada tahun 1513 oleh kartografer Ustmani, Piri Reis ditemukan. Reis menuliskan peta itu dibuat berdasarkan peta Yunani dan Arab. Ini yang menjadikan sandaran para peneliti mengkaji ulang teori Colombus.

Peta ini jelas menunjukkan pantai timur Amerika Selatan, yang berada di posisi yang benar berkaitan dengan Afrika. Pantai Brasil ditampilkan dalam detail yang luar biasa, dengan banyak sungai akurat ditempatkan pada peta.

Meski Reis menggunakan peta Columbus sebagai sumber, Columbus tidak pernah pergi ke Amerika Selatan, jadi Reis harus mendapatkan bahwa dari peta Muslim sebelumnya bahwa ia digunakan sebagai sumber. Selain itu, peta Reis meliputi Pegunungan Andes, yang bahkan tidak dijelajahi oleh orang Eropa sampai tahun 1520-an, satu dekade penuh setelah gambar peta Reis!

Piri Reis merujuk pembuatan petanya pada sumber-sumber sebelumnya, yang jelas memiliki pemahaman yang sangat baik dari Amerika dan sudah menjelajahi daerah itu sebelum bangsa Eropa. Peta ini mungkin adalah bukti fisik terkuat dari eksplorasi Muslim di Amerika sebelum Columbus

Temuan Colombus

Dari bukti yang sudah ada, sulit mengatakan Colombus pelaut pertama yang tiba di Amerika. Namun, Colombus diuntungkan dengan pengetahuan yang diperoleh umat Islam di Iberia. Terlebih, saat itu juga, imperium Islam pun berakhir.

Tiba di Amerika, Colombus menemukan peninggalan Islam di sana. Seperti pembuatan emas yang prosesnya mirip dengan apa yang dilakukan Muslim di Afrika. Selain itu, Columbus mencatat bahwa kata asli di daerah itu untuk emas adalah isguanin, yang sangat mirip dengan kata Mandinka untuk emas, ghanin, yang mungkin berasal dari kata Arab untuk kekayaan, Ghina '.

Pada 1498, Columbus mencatat melihat sebuah kapal sarat dengan barang-barang, menuju Amerika, untuk berdagang dengan warga pribumi. Columbus juga mencatat dalam buku hariannya bahwa penduduk asli Amerika mengatakan kepadanya banyak pedagang asal Afrika bercirikan kulit hitam datang secara teratur untuk berdagang dengan mereka.

Bahkan Columbus tahu bahwa dia bukan orang pertama yang menyeberangi Samudera Atlantik. (republika/pahamilah)


Pahamilah Kisah Pelaut Muslim Temukan Benua Amerika

Ilustrasi Muslim Afrika saat pertama kali menjejakkan kaki di Benua Amerika. 

Pahamilah.com - Buku sejarah dunia, termasuk di Indonesia menyebut pelaut Christopher Colombus-lah yang tiba pertama kali di benua antah berantah yang kemudian diberinama benua Amerika pada tahun 1492. Colombus berlayar melintasi Atlantik dengan menggunakan kapal kerajaan Spanyol tiba di Karibia, Amerika Tengah.

Selama ratusan tahun, teori ini diterima seluruh dunia. Namun, ada teori lain yang justru menarik minat peneliti mengkaji ulang capaian Colombus. Ini sekaligus menghargai bahwa yang pertama kali tiba di Amerika adalah jiwa-jiwa  pemberani yang menyeberangi Samudera Atlantik dengan perahu yang tidak diakui Columbus.

Faktanya, apa yang diketahui Columbus saat itu adalah dunia itu datar. Padahal filsuf Yunani seperti Aristoteles dan Pythagoras menyatakan bumi itu bulat. Columbus baru mengakui bumi itu bulat ketika peradaban Islam mencapai era keemasannya.

Pada tahun 800-an awal, Khalifah Abbasiyah  al-Ma'mun mengumpulkan para ilmuwan termasuk al-Khawarizmi di Baghdad guna menghitung lingkar bumi.  Mengetahui bahwa bumi itu bulat, dan mengetahui ukurannya ke tingkat yang sangat baik dari akurasi, para pelaut Muslim mengarungi samudera, jauh sebelum Columbus dengan congkak mengklaim dirinya pelaut ulung.

Muslim Spanyol


Sejarawan Muslim dan pakar geografi Abu al-Hasan al-Masudi menulis pada tahun 956, pada tahun 889 pelaut Muslim mulai mengarungi samudera dari al-Andalus menuju barat. Mereka akhirnya menemukan sebuah daratan besar di laut, di mana mereka berdagang dengan penduduk asli, dan kembali ke Eropa.

Al-Masudi mencatat tanah dan menyebutnya "tanah yang tak dikenal". Dua pelayaran lebih dari Muslim Spanyol ke Amerika dicatat dalam sejarah. Satu berada pada tahun 999 dan dipimpin oleh Ibn Farrukh, dari Granada. Yang lainnya, pelayaran ahli geografi al-Idrisi.

Mereka ditawan oleh penduduk asli Amerika di pulau itu selama beberapa hari. Akhirnya, mereka dibebaskan ketika penerjemah yang tinggal di antara penduduk asli yang berbicara bahasa Arab. Merekapun kembali ke al-Andalus dan menceritakan kisah mereka. Bagian penting dari perjalanan ini adalah adanya pembicara bahasa Arab diantara warga pribumi. Ini menunjukkan bahwa pasti ada kontak antara dunia Arab dan Amerika

Peta Penjelajahan Pelaut Muslim 

Di Afrika, pada tahun 1300-an, penguasa kerajaan Mali, Abu Bakar mengirimkan armada kapal sebanyak 400 unit guna mengarungi samudera Atlantik. Namun, hanya ada satu kapal yang kembali. Mereka melaporkan telah menemukan tanah di seberang lautan.

Mansa Abu Bakar kemudian mengirimkan kembali ekpedisi Atlantik dengan membawa 2000 armada. Kali ini, tidak ada kapal yang kembali. Meski tidak ada catatan di Mali soal perjalanan itu, ada bukti kedatangan mereka di Amerika, seperti prasasti berbahasa Mandika (Bahasa tradisional Mali).


Prasasti itu juga ditemukan di dekat sungai Misssippi dan Arizona, AS.Prasasti itu bergambar gajah sakit. Gajah itu bukanlah hewan asli Amerika, melainkan sengaja dibawa sebagai alat transportasi.

Era Ustmaniyah

Pada tahun 1929, penemuan yang menakjubkan terjadi di Istanbul, Turki. Sebuah peta yang dibuat pada tahun 1513 oleh kartografer Ustmani, Piri Reis ditemukan. Reis menuliskan peta itu dibuat berdasarkan peta Yunani dan Arab. Ini yang menjadikan sandaran para peneliti mengkaji ulang teori Colombus.

Peta ini jelas menunjukkan pantai timur Amerika Selatan, yang berada di posisi yang benar berkaitan dengan Afrika. Pantai Brasil ditampilkan dalam detail yang luar biasa, dengan banyak sungai akurat ditempatkan pada peta.

Meski Reis menggunakan peta Columbus sebagai sumber, Columbus tidak pernah pergi ke Amerika Selatan, jadi Reis harus mendapatkan bahwa dari peta Muslim sebelumnya bahwa ia digunakan sebagai sumber. Selain itu, peta Reis meliputi Pegunungan Andes, yang bahkan tidak dijelajahi oleh orang Eropa sampai tahun 1520-an, satu dekade penuh setelah gambar peta Reis!

Piri Reis merujuk pembuatan petanya pada sumber-sumber sebelumnya, yang jelas memiliki pemahaman yang sangat baik dari Amerika dan sudah menjelajahi daerah itu sebelum bangsa Eropa. Peta ini mungkin adalah bukti fisik terkuat dari eksplorasi Muslim di Amerika sebelum Columbus

Temuan Colombus

Dari bukti yang sudah ada, sulit mengatakan Colombus pelaut pertama yang tiba di Amerika. Namun, Colombus diuntungkan dengan pengetahuan yang diperoleh umat Islam di Iberia. Terlebih, saat itu juga, imperium Islam pun berakhir.

Tiba di Amerika, Colombus menemukan peninggalan Islam di sana. Seperti pembuatan emas yang prosesnya mirip dengan apa yang dilakukan Muslim di Afrika. Selain itu, Columbus mencatat bahwa kata asli di daerah itu untuk emas adalah isguanin, yang sangat mirip dengan kata Mandinka untuk emas, ghanin, yang mungkin berasal dari kata Arab untuk kekayaan, Ghina '.

Pada 1498, Columbus mencatat melihat sebuah kapal sarat dengan barang-barang, menuju Amerika, untuk berdagang dengan warga pribumi. Columbus juga mencatat dalam buku hariannya bahwa penduduk asli Amerika mengatakan kepadanya banyak pedagang asal Afrika bercirikan kulit hitam datang secara teratur untuk berdagang dengan mereka.

Bahkan Columbus tahu bahwa dia bukan orang pertama yang menyeberangi Samudera Atlantik. (republika/pahamilah)



Menurut sejarawan Muslim Ahmad Mansur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.

Seperti diketahui, selama ini, dalam buku-buku sejarah, Kapitan Pattimura selalu disebut sebagai seorang Kristen. Inilah salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan Indonesia pada umumnya.

Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Sapura seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

Mansyur Suryanegara berpendapat, bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.

Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku.

Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku “Menemukan Sejarah” (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”

Buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.

Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).

Perjuangan Pattimura

Pattimura bangkit memimpin rakyat Maluku menghadapi ambisi penjajah yang membawa misi Gold (emas/kekayaan), Gospel (penyebaran Injil), and Glory (kebanggaan). Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah Belanda seperti yang dilakukan masa pemerintahan VOC. Selain itu, Belanda menjalankan praktik-praktik monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi, yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Alasan lainnya, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.

Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan. (detikislam/pahamilah)

Pattimura Muslim Yang Taat, Bukan Kristen


Menurut sejarawan Muslim Ahmad Mansur Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya.

Seperti diketahui, selama ini, dalam buku-buku sejarah, Kapitan Pattimura selalu disebut sebagai seorang Kristen. Inilah salah satu contoh deislamisasi dan penghianatan kaum minoritas atas sejarah pejuang Muslim di Maluku dan Indonesia pada umumnya.

Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Sapura seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

Mansyur Suryanegara berpendapat, bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura.

Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam. Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan nama Maluku.

Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Penulis buku “Menemukan Sejarah” (yang menjadi best seller) ini mengatakan, “Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara (dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak menara masjid daripada gereja.”

Buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.

Jadi asal nama Thomas Mattulessy dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sebenarnya Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy (Mat Lussy). Dan nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku (yang ada adalah Mat Lussy).

Perjuangan Pattimura

Pattimura bangkit memimpin rakyat Maluku menghadapi ambisi penjajah yang membawa misi Gold (emas/kekayaan), Gospel (penyebaran Injil), and Glory (kebanggaan). Perlawanan rakyat Maluku dilakukan karena kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman pemerintah Belanda seperti yang dilakukan masa pemerintahan VOC. Selain itu, Belanda menjalankan praktik-praktik monopoli perdagangan dan pelayaran Hongi, yang membabat pertanian hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda. Alasan lainnya, rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan asin, dendeng, dan kopi.

Akibat penderitaan itu maka rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata. Pada tahun 1817, perlawanan itu dikomandani oleh Kapitan Ahmad Lussy. Rakyat berhasil merebut Benteng Duurstede di Saparua. Bahkan residennya yang bernama Van den Bergh terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya.

Berulangkali Belanda mengerahkan pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya menjalani hukuman mati di tiang gantungan. (detikislam/pahamilah)

Membicarakan mengenai bahasa Arab secara historis tidak dapat dilepaskan dari penyebaran agama Islam. Begitu juga sebaliknya, mempelajari Islam harus pula mempelajari bahasa Arab. Walfajri dalam Sejarah Perkembangan Pengajaran Bahasa Arab mengatakan sebagai simbol ekspresi linguistik ajaran Islam, pembelajaran bahasa Arab yang pertama di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah ritual, khususnya ibadah shalat.

Seiring berkembangnya waktu, metode dan pola pembelajaran pertama di atas mulai mengalami pergeseran dan perkembangan ke arah yang lebih bermakna. Pembelajaran bahasa Arab secara verbal tidak cukup, karena Alquran tidak hanya dibaca sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Maka, muncullah pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan mendalami ajaran agama Islam.

Bapak leksikografi Inggris, Penyusun Dictionary of the English Language (1755) Samuel Johnson mengatakan fungsi kamus adalah memelihara kemurnian bahasa. Sedangkan Mukhtar Umar menyebutkan fungsi kamus untuk menerangkan cara menulis kata, terlebih bila huruf alfabet yang ditulis tidak mewakili sepenuhnya suara yang dilafalkan. Selain itu, untuk menentukan fungsi morfologis sebuah kata dan penentuan tekanan saat pelafalan.

A Thoha Husein Almujahid dalam pengantar Kamus Akbar Bahasa Arab (Indonesia-Arab) mengatakan kamus pada dasarnya merupakan sekumpulan kosakata yang dilengkapi makna tertentu sebagai bentuk informasi. Kosakata-kosakata tersebut disusun berdasarkan prinsip-prinsip tertentu sesuai dengan tujuan penyusunannya.

Ditinjau dari sejarahnya, perkembangan karya leksikografi Arab, baik karya leksikografi Arab-Indonesia maupun Indonesia-Arab di Indonesia mengalami beberapa fase. Secara garis besar ada dua fase,, yakni fase awal dan dan fase perkembangan.

Fase awal kamus Arab-Indonesia adalah sebuah fase yang merupakan cikal bakal lahirnya kamus Arab-Indonesia. Dilihat dari karya-karya leksikografi yang tersebar di nusantara, fase ini ternyata lebih banyak didominasi kamus Arab-Melayu. Di antara kamus Arab-Melayu yang sangat populer di Indonesia sebelum munculnya kamus Arab-Indonesia adalah Kamoes ‘Arab-Melajoe yang dinamai dengan Kitab al-Inârah at-Tahzîbiyyah (fi al-Lugatain al-‘Arabiyyah wa al-Malâyawiyyah).

Kamus Arab-Melayu terkenal lainnya yang muncul setelah itu, yakni pada tahun 1927 adalah kamus Idris al-Marbawi. Nama kamus ini diambil dari nama sang penyusunnya, yakni Syekh Mohammad Idris bin Abdur Rauf al-Marbawi. Ia menyusun kamus tersebut saat sedang menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Mesir. Kamus setebal 785 halaman dengan memuat 18 ribu lema ini disusun dengan sistem akar kata.

Sejarah perkamusan di Indonesia terus berkembang dari masa ke masa. Saat ini terdapat banyak ragam karya leksikografi yang berkembang, termasuk kamus eka bahasa, dwibahasa, bahkan multi bahasa. Salah satu kamus yang banyak digunakan para pelajar bahasa Arab di Indonesia adalah Kamus Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Kamus Mahmud Yunus. Mahmud Yunus dilahirkan di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, pada 10 Februari 1899. Beliau merupakan salah seorang pembaharu pengajaran bahasa Arab di Indonesia.

Sebelum menyusun kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus sempat menyusun kamus yang dinamai Kamus al-Zahabi. Kamus itu disusun saat tengah menempuh studi di Al-Azhar Kairo pada 1930. Kamus ini merupakan kamus Arab-Melayu dan bisa dibilang kamus pertama yang dihasilkan putra Indonesia.

Sedangkan kamus Arab-Indonesia baru disusun pada 1972. Penyusunan kamus tersebut sebenarnya dilatarbelakangi tuntutan masyarakat, guru-guru dan para pelajar agar mencetak ulang kamus Zahabi untuk membantu mereka belajar bahasa Arab. Namun, Mahmud keberatan mencetak ulang karena menurutnya banyak kekurangannya.
Maka, dibuatlah kamus Arab-Indonesia yang tidak lagi menggunakan bahasa Melayu. Hampir seluruh pelajar di seluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Ukurannya yang tidak terlalu besar dan ringan memudahkannya dibawa ke mana-mana.
Setelah kamus Mahmud Yunus, muncul Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Kamus tersebut dikarang dan disusun Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor pada 1996. Kamus yang kerap disebut kamus Al Ashri ini dikeluarkan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kamus dibuat untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman yang memasuki era globalisasi.

Isinya menggunakan bahasa modern atau masa kini. Kosa kata kamus ini menghindari penggunaan kosa kata klasik. Kamus ini disusun secara alfabetis dengan huruf latin dan Arab karena bahasa entri yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan Arab. Kata musytaraknya dalam bahasa Indonesia dan Arab dibubuhi tanda koma.

Pembaca tidak perlu mencari akar kata dari lafadz yang dicari. Huruf awal yang akan kita cari menjadi petunjuk langsung dimana lafadz itu berada. Tidak ada tanda hubung (as syarthah al mumhaniyah) untuk kata yang diulang, tetapi menuliskan kata itu secara utuh. Hal ini untuk memudahkan pembaca dan menghindari kebingungan.

Untuk istilah-istilah tertentu disertakan juga bahasa ‘ajamnya secara utuh dalam kurung. Misalnya, musik pembuka dalam kurung ditulis (prelude). Kamus Al-Ashri juga menyertakan gambar untuk kata-kata yang sulit dijelaskan.

Alif maqshurah, alif mamduhah dan hamzah dipersamakan dengan alif biasa sehingga tidak mempengaruhi urutan penulisan. Penggunaan tanda kurung difungsikan untuk memperjelas penggunaan kata, menunjukkan bahasa asli, menunjukkan disiplin ilmu tertentu dan menunjukkan macam (jenis).

Pada 2013, Gema Insani Press menerbitkan Kamus Akbar Bahasa Arab (Indonesia-Arab) karangan Ahmad Thoha Husein Almujahid dan Achmad Atho'illah Fathoni Alkhalil. Saat masih di Tanah Suci, selain menuntut ilmu, Thoha juga sempat mengamati fenomena pelajar Indonesia yang kesulitan menggunakan bahasa Arab secara lisan dan tulisan. Padahal, mereka memiliki latar belakang pendidikan pesantren. (republika|pahamilah)

Pahamilah Sejarah Perkembangan Kamus Bahasa Arab di Indonesia

Membicarakan mengenai bahasa Arab secara historis tidak dapat dilepaskan dari penyebaran agama Islam. Begitu juga sebaliknya, mempelajari Islam harus pula mempelajari bahasa Arab. Walfajri dalam Sejarah Perkembangan Pengajaran Bahasa Arab mengatakan sebagai simbol ekspresi linguistik ajaran Islam, pembelajaran bahasa Arab yang pertama di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah ritual, khususnya ibadah shalat.

Seiring berkembangnya waktu, metode dan pola pembelajaran pertama di atas mulai mengalami pergeseran dan perkembangan ke arah yang lebih bermakna. Pembelajaran bahasa Arab secara verbal tidak cukup, karena Alquran tidak hanya dibaca sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Maka, muncullah pembelajaran bahasa Arab dengan tujuan mendalami ajaran agama Islam.

Bapak leksikografi Inggris, Penyusun Dictionary of the English Language (1755) Samuel Johnson mengatakan fungsi kamus adalah memelihara kemurnian bahasa. Sedangkan Mukhtar Umar menyebutkan fungsi kamus untuk menerangkan cara menulis kata, terlebih bila huruf alfabet yang ditulis tidak mewakili sepenuhnya suara yang dilafalkan. Selain itu, untuk menentukan fungsi morfologis sebuah kata dan penentuan tekanan saat pelafalan.

A Thoha Husein Almujahid dalam pengantar Kamus Akbar Bahasa Arab (Indonesia-Arab) mengatakan kamus pada dasarnya merupakan sekumpulan kosakata yang dilengkapi makna tertentu sebagai bentuk informasi. Kosakata-kosakata tersebut disusun berdasarkan prinsip-prinsip tertentu sesuai dengan tujuan penyusunannya.

Ditinjau dari sejarahnya, perkembangan karya leksikografi Arab, baik karya leksikografi Arab-Indonesia maupun Indonesia-Arab di Indonesia mengalami beberapa fase. Secara garis besar ada dua fase,, yakni fase awal dan dan fase perkembangan.

Fase awal kamus Arab-Indonesia adalah sebuah fase yang merupakan cikal bakal lahirnya kamus Arab-Indonesia. Dilihat dari karya-karya leksikografi yang tersebar di nusantara, fase ini ternyata lebih banyak didominasi kamus Arab-Melayu. Di antara kamus Arab-Melayu yang sangat populer di Indonesia sebelum munculnya kamus Arab-Indonesia adalah Kamoes ‘Arab-Melajoe yang dinamai dengan Kitab al-Inârah at-Tahzîbiyyah (fi al-Lugatain al-‘Arabiyyah wa al-Malâyawiyyah).

Kamus Arab-Melayu terkenal lainnya yang muncul setelah itu, yakni pada tahun 1927 adalah kamus Idris al-Marbawi. Nama kamus ini diambil dari nama sang penyusunnya, yakni Syekh Mohammad Idris bin Abdur Rauf al-Marbawi. Ia menyusun kamus tersebut saat sedang menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Mesir. Kamus setebal 785 halaman dengan memuat 18 ribu lema ini disusun dengan sistem akar kata.

Sejarah perkamusan di Indonesia terus berkembang dari masa ke masa. Saat ini terdapat banyak ragam karya leksikografi yang berkembang, termasuk kamus eka bahasa, dwibahasa, bahkan multi bahasa. Salah satu kamus yang banyak digunakan para pelajar bahasa Arab di Indonesia adalah Kamus Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Kamus Mahmud Yunus. Mahmud Yunus dilahirkan di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, pada 10 Februari 1899. Beliau merupakan salah seorang pembaharu pengajaran bahasa Arab di Indonesia.

Sebelum menyusun kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus sempat menyusun kamus yang dinamai Kamus al-Zahabi. Kamus itu disusun saat tengah menempuh studi di Al-Azhar Kairo pada 1930. Kamus ini merupakan kamus Arab-Melayu dan bisa dibilang kamus pertama yang dihasilkan putra Indonesia.

Sedangkan kamus Arab-Indonesia baru disusun pada 1972. Penyusunan kamus tersebut sebenarnya dilatarbelakangi tuntutan masyarakat, guru-guru dan para pelajar agar mencetak ulang kamus Zahabi untuk membantu mereka belajar bahasa Arab. Namun, Mahmud keberatan mencetak ulang karena menurutnya banyak kekurangannya.
Maka, dibuatlah kamus Arab-Indonesia yang tidak lagi menggunakan bahasa Melayu. Hampir seluruh pelajar di seluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Ukurannya yang tidak terlalu besar dan ringan memudahkannya dibawa ke mana-mana.
Setelah kamus Mahmud Yunus, muncul Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Kamus tersebut dikarang dan disusun Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor pada 1996. Kamus yang kerap disebut kamus Al Ashri ini dikeluarkan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kamus dibuat untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman yang memasuki era globalisasi.

Isinya menggunakan bahasa modern atau masa kini. Kosa kata kamus ini menghindari penggunaan kosa kata klasik. Kamus ini disusun secara alfabetis dengan huruf latin dan Arab karena bahasa entri yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan Arab. Kata musytaraknya dalam bahasa Indonesia dan Arab dibubuhi tanda koma.

Pembaca tidak perlu mencari akar kata dari lafadz yang dicari. Huruf awal yang akan kita cari menjadi petunjuk langsung dimana lafadz itu berada. Tidak ada tanda hubung (as syarthah al mumhaniyah) untuk kata yang diulang, tetapi menuliskan kata itu secara utuh. Hal ini untuk memudahkan pembaca dan menghindari kebingungan.

Untuk istilah-istilah tertentu disertakan juga bahasa ‘ajamnya secara utuh dalam kurung. Misalnya, musik pembuka dalam kurung ditulis (prelude). Kamus Al-Ashri juga menyertakan gambar untuk kata-kata yang sulit dijelaskan.

Alif maqshurah, alif mamduhah dan hamzah dipersamakan dengan alif biasa sehingga tidak mempengaruhi urutan penulisan. Penggunaan tanda kurung difungsikan untuk memperjelas penggunaan kata, menunjukkan bahasa asli, menunjukkan disiplin ilmu tertentu dan menunjukkan macam (jenis).

Pada 2013, Gema Insani Press menerbitkan Kamus Akbar Bahasa Arab (Indonesia-Arab) karangan Ahmad Thoha Husein Almujahid dan Achmad Atho'illah Fathoni Alkhalil. Saat masih di Tanah Suci, selain menuntut ilmu, Thoha juga sempat mengamati fenomena pelajar Indonesia yang kesulitan menggunakan bahasa Arab secara lisan dan tulisan. Padahal, mereka memiliki latar belakang pendidikan pesantren. (republika|pahamilah)
Indonesia pernah mencapai kemajuan dalam hal teknologi roket. Bahkan era tahun 1960-an, Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang berhasil meluncurkan roket buatan sendiri yang bernama Kartika 1.

Meski saat ini jika berbicara mengenai teknologi pengembangan rudal dan roket, Indonesia terkesan jauh tertinggal, namun Indonesia pernah menjadi negara yang sukses mengembangkan roket. Pengembangan teknologi roket di Indonesia mulai maju di awal tahun 1960-an dengan dibantu oleh Uni Soviet.

Hingga pada tanggal 14 Agustus 1964, Indonesia akhirnya berhasil meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat 220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Peluncuran ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang.

Setelah itu juga perkembangan roket dan rudal semakin semarak di Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika dua dengan berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Kemudian Indonesia juga membeli berbagai rudal Surfance to Air Missile (SAM) dari Uni Soviet.

Namun sayang, setelah orde lama jatuh, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era orde baru, dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bukan hanya di Asia namun di dunia.

Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km (inilah/pahamilah)

Pahamilah Rudal Kartika 1, Kebanggaan Indonesia Era Sukarno

Indonesia pernah mencapai kemajuan dalam hal teknologi roket. Bahkan era tahun 1960-an, Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang berhasil meluncurkan roket buatan sendiri yang bernama Kartika 1.

Meski saat ini jika berbicara mengenai teknologi pengembangan rudal dan roket, Indonesia terkesan jauh tertinggal, namun Indonesia pernah menjadi negara yang sukses mengembangkan roket. Pengembangan teknologi roket di Indonesia mulai maju di awal tahun 1960-an dengan dibantu oleh Uni Soviet.

Hingga pada tanggal 14 Agustus 1964, Indonesia akhirnya berhasil meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat 220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Peluncuran ini membuat Indonesia menjadi negara kedua di Asia dan Afrika yang mampu mengembangkan teknologi pembuatan rudal dan roket setelah Jepang.

Setelah itu juga perkembangan roket dan rudal semakin semarak di Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika dua dengan berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Kemudian Indonesia juga membeli berbagai rudal Surfance to Air Missile (SAM) dari Uni Soviet.

Namun sayang, setelah orde lama jatuh, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era orde baru, dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain bukan hanya di Asia namun di dunia.

Baru kemudian pada tahun 1987, Indonesia melalui LAPAN kembali membuat roket yang diberi nama RX-250 LPN. Roket ini merupakan roket berbahan bakar cair dan padat dengan berat 300 kg memiliki panjang 5,30 meter berdaya jangkau 70 km (inilah/pahamilah)
Oleh: Hendri F. Isnaeni


Kebutuhan mushaf Alquran di Indonesia masih belum terpenuhi. Apalagi pada bulan Ramadan, permintaan meningkat 20 persen dari sekira 570 ribu Alquran yang dicetak per bulan. Umat Islam yakin bahwa Ramadan dianggap sebagai waktu yang tepat untuk berbuat baik dan bersedakah, salah satunya dengan membagikan Alquran.

Menurut data Kementerian Agama, saat ini jumlah umat Islam di Indonesia sekira 180 juta jiwa. Dengan asumsi setiap kepala keluarga minimal satu Alquran, dibutuhkan sedikitnya 36 juta eksemplar per tahun. Sementara produksi Alquran oleh seratus penerbit yang tergabung dalam Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia (APQI) hanya mampu memenuhi 20 juta eksemplar per tahun. Begitu pula Lembaga Percetakan Alquran Kementerian Agama, hanya berkapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun.

Sejarah percetakan Alquran di Indonesia tak dapat dilepaskan dari Jepang. Menurut sejarawan Harry J. Benda, ketika akhir pemerintahan Jepang berada di pelupuk mata, penguasa Jepang mendukung dan memenuhi tuntutan umat Islam. Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer) lewat Maklumat No. 22 tanggal 29 April 1945, mengumumkan bahwa mulai 1 Mei 1945 hari Jumat adalah hari libur separuh hari bagi semua kantor pemerintah. Pada 8 Juli 1945, Jepang merestui pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Gondangdia, Jakarta, yang diusulkan Masyumi –kelak menjadi Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri.

Selain itu, “penguasa Jepang menciptakan sejarah Islam yang jauh lebih penting lagi dengan mencetak Alquran untuk pertama kalinya di bumi Indonesia, di Jakarta,” tulis Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit. 

Jepang berjanji mencetak Alquran sejak awal September 1944. Namun baru terealisasi pada 11 Juni 1945.
“Untuk pertama kali sejak Balatentara Dai Nippon mendarat di tanah Jawa kini dicetak kitab suci Alquran atas usaha Masyumi, sedang kertasnya diterima sebagai hadiah dari pemerintah Jepang,” tulis Soeara Asia, 14 Desember 1944. “Demikianlah untuk membereskan urusan percetakan ini, baru-baru ini wakil-wakil Masyumi dari Jakarta telah berkunjung ke Cirebon guna berunding dengan tuan Ali Afiff dan tuan A. Kodir Afiff, keduanya pemimpin percetakan ‘Almirsjah’ di kota Cirebon.”

Ali Afiff juga dikenal sebagai pedagang eceran buku-buku agama Islam di Cirebon. Dia adalah ayah dari Saleh Afiff, yang menjabat menteri pada masa pemerintahan Soeharto.

Hasil perundingan: percetakan Almirsjah akan mencetak 100 ribu kitab Alquran dengan harga 47 sen sebuah. “…Tanggal 11 Juni, pemerintah mulai melangsungkan pencetakan Alquran. Upacara pencetakan di hadiri oleh [...] pemuka-pemuka Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi di antaranya K.H. A. Wahid Hasjim, A.K. Muzakkir, H. Djunaedi, M. Zaim Djambek. Selanjutnya hadir pula Abdullah bin Afiff dari Cirebon yang akan memimpin pencetakan itu,” tulis Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

Lebih dahulu, M. Zain Djambek dan K.H. A. Wahid Hasjim menerangkan, bahwa tindakan ini adalah suatu bukti kerja sama antara pemerintah Jepang dan umat Islam. “Hal ini tentu akan disambut dengan gembira oleh segenap rakyat karena Alquran adalah suatu barang yang amat penting dalam penghidupan umat Muslimin,” lanjut Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

“Pada tanggal 28 Agustus 1945, sebagian Alquran yang telah selesai dicetak, sudah pula dibagi-bagikan oleh Panitia Pencetak Alquran kepada masjid-masjid dan imam-imam di seluruh Jakarta Tokubetu-Si (Kota Praja Istimewa),” tulis Sinar Baroe, 29 Agustus 1945. Alquran juga akan bagikan kepada pesantren dan sekolah Islam di Pulau Jawa.

Di Sumatra, pemerintah Jepang juga menghadiahkan kertas untuk mencetak Alquran pada peringatan hari “Sumatera Baroe” serta sebagai bentuk terima kasih atas kerja sama kaum Muslimin dengan pemerintah. “Sumatra Saiko Sikikan (Panglima Balatentara Jepang di Sumatra) telah menghadiahkan sejumlah kertas kepada kaum Muslimin untuk mencetak 1.000 jilid kitab suci Alquran,” tulis Soeara Asia, 11 April 1945.
Upacara penyerahan hadiah itu dilangsungkan pada 27 Maret 1945, dihadiri Gunseikan dan Somubuco (Kepala Departemen Urusan Umum). Sedangkan dari pemuka dan alim ulama hadir Syekh Djamil Djambek, Hadji Siradjuddin Abas, dan Sutan Mansur.

Keterlibatan Jepang dalam percetakan Alquran kembali terjadi limabelas tahun kemudian, saat perundingan pampasan perang. Pada pertengahan 1951, Amerika Serikat memprakarsai Konferensi Perdamaian San Francisco untuk merundingkan perjanjian damai dan pampasan antara Sekutu dengan Jepang. Konferensi Nihon-koku tono Heiwa-Jōyaku ini menawarkan kepada Jepang kesempatan untuk meraih kembali posisinya di kalangan masyarakat internasional. Sebagai bagian dari hasil konferensi, pada 20 Januari 1958 perjanjian pampasan ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Fujiyama dan Menteri Luar Negeri Subandrio. Perjanjian itu menetapkan bahwa Jepang akan membayar US$223,080 juta selama duabelas tahun dengan cicilan US$20 juta setiap tahun dalam bentuk barang modal dan jasa; menghapuskan utang niaga sebesar US$176,920 juta, dan memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400 juta.

Menurut profesor Akademi Pertahanan Nasional Jepang, Masashi Nishihara, perjanjian pampasan perang terdiri atas daftar enam kategori: transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan. Program ini meliputi hampir semua industri dan satu daftar tambahan berisi 66 kategori spesifik lainnya untuk “dipertimbangkan” agar mendapat dana pampasan. “Ini meliputi suplai medis, pencetakan Alquran, dan perlengkapan astronomis,” tulis Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang.

Sejumlah departemen berkompetisi mendapatkan alokasi dana pampasan untuk proyek-proyek mereka. Tak terkecuali Departemen Agama. Menurut Abdul Aziz dalam “K.H. Muhammad Wahib Wahab: Kementerian Agama Pada Masa Demokrasi Terpimpin,” Departemen Agama menuntut supaya mendapat pembagian harta pampasan perang Jepang untuk membiayai proyek percetakan Alquran. “Tuntutan ini dikabulkan, namun kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra dari berbagai pihak karena K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama ke-7: 1959–1960 dan 1960–1962) menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu,” tulis Abdul Azis, termuat dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik.

Perusahaan Jepang yang mendapatkan proyek tersebut adalah Toppan Printing Co., Ltd. Perusahaan ini, awalnya bernama Toppan Printing Limited Partnership, didirikan oleh sekelompok insinyur dari Biro Percetakan Kementerian Keuangan Jepang pada 1900, lalu direorganisasi menjadi Toppan Printing Co., Ltd., pada 1908. Saat ini, Toppan Printing adalah salah satu perusahaan percetakan terbesar di dunia dengan penjualan US$1,7 milyar pada 2007. “Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar dengan biaya US$1.800,” tulis Nishihara.

Tapi, menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, Alquran yang dicetak di Jepang sebanyak 6 juta eksemplar. “Pada tahun 1960 terjadi lagi pentashihan di luar Lajnah, yaitu sewaktu mushaf Alquran dicetak di Jepang sebanyak 6.000.000 naskah. Dalam dua dekade berikutnya setiap Alquran yang dicetak di lndonesia selalu ditashih oleh Lajnah Pentashih Alquran,” demikian laporan Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama tahun 1984 dalam Mengenal Mushaf Alquran Standar Indonesia.  

Memang, semua mushaf yang diterbitkan di Indonesia tak bisa lolos sebelum mendapat tanda tashih (tas-hih, pengesahan koreksian) dari Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama. “Lembaga ini dibentuk pada 1957 di bawah Menteri Agama K.H. Muhammad Iljas, dua tahun sesudah kejadian yang banyak diingat orang ini: pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo, 14 April 1984.     

Kendati demikian, Laporan Konperensi Volume 1 menyebutkan, sebelum Pleno ke-III Konferensi Dinas Departemen Agama ke-VII, 25-30 Januari 1961 di Cipayung, Bogor, ditutup, “lebih dahulu diadakan pembagian Alquran yang dicetak di Jepang sebagai hasil perjuangan Menteri Agama dalam menggunakan pampasan perang Jepang.” (historia/pahamilah)

Dan Alqur'an Cetakan Jepang

Oleh: Hendri F. Isnaeni


Kebutuhan mushaf Alquran di Indonesia masih belum terpenuhi. Apalagi pada bulan Ramadan, permintaan meningkat 20 persen dari sekira 570 ribu Alquran yang dicetak per bulan. Umat Islam yakin bahwa Ramadan dianggap sebagai waktu yang tepat untuk berbuat baik dan bersedakah, salah satunya dengan membagikan Alquran.

Menurut data Kementerian Agama, saat ini jumlah umat Islam di Indonesia sekira 180 juta jiwa. Dengan asumsi setiap kepala keluarga minimal satu Alquran, dibutuhkan sedikitnya 36 juta eksemplar per tahun. Sementara produksi Alquran oleh seratus penerbit yang tergabung dalam Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia (APQI) hanya mampu memenuhi 20 juta eksemplar per tahun. Begitu pula Lembaga Percetakan Alquran Kementerian Agama, hanya berkapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun.

Sejarah percetakan Alquran di Indonesia tak dapat dilepaskan dari Jepang. Menurut sejarawan Harry J. Benda, ketika akhir pemerintahan Jepang berada di pelupuk mata, penguasa Jepang mendukung dan memenuhi tuntutan umat Islam. Gunseikan (Kepala Pemerintah Militer) lewat Maklumat No. 22 tanggal 29 April 1945, mengumumkan bahwa mulai 1 Mei 1945 hari Jumat adalah hari libur separuh hari bagi semua kantor pemerintah. Pada 8 Juli 1945, Jepang merestui pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) di Gondangdia, Jakarta, yang diusulkan Masyumi –kelak menjadi Universitas Islam Indonesia dan Institut Agama Islam Negeri.

Selain itu, “penguasa Jepang menciptakan sejarah Islam yang jauh lebih penting lagi dengan mencetak Alquran untuk pertama kalinya di bumi Indonesia, di Jakarta,” tulis Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit. 

Jepang berjanji mencetak Alquran sejak awal September 1944. Namun baru terealisasi pada 11 Juni 1945.
“Untuk pertama kali sejak Balatentara Dai Nippon mendarat di tanah Jawa kini dicetak kitab suci Alquran atas usaha Masyumi, sedang kertasnya diterima sebagai hadiah dari pemerintah Jepang,” tulis Soeara Asia, 14 Desember 1944. “Demikianlah untuk membereskan urusan percetakan ini, baru-baru ini wakil-wakil Masyumi dari Jakarta telah berkunjung ke Cirebon guna berunding dengan tuan Ali Afiff dan tuan A. Kodir Afiff, keduanya pemimpin percetakan ‘Almirsjah’ di kota Cirebon.”

Ali Afiff juga dikenal sebagai pedagang eceran buku-buku agama Islam di Cirebon. Dia adalah ayah dari Saleh Afiff, yang menjabat menteri pada masa pemerintahan Soeharto.

Hasil perundingan: percetakan Almirsjah akan mencetak 100 ribu kitab Alquran dengan harga 47 sen sebuah. “…Tanggal 11 Juni, pemerintah mulai melangsungkan pencetakan Alquran. Upacara pencetakan di hadiri oleh [...] pemuka-pemuka Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi di antaranya K.H. A. Wahid Hasjim, A.K. Muzakkir, H. Djunaedi, M. Zaim Djambek. Selanjutnya hadir pula Abdullah bin Afiff dari Cirebon yang akan memimpin pencetakan itu,” tulis Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

Lebih dahulu, M. Zain Djambek dan K.H. A. Wahid Hasjim menerangkan, bahwa tindakan ini adalah suatu bukti kerja sama antara pemerintah Jepang dan umat Islam. “Hal ini tentu akan disambut dengan gembira oleh segenap rakyat karena Alquran adalah suatu barang yang amat penting dalam penghidupan umat Muslimin,” lanjut Sinar Baroe, 12 Juni 1945.

“Pada tanggal 28 Agustus 1945, sebagian Alquran yang telah selesai dicetak, sudah pula dibagi-bagikan oleh Panitia Pencetak Alquran kepada masjid-masjid dan imam-imam di seluruh Jakarta Tokubetu-Si (Kota Praja Istimewa),” tulis Sinar Baroe, 29 Agustus 1945. Alquran juga akan bagikan kepada pesantren dan sekolah Islam di Pulau Jawa.

Di Sumatra, pemerintah Jepang juga menghadiahkan kertas untuk mencetak Alquran pada peringatan hari “Sumatera Baroe” serta sebagai bentuk terima kasih atas kerja sama kaum Muslimin dengan pemerintah. “Sumatra Saiko Sikikan (Panglima Balatentara Jepang di Sumatra) telah menghadiahkan sejumlah kertas kepada kaum Muslimin untuk mencetak 1.000 jilid kitab suci Alquran,” tulis Soeara Asia, 11 April 1945.
Upacara penyerahan hadiah itu dilangsungkan pada 27 Maret 1945, dihadiri Gunseikan dan Somubuco (Kepala Departemen Urusan Umum). Sedangkan dari pemuka dan alim ulama hadir Syekh Djamil Djambek, Hadji Siradjuddin Abas, dan Sutan Mansur.

Keterlibatan Jepang dalam percetakan Alquran kembali terjadi limabelas tahun kemudian, saat perundingan pampasan perang. Pada pertengahan 1951, Amerika Serikat memprakarsai Konferensi Perdamaian San Francisco untuk merundingkan perjanjian damai dan pampasan antara Sekutu dengan Jepang. Konferensi Nihon-koku tono Heiwa-Jōyaku ini menawarkan kepada Jepang kesempatan untuk meraih kembali posisinya di kalangan masyarakat internasional. Sebagai bagian dari hasil konferensi, pada 20 Januari 1958 perjanjian pampasan ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Fujiyama dan Menteri Luar Negeri Subandrio. Perjanjian itu menetapkan bahwa Jepang akan membayar US$223,080 juta selama duabelas tahun dengan cicilan US$20 juta setiap tahun dalam bentuk barang modal dan jasa; menghapuskan utang niaga sebesar US$176,920 juta, dan memberikan bantuan ekonomi sebesar US$400 juta.

Menurut profesor Akademi Pertahanan Nasional Jepang, Masashi Nishihara, perjanjian pampasan perang terdiri atas daftar enam kategori: transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan. Program ini meliputi hampir semua industri dan satu daftar tambahan berisi 66 kategori spesifik lainnya untuk “dipertimbangkan” agar mendapat dana pampasan. “Ini meliputi suplai medis, pencetakan Alquran, dan perlengkapan astronomis,” tulis Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi, dan Pampasan Perang.

Sejumlah departemen berkompetisi mendapatkan alokasi dana pampasan untuk proyek-proyek mereka. Tak terkecuali Departemen Agama. Menurut Abdul Aziz dalam “K.H. Muhammad Wahib Wahab: Kementerian Agama Pada Masa Demokrasi Terpimpin,” Departemen Agama menuntut supaya mendapat pembagian harta pampasan perang Jepang untuk membiayai proyek percetakan Alquran. “Tuntutan ini dikabulkan, namun kemudian menimbulkan sikap pro dan kontra dari berbagai pihak karena K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama ke-7: 1959–1960 dan 1960–1962) menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu,” tulis Abdul Azis, termuat dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik.

Perusahaan Jepang yang mendapatkan proyek tersebut adalah Toppan Printing Co., Ltd. Perusahaan ini, awalnya bernama Toppan Printing Limited Partnership, didirikan oleh sekelompok insinyur dari Biro Percetakan Kementerian Keuangan Jepang pada 1900, lalu direorganisasi menjadi Toppan Printing Co., Ltd., pada 1908. Saat ini, Toppan Printing adalah salah satu perusahaan percetakan terbesar di dunia dengan penjualan US$1,7 milyar pada 2007. “Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar dengan biaya US$1.800,” tulis Nishihara.

Tapi, menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama, Alquran yang dicetak di Jepang sebanyak 6 juta eksemplar. “Pada tahun 1960 terjadi lagi pentashihan di luar Lajnah, yaitu sewaktu mushaf Alquran dicetak di Jepang sebanyak 6.000.000 naskah. Dalam dua dekade berikutnya setiap Alquran yang dicetak di lndonesia selalu ditashih oleh Lajnah Pentashih Alquran,” demikian laporan Proyek Penelitian Keagamaan Departemen Agama tahun 1984 dalam Mengenal Mushaf Alquran Standar Indonesia.  

Memang, semua mushaf yang diterbitkan di Indonesia tak bisa lolos sebelum mendapat tanda tashih (tas-hih, pengesahan koreksian) dari Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Departemen Agama. “Lembaga ini dibentuk pada 1957 di bawah Menteri Agama K.H. Muhammad Iljas, dua tahun sesudah kejadian yang banyak diingat orang ini: pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan,” tulis Tempo, 14 April 1984.     

Kendati demikian, Laporan Konperensi Volume 1 menyebutkan, sebelum Pleno ke-III Konferensi Dinas Departemen Agama ke-VII, 25-30 Januari 1961 di Cipayung, Bogor, ditutup, “lebih dahulu diadakan pembagian Alquran yang dicetak di Jepang sebagai hasil perjuangan Menteri Agama dalam menggunakan pampasan perang Jepang.” (historia/pahamilah)
Pahamilah.com - Siapa tak kenal Imam Syafi’i? Bapak ushul fiqih ini tak hanya tenar karena kepakarannya di bidang hukum Islam. Sejumlah ulama menilai, Imam Syafi’i juga layak dianggap pelopor disiplin keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir dan musthalah hadits.

Terlahir dengan nama Muhammad ibn Idris, Imam Syafi’i tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan kritis. Memang ia sangat memuliakan dan mengagumi guru-gurunya. Namun, proses pencarian kebenaran yang gigih membawanya ke panggung ijtihad yang mandiri. Imam Syafi’i sukses membangun mazhabnya sendiri, terutama fiqih.

Tak pelak, Imam Syaf’i pun berbeda pandangan dengan para pendiri mazhab fiqih lain, baik gurunya sendiri, Imam Malik; pendahulunya, Imam Hanafi; ataupun muridnya, Imam Hambali.

Soal qunut misalnya. Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas bahwa qunut tak sunnah pada sembahyang shubuh, kecuali pada sembahyang witir. “Dalam sembahyang shubuh, Nabi melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak,” dalihnya.

Imam Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah kuat, ia meyakini qunut shubuh juga berstatus sunnah. Sebagai ulama yang konsekuen, Imam Syafi’i tak putus membaca qunut shubuh sepanjang hidupnya. Selalu. Kecuali pada suatu hari yang aneh.

Ya, saat itu Imam Syafi’i meninggalkan qunut shubuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah makam.

Mengapa?

Ternyata Imam Syafi’i sedang menaruh hormat yang tinggi kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena di tanah makam di sekitar tempat ia sembahyang itu telah bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi (nu.or.id/pahamilah)

Inilah Alasan Ketika Imam Syafii Tidak Qunut

Pahamilah.com - Siapa tak kenal Imam Syafi’i? Bapak ushul fiqih ini tak hanya tenar karena kepakarannya di bidang hukum Islam. Sejumlah ulama menilai, Imam Syafi’i juga layak dianggap pelopor disiplin keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir dan musthalah hadits.

Terlahir dengan nama Muhammad ibn Idris, Imam Syafi’i tumbuh sebagai pribadi yang cerdas dan kritis. Memang ia sangat memuliakan dan mengagumi guru-gurunya. Namun, proses pencarian kebenaran yang gigih membawanya ke panggung ijtihad yang mandiri. Imam Syafi’i sukses membangun mazhabnya sendiri, terutama fiqih.

Tak pelak, Imam Syaf’i pun berbeda pandangan dengan para pendiri mazhab fiqih lain, baik gurunya sendiri, Imam Malik; pendahulunya, Imam Hanafi; ataupun muridnya, Imam Hambali.

Soal qunut misalnya. Imam Hanafi dan Imam Hambali tegas bahwa qunut tak sunnah pada sembahyang shubuh, kecuali pada sembahyang witir. “Dalam sembahyang shubuh, Nabi melaksanakan qunut hanya selama satu bulan. Setelah itu tidak,” dalihnya.

Imam Syafi’i menolak pendapat ini. Dengan dalil yang tak kalah kuat, ia meyakini qunut shubuh juga berstatus sunnah. Sebagai ulama yang konsekuen, Imam Syafi’i tak putus membaca qunut shubuh sepanjang hidupnya. Selalu. Kecuali pada suatu hari yang aneh.

Ya, saat itu Imam Syafi’i meninggalkan qunut shubuh. Perilaku ganjil yang sepintas tampak mengkhianati buah pikirannya sendiri ini terjadi di Baghdad, Iraq. Persisnya, di dekat sebuah makam.

Mengapa?

Ternyata Imam Syafi’i sedang menaruh hormat yang tinggi kepada ilmu dan jerih payah pemikiran ulama lain, kendatipun berseberangan dengan pahamnya. Karena di tanah makam di sekitar tempat ia sembahyang itu telah bersemayam jasad mujtahid agung, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit alias Imam Hanafi (nu.or.id/pahamilah)
Pahamilah.com - Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh, sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka,Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum.

Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.

Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir.

Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.

Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.

Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.

Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).

Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam.

Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”

Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.

Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”

Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.

Saat Terakhir

Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.

Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’

Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640).

Seuasi bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)

Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H. Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari. (nu.or.id/pahamilah)

Detik-Detik Terakhir Muhammad SAW

Pahamilah.com - Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh, sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka,Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum.

Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.

Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir.

Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.

Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.

Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.

Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).

Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam.

Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”

Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.

Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”

Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.

Saat Terakhir

Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.

Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’

Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640).

Seuasi bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)

Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H. Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari. (nu.or.id/pahamilah)
Oleh: Sigit Kamseno


Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah berbincang dengan da’i terkenal asal Papua, Ustadz Fadhlan Garamatan mengenai antropologi masyarakat Papua.  Bersama tiga tokoh Papua lainnya, da’i yang dikenal dengan sebutan “ustadz Sabun” itu bercerita mengenai sejarah kerajaan Islam di tanah Papua yang diketahui merupakan daerah minoritas Muslim, bahkan tidak jarang diasosiasikan dengan sebutan daerah Nasrani.

Sebetulnya, hampir semua peneliti bersepakat bahwa masuknya Islam di Papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk ke Bumi Cendrawasih itu, namun demikian hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan hal tersebut terjadi. Di antara para pemerhati, peneliti, maupun keturunan  raja-raja di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari masih terdapat silang pendapat mengenai kapan Islam masuk ke daerah Papua. Masih sedikitnya penelitian tentang hal tersebut  amat mungkin disebabkan karena secara sosio-geografis tanah Papua terletak pada daerah peripheral Islam di Nusantara, sehingga studi mengenai Islam di Papua luput dari kajian para sejarawan lokal maupun asing.

Adalah Toni Victor M. Wanggai, menulis sebuah penelitian serius mengenai kedatangan Islam di Tanah Papua. Dalam penelitian yang merujuk kepada data-data historis Portugis, Spanyol, dan Belanda serta wawancara dengan keturunan raja-raja di Bumi Papua itu, disebutkan bahwa kedatangan Islam di Papua memang lebih belakangan dari pada islamisasi di daerah  lain di Nusantara.

Dalam penelitiannya, Wanggai menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh kesultanan Bacan di Maluku Utara melalui kontak perdagangan, budaya dan politik. Selanjutnya pada abad XVI di bawah Kesultanan Tidore, agama Islam mulai terlembaga ke dalam struktur kerajaan di Kepulauan Raja Ampat, yakni kerajaan Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Pada saat yang sama berdiri juga kerajaan atau ‘pertuanan’ lain di  daerah Fakfak dan Kaimana, antara lain Namatota, Rumbati, dan Patipi. Kerajaan Islam ini merupakan kerajaan-kerajaan mini yang diberikan semacam otonomi  dan merupakan subordinat dari kesultanan di Maluku.

Sejarah Awal Islamisasi di Papua

Hingga saat ini, diskursus mengenai kapan Islam masuk ke Papua masih belum usai. Keturunan raja-raja Islam di Papua sendiri saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung bukti tertulis maupun arkeologis.

Ali Athwa (2004) menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Papua tidak terlepas dari pengaruh kerajaan Majapahit dan kerajaan lain di Nusantara, ia juga meyakini bahwa jalur masuknya Islam ke Papua adalah melalui Maluku. Athwa berpendapat bahwa pemuka-pemuka pesisir di Papua memeluk agama  Islam karena pengaruh dari Kesultanan Islam Bacan di Maluku pada tahun 1520 yang saat itu gencar melebarkan pengaruh ke luar Maluku, terutama ke Papua.

Sedangkan Frederick Jusuf Onim (2006) memilki pendapat tak serupa. Menurutnya, agama Islam baru masuk ke daerah Papua pada abad ke XVII, dan belum memiliki pengaruh apa-apa. Onim juga mengatakan sebuah fakta bahwa karena pengaruh Islam yang  tidak signifikan di Papua itulah, pulau terbesar kedua di dunia itu acapkali luput dari peta penyebaran Islam dunia, sekalipun pada abad-abad silam beberapa titik di wilayah Papua telah bersentuhan dengan Islam.

Wanggai (2009) membuat pemetaan lebih detail. Menurut Wanggai, ada tujuh versi mengenai kedatangan Islam di Papua: versi Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta Ternate dan Tidore dengan karakteristik yang berbeda. Menariknya, sekalipun meyakini bahwa Islam baru masuk ke Papua pada abad ke XVI, versi Aceh yang digambarkan oleh Wanggai menyebutkan bahwa Islam datang ke Papua sekitar abad XIII, tepatnya pada tahun 1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari Ulama Sufi terkenal, Abdul Qadir al-Jilani.

Mengutip wawancara dengan keturunan Raja Patipi, Wanggai mengatakan bahwa Iskandar Syah datang ke Papua  dengan membawa Mushaf al-Quran tulisan tangan, kitab hadits, kitab-kitab ilmu tauhid dan do’a-do’a. Sedangkan tiga kitab lainnya dimasukan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang mulai punah. Adapula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara.

Jika penuturan ini benar, maka penyebaran Islam di Papua sebetulnya satu zaman dengan penyebaran Islam secara massif di tanah Jawa, terutama pada masa awal-awal dakwah Walisongo pada abad ke XV, hanya saja penyebaran Islam di Papua memang cenderung lebih lambat dan tidak semassif seperti di pulau-pulau lain di Nusantara.

Dalam rentang waktu yang jauh, populasi Umat Islam di Papua baru meningkat secara signifikan setelah provinsi tersebut bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 disusul dengan masuknya sejumlah transmigran asal Sulawesi, Jawa dan Maluku yang ditempatkan di Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Merauke. Seiring dengan itu bermunculanlah lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Hidayatullah, dan seterusnya.

Peninggalan Islam di Papua

Selajur dengan perkembangan dakwah Islam pada masa awal di Papua yang berjalan lambat, peninggalan Islam di Papua tidak sebanyak di daerah lain. Namun demikian bukan berarti hal tersebut menjadikan Papua sepi dari peninggalan Islam.

Ada beberapa peninggalan sejarah Islam di Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung Patimburak  yang sudah berusia ratusan tahun.

Di Desa Darembang Kampung Lama juga terdapat peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat. Melihat dari ukiran dan bentuknya, tiang-tiang kayu ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid yang sudah keropos.

Demikian juga di daerah Fakfak, dalam catatan Wanggai, terdapat lima buah manuskrip yang diduga berumur 800tahun berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada raja Patipi XVI. Manuskrip tersebut adalah sebuah mushaf tua berukuran 50 cm x 40 cm, bertullis tangan di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi kitab. Empat lainnya adalah kitab hadits, tauhid, dan kumpulan do’a. Dalam kitab tersebut terdapat sebuah tapak tangan berupa jari yang terbuka. Penginggalan inilah yang diyakini sebagai peninggalan Syaikh Iskandar Syah.

Ustadz Fadlan Garamatan sendiri sebagai da’i asli Papua hingga kini masih aktif menyebarkan dakwah Islam di provinsi paling timur Indonesia itu. Keturunan Raja Patipi itu membangun sebuah Pesantren di daerah Bekasi untuk anak-anak Papua dengan pertimbangan bahwa proses pendidikan akan terasa sulit jika pesantren tersebut dibangun di tanah kelahirannya. Menurutnya, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa secara tradisi, para orang tua di Papua akan selalu memanggil anaknya pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkan anaknya menginap di pesantren, tentu saja hal ini mengakibatkan proses belajar santri yang diharapkan menjadi du’at di tanah papua itu akan terhambat.

Fakta ini sekaligus menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para da’i di daerah lain bahwa dakwah Islam di berbagai tempat memang memiliki corak dan karakter yang khas sesuai dengan kultur lokal setempat. Wallahu a’lam.



Fote note ____________________ 


Sigit Kamseno adalah Redaktur bimasislam.kemenag.go.id dan kontributor di beberapa Media Islam Online

Mengintip Jejak Islam di Papua

Oleh: Sigit Kamseno


Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah berbincang dengan da’i terkenal asal Papua, Ustadz Fadhlan Garamatan mengenai antropologi masyarakat Papua.  Bersama tiga tokoh Papua lainnya, da’i yang dikenal dengan sebutan “ustadz Sabun” itu bercerita mengenai sejarah kerajaan Islam di tanah Papua yang diketahui merupakan daerah minoritas Muslim, bahkan tidak jarang diasosiasikan dengan sebutan daerah Nasrani.

Sebetulnya, hampir semua peneliti bersepakat bahwa masuknya Islam di Papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk ke Bumi Cendrawasih itu, namun demikian hingga saat ini belum diketahui secara pasti kapan hal tersebut terjadi. Di antara para pemerhati, peneliti, maupun keturunan  raja-raja di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari masih terdapat silang pendapat mengenai kapan Islam masuk ke daerah Papua. Masih sedikitnya penelitian tentang hal tersebut  amat mungkin disebabkan karena secara sosio-geografis tanah Papua terletak pada daerah peripheral Islam di Nusantara, sehingga studi mengenai Islam di Papua luput dari kajian para sejarawan lokal maupun asing.

Adalah Toni Victor M. Wanggai, menulis sebuah penelitian serius mengenai kedatangan Islam di Tanah Papua. Dalam penelitian yang merujuk kepada data-data historis Portugis, Spanyol, dan Belanda serta wawancara dengan keturunan raja-raja di Bumi Papua itu, disebutkan bahwa kedatangan Islam di Papua memang lebih belakangan dari pada islamisasi di daerah  lain di Nusantara.

Dalam penelitiannya, Wanggai menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh kesultanan Bacan di Maluku Utara melalui kontak perdagangan, budaya dan politik. Selanjutnya pada abad XVI di bawah Kesultanan Tidore, agama Islam mulai terlembaga ke dalam struktur kerajaan di Kepulauan Raja Ampat, yakni kerajaan Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Pada saat yang sama berdiri juga kerajaan atau ‘pertuanan’ lain di  daerah Fakfak dan Kaimana, antara lain Namatota, Rumbati, dan Patipi. Kerajaan Islam ini merupakan kerajaan-kerajaan mini yang diberikan semacam otonomi  dan merupakan subordinat dari kesultanan di Maluku.

Sejarah Awal Islamisasi di Papua

Hingga saat ini, diskursus mengenai kapan Islam masuk ke Papua masih belum usai. Keturunan raja-raja Islam di Papua sendiri saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung bukti tertulis maupun arkeologis.

Ali Athwa (2004) menyebutkan bahwa masuknya Islam ke Papua tidak terlepas dari pengaruh kerajaan Majapahit dan kerajaan lain di Nusantara, ia juga meyakini bahwa jalur masuknya Islam ke Papua adalah melalui Maluku. Athwa berpendapat bahwa pemuka-pemuka pesisir di Papua memeluk agama  Islam karena pengaruh dari Kesultanan Islam Bacan di Maluku pada tahun 1520 yang saat itu gencar melebarkan pengaruh ke luar Maluku, terutama ke Papua.

Sedangkan Frederick Jusuf Onim (2006) memilki pendapat tak serupa. Menurutnya, agama Islam baru masuk ke daerah Papua pada abad ke XVII, dan belum memiliki pengaruh apa-apa. Onim juga mengatakan sebuah fakta bahwa karena pengaruh Islam yang  tidak signifikan di Papua itulah, pulau terbesar kedua di dunia itu acapkali luput dari peta penyebaran Islam dunia, sekalipun pada abad-abad silam beberapa titik di wilayah Papua telah bersentuhan dengan Islam.

Wanggai (2009) membuat pemetaan lebih detail. Menurut Wanggai, ada tujuh versi mengenai kedatangan Islam di Papua: versi Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta Ternate dan Tidore dengan karakteristik yang berbeda. Menariknya, sekalipun meyakini bahwa Islam baru masuk ke Papua pada abad ke XVI, versi Aceh yang digambarkan oleh Wanggai menyebutkan bahwa Islam datang ke Papua sekitar abad XIII, tepatnya pada tahun 1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari Ulama Sufi terkenal, Abdul Qadir al-Jilani.

Mengutip wawancara dengan keturunan Raja Patipi, Wanggai mengatakan bahwa Iskandar Syah datang ke Papua  dengan membawa Mushaf al-Quran tulisan tangan, kitab hadits, kitab-kitab ilmu tauhid dan do’a-do’a. Sedangkan tiga kitab lainnya dimasukan ke dalam buluh bambu dan ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang mulai punah. Adapula manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara.

Jika penuturan ini benar, maka penyebaran Islam di Papua sebetulnya satu zaman dengan penyebaran Islam secara massif di tanah Jawa, terutama pada masa awal-awal dakwah Walisongo pada abad ke XV, hanya saja penyebaran Islam di Papua memang cenderung lebih lambat dan tidak semassif seperti di pulau-pulau lain di Nusantara.

Dalam rentang waktu yang jauh, populasi Umat Islam di Papua baru meningkat secara signifikan setelah provinsi tersebut bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 disusul dengan masuknya sejumlah transmigran asal Sulawesi, Jawa dan Maluku yang ditempatkan di Jayapura, Sorong, Manokwari, Nabire, dan Merauke. Seiring dengan itu bermunculanlah lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Hidayatullah, dan seterusnya.

Peninggalan Islam di Papua

Selajur dengan perkembangan dakwah Islam pada masa awal di Papua yang berjalan lambat, peninggalan Islam di Papua tidak sebanyak di daerah lain. Namun demikian bukan berarti hal tersebut menjadikan Papua sepi dari peninggalan Islam.

Ada beberapa peninggalan sejarah Islam di Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung Patimburak  yang sudah berusia ratusan tahun.

Di Desa Darembang Kampung Lama juga terdapat peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat. Melihat dari ukiran dan bentuknya, tiang-tiang kayu ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid yang sudah keropos.

Demikian juga di daerah Fakfak, dalam catatan Wanggai, terdapat lima buah manuskrip yang diduga berumur 800tahun berbentuk kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada raja Patipi XVI. Manuskrip tersebut adalah sebuah mushaf tua berukuran 50 cm x 40 cm, bertullis tangan di atas kulit kayu yang dirangkai menjadi kitab. Empat lainnya adalah kitab hadits, tauhid, dan kumpulan do’a. Dalam kitab tersebut terdapat sebuah tapak tangan berupa jari yang terbuka. Penginggalan inilah yang diyakini sebagai peninggalan Syaikh Iskandar Syah.

Ustadz Fadlan Garamatan sendiri sebagai da’i asli Papua hingga kini masih aktif menyebarkan dakwah Islam di provinsi paling timur Indonesia itu. Keturunan Raja Patipi itu membangun sebuah Pesantren di daerah Bekasi untuk anak-anak Papua dengan pertimbangan bahwa proses pendidikan akan terasa sulit jika pesantren tersebut dibangun di tanah kelahirannya. Menurutnya, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa secara tradisi, para orang tua di Papua akan selalu memanggil anaknya pulang ke rumah dan tidak akan pernah membiarkan anaknya menginap di pesantren, tentu saja hal ini mengakibatkan proses belajar santri yang diharapkan menjadi du’at di tanah papua itu akan terhambat.

Fakta ini sekaligus menjadi sebuah pelajaran berharga bagi para da’i di daerah lain bahwa dakwah Islam di berbagai tempat memang memiliki corak dan karakter yang khas sesuai dengan kultur lokal setempat. Wallahu a’lam.



Fote note ____________________ 


Sigit Kamseno adalah Redaktur bimasislam.kemenag.go.id dan kontributor di beberapa Media Islam Online